scrpleo

Adys baru saja turun dari kamarnya setelah bersiap-siap, ia langsung menghampiri Haris dan Ayahnya yang sedang asyik menonton acara TV di ruang tamu.

Eleuh eleuh… Pada serius banget nontonnya, itu ikan di kolam kalo diambil kucing juga nggak ada yang ngeh,” ucap Adys dengan nada sedikit meledek.

Kadieu atuh teh, gabung!” seru Adam, ayah Adys.

Sakedap, yah, teteh mau ke kamar ayah sama bunda dulu, mau pinjem sepatu bunda.” Adys langsung meninggalkan keduanya disana dan langsung menuju ke kamar kedua orang tuanya.

Setelah selesai mencari sepatu milik bundanya, kini Adys sudah kembali ke ruang tamu dengan disusul oleh Aida, bunda Adys.

Bade kamana rapih-rapih begini anak bunda? Si teteh juga tumbenan minjem sepatu bunda?” tanya Aida yang sudah duduk di sebelah Adys.

“Adek sih mau cari sepatu futsal buat acara lomba cup sekolah sama si Farel, kalo si teteh mah main ikut-ikut aja, tuh!” seru Haris sembari menjulurkan lidahnya ke arah Adys.

“Bener, teh? Teteh tumben mau ikut pergi sama temennya adek juga.” Aida menyisir rambut Adys dengan jari-jarinya.

“Gapapa, pengen aja atuh bun… Teteh pusing abis rapat, jadi sekalian refreshing gitu,” jawab Adys.

Ngabohong wae si teteh mah, bun! Si teteh mau ikut karena lagi pendekatan sama si Farel tuh, bun, yah.”

Ucapan Haris barusan sukses membuat mata Adys membulat. Rasanya Adys ingin sekali menjambak rambut Haris yang sudah tertata rapih sekarang juga.

“Bener, Teh?” tanya Ayah.

“H-hah… Eng—“

Ucapan Adys terpotong oleh suara mesin mobil yang baru saja dimatikan. Untuk menghindari pertanyaan ayahnya barusan, Adys memilih untuk beranjak keluar rumahnya untuk menghampiri si pemilik mobil tersebut.

“Tuh kan, yah, bun! Si Farel belom turun aja teteh udah langsung ngabur.”

Adam dan Aida hanya menggelengkan kepala sembari tertawa pelan.

“Biarin atuh! kamu mah sirik wae,” ledek Adam.

-

Farel baru saja sampai di depan rumah yang dilapisi oleh cat serba putih. Pintu mobilnya baru saja ia buka, tapi ia langsung bisa melihat jelas Adys yang sedang berlari ke arahnya dari dalam rumah itu. Farel sedikit terkekeh melihat Adys yang berlari kecil untuk menghampirinya.

“Halo,” sapa Adys.

“Halo, teh. Lama ya?” tanya Farel.

Adys menggeleng, “Ngga, kok. Ayok masuk dulu, si Haris nunggu di ruang tamu, ada Ayah sama Bunda juga.”

deg

“Ayok ih. kok malah ngelamun?“

“E-eh… Iya teh, hayuk!”

Keduanya berjalan memasuki kediaman milik Adys yang langsung disambut hangat oleh Aida yang sudah berada di depan pintu rumah. Farel langsung menyalimi tangan Aida.

Eleuh si kasep… Sini-sini, masuk dulu atuh!”

Punten ya, Tan,” ucap Farel dengan sopan.

Baru saja Farel tiba di ruang tamu milik Adys, ia bisa melihat jelas sosok pria yang tidak begitu tua sedang memperhatikannya. Farel langsung menghampiri pria tersebut dan menyalimi tangannya dengan sopan.

Kumaha damang, Om?”

“Om mah sehat, kumaha samulihna?”

“Baik, om.”

“Yaudah sok weh, duduk disitu.”

Nuhun ya, om.” Farel langsung duduk disebelah Haris dengan Adys yang duduk di seberangnya.

Haris menahan tawanya ketika melihat ekspresi Farel yang sedikit tegang, “Kalem atuh bray, muka maneh panik gitu.”

Farel langsung mendekat ke arah Haris dan berbisik, “Anying! aing deg-deg an banget!”

Haris hanya terkekeh pelan yang membuat Adys dan Adam menatap ke arah keduanya.

Bade kamana, Rel?” tanya Adam tiba-tiba.

“Nemenin si Haris beli sepatu futsal om, ke PVJ.”

“Oh kitu, bukannya mau proses pendeketan sama teh Adys?”

Adys yang mendengar ucapan ayahnya barusan langsung menyenggol pelan lengan sang ayah, “Ayah ih! naon gitu bilangnya, udah ah hayuk Rel, Ris, jalan sekarang wae.”

“Jalan dulu ya yah, bun,” pamit Adys kepada kedua orang tuanya.

Adys langsung menarik tangan Farel dan Haris bersamaan. Farel sempat tersenyum setelah mendengar ucapan Adam barusan. Ia ingin menanggapi ucapan Adam barusan, tapi Adys sudah menarik tangannya terlebih dahulu. Jadi, mau tidak mau ia juga ikut berdiri dan berpamitan dengan kedua orng tua Adys dan Haris.

“Pergi dulu ya om, tante…” Kini giliran Farel yang berpamitan. Adys dan Haris sudah lebih dulu keluar dari rumah. Keduanya sudah meninggalkan Farel yang masih berada di teras rumah dengan Adam dan Aida yang juga ikut mengantarnya sampai depan teras.

“Bawa mobilnya hati-hati ya, Rel,” ucap Adam yang dianggukki oleh Farel.

“Semoga lancar ya itu proses pendekatannya sama si teteh.” Adam menepuk pelan pundak Farel yang membuat sang pemilik pundak mengembangkan senyumnya.

Farel tertawa keci, “Nuhun ya om, ini Farel berasa kayak dikasih restu begini.”

“Ah bisaan kamu mah.” Keduanya terkekeh sampai tidak sadar Adys sudah berulang kali memanggil nama Farel agar segera menghampirinya.

Pintu mobil baru saja tertutup, Farel baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan Adys yang sudah duduk di kursi penumpang depan atas perintah Farel sendiri. Haris dengan terpaksa duduk di belakang menjadi saksi kedekatan keduanya.

