24

Adys sekarang sedang meberanikan diri untuk pergi menghadap Chandra, selaku ketua panitia acara cup sekolah. Ia benar-benar sudah pasrah jika nantinya Chandra akan memarahinya abis-abisan. Lagi pula ini juga salahnya.

Kini Adys telah sampai di depan kelas Chandra. Namun, saat ia menanyakan keberadaan Chandra, teman sekelas Chandra memberitahu bahwa Chandra belum tiba di sekolah. Hal itu membuat Adys melangkahkan kakinya menuju meja piket yang berada di lantai satu untuk menunggu Chandra. Setelah menunggu kurang lebih 15 menit-an, akhirnya Chandra memunculkan batang hidungnya. Adys langsung menahan Chandra.

“Adys? Kenapa, Dys?” Chandra kebingungan karena Adys yang tiba-tiba menahan tangannya.

“Ehm, anu, gini Dra…”

“Kenapa?” Chandra membawa Adys ke pinggir koridor, karena sebelumnya posisi mereka dapat menghalangi murid-murid yan berlalu-lalang di tengah koridor.

“Gini, sebelumnya gue minta maaf banget sama lo. Aduh, gimana ya ngomongnya?” Adys menggigit bibirnya, ia takut dengan respon Chandra nantinya. Walaupun sebelumnya ia sudah pasrah.

“Apa, Dys? Bilang aja.”

Adys memejamkan matanya, “File, surat izin hilang, Dra.”

Kedua bola mata Chandra membulat sempurna, “Kok bisa sih, Dis!”

“Gue—“

“Kan udah gue bilang, surat-surat atau berkas-berkas penting tuh langsung dipindahin ke flash-disk, kalo udah ilang gini kan repot!” Chandra meninggikan intonasi suaranya, membuat satu koridor memperhatikan mereka berdua.

“Udah, Dra. Gue udah pindahin semuanya ke flashdisk, tapi gue bener-bener nggak tau kenapa tiba-tiba filenya bisa ilang gitu.”

“Lo tuh teledor, Adys! seharusnya lo bisa cek dulu sebelum flashdisknya lo eject. Sekarang gimana? Jam 9 harus tetep rapat. Gue nggak mau tau, lo harus bikin surat izin untuk semua panitia.”

“Dra, mana sempet… Gue juga nggak bawa laptop. Kalo tulis tangan pasti nggak bakal diterima.”

“Udah gue bilang, gue nggak mau tahu! dari awal aja udah salah lo, lo yang tanggung jawab tentang masalah ini. Siapa suruh lo jadi sekretaris nggak becus banget.”

“Gue cabut. Pokoknya gue mau lihat semua panitia udah kumpul di ruang osis jam 9!” Chandra melengos pergi meninggalkan Adys seorang diri.

Tubuh Adys sudah gemetar, air matanya sudah membendung, namun tetap ia tahan agar air matanya tidak lepas dari benteng pertahanannya. Dadanya terasa sesak bukan main, ucapan Chandra barusan benar-benar menyakiti perasaannya. Ia tahu bahwa ini semua salahnya, tapi apa pantas Chandra berbicara seperti itu?

Tatapan mata murid-murid yang berlalu-lalang di koridor seperti mengasihani Adys. Adys yang kurang nyaman dengan tatapan itu langsung pergi menuju kelasnya. Tanpa disadari, sedaritadi seseorang yang sedang duduk bersender di bangku koridor mendengar semua percakapan mereka dengan satu tangannya yang mengepal kuat.