Sesampainya di halaman belakang rumah Farel, Farel langsung menghampiri meja yang sedang ditempati oleh ibu dan adiknya. Farel langsung membawa Adys untuk menghampiri meja tersebut. Masih dengan jari keduanya yang berpaut.

Punten, ibu liat siapa yang dateng, nih.”

“Disa, liat Aa bawa siapa,” lanjutnya.

Disa yang sebelumnya tidak sadar langsung menghampiri Adys dan memeluknya pinggangnya erat. “Teh Adys!”

Adys langsung menyesuaikan tingginya dengan Disa dan membalas pelukan yang barusan ia terima. “Halo anak geulis. Selamat ulang tahun ya, semoga makin cantik, pinter, semakin nurut sama kedua orang tua dan A Farel yah!”

“Makasih teteh!”

“Ini, kado buat Disa dari teteh. Semoga suka ya!”

“Waaah… Makasih teteh, nanti Disa buka kalo acaranya udah selesai,” ucap Disa sembari terkekeh.

Adys juga tidak lupa untuk menyapa dan menyalami Mira—Ibu Farel.

“Aduh, si geulis. Apa kabar sayang?” tanya Mira.

“Kabar baik ibu.”

“Ini siapa Ra? Kenapa bareng si Farel?” tanya salah satu wanita yang terlihat sebaya dengan Ibu Farel.

“Oh… Dys, sini lagi geulis! Kenalin ini teh Tante Ola, temen ibu. Nah La… Kenalin ini teh Adys, kabogohnya si Farel.”

Kabogoh? Emang si Farel udah punya pacar?”

“Udah tante,” celetuk Farel.

“Terus si Adin mana?”

“Halo semuanya…” tiba-tiba saja Adin datang dari belakang sembari membawa kado untuk Disa.

“Halo Disa! Selamat ulang tahun, ini Kak Adin udah beliin mainan mahal untuk Disa, pasti Disa suka!”

Disa tidak seceria sebelumnya, ia langsung mengambil hadiah pemberian dari Adin dan langsung mengucapkan terima kasih tanpa memberikan pelukan atau senyuman hangat. Berbeda pada saat ia bersama Adys tadi.

“Yaudah sok atuh, pada ambil makan gih!” seru Mira.

“Iya bu, makasih,” ujar Adys.

“Yaudah bu, Farel sama teteh muter dulu ya, sekalian mau nyamperin si Aidan sama Kirey disana.” Farel menunjuk ke arah laki-laki dan perempuan yang sedang menyantap makanannya di meja ujung sana.

“Yaudah, sok.”

“Adys pamit dulu ya bu, tante…”

“Eh, Rel,” panggil Ola—Ibu Adin.

Ola mendorong pelan anaknya. “Ini Adinnya di ajak dong, masa suruh gabung sama ibu-ibu. Kan kasian…”

Farel melirik ke arah ibunya untuk memberikan pertanda agar sang ibu dapat membantunya untuk menyangkal permintaan dari temannya itu. Namun, tatapan ibunya malah menyuruh Farel untuk menuruti perkataan temannya itu.

“Iya diajak gih si Adinnya,” ucap Mira.

“Adin disini aja deh, tan. Kak Adys keliatan nggak nyaman kalo ada Adin.”

Adys otomatis mengelak seakan tidak terima, walaupun memang sebenarnya ia juga sedikit kurang nyaman dengan kehadiran Adin. “Nggak kok, nggak apa-apa. Gabung aja.”

“Tuh, sok gih ikut.”

Setelah berbasa-basi, akhirnya Adin mau ikut bergabung dengan Farel dan Adys. Ketiganya langsung berpamitan dan pergi menuju meja yang ada di ujung sana.

“Wey, Rel!”

“Dun, kenalin ini Teh Adys.”

Aidan tersenyum dan menjulurkan tangannya ke Adys. “Aidan, teh.”

“Adys.”

“Nah kalo yang ini Kirey teh, sahabat tapi cintanya si Aidan,” ucap Farel yang diberi pukulan kecil oleh Aidan. “Cicing!”

“Halo teh, aku Kirey!”

“Halo Kirey, salam kenal ya aku Adys.”

Kirey langsung mempersilahkan Adys untuk duduk di sebelahnya.

“Kalo itu siapa, Rel?” tanya Kirey.

Farel langsung menoleh ke belakang. Lupa akan kehadiran Adin yang sebenarnya sangat mengganggu ketenangannya.

“Oh, ini teh anaknya temennya ibu, sok kenalin diri.”

“Halo semua, aku Adin.”