“Ngomongin apa tadi sama ayah? Kok sampe ketawa-tawa gitu?”

Farel yang sedang sibuk dengan memasang sabuk pengamannya langsung menatap ke arah Adys.

“Kata ayahnya teteh, nanti aing suruh gandeng teteh terus pas di mall,” ucap Farel yang membuat Adys menepuk lengannya pelan. “Ngasal aja kamu mah!”

“Ih kok ngasal sih, teh, itu beneran tau!”

Aing nggak percaya!”

“Yeh, yaudah kalo nggak percaya, Farel juga bakalan tetep gandeng teteh disana. Biar nggak ilang.” Farel langsung menyalakan mesin mobilnya dan mulai menginjakkan gas mobilnya.

“Wey, inget ada aing disini ya, tolong tahu diri.” Haris memajukan posisinya menjadi berada diantara Adys dan Farel.

“Dih, maneh teh saha, sih? Ngapain di mobil aing? Ganggu orang berduaan aja!” ledek Farel.

“Tau ah, sebel banget! Mending aing pake earphone!”

Haris benar-benar langsung memasangkan earphonenya dan menyenderkan kepalanya ke pinggir pintu tanpa memperdulikan kedua insan yang berada di depan. Adys sempat melihat kebelakang untuk memastikan Haris, ia terkekeh melihat adiknya yang benar-benar mengabaikannya dan juga Farel.

“Teh,” Panggil Farel.

Adys menengok ke arah Farel, “Iya?”

“Si Haris nggak lihat kesini kan, teh?”

“Iya enggak, kenapa?”

“Mau nggak, teh?”

“Mau apa?”

Farel membuka kepalan tangannya, “Pegangan.”

“Kayaknya nyetir pake tangan satu seru juga teh, apalagi kalo satu tangannya pegangan sama teteh.”

“Maneh teh jangan bercanda!”

“Nggak ada yang bercanda, teh. Aing teh beneran ini ngajak pegangannya.”

Sejujurnya, Adys sedang menahan agar pipinya tidak berubah warna menjadi merah muda.

“Mau nggak, teh?”

“Maneh teh serius, Rel?”

Farel mengangguk.

“Tapi kalo Haris udah berisik, langsung lepas ya? Malu.”

Farel terkekeh, “Aduh, teteh lucu banget!”

“ih, kok malah ketawa.”

“Iya-iya, maaf atuh. Yaudah siniin tangan teteh.”

Adys langsung menuruti perintah Farel. Tidak lama setelah itu, jari-jarinya sudah terpaut dengan lima jari milik Farel. Jantungnya langsung berdebar. Pipinya memanas. Adys ingin teriak sekarang juga. Lain halnya dengan Farel, ia tidak bisa berhenti tersenyum sembari sesekali menatap ke arah jarinya dan jari milik Adys yang saling terpaut.

“Teh, ini mah kayaknya susah lepas.”

“MANEH DIEMMMM.”

Adys baru saja turun dari kamarnya dengan dua tangan yang penuh dengan bawaanya. Ia langsung menghampiri Haris dan Ayahnya yang sedang asyik menonton acara TV di ruang tamu.

Eleuh eleuh… Pada serius banget nontonnya, itu ikan di kolam kalo diambil kucing juga nggak ada yang ngeh,” ucap Adys dengan nada sedikit meledek.

Kadieu atuh teh, gabung!” seru Adam, ayah Adys.

Sakedap, yah, teteh mau ke kamar ayah sama bunda dulu, mau pinjem sepatu bunda.” Adys langsung meninggalkan keduanya disana dan langsung menuju ke kamar kedua orang tuanya.

Setelah selesai mencari sepatu milik bundanya, kini Adys sudah kembali ke ruang tamu dengan disusul oleh Aida, bunda Adys.

Bade kamana rapih-rapih begini anak bunda? Si teteh juga tumbenan minjem sepatu bunda?” tanya Aida yang sudah duduk di sebelah Adys.

“Adek sih mau cari sepatu futsal buat acara lomba cup sekolah sama si Farel, kalo si teteh mah main ikut-ikut aja, tuh!” seru Haris sembari menjulurkan lidahnya ke arah Adys.

“Bener, teh? Teteh tumben mau ikut pergi sama temennya adek juga.” Aida menyisirkan rambut Adys dengan jari-jarinya.

“Gapapa, pengen aja atuh bun… Teteh pusing abis rapat, jadi sekalian refreshing gitu,” jawab Adys.

Ngabohong wae si teteh mah, bun! Si teteh mau ikut karena lagi pendekatan sama si Farel tuh, bun, yah.”

Ucapan Haris barusan sukses membuat mata Adys membulat. Rasanya Adys ingin sekali menjambak rambut Haris yang sudah tertata rapih sekarang juga.

“Bener, Teh?” tanya Ayah.

“H-hah… Eng—“

Ucapan Adys terpotong oleh suara mesin mobil yang baru saja dimatikan. Untuk menghindari pertanyaan ayahnya barusan, Adys memilih untuk langsung beranjak keluar rumah untuk menghampiri si pemilik mobil tersebut.

“Tuh kan, yah, bun! Si Farel belom turun aja teteh udah langsung ngabur.”

Adam dan Aida hanya menggelengkan kepala sembari tertawa pelan.

“Biarin atuh! kamu mah sirik wae,” ledek Adam.

-

Farel baru saja sampai di depan rumah yang dilapisi oleh cat serba putih. Pintu mobilnya baru saja ia buka, tapi ia langsung bisa melihat jelas Adys yang sedang berlari ke arahnya dari dalam rumah itu. Farel sedikit terkekeh melihat Adys yang berlari kecil untuk menghampirinya.

“Halo,” sapa Adys.

“Halo, teh. Lama ya?” tanya Farel.

Adys menggeleng, “Ngga, kok. Ayok masuk dulu, si Haris nunggu di ruang tamu, ada Ayah sama Bunda juga.”

deg

“Ayok ih. kok malah ngelamun?“

“E-eh… Iya teh, hayuk!”

Keduanya berjalan memasuki kediaman milik Adys yang langsung di sambut hangat oleh Aida di depan pintu. Farel langsung menyalimi tangan Aida.

Eleuh si kasep… Sini-sini, masuk dulu atuh!”

