Biasanya Aluna paling semangat untuk menghadapi hari sabtu, tapi tidak dengan hari ini. Mengetahui bahwa hari ini merupakan hari terakhir ia bisa menatap kedua mata sang kekasih membuat ia enggan untuk mengembangkan senyumannya.
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, kini Aluna sudah berada di mobil milik Angga bersama Alfi dan Nasywa. Angga kembali menyalakan mesin mobilnya yang sebelumnya berhenti dan melanjutkan perjalanan menuju Bandara. Selama diperjalanan, Aluna ditemani oleh Nasywa yang ikut duduk di belakang bersamanya. Alfi dan Angga saling bertukar lelucon yang sesekali membuat Aluna dan Nasywa tertawa.
Sebenarnya saat ini perasaannya benar-benar tidak karuan. Di satu sisi ia senang karena akhirnya Abrams bisa melanjutkan studinya di universitas yang memang sudah menjadi mimpi laki-laki itu. Namun di sisi lain, ia merasa khawatir dengan keharusannya dengan Abrams untuk menjalani hubungan jarak jauh. Nasywa yang melihat raut muka Aluna berbeda dari sebelumnya langsung memegang tangan sahabatnya itu. “Senyum dong, masa mau ketemu Kak Abam muka lo sedih begitu.”
“Mikirin apa sih?”
Aluna menggeleng. “Enggak kok, cuma khawatir dikit.“
Angga yang menyimak obrolan antara kedua sahabat itu langsung ikut menimbrung. “Pasti khawatir sama hubungan lo sama Abam kedepannya ya, Lun?”
“Ya gitu,” sahut Aluna dari belakang.
“Emang sulit sih dan pasti banyak godaannya, tapi gue yakin Abam orangnya nggak gampang goyah. Gue tau seberapa sayangnya dia sama lo, gue sama Alfi udah jadi saksi kisah cinta itu anak dari jaman SMP, Lun. Dia orangnya nggak pernah macem-macem.”
“Sekarang mending lo tarik napas, buang pikiran aneh-aneh lo dan fokus untuk ketemu Abam nanti,” pinta Angga.
Aluna merasa beruntung bisa berada di dekat orang-orang yang sangat baik dan peduli padanya. Ucapan Angga barusan sukses membuat hatinya terasa lebih lega dari sebelumnya.
“Idih si najis tumben banget bisa bijak begitu,” ucap Alfi tiba-tiba.
“Si anjir, turun lo!”
Aluna dan Nasywa pun tertawa melihat perdebatan kecil antara kedua sahabat itu.
Beberapa jam kemudian, akhirnya mereka semua sudah tiba di Bandara International Soekarno-Hatta. Baru melangkahkan kaki berapa langkah saja, Aluna sudah merasakan nyeri pada perutnya dan juga jantungnya yang tiba-tiba berdebar tidak seperti biasanya, mungkin karena gugup. Ia sendiri pun tidak paham mengapa dirinya merasa segugup ini.
“Abam di terminal berapa dah? Kita kayak orang ilang gini,” ucap Alfi.
Angga yang memimpin jalan tiba-tiba bersuara. “Nah itu tuh anaknya,” tunjuk laki-laki itu.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Aluna bisa melihat Abrams yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahnya dan teman-temannya. Melihat Abrams disana semakin membuat Aluna merasa gugup bukan main.
“Bisa Lun, pasti bisa,” ucapnya dalam hati.
Nasywa yang melihat Aluna sedikit gugup langsung menggenggam tangan sahabatnya dan membawa Aluna untuk terus berjalan ke depan.
“Halo,” sapa Abrams kepada Aluna yang berada dibalik tubuh Alfi.
“Kenapa ngumpet di belakang Alfi? Sini sama aku.”
Gadis itu langsung bergeser dan menghampiri Abrams. “Maaf, nggak tau kenapa tiba-tiba gugup, kayak waktu awal pacaran,” ucap Aluna sembari terkekeh.
