Iyal meninggalkan tenda dengan perasaan gusar akibat percakapannya dengan Isyila tadi. Namun, ia sama sekali tidak ingin memikirkannya. Sudah biasa bagi Iyal melihat Isyila berpergian dengan Kemal. Saat keluar dari tenda, Iyal langsung disambut oleh kedua temannya, Syauqy dan Farhan.
“Woy, muka lo murung aja. Isyila lagi?” tanya Farhan sembari merangkul pundak Iyal.
Iyal mengangguk.
“Udah gua bilang, putusin aja si Isyila. Tuh, Lo liat, cewek SMANDA tuh cantik-cantik, Yal. Liat tuh, si Safeera… Cantik, jomblo, nggak repot kayak ce—ADUH! kok gue dijitak sih, Yal?” Farhan mengelus-elus kepalanya yang sebelumnya menjadi sasaran kekesalan Iyal.
“Lo ngomong enak banget, An! coba sini lo yang jadi gue. Kalo segampang itu buat minta putus sama Icil, gue juga udah minta putus!”
“Udah… Udah… Nggak usah lo dengerin tuh omongan si Aan, mending sekarang cepetan ke lapangan. Lo berdua nggak denger, tuh, si ketos udah berisik banget neriakin kita buat cepet-cepet ngumpul?” jelas Syauqy.
“Ah osis bacot, sok paling keren!!!” seru Farhan.
Nina berjalan seorang diri menuju lapangan sesuai dengan pesan yang dikirimkan oleh teman satu tendanya, Fayla. Daritadi Nina sama sekali tidak melihat batang hidung kedua temannya yaitu, Gamalael dan Zaro. Nina sempat berpikir bahwa mereka berdua benar-benar melupakan bahwa dirinya juga mengikuti acara perkekemahan ini. Ia tampak seperti orang yang kehilangan arah karena berjalan seorang diri tanpa tau arah tujuan. Tempat ini sangat luas, hal itu membuat Nina lupa dimana letak lapangan utama yang sebelumnya dipakai untuk upacara pembukaan. Ia berjalan sembari menghubungi Fayla dengan mengirimkan beberapa pesan kepada temannya itu.
“Aduh, Fayla kok Nggak ba—Aw!”
Nina baru saja bertabrakan dengan seseorang. Nina benar-benar ingin marah sekarang juga. Tadi pagi ia harus bertabrakan dengan seseorang, sekarang bahunya juga baru saja tertabrak oleh orang lain. Nina sempat membuang napasnya kasar, ia sisir rambutnya kebelakang guna untuk merapihkan tampilannya yang tadi sempat berantakan akibat terguncang oleh laki-laki tinggi yang menabrak bahunya.
“Bisa nggak kalo ja—Kak Aden?”
“Nina?”
“Eh, sorry-sorry Nin, gue nggak sengaja. Beneran nggak sadar kalo ternyata lo yang gue tabrak. Maaf, lagi buru-buru banget soalnya.”
Nina masih mematung, laki-laki yang sebelumnya ia bicarakan dengan Fayla benar-benar berdiri dihadapannya. Mungkin setelah bertemu dengan Fayla nanti, ia akan memberitahu kepada Fayla agar harus berhati-hati dalam mengetik atau berbicara. Aden yang melihat Nina tidak berkutik langsung melambai-lambaikan tangannya kedepan wajah milik Nina.
“Nin, hey, lo nggak apa-apa?”
Nina langsung tersadar dari lamunannya, “Eh—Nggak apa-apa kok, kak.”
“Oh syukurlah, panik gue.”
Nina tersenyum canggung, “Kak Aden mau ke lapangan juga?”
“Iya, lo juga?” tanya Aden. Nina mengangguk, “Iya, kak.”
“Oh yaudah, kalo gitu bareng aja.”
“Gimana, kak?”
“Kita ke lapangannya bareng. Berdua. Mau, nggak?”
Nina ingin teriak sekarang juga, tidak tahu kenapa jantungnya berdegup dengan sangat kencang setelah Aden mengajaknya untuk pergi bersama menuju lapangan. Aden lagi-lagi menanyakan pertanyaan terakhirnya untuk kedua kalinya, “Nin, mau nggak? kok malah bengong?”
“Eh, iya mau, kak.”
“Yaudah, ayok,” ajak Aden.
Aden langsung menyamakan jaraknya dengan Nina, keduanya langsung berjalan menuju lapangan dengan bersebelahan.
Sesampainya disana, Aden dan Nina langsung berpisah karena berbeda barisan.
“Makasih ya, kak.”
“Makasih terus, Nin, Mending bilang makasihnya pake nomor telepon lo.”
“Khanina, buruan masuk barisan kelas 11,” ucap salah satu osis yang tiba-tiba datang dari depan.
“NANTI YA KAK KALO KITA KETEMU LAGI.” Nina berteriak ke arah Aden yang membuat Aden tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Aden membalas ucapan Nina dengan mengacungkan jempolnya. Nina langsung berjalan menuju barisan kelasnya dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Fayla yang melihat Nina dari kejauhan langsung buru-buru memanggil Nina untuk segera masuk ke dalam barisan.
“Nin, itu tadi Kak Aden kan?” tanya Fayla dengan antusias. “IYAAAA.”
“Ih ketikan gue manjur! bener aja kan, lo beneran ketemu Kak Aden!”
“Ketikan lo bahaya banget, anjir! besok lo harus hati-hati deh.” Keduanya terkekeh dan langsung menyamakan barisannya dengan barisan yang ada disebelahnya.
Ketua osis memasuki podium yang telah disediakan. Kali ini si manusia gila matematika yang dikenal sebagai Reza, tidak akan membacakan peraturan sekolah, melainkan kegiatan yang akan dilanjutkan setelah ini.
“Setelah ini, kita akan melaksanakan kegiatan ishoma terlebih dahulu, selanjutnya akan dilaksanakannya kegiatan api unggun dan jurit malam. Diharapkan seluruh siswa kelas 10 dan kelas 11 langsung berkumpul dilapangan ini dengan membuat lingkaran. Untuk kelas 12 akan ada api unggun terpisah yang berada di lapangan sebelah sana.” Kalimat terakhir yang baru saja disampaikan oleh ketua osis sukses membuat suasana menjadi ricuh.
“CURANG BANGET MASA KELAS 12 API UNGGUNNYA TERPISAH”
“TAU NIH, NGGAK ADIL BANGET OSISNYA”
“WOY KALO SIRIK TUH BILANG, BERISIK BANGET ANAK TENGAH”
“WADUH AMPUN KAK AGIT”
Hanya kelas 11 yang berani meneriaki kelas 12 seperti itu, kelas 10 hanya menyimak apa yang sedang terjadi. Ketua osis langsung turun tangan untuk menyuruh semua siswa kelas 11 dan 12 agar kembali ke barisannya masing-masing dan kembali tertib. Ketua osis memberi sedikit penjelasan kepada semuanya tentang alasan mengapa kelas 12 mendapatkan api unggun terpisah. Itu semua karena kelas 12 akan segera lulus dan akan jarang dengan adanya momen seperti ini.
Karena suasana yang sudah kembali kondusif, ketua osis itu meminta agar seluruh siswa kelas 11 meminta maaf kepada seluruh siswa kelas 12. Berlebihan. Namun, seluruh siswa kelas 11 sudah lebih dulu berteriak untuk meminta maaf. Dirasanya cukup dan dapat diterim, ketua osis langsung membubarkan barisan dan meminta agar semua siswa melakukan waktu ishoma dengan baik.