181

Dengan segala keberanian yang sudah Sabil kumpulkan, ia langsung buru-buru keluar dari toilet untuk menuju lapangan. Setibanya di lapangan, ia bisa melihat semuanya sudah terbaris dengan rapih. Agar tidak menjadi pusat perhatian, Sabil memilih untuk masuk ke dalam barisan melalui barisan belakang. Miwa yang sadar dengan kehadiran Sabil langsung menarik Sabil untuk masuk ke barisannya.

“Lama pisan ih, untung nggak dihukum.”

Sabil hanya tersenyum sembari merapihkan seragam olahraganya.

“Anak-anak, hari ini agenda olahraganya nggak begitu berat karena adanya kelas gabungan. Jadi hari ini kita hanya main basket saja. Kelas 12 lawan kelas 10 oke,” jelas Pak Beni selaku guru peganti.

“Nanti perempuan lawan perempuan, laki-laki lawan laki-laki.”

“Disini udah pada tau basic main basket kan?” tanya Pak Beni.

“Udah pak,” jawab semua murid serempak.

“Mampus, Miw, aku teh jarang main basket anjir. Malu pisan cuma bisa ngedribble.”

“Kalem weh, aku juga cuma bisa ngejar bola.”


Suara priwitan Pak Beni terdengar begitu nyaring. Hal itu menandakan bahwa pertandingan antar kelas sudah dimulai. Sabil bisa melihat Haris yang sudah berada di tengah lapangan untuk mengejar bola. Namun, ia langsung memalingkan pandangannya ke lain arah. Sedangkan yang berada di tengah lapangan pun tidak lupa juga untuk mencuri pandang ke arah gadis yang sedang duduk merangkul kedua lutut kakinya.

“Miw, daripada bosen liatin orang-orang pada ngejar bola, mending kita main sendiri aja disana,” ajak Sabil tiba-tiba.

Miwa yang juga merasa bosan langsung mengiyakan ajakan Sabil dan bangkit dari duduknya. Mereka berdua menghampiri Pak Beni untuk meminta bola dan bermain di lapangan sebelah.

Sabil dan Miwa hanya latihan untuk mengshoot bola basket ke dalam ring.

“Aduh Bil, ini mah kita nggak bisa ikut kejuaraan nasional kalo ngeshoot aja masih remed.”

“Ih siapa juga yang mau ikut kejuaraan nasional. Aku teh kalo soal olahraga kayak gini nggak pernah jago, Miw!”

Keduanya terkekeh.

“Tangkep, Bil.” Miwa melemparkan bola basket ke arag Sabil. Untung saja Sabil sedang tidak melamun, jadi ia bisa langsung menangkap bola yang dilemparkan oleh Miwa.

Tidak terasa pertandingan tim putra pertama sudah selesai, lagi-lagi Pak Beni meniupkan priwitannya untuk memulai pertandingan tim putra kedua. Sabil benar-benar fokus untuk bermain dengan bola basketnya sampai tidak memperdulikan sekitarnya.

“Eh tangan kita tuh bener nggak sih begini?” tanya Sabil.

“Miw? Kamu teh denger aku nggak sih?”

Sabil tidak mendengar adanya pergerakan dari Miwa, melainkan suara langkah yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Salah.”

Deg

Sabil dibuat terkejut oleh tangan kekar yang sudah berada di atas punggung tangannya. Ia menoleh ke arah sumber suara dan langsung membulatkan matanya. Bukan Miwa yang kini sedang membantunya membenarkan teknik dalam bermain bola basket, melainkan Haris.

Laki-laki itu tersenyum ke arah Sabil yang masih berada di depannya sembari menoleh ke arah samping wajahnya, dengan kedua tangan mereka yang masih saling memegang bola basket. Sabil yang sadar akan posisi Haris yang seperti memeluknya dari belakang langsung melepaskan bola basket dan segera menjauh dari jangkauan Haris.

“Kamu ngapain disini?” tanya Sabil sembari melirik ke arah sekitar.

“Ya olahraga?”

“Aku juga tau, tapi kamu ngapain kesini? Bukannya tadi abis main basket?”

“Udah selesai. Terus aku nyari kamu di pinggir lapangan, eh nggak ada. Taunya kamu disini,” jelas Haris.

Sabil terdiam. Hal itu membuat Haris bingung. Ia langsung menyenggol pelan lengan Sabil. “Kamu teh kenapa diem?”

“Kira-kira tadi teh ada yang ngeliat nggak ya, Ris? Masalahnya posisi kita tadi teh bikin salah paham.”

Haris yang melihat muka panik Sabil langsung tertawa. “Kalem, kamu teh nggak liat itu? Mereka semua pada sibuk masing-masing. Lagian kalo ada yang liat juga emangnya kenapa? Kan lumayan nambah followers.”

“Ih kamu mah.” Sabil mencubit kecil perut Haris.

“Aduh sakit!”

“Udah ah aku mau cari temen aku.”

“Ih mau kemana? Ini jadi mau diajarin nggak?”

“Mau cari temen aku!”

“Sabil!”

Sabil tidak menghiraukan panggilan Haris, ia semakin mempercepat langkahnya untuk mencari Miwa. Haris hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya melihat aksi lucu Sabil.