it turns out to be love
“Gue cabut duluan, bro!”
“Lah tumbenan, mau kemana lo?”
Abam tidak menghiraukan ucapan Alfi barusan. Ia memilih untuk meninggalkan kelasnya untuk menemui Aluna.
Muka Abam hari ini dua kali lebih cerah dari biasanya, ia benar-benar sedang merasakan jatuh cinta sekarang. Biasanya para siswa SMA 2 otomatis menghindar jika Abam melewati lorong kelas dikarenakan terlalu takut dengan ekspresi dan tatapan membunuh Abam, padahal Abam hanya lewat dan memang tidak ingin mencari gara-gara. Namun, kali ini mereka semua dibuat heran karena Abam yang memamerkan senyuman manisnya selama ia berjalan menelusuri lorong kelas.
Sedangkan Aluna, ia baru saja memasukkan buku-buku pelajarannya, teman sebangkunya yaitu Nasywa, sudah lebih dulu meninggalkannya karena ada jadwal les piano. Jadilah sekarang hanya Aluna dan beberapa teman sekelasnya yang masih berada di dalam kelas. Saat ingin menutup resleting tasnya, Aluna dibuat terkejut oleh kehadiran Abam. Abam baru saja sampai di kelas Aluna dengan senyuman manis yang masih terukir diwajahnya.
“Ayo, pulang,” ajak Abam.
“Kak, seriusan kah ini?” Aluna kira Abam tidak serius dengan pesan yang tadi sempat dikirimkan oleh Abam melalui aplikasi chat.
“Emangnya aku keliatan lagi bercanda ya, Lun? Aku tuh serius, ayo pulang bareng sama aku.” Abam langsung menarik tangan Aluna untuk segera meninggalkan ruang kelas. Jangan tanyakan kondisi Aluna sekarang, tentu saja jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
Keduanya benar-benar pergi meninggalkan kelas Aluna dan berjalan melewati loronhg kelas dengan tangan yang saling bertautan. Seketika, semua perhatian menuju ke arah mereka berdua, berbagai macam reaksi yang mereka dapatkan. Dari tatapan gemas akan kedekatan Aluna dan Abam, sampai tatapan tidak suka yang ditunjukkan oleh penggemar Abam. Tatapan tidak suka pun mulai mengganggu Aluna. Abam yang melihat Aluna kurang nyaman langsung merangkul Aluna, situasi sekarang semakin membuat Aluna tidak nyaman. Bukan karena rangkulan Abam, namun tatapan orang-orang yang menurutnya itu seakan ingin membunuhnya.
“Tenang, gue ada disamping lo, nggak perlu worry,” bisik Abam.
Sekarang Abam dan Aluna sudah berada di parkian belakang sekolah. Tentu saja disini sangat ramai. Parkiran belakang sekolah ini selalu ramai dengan sekumpulan anak-anak yang malas pulang kerumah, alias lebih memilih untuk menongkrong sejenak sembari menghabiskan satu puntung rokok.
“Jangan ikut masuk, kamu tunggu di depan gerbang parkiran aja.”
“Kenapa kak?“
“Rame, banyak cowok. Diem disini, ya? Aku cuma sebentar kok ambil motornya.”
Aluna hanya mengangguk menuruti apa kata Abam. Abam langsung meninggalkan Aluna untuk mengambil motornya di dalam sana. Tidak lama setelah itu, Abam datang dengan motor vespa hitam kesayangannya. Ia bunyikan klakson motornya dua kali ke arah Aluna.
tiin tiin
Aluna yang sedang asyik dengan ponselnya langsung menengok ke arah sumber suara.
“Ayo, naik. Udah kangen nih jok belakang motorku karena udah lama nggak didudukin sama Luna.”
Luna otomatis menepuk lengan Abam, “Gombal ah, Kak!”
Abam hanya terkekeh.
Aluna pun naik dengan sangat hati-hati, ia mulai memegang kedua pundak milik Abam dan kemudian duduk dengan sempurna di atas jok motor Abam. “Pegangan,” ucap Abam ketika melihat Aluna yang sudah duduk dengan sempurna diatas jok motornya.
Luna sedikit memajukan kepalanya agar Abam bisa mendengar ucapannya, “Udah, Kak.”
Abam tidak merasakan apa-apa dipinggangnya, tidak ada sesuatu yang melingkar disana. “Disini, Lun,” ucapnya sembari menarik tangan Aluna dan ia arahkan ke pinggangnya. “Jangan pegangan disitu lagi, udah kayak naik ojek aja!”
“Lah, kemaren kamu marah, Kak, pas aku pegangan dipinggang Kakak,” gerutu Aluna.
“Sekarang nggak, kan bentar lagi jadi pacar.”
Aluna mati kutu, tidak bisa menanggapi ucapan Abam. Muka Aluna seketika memerah, ia benar-benar dibuat salah tingkah oleh ucapan kakak kelas nya barusan.
Motor Abam kini sudah melaju. Abam membawa motor dengan sangat santai, seakan-akan menyuruh Aluna untuk menikmati perjalan ini.
“Lun,” panggil Abam.
“Kenapa, Kak?”
“Mau mampir dulu, nggak?”
“Mampi kemana?” tanya Aluna.