Punten ya, Tan,” ucap Farel dengan sopan.

Baru saja Farel tiba di ruang tamu milik Adys, ia bisa melihat jelas sosok pria yang tidak begitu tua sedang memperhatikannya. Farel langsung menghampiri pria tersebut dan menyalimi tangannya.

Kumaha damang, Om?”

“Om mah sehat, kumaha samulihna?”

“Baik, om.”

“Yaudah sok weh, duduk.”

Nuhun, om.” Farel langsung duduk disebelah Haris dengan Adys yang duduk diseberangnya.

Haris menahan tawanya ketika melihat ekspresi Farel yang sedikit tegang, “Kalem atuh bray, muka maneh panik gitu.”

Farel langsung mendekat ke arah Haris dan berbisik, “Anying! aing deg-deg an banget!”

Haris hanya terkekeh pelan yang membuat Adys dan Adam menatap ke arah keduanya.

Bade kamana, Rel?” tanya Adam tiba-tiba.

“Nemenin si Haris beli sepatu futsal om, ke PVJ.”

“Oh kitu, bukannya mau proses pendeketan sama teh Adys?”

Adys yang mendengar ucapan ayahnya barusan langsung menyenggol pelan lengan sang ayah, “Ayah ih! naon gitu bilangnya, udah ah hayuk Rel, Ris, jalan sekarang.”

Adys langsung menarik tangan Farel dan Haris bersamaan.

“Jalan dulu ya yah, bun,” pamit Adys kepada kedua orang tuanya.

“Pergi dulu ya om, tante…” Kini giliran Farel yang berpamitan. Adys dan Haris sudah lebih dulu berpamitan. Keduanya sudah meninggalkan Farel yang masih berada di teras rumah dengan Adam dan Aida yang juga ikut mengantarnya sampai depan teras.

“Bawa mobilnya hati-hati ya, Rel,” ucap Adam yang dianggukki oleh Farel. “Semoga lancar ya itu proses pendekatannya sama si teteh.” Adam menepuk pelan pundak Farel yang membuat sang pemilik pundak mengembangkan senyumnya.

“Nuhun ya om, ini Farel berasa kayak dikasih restu begini.”

“Ah bisaan kamu mah.” Keduanya terkekeh sampai tidak sadar Adys sudah berulang kali memanggil nama Farel agar segera menghampirinya.

Akhirnya Adys memutuskan untuk berjalan seorang diri menuju fotokopian belakang sekolah karena sahabatnya, Nakeya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Napasnya terengah-engah karena ia harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh. Ditambah lagi, matahari siang ini cukup terik membuat dahi Adys mulai berkeringat.

Sesampainya disana, fotokopian tidak begitu ramai seperti biasanya. Hanya ada Mang Ujang, si penjaga toko fotokopi tersebut. Adys langsung merasa lega karena ia tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu.

“Mang Ujang, mau ngeprint dong.”

“Boleh, atuh. Mau ngeprint berapa lembar? Flashdisknya mana?”

“Ini mang.” Adys memberikan flashdisk kepada Mang Ujang.

Filenya yang ada tulisan formulir pendaftaran ya, mang. Bikin 30 lembar aja.”

“Siap, laksanakan! Sok atuh duduk dulu disana.”

Selagi menunggu, Adys duduk di kursi yang ada di luar sembari meminum minuman kaleng yang tadi sempat ia beli di minimarket samping toko fotokopian.

“Sendirian aja?”

Suara tersebut sukses membuat Adys yang sedang menengguk minumannya langsung terbatuk akibat terkejut.

“Nathan?”

Yang ditanya pun tertawa, “Basah, tuh.”

Adys langsung mengeluarkan ponsel yang ada disaku roknya untuk melihat keadannya. Sungguh memalukan. Minuman yang tadi ia minum benar-benar mengotori wajahnya.

“Nih, bersihin dulu.” Nathan mengeluarkan tissue kecil dari sakunya.

“M-makasih,” jawab Adys kikuk.

“Jadi, sendirian aja kesininya?”

“Iya, sendirian aja.” Adys masih sibuk dengan membersihkan wajah dan bajunya dengan tissue pemberian Nathan.

“Oh, gitu… Ngapain emang?”

“Ngeprint formulir pendaftaran.”

Lagi-lagi, Nathan hanya ber-oh ria.

“Kalo kamu? Ngapain?”

“Fotokopi catatan bimbel.” Nathan menunjukkan catatan yang ada di tangannya.

Adys hanya mengangguk paham.

“Yaudah, gue mau ke si mamang dulu ya, Dys.”

“Hooh, sok.”

Nathan langsung pergi meninggalkan Adys. Tidak lama setelah itu, Mang Ujang mulai meneriaki nama Adys.

“Neng! Neng Adys, udah kelar nih.”

Adys langsung bangkit dan menghampiri Mang Ujang di dalam. “Wih, nuhun ya Mang, nih uangnya ya.”

“Sami-sami.”

Adys yang melihat Nathan masih berdiri disana langsung berpamitan untuk kembali ke sekolah terlebih dahulu. Namun, tangan Nathan langsung sigap menahan tangan Adys yang membuat langkah Adys terhenti.

“Nanti aja, baliknya bareng gue. Lo duduk di sana aja lagi.”

“E-eh, gimana?”

“Di deket portal lagi rame anak 6 pada nongkrong dan cowok semua. Lo balik ke sekolah sama gue aja.”

Ucapan Nathan barusan sukses membuat Adys merasa ngeri, jadilah ia menerima tawaran Nathan untuk kembali ke sekolah bersama.


Nathan baru saja menyelesaikan urusannya dengan Mang Ujang. Ia langsung keluar dari toko fotokopian dan menghampiri Adys yang sedang duduk melamun sembari menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung.

“Ayok, Dys. Gue udah kelar.”

Gadis itu langsung berdiri dan tersenyum, “Ayok!”

Mereka berdua berjalan melewati portal yang ramai akan anak sekolah seberang. Adys langsung menundukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman ditatap oleh gerombolan laki-laki yang berada si warung dekat portal tersebut.

Nathan yang paham dengan situasi langsung merangkul tubuh Adys. Yang dirangkul langsung membulatkan matanya.