Aidan dan Kirey hanya tersenyum.

Setelah berkenalan satu sama lain, mereka semua langsung mengobrol dengan akrab. Apalagi Aidan yang tidak berhenti membicarakan Farel saat kecil dulu.

“Teh, tau nggak teh, si Farel teh dulu pernah mecahin keramik gucinya nenek, tapi dia nggak mau ngaku!”

“Serius?” tanya Adys sambil terkekeh.

“Serius teh! Dia bilang ke semuanya kalo keramiknya pecah sendiri karena udah umur, udah gitu satu keluarga percaya lagi!”

“Berarti bohongnya aing masuk akal, Dun!”

“Parah ih kamu, Rel. Terus sampe sekarang nggak ada yang tau?” tanya Adys.

Aidan menggeleng, “Teu aya!”

Disaat semuanya saling bertukar obrolan, Adin hanya memperhatikan semuanya tanpa ikut bergabung. Rasa iri pada diri Adin sudah memuncak ketika melihat Adys yang langsung mudah akrab dengan orang-orang di sekitar Farel. Tiba-tiba saja ia langsung memotong obrolan ke-empatnya.

“Kak Adys,” panggil Adin.

Adys yang tadinya sedang tertawa langsung berhenti dan menatap ke arah Adin.

“Iya?”

“Kak Adys kok mau pacaran sama Kak Farel? Padahal kan, Kak Farel satu tahun lebih muda dari Kak Adys. Emangnya Kak Adys nggak malu pacaran sama adek kelas?”

“Apalagi yang lebih tua Kak Adys alias yang cewek. Emangnya Kak Adys nggak pernah diledekin gitu?”

“Aku sih kalo jadi Kak Adys nggak akan mau sih sama yang lebih muda.”

“Adin!”

Maneh teh kenapa, sih? Jangan bikin suasana nggak enak, deh. Udah baik mau diterima disini malah ngomong sembarangan.” Farel benar-benar sudah dipuncak amarahnya.

“Lho, emangnya kenapa, Kak? Aku kan cuma nanya, emangnya salah?”

“Nggak sopan nanya kayak gitu sama orang baru, Din,” tutur Aidan.

“Aku kan cuma nanya.”

“Nggak pantes!” seru Farel.

Adys langsung menahan Farel agar kekasihnya itu tidak meluapkan emosi yang lebih. “Udah, Rel.”

Farel tidak mendengarkan perkataan Adys, ia langsung bangkit dari kursinya dan menarik Adin untuk segera pergi dari meja itu.

“Sekarang maneh ikut aing balik ke meja ibu.”

“Nggak mau!”

“Buruan, Din. Sebelum aing jadi kasar.”

Saat itu juga Adin langsung menuruti perintah Farel untuk ikut dengannya. Adys sempat menahan Farel, namun Farel sudah lebih dulu membawa Adin untuk pergi dari sana.

Sejujurnya Adys merasa tersinggung dengan ucapan Adin tadi, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan ucapan tersebut walaupun sebenarnya sulit.

Kirey yang melihat Adys nampak tidak seceria sebelumnya langsung mengelus pundak Adys, “Sabar ya, teh.”

“Nggak usah dipikirin ya teh?”

Adys hanya mengangguk. Karena tidak ingin merudak suasana, ia langsung kembali membuka topik obrolan dengan Aidan dan juga Kirey.

“Udah atuh, orang aku nggak apa-apa. Kok jadi pada diem gini?”

Aidan dan Kirey merasa sedikit lega.

Tidak lama kemudian, Farel datang dengan menghampiri ketiganya.

“Dah kelar urusannya pak?” sindir Aidan.

Cicing weh lah, lieur!”

Farel kembali duduk di sebelah Adys. “Maaf ya teh, kalau nggak disuruh pergi pasti bakalan berisik terus.”

Adys mengangguk. “Nggak apa-apa.”

Eleuh… Bucin pisan maneh, Rel.”

“Berisik, sirik aja! Nggak bisa kan maneh ngebucin ke si Kirey?”

Naon sih Rel!” sahut Kirey.

“Bercanda atuh Kir, serius pisan!”

Ditengah-tengah obrolan, tiba-tiba saja Disa menghampiri Farel dan Adys. Gadis kecil itu meminta Farel dan Adys untuk foto bersamanya.

“Teteh, Aa, ayo kita foto bareng,”

“Tapi fotonya yang lucu ya A, teh… Soalnya mau Disa pajang di kamar.”

Seketika suasana hati Adys yang sebelumnya sempat tidak karuan langsung membaik.