136

Haris tidak main-main dengan ucapannya dichat barusan. Ia benar-benar langsung bangkit dari mejanya dan pindah ke meja yang sama dengan Sabil. Karena samping kanan dan kiri gadis itu telah diisi oleh orang lain, jadilah Haris memilih untuk duduk di depan Sabil.

“Halo,” Sapa Haris.

“H-hai,” jawab Sabil kikuk.

“Aku duduk sini nggak apa-apa kan?”

Sabil mengangguk sembari menyedot minumannya.

“Kamu teh sering kesini, Bil?”

“Iya, kalo lagi sama ayah.”

Haris hanya ber-oh ria sembari memasukkan satu sendok buburnya. “Oh iya, makan ya Bil.”

“Iya sok.”

Sempat dia sebentar karena Haris yang sedang menikmati sarapannya, tiba-tiba saja hujan turun dengan lebat. Sabil terlihat begitu cemas karena mengingat bahwa Aghi yang sedang menuju kesini untuk menjemputnya.

Haris melirik ke arah Sabil. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

“Takut nggak bisa pulang karena hujan?”

“Ngga kok.”

“Tenang weh Bil, kalo bingung mau pulang naik apa teh aku bisa an——“

“Bil!” ucapan Haris barusan terpotong oleh laki-laki yang baru saja memanggil nama Sabil dengan baju dan rambut yang sangat basah.

“Aghi… Ya ampun! Maneh teh kuyup banget, Ghi.”

“Maaf ya lama, tadi teh macet. Terus aing lupa nggak bawa payung buat kesininya, parkir mobil aing lumayan jauh.”

“Nggak apa-apa. Aduh, maneh pesen teh anget dulu gih, ngeri masuk angin.”

Haris hanya menyimak obrolan keduanya sembari bertanya-tanya pada pikirannya.

Siapa ya?

Pacarnya? Kok segitu perhatiannya banget.

Aghi hanya menggeleng. “Nggak usah, santai aja. Maneh teh udah kelar makan buburnya?”

“Udah kok.”

“Mau tetep pulang atau neduh dulu? tanya Aghi.

“Pulang aja.”

“Yaudah ayok.”

Sebelum benar-benar pergi, Sabil sempat berpamitan dengan Haris. Aghi dibuat penasaran oleh sosok laki-laki yang baru saja diajak bicara oleh sahabatnya.

“Haris, aku pulang duluan ya, nggak enak udah di jemput. Maaf kamu makannya jadi sendirian.”

“Nggak apa-apa Bil, disini rame kok, jadi nggak sendirian,” jawab Haris sambil terkekeh.

Sabil hanya mengangguk sembari tersenyum.

“Bil, tapi aing nggak ada payung. Jadi kita ujan-ujanan dulu sampe ke tempat aing parkir mobilnya ya,” jelas Aghi.

“Yaudah gapapa.”

Haris yang mendengar itu langsung berdiri dari kursinya dan menyuruh Sabil untuk menunggu. Sabil terkejut melihat Haris yang keluar dari tempat makan itu sembari hujan-hujanan. Sabil tidak tau kemana Haris pergi karena laki-laki itu hanya menyuruhnya untuk menunggu.

“Saha sih, Bil?” tanya Aghi.

“Yang waktu aing ceritain dichat.”

“Oh, pantes.”

Tidak lama, Haris datang dengan keadaan yang sudah basah kuyup sembari menyodorkan payung lipat ke arah Aghi. “Pake ini aja buat mayungin Sabil.”

“Eh nggak usah repot gitu,” ucap Sabil.

“Nggak apa-apa, pake aja daripada kamu sakit. Dikembaliinnya kapan-kapan aja nggak apa-apa kok.”

Haris langsung memberikan payung itu kepada Aghi. “Hati-hati bawa mobilnya ya. Lagi ujan, jalanan licin.”

Setelah itu Haris langsung kembali ke mejanya dan menyantap satu mangkuk bubur yang sebelumnya sempat tertunda.

“Haris,” panggil Sabil.

Hari menengok ke arah Sabil. “Ya?”

“Makasih ya, kamu juga hati-hati pulangnya.”