“Sst! sampe lewatin mereka aja, gue tau lo nggak nyaman ditatap gitu.”

Adys menurut dan mencoba untuk terbiasa dengan tangan Nathan yang berada di pundaknya.

Setelah melewati warung tersebut, Nathan langsung melepaskan tangannya dari pundak milik Adys. “Sorry ya, Dys.”

“Nggak apa-apa, Nat.”

Keduanya kembali berjalan tanpa adanya obrolan lagi. Nathan yang merasa canggung langsung mencoba mencairkan suasana.

“Oh iya, Dys. Gue udah mikirin keputusan buat jadi panitia.”

Adys langsung berdiri dihadapan Nathan dengan antusias.

“Kamu mau???”

“Minggir dulu, Dys. Sambil jalan aja gue kasih taunya.”

Adys langsung kembali berjalan di samping Nathan.

“Maaf, maaf… Jadi gimana? Kamu mau gabung sama kita?”

Nathan mengangguk, “Mau.”

“Yes! Ok!” Adys bertepuk tangan sembari melompat kecil karena senang dengan jawaban Nathan.

Nathan hanya tersenyum melihat tingkah Adys.

Nuhun ya Nat,” ucap Adys sembari tersenyum ke arah Nathan.

“Kenapa? Kok makasih?”

“Kamu jadi bantu ngeringanin beban anak panitia lainnya, dari kemarin mereka udah pusing mau ngajak siapa lagi,” Adys terkekeh.

“Oh iya, sama-sama, Dys.”

Keduanya melanjutkan perjalananya tanpa obrolan.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di depan gerbang sekolah. Keduanya masih berjalan bersama sampai koridor lantai satu, hal itu membuat tatapan-tatapan heran dari murid-murid yang melihat ke arah mereka berdua, termasuk laki-laki yang berada ditengah lapangan.

“Rel oper!”

Adys berjalan seorang diri menuju fotokopian belakang sekolah dikarenakan sahabatnya, Nakeya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Napasnya terengah-engah karena ia harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh. Ditambah lagi, matahari siang ini cukup terik membuat dahi Adys mulai berkeringat.

Sesampainya disana, fotokopian tidak begitu ramai seperti biasanya. Hanya ada Mang Ujang, si penjaga toko fotokopian tersebut. Adys langsung merasa lega karena ia tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu.

“Mang Ujang, mau ngeprint dong.”

“Boleh, atuh. Mau ngeprint berapa lembar? Flashdisknya mana?”

“Ini mang.” Adys memberikan flashdisk kepada Mang Ujang.

Filenya yang ada tulisan formulir pendaftaran ya, mang. Bikin 30 lembar aja.”

“Siap, laksanakan! Sok atuh duduk dulu disana.”

Selagi menunggu, Adys duduk di kursi yang ada di luar sembari meminum minuman kaleng yang tadi sempat ia beli di minimarket samping toko fotokopian.

“Sendirian aja?”

Suara tersebut sukses membuat Adys yang sedang menengguk minumannya langsung terbatuk akibat terkejut.

“Nathan?”

Yang ditanya pun tertawa, “Basah, tuh.”

Adys langsung mengeluarkan ponsel yang ada disaku roknya untuk melihat keadannya. Sungguh memalukan. Minuman yang tadi ia minum benar-benar mengotori wajahnya.

“Nih, bersihin dulu.” Nathan mengeluarkan tissue kecil dari sakunya.

“M-makasih,” jawab Adys kikuk.

“Jadi, sendirian aja kesininya?”

“Iya, sendirian aja.” Adys masih sibuk dengan membersihkan wajah dan bajunya dengan tissue pemberian Nathan.

“Oh, gitu… Ngapain emang?”

“Ngeprint formulir pendaftaran.”

Lagi-lagi, Nathan hanya ber-oh ria.

“Kalo kamu? Ngapain?”

“Fotokopi catatan bimbel.” Nathan menunjukkan catatan yang ada di tangannya.

Adys hanya mengangguk paham.

“Yaudah, gue mau ke si mamang dulu ya, Dys.”

“Hooh, sok.”

Nathan langsung pergi meninggalkan Adys. Tidak lama setelah itu, Mang Ujang mulai meneriaki nama Adys.

“Neng! Neng Adys, udah kelar nih.”

Adys langsung bangkit dan menghampiri Mang Ujang di dalam. “Wih, nuhun ya Mang, nih uangnya ya.”

“Sami-sami.”

Adys yang melihat Nathan masih berdiri disana langsung berpamitan untuk kembali ke sekolah terlebih dahulu. Namun, tangan Nathan langsung sigap menahan tangan Adys yang membuat langkah Adys terhenti.

“Nanti aja, baliknya bareng gue. Lo duduk di sana aja lagi.”

“E-eh, gimana?”

“Di deket portal lagi rame anak 6 pada nongkrong dan cowok semua. Lo balik ke sekolah sama gue aja.”

Ucapan Nathan barusan sukses membuat Adys ngeri, jadilah ia menerima tawaran Nathan untuk kembali ke sekolah bersama.


Nathan baru saja menyelesaikan urusannya dengan Mang Ujang. Ia langsung keluar dari toko fotokopian tersebut dan menghampiri Adys yang sedang duduk melamun sembari menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung.

“Ayok, Dys. Gue udah kelar.”

Gadis itu langsung berdiri dan tersenyum, “Ayok!”

Mereka berdua berjalan melewati portal yang ramai akan anak sekolah seberang. Adys langsung menundukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman ditatap oleh gerombolan laki-laki yang berada si warung dekat portal tersebut.

Nathan yang paham dengan situasi langsung merangkul tubuh Adys. Yang dirangkul langsung membulatkan matanya.

“Sst! sampe lewatin mereka aja, gue tau lo nggak nyaman ditatap gitu.”

Adys menurut dan mencoba untuk terbiasa dengan tangan Nathan yang berada di pundaknya.

Setelah melewati warung tersebut, Nathan langsung melepaskan tangannya dari pundak milik Adys. “Sorry ya, Dys.”

“Nggak apa-apa, Nat.”

Keduanya kembali berjalan tanpa adanya obrolan lagi. Nathan yang merasa canggung langsung mencoba mencairkan suasana.

“Oh iya, Dys. Gue udah mikirin keputusan buat jadi panitia.”

