Sore Hari di kota Malang.

Langit sore hari di kota Malang tampak begitu mendung, awan yang tadinya berwana putih seperti kapas langsung berubah warna menjadi keabuan seolah-olah memberi pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Abigail atau yang kerap dipanggil Bigel, sudah berdiri didepan rumah ber-cat putih yang dilengkapi dengan tulisan “Kos Putra”. Bigel berdiri menatap kearah rumah itu dengan perasaan antusiasnya, sebentar lagi ia akan segera bertemu dengan Ayden—kekasihnya, yang sudah satu tahun lamanya tidak pernah berjumpa. Ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya untuk menghubungi Ayden. Namun, setelah beberapa kali mencoba menghubungi kekasihnya itu, ia sama sekali tidak menerima jawaban apa-apa.

15 menit kemudian, hujan turun dengan sangat lebat. Bigel berlari dan segera mencari tempat untuk berteduh. Ia memilih untuk berteduh di warung kecil yang berada tepat didepan kos milik Ayden.

Setelah 30 menit Bigel menunggu, tiba-tiba mobil yang terlihat tak asing berhenti didepan rumah kos itu. Benar saja, itu mobil milik kekasihnya. Ayden baru saja turun dari mobil. Bigel yang melihat itu, langsung buru-buru berlari menghampiri kekasihnya.

“Ayden,” panggil Bigel.

Yang dipanggil pun terkejut.

“B-bigel?”

“Kamu ngapain disini? basah kuyup kayak gini lagi,” sambungnya.

“Ya nyamperin kamu!”

Bukannya senang dengan kehadiran kekasihnya, Ayden malah menyuruh Bigel untuk masuk kedalam mobilnya. Mau tidak mau, Bigel harus menuruti permintaan kekasihnya itu.

“Ngapain kamu jauh-jauh dari Jakarta ke Malang?” itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayden ketika mereka berdua sudah masuk kedalam mobil.

Bigel tampak tidak mengerti dengan pertanyaan Ayden, “Ya, aku mau kasih surprise buat kamu, Ayden.”

“Nggak perlu, kamu nggak perlu kayak gini, Bigel.”

“Kenapa? kenapa nggak perlu? aku cuma mau buat kamu seneng, Den. Emangnya kamu nggak seneng?” ucapnya.

Yang ditanya malah diam.

“Ayden, jawab.”

Ayden sempat memejamkan matanya, sampai akhirnya ia kembali menatap mata Bigel sembari menghelakan nafasnya.

“Aku nggak seneng, aku nggak seneng sama ide kamu yang tiba-tiba dateng kayak gini. Norak tau, nggak, Bi!”

“Ayden…”

Sakit, itu yang dirasakan oleh Bigel sekarang. Ia merasa usahanya tidak dihargai sama sekali oleh Ayden, padahal ia sudah jauh-jauh datang dari Jakarta hanya untuk memberi kejutan kecil untuk Ayden, tapi kekasihnya itu malah melontarkan kalimat yang menurutnya sangat menyakitkan.

“Ayok kita putus, Bi.”

Bigel terkejut, hatinya seperti sedang ditusuk-tusuk oleh ribuan pedang. Ia berusaha untuk tidak meneteskan air matanya didepan Ayden. Namun gagal, air matanya baru saja jatuh dan membasahi pipinya.

“Kenapa? kenapa kamu tiba-tiba minta putus kayak gini, Den?” tanya Abigail.

“Aku lagi nggak mau pacaran. Aku lagi mau sendiri, Bi,”

Aneh, itu adalah alasan ter-aneh menurut Bigel.

“Udah, ya? Kita selesai,” sambung Ayden.

Tiba-tiba saja, Bigel teringat oleh percakapannya dengan Ayden beberapa jam yang lalu.

“Ayden, Kamu bohong.”

“Bohong gimana, Bi?”

“Kamu bohong, kamu bilang hari ini kamu nggak kemana-mana, tapi nyatanya? kamu daritadi nggak ada di kosan.”

“Aku tiba-tiba diajak ngopi, Bi.”

“Nggak usah bohong, Den. Mobil kamu bau parfume cewek.”

“Lo nuduh gue selingkuh?” Ayden bertanya dengan nada yang cukup tinggi.

“Lo tuh emang dari dulu bisa nya nethink doang ya, Bi. Gue bener-bener muak sama lo. Emangnya gue nggak tau kelakuan lo di Jakarta kayak gimana? nempel terus sama Elian.”

“Ayden, nggak usah bawa-bawa Elian.”

“GUE NGOMONG SESUAI FAKTA!!” teriak Ayden.

Bigel terdiam, ia terkejut, selama berpacaran dengan Ayden, Ayden sama sekali tidak pernah membentaknya seperti ini.

Ayden-nya berubah.

Bigel memilih untuk mengalah, dan meng-iyakan ajakan Ayden untuk berpisah.

“Oke, kalau kamu mau kita putus. Ayok putus,” final Bigel.

“Itu didalam totebag ada kado buat kamu, aku beliin kamu sepatu yang beberapa bulan lalu kamu pengenin. Sama dibawahnya, ada scrapbook, isinya foto-foto kita berdua, kalo mau dibuang atau dibakar juga gapapa.”

“Maaf kalo aku belum bisa jadi pacar yang baik ya, Den.”

“Aku pamit, ya.”

Bigel langsung turun dari mobil tersebut dan meninggalkan Ayden yang masih duduk terdiam di dalam mobil. Batang hidung Bigel sudah tak terlihat lagi, Ayden benar-benar tidak merasa iba. Ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengejar Bigel yang sudah jauh pergi dari pengelihatannya. Bahkan, hanya untuk mengucap kata maaf dan terima kasih pun ia enggan untuk melakukannya.

Kini Bigel sedang berjalan tanpa tujuan dengan tatapan kosongnya, kakinya ia biarkan berjalan begitu saja. Ia benar-benar tidak percaya bahwa hubungannya dengan Ayden baru saja berakhir tepat di hari jadi mereka berdua.