Abam melirik ke arah spion agar bisa melihat Aluna dengan jelas, “Mam bakso, perut aku bunyi, minta makan. Kamu mau, nggak?”
“Yaudah ayok, boleh.”
Abam tersenyum setelah mendengar jawaban dari Aluna, ia pun langsung buru-buru melajukan motornya ke tempat bakso langganannya.
“Ayok, udah sampe.”
Aluna pun segera turun dan mengikuti langkah Abam.
“Mau pesen apa?”
“Apa aja Kak, disamain aja sama pesenan Kak Abam, hehe.”
“Yaudah, tunggu dimeja sana, tuh,” tunjuk Abam. “Aku nggak lama, kok.”
Aluna segera menuruti perintah Abam dan langsung duduk di meja tersebut.
“Anjir! ini gue berasa pacaran sama dia,” batin Aluna.
Lima menit berlalu, kini Abam sudah datang dengan membawa satu nampan yang berisi dua mangkuk bakso.
“Waaah, terima kasih!” ucap Aluna.
Abam hanya tersenyum dan duduk di depan Aluna. Mereka berdua mulai melahap bakso yang tadi sudah dipesan. Saat Aluna sedang ingin melakukan suapan kedua tiba-tiba Abam menatap ke arahnya dengan tatapan penuh arti.
“Kenapa, Kak? Kok ngeliatinnya gitu?”
“Cantik.” Ucapan Abam barusan sukses membuat Aluna tersedak. Abam langsung memberikan satu botol air mineral kepada Aluna. “Minum, salting aja sampe keselek gitu.”
“Siapa suruh kalo ngomong asal banget! Aku kan kaget, jadinya keselek.”
“Iya, iya maaf... Ngomong-ngomong, gimana soal pertanyaan aku yang tadi dichat? diterima nggak ajakannya?”
“Kak, kamu tuh ngajak pacaran udah kayak ngajak beli permen, gampang banget!”
“Biarin, kan aku beneran suka kamu, kalo nggak diajak sekarang nanti keduluan sama orang-orang yang suka sama kamu. Lagian mendingan aku ngajak pacaran kamu daripada aku ngajak Ellen, hayo, gimana?” Abam menaikkan satu alisnya.
“Ya, jangan!”
“Nah, yaudah. Sekarang mau nggak kalo aku ajak pacaran?” tanya Abam dengan serius.
“Kak, kamu nggak lagi main taruhan atau truth or dare, kan?”
Mata Abam membulat, bisa-bisanya gadis didepannya saat ini mempunya pikiran seperti itu kepadanya. Karena merasa bahwa dirinya bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main dengan perempuan, Abam langsung menyentil dahi Aluna yang tidak begitu kencang. “Aw...” Aluna meringis sembari mengelus-elus dahinya.
“Sembarangan! aku bukan cowok kayak gitu tau, Lun. Aku tuh emang beneran suka sama kamu, tapi malu dan gengsi aja, sih... Jadi nggak berani nujukkin kalo sebenernya tuh aku suka sama kamu. Tapi asal kamu tau aja, bekel kamu tuh selalu aku makan. Aku nggak pernah nggak makan bekel buatan kamu, aku yang nyuruh Alfi sama Angga buat bohong, haha... Maaf ya, tapi asli deh, bekel kamu enak-enak, aku suka!”
“Aku juga selalu merhatiin kamu kalo kamu lagi ke kantin, tapi kamunya nggak sadar aja. Terus aku nggak pernah ngerasa kamu ngeganggu aku dengan chat yang setiap hari kamu kirim, apalagi stiker-stiker jelek kamu itu, haha. Aku suka dichat kayak gitu sama kamu,”
“Sama, oh iya... Aku minta maaf ya sama kamu karena tadi pagi kasar banget bales chatnya. Jujur, itu aku lagi kesel bange, Lun. Sepatu futsal ku basah padahal mau dibawa hari itu juga. Terus, pas banget kamu ngechat, jadinya kamu yang kena deh... Maaf ya, Luna,”
“Haha, ini aku bawel banget ya ngomong mulu... Yaudah deh, jadi gimana, nih, udah percaya belum? Mau nggak, jadi pacarnya Abam?” Abam memegang dagunya dengan telunjuk terangkat ke atas sembari menunggu jawaban dari Aluna.
Aluna mengangguk, “Iya, Luna percaya.” Luna mencoba untuk menatap mata Abam, “Luna juga mau jadi pacar Kakak.” Setelah itu, Luna memutus kontak mata keduanya karena ia benar-benar tidak kuat untuk menatap mata Abam lama-lama.
Perasaan Abam saat ini senang bukan main, ia refleks mengucapkan “Yes” dihadapan Aluna.
“Jadi, sekarang pacaran nih?” tanya Abam memastikan. Aluna mengangguk sembari tersenyum malu.
“Kak, kok aku mendadak cupu gini ya... Padahal kalo aku lagi gombalin kamu tuh, nggak pernah se-deg-degan ini, tapi kali ini aku cupu banget, maaf banget.” Aluna membuang muka karena malu. Pipinya juga sudah memanas dan sudah memerah.
Abam terkekeh, “Aduh, lucu banget sih pacar Abam pipinya merah gitu.”