Adys langsung berdiri dihadapan Nathan dengan antusias.

“Kamu mau???”

“Minggir dulu, Dys. Sambil jalan aja gue kasih taunya.”

Adys langsung kembali berjalan di samping Nathan.

“Maaf, maaf… Jadi gimana? Kamu mau gabung sama kita?”

Nathan mengangguk, “Mau.”

“Yes! Ok!” Adys bertepuk tangan sembari melompat kecil karena senang dengan jawaban Nathan.

Lucu, kata itu tidak sengaja terucap dibatin Nathan.

Nuhun ya Nat,” ucap Adys sembari tersenyum ke arah Nathan.

“Kenapa?”

“Kamu jadi bantu buat ringanin beban anak panitia lainnya,” Adys terkekeh.

“Oh iya, sama-sama, Dys.”

Tanpa sadar, kini mereka berdua sudah sampai di depan gerbang sekolah. Keduanya masih berjalan bersama sampai koridor lantai satu, menimbulkan tatapan-tatapan heran dari murid-murid yang melihat keberadaan mereka berdua, termasuk laki-laki yang sedang berada ditengah lapangan.

“Rel oper!”

Adys berjalan seorang diri menuju fotokopian belakang sekolah dikarenakan sahabatnya, Nakeya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Napasnya terengah-engah karena ia harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh. Ditambah lagi, matahari siang ini cukup terik membuat dahi Adys mulai berkeringat.

Sesampainya disana, fotokopian tidak begitu ramai seperti biasanya. Hanya ada Mang Ujang, si penjaga toko fotokopian tersebut. Adys langsung merasa lega karena ia tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu.

“Mang Ujang, mau ngeprint dong.”

“Boleh, atuh. Mau ngeprint berapa lembar? Flashdisknya mana?”

“Ini mang.” Adys memberikan flashdisk kepada Mang Ujang.

Filenya yang ada tulisan formulir pendaftaran ya, mang. Bikin 30 lembar aja.”

“Siap, laksanakan! Sok atuh duduk dulu disana.”

Selagi menunggu, Adys duduk di kursi yang ada di luar sembari meminum minuman kaleng yang tadi sempat ia beli di minimarket samping toko fotokopian.

“Sendirian aja?”

Suara tersebut sukses membuat Adys yang sedang menengguk minumannya langsung terbatuk akibat terkejut.

“Nathan?”

Yang ditanya pun tertawa, “Basah, tuh.”

Adys langsung mengeluarkan ponsel yang ada disaku roknya untuk melihat keadannya. Sungguh memalukan. Minuman yang tadi ia minum benar-benar mengotori wajahnya.

“Nih, bersihin dulu.” Nathan mengeluarkan tissue kecil dari sakunya.

“M-makasih,” jawab Adys kikuk.

“Jadi, sendirian aja kesininya?”

“Iya, sendirian aja.” Adys masih sibuk dengan membersihkan wajah dan bajunya dengan tissue pemberian Nathan.

“Oh, gitu… Ngapain emang?”

“Ngeprint formulir pendaftaran.”

Lagi-lagi, Nathan hanya ber-oh ria.

“Kalo kamu? Ngapain?”

“Fotokopi catatan bimbel.” Nathan menunjukkan catatan yang ada di tangannya.

Adys hanya mengangguk paham.

“Yaudah, gue mau ke si mamang dulu ya, Dys.”

“Hooh, sok.”

Nathan langsung pergi meninggalkan Adys. Tidak lama setelah itu, Mang Ujang mulai meneriaki nama Adys.

“Neng! Neng Adys, udah kelar nih.”

Adys langsung bangkit dan menghampiri Mang Ujang di dalam. “Wih, nuhun ya Mang, nih uangnya ya.”

“Sami-sami.”

Adys yang melihat Nathan masih berdiri disana langsung berpamitan untuk kembali ke sekolah terlebih dahulu. Namun, tangan Nathan langsung sigap menahan tangan Adys yang membuat langkah Adys terhenti.

“Nanti aja, baliknya bareng gue. Lo duduk di sana aja lagi.”

“E-eh, gimana?”

“Di deket portal lagi rame anak 6 pada nongkrong dan cowok semua. Lo balik ke sekolah sama gue aja.”

Ucapan Nathan barusan sukses membuat Adys ngeri, jadilah ia menerima tawaran Nathan untuk kembali ke sekolah bersama.


Nathan baru saja menyelesaikan urusannya dengan Mang Ujang. Ia langsung keluar dari toko fotokopian tersebut dan menghampiri Adys yang sedang duduk melamun sembari menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung.

“Ayok, Dys. Gue udah kelar.”

Gadis itu langsung berdiri dan tersenyum, “Ayok!”

Mereka berdua berjalan melewati portal yang ramai akan anak sekolah seberang. Adys langsung menundukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman ditatap oleh gerombolan laki-laki yang berada si warung dekat portal tersebut.

Nathan yang paham dengan situasi langsung merangkul tubuh Adys. Yang dirangkul langsung membulatkan matanya.

“Sst! sampe lewatin mereka aja, gue tau lo nggak nyaman ditatap gitu.”

Adys menurut dan mencoba untuk terbiasa dengan tangan Nathan yang berada di pundaknya.

Setelah melewati warung tersebut, Nathan langsung melepaskan tangannya dari pundak milik Adys. “Sorry ya, Dys.”

“Nggak apa-apa, Nat.”

Keduanya kembali berjalan tanpa adanya obrolan lagi. Nathan yang merasa canggung langsung mencoba mencairkan suasana.

“Oh iya, Dys. Gue udah mikirin keputusan buat jadi panitia.”

Adys langsung berdiri dihadapan Nathan dengan antusias.

“Kamu mau???”

“Minggir dulu, Dys. Sambil jalan aja gue kasih taunya.”

Adys langsung kembali berjalan di samping Nathan.

“Maaf, maaf… Jadi gimana? Kamu mau gabung sama kita?”

Nathan mengangguk, “Mau.”

“Yes! Ok!” Adys bertepuk tangan sembari melompat kecil karena senang dengan jawaban Nathan.

Lucu, kata itu tidak sengaja terlintas di

Nuhun ya Nat,” ucap Adys sembari tersenyum ke arah Nathan.

“Kenapa?”

