Alarm yang telah Nina pasang semalam tidak berhasil membuat ia bangun lebih awal. Nina sangat yakin bahwa ia telah memasang banyak waktu di alarm ponselnya, tapi ia sama sekali tidak mendengar bunyi dari alarm tersebut. Karena sudah terlambat beberapa menit, Nina langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya tanpa menghiraukan notifikasi yang terus berbunyi dari ponsel yang sedang ia genggam. Ia yakin seratus persen bahwa itu semua adalah notifikasi yang dikirimkan oleh teman-temannya untuk menyuruhnya agar segera datang ke sekolah.

Good morning, nyenyak banget tidurnya sampe nggak denger alarm bunyi dua belas kali.” Kian menyapa sang adik yang baru saja tiba di ruang makan.

Nina mendengus kesal sembari menggigit roti lipat yang sudah tersedia di atas meja makan. “Mas kok denger alarm Nina bunyi, tapi nggak bangunin Nina?”

“Udah! tapi kamar kamu dikunci, gimana mas mau masuk buat bangunin kamu?”

“Yaa, Oke, salah Nina. Yaudah ayok berangkat sekarang, Nina udah telat banget ini!” seru Nina sembari menarik pergelangan tangan Kian.

Kian langsung bangkit dari duduknya dan mengambil kunci mobil yang menggantung di atas meja marmer sebelah meja makan.

“Masuk duluan aja ke mobil, mas mau bangunin Kenan.”

Nina mengangguk sembari membawa koper yang dari semalam sudah ia tarih di bawah.

Tanpa menunggu lama, pintu mobil terbuka menujukkan sosok Kian yang langsung duduk di kursi kemudi. “Pake seatbeltnya, Nin.”

Nina yang sedaritadi sedang asyik membaca notifikasi pesan dari teman-temannya itu, langsung menaruh ponselnya dan segera mengikuti perintah sang kakak. Setelah itu, ia kembali membaca tumpukan notifikasi dari teman-temannya yang meminta Nina untuk segera datang agar tidak tertinggal bus nomor awal.

“Aduh... Ini sih fix kedapetan bus nomor akhir,” celetuk Nina sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Ucapan Nina barusan berhasil membuat Kian mengalihkan fokusnya, “Santai. Mas Kian siap anterin kamu sampe ke Cikole kalo semisalnya kamu ditinggal bus rombongan.”

“Yeh, itu mah maunya Mas Kian biar nggak pergi ngampus!”

Kian terkekeh, “Jangan bilang Ayah, hari ini mas mau absen.”

Mata Nina langsung melotot tidak percaya ke arah Kian, “Ih... Mau kemana?”

“Jalan sama temen, capek kali kuliah terus,” jawab Kian dengan santai.

“Cih, tidak patut.”


Suara jam wecker berhasil membuat Iyal membuka kedua kelopak matanya, matanya belum sepenuhnya terbuka sempurna. Iyal langsung melotot sembaru turun dari tempat tidurnya.

“Anjir jam 7?!” Iyal langsung berlari ke arah toilet.

Setelah membersihkan diri, Iyal langsung buru-buru berpamitan kepada kedua orang tuanya sembari menggit satu helai roti tanpa selai.

“Ayah, Bunda, Iyal jalan yaa…”

Motornya berlaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Sebenarnya ini bukanlah hal yang dapat kita lakukan. Tapi, dikarenakan ia sedang telat dan buru-buru, mau tidak mau ia harus melakukan itu.

tin tin

“Aduh lama banget sih ini lampu merah!”

“Elah, ini mobil siapa sih jalannya lelet banget?” Iyal hanya bermonolog sembari menunggu lampu lalulintas berubah menjadi warna hijau.


Setelah menghabiskan beberapa menit diperjalanan, kini mobil milik kakaknua sudah terparkir bebas di halaman sekolah yang sudah lama tidak ia kunjungi. Betul!, Kian merupakan salah satu alumni di sekolah ini.

Nina membuka pintu mobil dan langsung menampakkan kaki di halaman luas sekolahnya dengan Kian yang juga ikut turun dari mobil dan menyusul langkah sang adik.

“Mas ngapain sih ikut turun?” tanya Nina heran.

“Bawel ah, udah jalan aja. Tuh, pintu bus nya udah mau ditutup.” Kian menunjuk ke salah satu bus yang memang terlihat seperti sudah memenuhi kapasitas.

Karena penasaran, Nina kembali memutarkan badannya dan melihat ke arah bus yang ditunjuk oleh kakaknya tadi. Nina yakin seratus persen bahwa bus itu merupakan bus yang dinaiki oleh teman-temannya. Jadilah ia langsung berlari menuju bus tersebut dan tidak lupa mengucapkan salam perpisahan kepada kakknya tanpa menghiraukan balasan dari sang kakak. Sedangkan Kian, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari menatap kepergian adiknya sampai akhirnya ia juga ikut meninggalkan halaman sekolah tersebut.

Langkah Nina semakin kencang ketika salah satu gurunya mengumumkan dari kejauhan bahwa bus tersebut masih bisa menampung satu penumpang. Nina benar-benar sangat berambisi untuk memperebutkan kursi tersebut agar dirinya tidak terpisah oleh kedua temannya. Namun sangat disayangkan dirinya harus bersentuhan dengan tanah akibat laki-laki yang tidak sengaja menabraknya dari sisi samping kanan.

Bruk

“Aduh!”

“Woy! kalo jalan tuh liat-liat kek,” teriak Nina.

Laki-laki itu tidak menghiraukan ucapan Nina dan langsung berlari meninggalkan Nina yang masih dengan posisi jatuhnya. Nina mendengus kesal, bagaimana bisa ada orang yang sama sekali tidak tahu kata 'maaf'.

Nina bisa melihat jelas laki-laki itu berlari seakan-akan ingin mengalahkan dirinya untuk bisa masuk ke dalam bus itu untuk mendapatkan kursi yang menurut Nina merupakan kursi limited.

Sial. Ia berdecak sebal karena melihat pintu bus itu telah tertutup sempurna setelah laki-laki yang tadi menabraknya berhasil masuk ke dalam sana.

“Nyebelin banget, seharusnya gue yang masuk kesana!”

Mau tidak mau, Nina harus berpisah dengan kedua temannya yaitu Aro dan Gael dikarenakan dirinya tidak berhasil mendapatkan kursi limited tersebut. Nina kembali melangkahkan kakinya menuju bus yang tepat berada di belakang bus yang sebelumnya ingin ia naiki. Perasaan Nina saat ini sangat tidak bisa dideskripsikan. Ia hanya ingin memberikan umpatan kepada laki-laki yang tadi menabraknya.

“Apes banget. Liat aja, gue bakal cari itu cowok nyebelin!” batinnya.