17
Arsabil Damia atau yang kerap dipanggil Sabil atau Abil kini sedang duduk seorang diri di meja kantin paling ujung. Alasan memilih meja paling ujung karena dirinya sama sekali belum memiliki teman disini. Melihat orang-orang disekitarnya yang sangat asyik saling bertukar tawa dan cerita, membuat ia enggan untuk memilih meja yang berada di tengah-tengah keseruan itu.
Semakin lama kantin semakin ramai, kini sudah bukan anak-anak seangkatannya yang meramaikan kantin, melainkan kakak-kakak kelasnya. Sabil cepat-cepat menghabiskan bekalnya agar segera pergi dari kantin karena sudah mulai merasa tidak nyaman dengan suasana saat ini.
“Anjir naha makin rame ya, tapi kenapa nggak ada yang mau duduk sama aing?” ucap Sabil bermonolog.
Sabil sesekali melihat ke arah kotak bekalnya, ia mendengus kesal karena makanan yang sedaritadi ia makan tidak habis-habis. Ia benar-benar ingin cepat kembali ke dalam Aula karena suasana yang membuatnya kurang nyaman. Andai saja sahabatnya, Aghian, bisa masuk ke sekolah yang sama dengannya, pasti ia akan makan dengan tenang sekarang. Entah sudah suapan keberapa, Sabil langsung mengunyah makanan yang baru saja masuk ke mulutnya dengan cepat.
Suasana kantin memang sangat ramai saat ini, namun hal itu tidak menjadi masalah bagi Haris dan teman-temannya karena mereka sudah memiliki meja bersejarah alias meja langganan mereka untuk ditempati.
Baru saja ingin berjalan ke arah meja bersejarahnya itu, tiba-tiba Dimas yang memang memimpin jalan langsung berhenti membuat ketiga temannya juga ikut berhenti.
“Lah anying ditempatin meja kita bray.”
Haris langsung melihat siapa yang menempati meja bersejarahnya dan teman-temannya itu. Mata Haris membulat, ia terkejut melihat siapa yang menempati meja itu.
Gadis yang telat bersamanya tadi pagi.
“Samperin Dim, bilang suruh cari meja lain gitu. Tapi ngomongnya alus ya, cewek soalnya.” Dino menyuruh Dimas untuk menghampiri gadis tersebut. Namun Haris langsung menahan tangan Dimas.
“Nggak usah, kita cari meja lain aja.”
“Dih???? Tumben pisan.”
“Udah ayok,” ajak Haris yang langsung merangkul teman-temannya.
Kini dari jarak yang tidak terlalu jauh dari meja bersejarahnya itu, Haris mengamati sosok gadis yang tadi sempat telat bersamanya. Sesekali ia tersenyum karena melihat gadis itu makan dengan terburu-buru sampai tersedak. Haris menggelengkan kepalanya.
“Lucu, kayak hamster,” batinnya.
“Ris, itu siomaynya kalo nggak dimakan mending buat aing aja lah anying! Sayang pisan cuma dianggurin aja.”
“Ris! Woy! Maneh liatin apa sih,” panggil Dimas yang duduk disamping Haris.
“Tau ih, tumben banget maneh nggak fokus ke makanan.”
Haris tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, ia masih tetap menaruh perhatiannya pada gadis yang sedang duduk sendiri di meja yang tidak terlalu jauh darinya. Hal itu membuat ketiga temannya juga ikut melihat apa yang menarik perhatian Haris.
“Oalah anying bisaan banget ngeliatin cewek!” seru Farel.
Haris langsung tersadar, “Naon sih, nggak.”
“Halah nggak usah alesan, udah ketangkep basah gini.”
“Siapa sih itu, Ris? Maneh kenal?”
Haris menggeleng. “Nggak kenal. Tapi tadi teh dia telat bareng aing, terus nggak tau kenapa aing deg-deg an sekarang.”
“Pantes nyuruh kita buat ngalah nyari meja lain, soalnya yang duduk disitu orang yang ditaksir euy.” Ketiga temannya itu tertawa sampai-sampai menjadi pusat perhatian. Haris langsung menempelkan jari telunjuknya didepan bibirnya seakan untuk menyuruh temannya diam.
“Ih diem, berisik banget anying malu!”
“Halah biasanya juga malu-maluin, bilang aja takut si geulis nengok,” ucap Dimas.
“Wey itu punya aing! Sembarangan pisan asal ngomong si geulis si geulis.”
“Idih belom kenalan aja udah ngaku-ngaku punya maneh!”
“Eh tapi, sieta teh sendirian belum punya temen, Ris?” tanya Farel sembari menyedot es teh manisnya.
Benar juga, sedaritadi gadis yang sudah ia amati dari beberapa menit yang lalu hanya duduk seorang diri tanpa seseorang yang datang menemaninya. Tidak sengaja, pandangan Haris tertuju pada dua gadis yang sedang memegang nampan. Kedua gadis itu nampak kebingungan untuk mencari tempat karena meja kantin sudah mulai penuh. Tiba-tiba saja ia tersenyum karena ide yang muncul dibenaknya.
“Eh Ris, arek kamana maneh?”
“Sakedap.”
Haris langsung menghampiri kedua gadis itu.
“Punten, lagi nyari meja?” tanya Haris.
“E-eh… Iya kang.”
“Duduk disana aja, dia daritadi duduk sendirian.” Haris menunjuk ke meja yang sedang diduduki oleh Sabil.
“Nggak apa-apa itu kang kalo kita ikut duduk ditempat dia?”
“Nggak apa-apa asal diajak kenalan sama ngobrol, siapa tau cocok jadi temen.“
“Wah oke deh kang, siap! Nanti diajak ngobrol sama kenalan, kebetulan kita juga lagi cari temen. Yaudah duluan ya kang, nuhun juga udah dikasih saran mejanya.”
Haris tersenyum, kedua gadis itu langsung menghampiri meja yang dimaksud olehnya. Haris kembali duduk ke mejanya dengan perasaan lega ketika melihat gadis yang sebelumnya sendirian kini sudah tersenyum manis saat menerima kehadiran dua gadis tadi.
“Abis ngapain sih dateng-dateng senyum begitu?”
“Abis berbuat kebaikan.”
“Abis berbuat kebaikan apa bucin? Sampe-sampe nyuruh orang buat nemenin pujaan hati yang lagi sendirian,” ledek Farel.
“Diem!!!!”