“Kamu jadi bantu buat ringanin beban anak panitia lainnya,” Adys terkekeh.

“Oh iya, Sama-sama, Dys.”

Tanpa sadar, kini mereka berdua sudah sampai di depan gerbang sekolah. Keduanya masih berjalan bersama sampai koridor lantai satu, menimbulkan tatapan-tatapan heran dari murid-murid yang melihat keberadaan mereka berdua, termasuk laki-laki yang sedang berada ditengah lapangan.

Dihitung-hitung, ini baru lima menit setelah bel pulang sekolah berbunyi. Tapi, koridor kelas sudah dipenuhi oleh banyaknya murid-murid yang baru saja keluar dari kelasnya. Farel yang mengingat bahwa ia memiliki janji dengan Adys, langsung buru-buru menuruni tangga untuk menemui gadis itu.

“Wey, santai weh atuh, Rel,” ucap salah satu murid yang tidak sengaja ia senggol.

Hampura, Dar, lagi buru-buru.” Farel langsung melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.

Sesampainya di lantai bawah, Farel tidak langsung menghampiri Adys di gerbang. Melainkan, ia menyempatkan diri untuk pergi ke kantin sebentar.

Mang, jus mangganya dua ya.”

“Eh… Sugan teh saha, tau nya si kasep. Beli dua teh buat saha, kasep?”

“Calon pacar,” ucap Farel sembari terkekeh.

“Asik, mamang bikinin yang paling enak deh buat pacar maneh. Sakedap, ya.”

Farel hanya mengangguk dan tidak bisa berhenti tersenyum. Sembari menunggu jus mangga siap, ia hanya membayangkan bagaimana kalau nantinya ia dan Adys benar-benar berpacaran. Pastinya ia akan senang bukan main.

“Nih kasep, udah jadi.”

“Waduh, sedap… Nuhun, ya mang.” Farel langsung memberikan dua lembar uang sepuluh ribu dan langsung pergi meninggalkan kantin.

Sesampainya di gerbang sekolah, Farel bisa melihat Adys sedang berbicara dengan seorang laki-laki dari kejauhan. Matanya ia sipitkan, agar bisa melihat jelas siapa laki-laki yang sedang berbicara dengan Adys disana. Nathan. Kakak kelasnya, murid pindahan dari Jakarta yang sempat rampai diperbincangkan oleh teman-teman perempuan di kelasnya.

“Kamu tau A Nathan? Yang pindahan dari jakarta? HOOH YANG ITU!!! kasep pisan ih”

“A Nathan dingin banget ih, tapi aing teh semakin kepengen ngejar A Nathan walaupun dia dingin begitu”

“Wey!!! A Nathan abis potong rambut. IH, MEUNI GANTENG PISAAANNN”

Kira-kira seperti itulah ucapan yang Farel ingat dari teman-teman perempuan di kelasnya.

Farel tampak penasaran dengan keduanya. Kedua insan itu tampak sedang berbicara dengan serius, bahkan sampai tidak memperdulikan sekitar. Farel tetap berdiri dari jarak yang sekarang sudah tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdua mengobrol. Sampai dimana, Adys tidak sengaja melihat ke arah Farel dan melambaikan tangannya ke arah Farel seperti meminta Farel untuk menghampirinya disana. Farel mengangguk dan langsung berjalan ke arah Adys dan Nathan.

“Yaudah kabarin aja ya, Nat. Kalo bisa jangan sampe tiga hari, hehe.”

Nathan mengangguk, “Iya gue usahain. Yaudah, gue balik duluan ya. Kayaknya lo udah ditunggu orang, tuh.” Nathan melirik ke arah Farel yang berada di belakang Adys.

“Eh iya… Yaudah hati-hati ya, Nat.”

Nathan mengangguk dan langsung melajukan motornya, tanpa berpamitan dengan Farel.

“Rel, sini,” panggil Adys.

“Iya, teh?”

“Itu tadi si Nathan cuma bahas tentang kepanitiaan aja, kok. Muka kamu galak banget, ih! kayak mau makan orang,” ledek Adys.

“Teteh, ih!”

“Ini muka nahan panas tau,” sambungnya.

Panas liat teteh ngobrol sama si A Nathan,” ucap Farel dalam hati.

Adys terkekeh, “Kamu inget kan yang tadi di DM twitter? Orang yang aku maksud itu, dia.”

Sial, kenapa harus Nathan yang menjadi calon pengganti panitia baru? Memangnya tidak ada calon pengganti lainnya? Kenapa harus Nathan? Ia hanya khawatir, Adys akan memiliki perasaan kepada Nathan ataupun sebaliknya.

“Iya inget kok, teh. Wah… Bagus dong, terus gimana teh? A Nathannya mau?”

“Belum,”

“Tadi masih nanya-nanya tentang kepanitiaan sama tugasnya kayak gimana… Eh maaf motong, tapi itu kamu bawa apa?” tanya Adys yang salah fokus setelah melihat kantong plastik yang ada ditangan kanan Farel.

Farel langsung melihat ke arah kantong plastik itu, “Oh ini, ini ada jus mangga buat teteh, takutnya teteh haus di jalan, jadi Farel beliin. Nih, teh… Di ambil.” Adys langsung mengambil satu gelas jus mangga pemberian Farel.

Nuhun ya… Ini aku minum nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa,” jawab Farel.

“Ayok, minumnya bareng.”

“Sekarang?”

“Iya, masa tahun depan! ya sekarang atuh, Rel!”

“Kita nggak jadi jalan dong, teh? Ini mau minum jus mangga aja?”

Adys terkekeh akibat melihat muka bingung sekaligus panik Farel, “Ya minum dulu, baru abis itu jalan. Biar seger.”


Setelah selesai menghabiskan jus mangga pemberian Farel tadi, kini keduanya sudah berada di atas motor milik Farel. Angin sejuk pada siang ini menjadi pelengkap perjalan mereka berdua. Farel sedikit bersenandung yang membuat Adys menggerakkan kepalanya sesuai dengan irama yang diberikan Farel. Saat sedang asyik menikmati perjalanan yang dilengkapi oleh angin kota Bandung, Lampu lalu lintas yang berada beberapa meter dari motor Farel langsung berubah warna menjadi merah. Hal itu membuat Farel harus menghentikan motornya.