Abrams ikut terkekeh mendengar pengakuan dari Aluna. “Bisa aja.”
“Mau ke mama sama papa nggak?” tanya Abrams.
“Yuk.”
Keduanya langsung menghampiri mama dan papa Abrams yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Aluna memang sudah akrab dengan kedua orang tua Abrams karena sering bertemu jika kedua orang tua Abrams sedang tidak sibuk, namun tetap saja rasa tidak enakan Aluna kadang suka datang begitu saja.
“Eh ada Aluna,” ucap pria yang tidak terlalu tua.
“Aduh anak mama cantik banget, apa kabar sayang?”
“Halo pa, ma, kabar Aluna baik. Mama sama papa gimana?”
“Mama baik, papa juga baik.”
“Mama sama papa ikut Kak Abam juga?” tanya Aluna.
Wanita yang berpakaian elegant namun tetap sederhana itu tersenyum dan memegang bahu Aluna.“Nggak sayang, mama sama papa masih ada kerjaan jadi cuma anter sampe airport aja. Paling minggu kedua baru mama sama papa samper ke Malang.”
Aluna mengangguk paham. Kedua orang tua Abrams ini bisa dibilang workaholic. Tapi, kasih sayang mereka untuk Abrams tidak pernah lupa, sesibuk apapun mereka setidaknya masih sempat untuk menyempatkan urusan keluarga atau anaknya.
“Yaudah, udah ketemu sama mama dan papa kan? Ayo balik kesana lagi.”
Keduanya langsung berpamitan dengan kedua orang tua Abrams dan kembali menghampiri Alfi, Angga dan Nasywa.
“Gimana bro, udah siap ditatar kating?”
“Seharusnya lo tanya ke diri lo sendiri Ngga, siap nggak kena omel kating?“ Abrams tertawa.
Alfi yang berada di samping Abrams yang terkekeh. “Angga kalo kena omel kating pasti langsung misuh ke kita, Bam, liatin aja nanti.”
“Anjir lo berdua!”
Perdebatan antara ketiga sahabat itu cukup menjadi perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.
“Mending kalian bertiga pelukan deh, bentar lagi kan bakalan jarang ketemu, nanti bakalan nggak ada lagi yang kalo jalan harus berjejer bertiga gitu,” pinta Aluna.
Suasana langsung hening. Abrams, Alfi, dan Angga saling bertatapan tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Tiba-tiba saja, tanpa di duga, Abrams yang lebih dulu untuk membawa kedua sahabatnya ke dalam pelukannya. Alfi dan Angga terkejut. Bagaimana tidak? Disejarah pertemanannya, Abrams merupakan orang yang sangat anti untuk memeluk kedua temannya lebih dulu.
“Maafin gue kalo belum bisa jadi temen yang baik ya, maafin gue kadang suka bikin lo berdua kesel. Ngga, maafin gue ya karena suka ngeledekin lo. Fi, maafin gue karena gue selalu ngerepotin lo pas mau belajar buat utbk. Pokoknya maaf—“
“BACOOOOTTTTTT!” teriak Angga.
“Nggak usah minta maaf kayak gitu lah anjing! Lo kayak mau ngapain aja sih, nggak suka deh gue.”
Aluna dan Nasywa masih tetap berada di depan keduanya, menyaksikan ketiga sahabat sejoli yang saling beradu mulut itu.
“Tau lo! Gue paling males deh kalo udah kayak gini. Mending nggak usah acara peluk-pelukan gini deh,” sahut Alfi.
Abrams terkekeh melihat tingkah teman-temannya sembari melepaskan pelukannya. “Ampun… Jangan marahin gue gitu dong, kita bakalan jarang ketemu loh, nanti lo berdua kangen kan repot.”
Angga dan Alfi hanya memasang muka meledeknya ke arah Abrams.
