199

Pintu mobil baru saja tertutup, Farel baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan Adys yang sudah duduk di kursi penumpang depan atas perintah Farel sendiri. Haris dengan terpaksa duduk di belakang menjadi saksi kedekatan keduanya.

“Ngomongin apa tadi sama ayah? Kok sampe ketawa-tawa gitu?”

Farel yang sibuk dengan memasang sabuk pengamannya langsung menatap ke arah Adys.

“Kata ayahnya teteh, nanti Farel suruh gandeng teteh terus pas di mall,” ucap Farel yang membuat Adys menepuk lengannya pelan. “Ngasal aja kamu mah!”

“Ih kok ngasal sih, teh, itu beneran tau!”

Aing nggak percaya!”

“Yeh, yaudah kalo nggak percaya, Farel juga bakalan tetep gandeng teteh disana. Biar nggak ilang.” Farel langsung menyalakan mesin mobilnya dan mulai menginjakkan gas mobilnya.

“Wey, inget ada aing disini ya, tolong tahu diri.” Haris memajukan posisinya menjadi berada di antara Adys dan Farel.

“Dih, maneh teh saha, sih? Ngapain di mobil aing? Ganggu orang berduaan aja!” ledek Farel.

“Tau ah, sebel banget! Mending aing pake earphone!”

Haris benar-benar langsung memasangkan earphonenya dan menyenderkan kepalanya ke pinggir pintu tanpa memperdulikan kedua insan yang berada di depan sana. Adys sempat melihat kebelakang untuk memastikan Haris, ia terkekeh melihat adiknya yang benar-benar mengabaikannya dan juga Farel.

“Teh,” Panggil Farel.

Adys menengok ke arah Farel, “Iya?”

“Si Haris nggak lihat kesini kan, teh?”

“Iya enggak, kenapa?”

“Mau nggak, teh?”

“Mau apa?”

Farel membuka kepalan tangannya, “Pegangan.”

“Kayaknya nyetir pake tangan satu seru juga teh, apalagi kalo satu tangannya pegangan sama teteh.”

“Kamu teh jangan bercanda!”

“Nggak ada yang bercanda, teh. *Aing teh beneran ini ngajak pegangannya.”

Sejujurnya, Adys sedang berusaha menahan malu. Agar pipinya tidak berubah warna menjadi merah muda.

“Mau nggak, teh?”

“Maneh teh serius, Rel?”

Farel mengangguk.

“Tapi kalo Haris udah berisik, langsung lepas ya? Malu.”

Farel terkekeh, “Aduh, teteh lucu banget!”

“Ih, kok malah ketawa.”

“Iya-iya, maaf atuh. Yaudah siniin tangan teteh.”

Adys langsung menuruti perintah Farel. Tidak lama setelah itu, jari-jarinya sudah terpaut dengan lima jari milik Farel. Jantungnya langsung berdebar. Pipinya memanas. Adys ingin teriak sekarang juga. Lain halnya dengan Farel, ia tidak bisa berhenti tersenyum sembari sesekali menatap ke arah jalanan dan jarinya juga jari milik Adys yang saling terpaut.

“Teh, ini mah kayaknya susah lepas.”

“REL KAMU TEH DIEMMMM!!!”