“Teh, ini kita mau kemana?” tanya Farel memastikan.

Mcd!”

“Kok tiba-tiba banget, teh?” tanya Farel.

“Aku lupa traktir kamu Mcd waktu itu.”

“Kapan, teh? Emang ada janji mau traktir Farel disana?”

“Waktu pas kamu jemput aku di sekolah. Aku bilang ke si Haris, siapa yang jemput aku waktu itu, bakalan aku traktir Mcd,” ucap Adys sedikit memajukan kepalanya, agar Farel bisa mendengar ucapannya dengan sempurna.

“Ih nggak usah teteh! jadi repot tau.”

“Nggak nerima penolakan ah, tuh, ayok jalan. Udah hijau lampunya.”

“Hadehhhh, yaudah iya ayok, ke Mcd.” Farel kembali menjalankan motornya. Baru beberapa menit Farel menjalankan motornya, ia langsung dibuat terkejut oleh tangan yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya.

“Teh?”

“Farel, makasih ya karena udah baik sama aku. Ngomong-Ngomong, ini boleh kan pegangannya disini?”

Dihitung-hitung, ini baru lima menit setelah bel pulang sekolah berbunyi. Tapi, koridor kelas sudah dipenuhi oleh banyaknya murid-murid yang baru saja keluar dari kelasnya. Farel yang mengingat bahwa ia memiliki janji dengan Adys, langsung buru-buru menuruni tangga untuk menemui gadis itu.

“Wey, santai weh atuh, Rel,” ucap salah satu murid yang tidak sengaja ia senggol.

Hampura, Dar, lagi buru-buru.” Farel langsung melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.

Sesampainya di lantai bawah, Farel tidak langsung menghampiri Adys di gerbang. Melainkan, ia menyempatkan diri untuk pergi ke kantin sebentar.

Mang, jus mangganya dua ya.”

“Eh… Sugan teh saha, tau nya si kasep. Beli dua teh buat saha, kasep?”

“Calon pacar,” ucap Farel sembari terkekeh.

“Asik, mamang bikinin yang paling enak deh buat pacar maneh. Sakedap, ya.”

Farel hanya mengangguk dan tidak bisa berhenti tersenyum. Sembari menunggu jus mangga siap, ia hanya membayangkan bagaimana kalau nantinya ia dan Adys benar-benar berpacaran. Pastinya ia akan senang bukan main.

“Nih kasep, udah jadi.”

“Waduh, sedap… Nuhun, ya mang.” Farel langsung memberikan dua lembar uang sepuluh ribu dan langsung pergi meninggalkan kantin.

Sesampainya di gerbang sekolah, Farel bisa melihat Adys sedang berbicara dengan seorang laki-laki dari kejauhan. Matanya ia sipitkan, agar bisa melihat jelas siapa laki-laki yang sedang berbicara dengan Adys disana. Nathan. Kakak kelasnya, murid pindahan dari Jakarta yang sempat rampai diperbincangkan oleh teman-teman perempuan di kelasnya.

“Kamu tau A Nathan? Yang pindahan dari jakarta? HOOH YANG ITU!!! kasep pisan ih”

“A Nathan dingin banget ih, tapi aing teh semakin kepengen ngejar A Nathan walaupun dia dingin begitu”

“Wey!!! A Nathan abis potong rambut. IH, MEUNI GANTENG PISAAANNN”

Kira-kira seperti itulah ucapan yang Farel ingat dari teman-teman perempuan di kelasnya.

Farel tampak penasaran dengan keduanya. Kedua insan itu tampak sedang berbicara dengan serius, bahkan sampai tidak memperdulikan sekitar. Farel tetap berdiri dari jarak yang sekarang sudah tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdua mengobrol. Sampai dimana, Adys tidak sengaja melihat ke arah Farel dan melambaikan tangannya ke arah Farel seperti meminta Farel untuk menghampirinya disana. Farel mengangguk dan langsung berjalan ke arah Adys dan Nathan.

“Yaudah kabarin aja ya, Nat. Kalo bisa jangan sampe tiga hari, hehe.”

Nathan mengangguk, “Iya gue usahain. Yaudah, gue balik duluan ya. Kayaknya lo udah ditunggu orang, tuh.” Nathan melirik ke arah Farel yang berada di belakang Adys.

“Eh iya… Yaudah hati-hati ya, Nat.”

Nathan mengangguk dan langsung melajukan motornya, tanpa berpamitan dengan Farel.

“Rel, sini,” panggil Adys.

“Iya, teh?”

“Itu tadi si Nathan cuma bahas tentang kepanitiaan aja, kok. Muka kamu galak banget, ih! kayak mau makan orang,” ledek Adys.

“Teteh, ih!”

“Ini muka nahan panas tau,” sambungnya.

Panas liat teteh ngobrol sama si A Nathan,” ucap Farel dalam hati.

Adys terkekeh, “Kamu inget kan yang tadi di DM twitter? Orang yang aku maksud itu, dia.”

Sial, kenapa harus Nathan yang menjadi calon pengganti panitia baru? Memangnya tidak ada calon pengganti lainnya? Kenapa harus Nathan? Ia hanya khawatir, Adys akan memiliki perasaan kepada Nathan ataupun sebaliknya.

“Iya inget kok, teh. Wah… Bagus dong, terus gimana teh? A Nathannya mau?”

“Belum,”

“Tadi masih nanya-nanya tentang kepanitiaan sama tugasnya kayak gimana… Eh maaf motong, tapi itu kamu bawa apa?” tanya Adys yang salah fokus setelah melihat kantong plastik yang ada ditangan kanan Farel.

Farel langsung melihat ke arah kantong plastik itu, “Oh ini, ini ada jus mangga buat teteh, takutnya teteh haus di jalan, jadi Farel beliin. Nih, teh… Di ambil.” Adys langsung mengambil satu gelas jus mangga pemberian Farel.

Nuhun ya… Ini aku minum nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa,” jawab Farel.

“Ayok, minumnya bareng.”

“Sekarang?”

“Iya, masa tahun depan! ya sekarang atuh, Rel!”

“Kita nggak jadi jalan dong, teh? Ini mau minum jus mangga aja?”