“Udah gih mending lo puas-puasin berduaan sama Luna sebelum berangkat,” ujar Alfi sembari mendorong tubuh Abrams agar mendekat ke arah Luna.
Aluna yang merasa disebut namanya langsung tersenyum kikuk. Abrams langsung mengajak Aluna untuk duduk di kursi yang letaknya juga tidak jauh dari tempat sebelumnya.
“Gimana? Masih gugup nggak?” tanya Abrams.
Aluna menggeleng dan langsung menghindari untuk berkontak mata dengan Abrams.
“Kok nggak mau lihat ke aku, kenapa?”
Awalnya Aluna tidak menjawab apa perkataan Abrams dan tetap terus untuk menunduk. Tapi Akhirnya ia memberanikan untuk membuka suara dan menatap kedua mata laki-laki yang ada di depannya. “Takut sedih.”
“Kenapa? Kalo mau nangis jangan dipaksa Luna, mumpung masih bisa nyender di pundak aku nih.” Abrams memegang kedua bahu gadis itu.
“Aku nggak mau bikin kamu juga ikutan sedih buat ninggalin Jakarta, aku maunya tuh kamu berangkat dan sampe ke Malang dengan perasaan happy.”
Hening, tidak ada obrolan apa-apa lagi setelah ucapan Aluna barusan. Senyuman Abrams mengembang sembari menatap lekat bola mata gadis yang berada di depannya saat ini. Ia benar-benar merasa beruntung untuk mendapat kekasih seperti Aluna.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Tangannya ia sempatkan untuk mengelus puncak hingga ke belakang kepala gadis itu. “Lun, makasih ya. Aku nggak tau bakalan gimana kalo misalnya dulu kamu nggak bawel buat ngechat-in aku, kayaknya hari-hari aku bakalan biasa-biasa aja sih kalo pacar aku bukan kamu. Tapi untungnya kamu bawel dan nggak nyerah. Aku beneran beruntung banget bisa sama kamu sampe sekarang, pokoknya makasih karena dulu kamu nggak pernah nyerah buat bawel ke aku sampe bisa bikin aku naksir juga.”
“Kak jangan mulai deh….”
“Aku serius Lun.”
Di tengah-tengah perbincangan keduanya, panggilan untuk jadwal keberangkatan maskapai tujuan Malang yang pasti ditujukan untuk Abrams dan penumpang lainnya dengan tujuan yang sama sudah diharuskan untuk segera masuk ke gate keberangkatan. Abrams langsung melepaskan pelukan Aluna dan bangkit dari dudukunya, semua teman-temannya dan kedua orang tuanya juga mendekat untuk mengucapkan selamat tinggal dan hati-hati untuk Abrams. Di peluknya lagi satu persatu siapa yang hadir disana untuk berpamitan dengannya. Sampai di akhir, giliran Aluna, ia peluk lagi gadis cantik dengan rambut sebahu dan tidak lupa juga ia meninggalkan kecupan singkat di kening gadis itu.
“Jangan telat makan dan semangat belajarnya ya agit!” Abrams menaruh kedua tangannya di kedua pipi gadisnya.
“Lun, aku pergi kesana untuk belajar jadi aku nggak sempet ngelakuin hal-hal yang kamu takutin, jadi jangan terlalu dibawa pikiran, ya?”
“Aku berangkat ya,” pamit Abrams kepada Aluna.
Aluna mengangguk dan melambaikan tangannya ke arah Abrams yang kini sudah bersiap-siap untuk keberangkatannya.
“Jangan sedih ya, nanti aku bilangin ke Chenle hyung buat nemenin kamu selama aku di malang!” teriak Abrams sembari membalikkan badannya dan memberikan heart sign di atas kepalanya.
Aluna hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa melihat aksi kekasihnya yang kini sudah semakin jauh dari pengelihatannya.
“Sampai bertemu lain waktu Kak Abam!” ucapnya dalam hati sembari tersenyum.