362
“Chatan sama siapa?” tanya Haris dengan mulut yang penuh dengan nasi nya.
Sabil langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya dan menaruh fokus kepada Haris. “Aghi.”
“Cuma ngasih selamat aja. Dia abis liat snapgram aku.”
Haris hanya mengangguk. “Makasih bilangin Aghi.”
“Iya nanti aku bilangin.”
“Eh, aku mau ke toilet sebentar boleh nggak?”
“Mau aku temenin?”
“Nggak usah, kan lagi makan.”
“Udah mau abis kok.”
“Nggak apa-apa kamu tunggu sini aja, nanti aku balik lagi,” final Sabil.
Haris pasrah dan akhirnya mengiyakan Sabil yang ingin pergi ke toilet dengan seorang diri. Sabil langsung melangkahkan kakinya menuju toilet yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdua sarapan.
Selesai dengan tujuannya untuk ke toilet, ia berniat untuk kembali menghampiri Haris. Namun, langkahnya terhenti karena laki-laki yang menghalangi jalannya.
Sial, batin Sabil saat melihat siapa laki-laki itu. Sabil sedikit panik karena disini cukup sepi dan tidak banyak orang yang berlalu lalang.
“Punten kang, mau lewat.”
“Sendirian aja?” tanya nya.
Sabil tidak menjawab.
“Mau ditemenin nggak?”
“Eh nggak usah kang, udah mau balik kok.”
“Nggak apa-apa, ayok aku temenin baliknya,” ajak laki-laki itu.
“Gapapa kang, bisa sendiri.”
Tanpa basa-basi lagi, laki-laki itu langsung memegang pergelangan tangan Sabil kencang dan mengajak Sabil untuk berjalan bersamanya. Sabil yang terkejut langsung meminta laki-laki itu untuk melepaskan tangannya.
“Kenapa sih?”
“Maaf kurang nyaman kang, tolong lepasin kang.”
Laki-laki itu tidak menghiraukan permohonan Sabil. Ia tetap terus membawa Sabil pergi dari tempat sebelumnya.
“Kang, tolong lepasin.”
“Ngobrol bentar doang emangnya nggak mau?”
“Tendra!” teriak seseorang dari belakang.
Sabil dan Tendra menoleh bersamaan. Sabil langsung merasa lega setelah melihat siapa yang berdiri disana.
“Nggak bisa bahasa manusia?”
“Ck. Ganggu aja,” ucap Tendra.
“Lepasin tangan cewek aing sebelum aing beneran emosi ya, Dra.”
“Cewek maneh? Nggak usah ngaku-ngaku lah, malu sama Sabil.”
“Lagian emangnya kamu mau sama si Haris, Bil?”
“Maaf kang, tapi saya teh beneran ceweknya Haris.”
Tendra melirik ke arah Sabil yang baru saja menyatakan pengakuannya sebagai kekasih Haris. Haris yang mendengar itu hanya bisa tertawa melihat ekspresi Tendra yang sedang menahan malu. Emosi Tendra sudah tidak terkendali, karena merasa kesal dengan pengakuan Sabil juga Haris yang baru saja menertawakannya, ia langsung mendorong Sabil ke arah Haris.
“Tuh, aing balikin cewek maneh yang sok jual mahal itu. Aing udah nggak minat!”
Tendra langsung berjalan meninggalkan keduanya dengan napas yang tidak teratur.
“Kurang ajar!” teriak Haris.
“Woi Tendra!”
Sabil menepuk pelan bahu Haris. “Udah.”
“Nggak bisa dibiarin Bil, aku nggak terima kamu dibilang begitu apalagi segala dorong kamu!”
Jujur saja, sebenarnya Sabil sedikit kesal dengan ucapan Tendra yang seperti merendahkan dirinya. Tapi, karena merasa dirinya bukan seperti itu, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya dan mengabaikan ucapan laki-laki itu.
“Udah… Nggak apa-apa. Mending balik ke tenda yuk, abis ini masih harus masukin barang-barang kan?”
“Sakit nggak tangannya? Aku liat Tendra megangnya kenceng banget.”
Sabil melihat ke arah pergelangan tangannya yang sedikit memerah. “Nggak kok, biasa ini mah.”
“Sini tangannya.”
“Mau apa?”
“Siniin aja sebentar.”
Kedua bola mata Sabil membulat ketika Haris yang tiba-tiba saja meniupi pergelangan tangannya. “Kok ditiup?”
“Biar ilang bekas jurignya.”
“Haris kamu ih parah!!!”
Haris terkekeh dan langsung menaruh tangannya di pundak Sabil. “Yuk, balik.”
“Tangannya.”
“Nggak apa-apa, nanti kalo udah keliatan orang baru lepas,” ucap Haris yang langsung dihujani cubitan kecil di perutnya oleh Sabil.