Adys terkekeh akibat melihat muka bingung sekaligus panik Farel, “Ya minum dulu, baru abis itu jalan. Biar seger.”


Setelah selesai menghabiskan jus mangga pemberian Farel tadi, kini keduanya sudah berada di atas motor milik Farel. Angin kencang menjadi pelengkap perjalan mereka berdua. Farel sedikit bersenandung yang membuat Adys menggerakkan kepalanya sesuai dengan irama yang diberikan Farel. Saat sedang asyik menikmati perjalanan yang dilengkapi oleh angin sore kota Bandung, Lampu lalu lintas yang berada beberapa meter dari motor Farel langsung berubah warna menjadi merah. Hal itu membuat Farel harus menghentikan motornya.

“Teh, ini kita mau kemana?” tanya Farel memastikan.

Mcd!”

“Kok tiba-tiba banget, teh?” tanya Farel.

“Aku lupa traktir kamu Mcd waktu itu.”

“Kapan, teh? Emang ada janji mau traktir Farel disana?”

“Waktu pas kamu jemput aku di sekolah. Aku bilang ke si Haris, siapa yang jemput aku waktu itu, bakalan aku traktir Mcd,” ucap Adys sedikit memajukan kepalanya, agar Farel bisa mendengar ucapannya dengan sempurna.

“Ih nggak usah teteh! jadi repot tau.”

“Nggak nerima penolakan ah, tuh, ayok jalan. Udah hijau lampunya.”

“Hadehhhh, yaudah iya ayok, ke Mcd.” Farel kembali menjalankan motornya. Baru beberapa menit Farel menjalankan motornya, ia langsung dibuat terkejut oleh tangan yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya.

“Teh?”

“Farel, makasih ya karena udah baik sama aku. Ngomong-Ngomong, ini boleh kan pegangannya disini?”

Tubuh Adys mematung ketika melihat sosok laki-laki yang sudah terduduk di sebelahnya. Adys benar-benar ingin teriak sekarang juga. Farel menepuk-nepuk bahunya pelan.

“Sabar ya, teh,”

“Masih mau nangis nggak, teh?”

Adys menatap mata Farel dengan lekat, “Maneh tau darimana kalo aing abis nangis?”

“Farel denger semuanya, teh. Maaf kalo semisalnya nggak sopan, tapi tadi Farel denger pas teteh dimarahin abis-abisan sama A’ Chandra.”

Malu. Itu yang dirasakan Adys sekarang.

“Udah, ya teh, omongan si A’ Chandra nggak usah diambil hati. Teteh mah keren selalu, nih Farel kasih dua jempol.” Farel mengacungkan kedua jempolnya ke arah Adys. Adys tertawa dengan sikap Farel.

“Teh, kalo mau nangis ajak-ajak atuh, biar nggak lonely. Lagian kan kalo ngajak Farel bisa Farel pinjemin pundak.”

“GENIT!”

Adys sekarang sedang meberanikan diri untuk pergi menghadap Chandra, selaku ketua panitia acara cup sekolah. Ia benar-benar sudah pasrah jika nantinya Chandra akan memarahinya abis-abisan. Lagi pula ini juga salahnya.

Kini Adys telah sampai di depan kelas Chandra. Namun, saat ia menanyakan keberadaan Chandra, teman sekelas Chandra memberitahu bahwa Chandra belum tiba di sekolah. Hal itu membuat Adys melangkahkan kakinya menuju meja piket yang berada di lantai satu untuk menunggu Chandra. Setelah menunggu kurang lebih 15 menit-an, akhirnya Chandra memunculkan batang hidungnya. Adys langsung menahan Chandra.

“Adys? Kenapa, Dys?” Chandra kebingungan karena Adys yang tiba-tiba menahan tangannya.

“Ehm, anu, gini Dra…”

“Kenapa?” Chandra membawa Adys ke pinggir koridor, karena sebelumnya posisi mereka dapat menghalangi murid-murid yan berlalu-lalang di tengah koridor.

“Gini, sebelumnya gue minta maaf banget sama lo. Aduh, gimana ya ngomongnya?” Adys menggigit bibirnya, ia takut dengan respon Chandra nantinya. Walaupun sebelumnya ia sudah pasrah.

“Apa, Dys? Bilang aja.”

Adys memejamkan matanya, “File, surat izin hilang, Dra.”

Kedua bola mata Chandra membulat sempurna, “Kok bisa sih, Dis!”

“Gue—“

“Kan udah gue bilang, surat-surat atau berkas-berkas penting tuh langsung dipindahin ke flash-disk, kalo udah ilang gini kan repot!” Chandra meninggikan intonasi suaranya, membuat satu koridor memperhatikan mereka berdua.

“Udah, Dra. Gue udah pindahin semuanya ke flashdisk, tapi gue bener-bener nggak tau kenapa tiba-tiba filenya bisa ilang gitu.”

“Lo tuh teledor, Adys! seharusnya lo bisa cek dulu sebelum flashdisknya lo eject. Sekarang gimana? Jam 9 harus tetep rapat. Gue nggak mau tau, lo harus bikin surat izin untuk semua panitia.”

“Dra, mana sempet… Gue juga nggak bawa laptop. Kalo tulis tangan pasti nggak bakal diterima.”

“Udah gue bilang, gue nggak mau tahu! dari awal aja udah salah lo, lo yang tanggung jawab tentang masalah ini. Siapa suruh lo jadi sekretaris nggak becus banget.”

“Gue cabut. Pokoknya gue mau lihat semua panitia udah kumpul di ruang osis jam 9!” Chandra melengos pergi meninggalkan Adys seorang diri.

Tubuh Adys sudah gemetar, air matanya sudah membendung, namun tetap ia tahan agar air matanya tidak lepas dari benteng pertahanannya. Dadanya terasa sesak bukan main, ucapan Chandra barusan benar-benar menyakiti perasaannya. Ia tahu bahwa ini semua salahnya, tapi apa pantas Chandra berbicara seperti itu?

Tatapan mata murid-murid yang berlalu-lalang di koridor seperti mengasihani Adys. Adys yang kurang nyaman dengan tatapan itu langsung pergi menuju kelasnya. Tanpa disadari, sedaritadi seseorang yang sedang duduk bersender di bangku koridor mendengar semua percakapan mereka dengan satu tangannya yang mengepal kuat.