scrpleo

Jalanan kota Bandung malam ini nampak begitu padat. Suara bising klakson motor dan mobil yang sedaritadi seperi bersaut-sautan itu mulai mengganggu indera pendengaran Farel dan Haris.

“Setel lagu atuh, Ris. Sunyi pisan ini mobil kayak orang pacaran lagi ribut.”

Atuhlah nyalakeun weh ih, kunaon mesti nunggu aing yang nyalain,” ucap Haris dengan nada sedikit kesal akibat melihat pemandangan jalan di depannya.

Farel yang melihat Haris sudah mengerutkan alisnya langsung terkekeh, “Uluh… Uluh… Meuni Galak pisan.”

“Sini, mau gantian nyetir nggak? Biar aing yang nyetir, maneh duduk disini. Mumpung masih berhenti nih,” sambung Farel seraya memberikan tawaran kepada sahabatnya.

“Nggak apa-apa?” tanya Haris.

“Ya, nggak apa-apa atuh!”

Setelah itu keduanya langsung keluar dari mobil dan langsung bertukar tempat. Pintu mobil sudah kembali tertutup dengan Farel yang sudah berada di kursi pengemudi dan Haris yang sudah berada di kursi penumpang sambil menyenderkan tubuhnya ke belakang.

“Nanti mampir toko bunga dulu ya, Ris,” celetuk Farel.

Haris yang sedang memainkan ponselnya langsung melirik ke arah Farel dengan tatapan bingung. “Ngapain ke toko bunga?”

“Lah, kan aing mau nembak teteh manehKumaha sih, masa tiba-tiba amnesia.”

Haris langsung menegakkan tubuhnya, “MANEH SERIUS REL? SEKARANG BANGET?”

Dengan santainya Farel langusng mengangguk sembari menginjakkan gas mobil Haris.

“Wey, ayok lah gas beli bunga, si teteh suka semua jenis bunga. Tenang weh, maneh nggak perlu pusing nanti milihnya.”

Farel hanya menggelengkan kepalanya karena dibuat heran oleh Haris yang nampak begitu semangat.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit untuk memilih bunga apa yang cocok untuk Adys, kini keduanya telah sampai di lokasi tujuan. Kediaman Haris dan Adys nampak sepi dikarenakan kedua orang tua mereka yang masih belum kembali dari kantor. Jadi, hanya ada Adys dan ART yang berada di rumah.

Maneh tunggu sini dulu, Rel. Aing naik dulu, manggil si teteh, good luck buat maneh,” ucap Haris sambil tertawa yang kemudian di angguki oleh Farel.

Sembari menunggu Adys, Farel tidak berhenti untuk menggerakkan kakinya dan menarik napasnya berkali-kali. Ia benar-benar baru merasakan gugup saat ini. Agar tidak begitu gugup, ia berniat untuk mengeluarkan ponselnya. Namun, saat ia ingin mengeluarkan ponselnya untuk meredakan rasa gugupnya, tiba-tiba namanya dipanggil oleh seseorang dari arah belakang.

Farel melihat ke arah pemilik suara manis itu, “Cantik,” ucapnya dalam hati.

Adys yang baru saja turun dari tangga langsung menghampiri Farel yang tidak mengedip saat melihat dirinya. Jadilah ia melambai-lambaikan tanggannya di depan wajah laki-laki itu.

“Wey, biasa aja atuh liatinnya!”

“Cantik sih, teh.”

“Eh—aduh keceplosan, teh.” Farel memukul pelan bibirnya.

Adys terkekeh, “Gapapa, ih. Santai atuh! Nuhun ya, akunya udah dibilang cantik.”

“Eh, maneh bawa apa deh itu?” tanya Adys penasaran saat melihat sesuatu yang ada dibalik tubuh Farel.

“Hm…”

“Teteh,” panggil Farel yang langsung membuat jantung Adys mendadak berpacu lebih cepat dari biasanya. Padahal, laki-laki itu hanya memanggil namanya. Namun entah apa yang ia pikirkan hingga membuat jantungnya tidak karuan seperti sekarang ini.

“I-iya?”

Farel sedikit bergeser agar bisa lebih dekat dengan Adys, “Sebelumnya Farel mau bilang makasih sama teteh.”

“Kok makasih? Makasih untuk apa?”

“Makasih karena teteh waktu itu udah chat Haris buat minta tolong jemput di sekolah. Jujur, waktu si Haris minta tolong ke Farel, Farel teh seneng pisan. Akhirnya Farel punya kesempatan buat deket sama teteh. Kalau teteh bertanya-tanya kenapa Farel bisa seseneng itu, karena sebenernya Farel udah suka sama teteh dari jaman teteh nge-opsek Farel sama si Haris. Dari situ Farel teh langsung kayak jatuh cinta pada pandangan pertama, beuh meuni alay pisan ya anak baru masuk SMA…”

“Tapi, pas tau fakta kalo teteh teh udah ada yang punya, alias si Haris ngasih tau ke Farel kalo teteh udah punya pacar, bikin Farel mundur buat ngejar teteh. Jadinya Farel milih buat pendem aja gitu perasaan Farel ke teteh. Terus sampe dimana Haris minta tolong ke Farel buat jemput teteh dan udah, tiba-tiba Farel jadi bisa deket dan banyak interaksi sama teteh, padahal sebelumnya teh cuma asal senyum kalo ketemu di rumah teteh atau kalo teteh lagi nyamperin si Haris.”

“Nah, sekarang kan teteh udah tau. Jadi, boleh nggak kalo Farel minta izin ke teteh buat jadi pacar Farel? Ini mah sebenernya Farel udah percaya diri banget karena teteh udah kasih boyfriend application ke Farel. Tapi ini biar lebih resmi aja sih, teh.”

Lucu, Adys benar-benar dibuat gemas oleh Farel.

“Teh? Berubah pikiran ya, teh? Nggak mau ya jadi pacar Farel?” tanya Farel.

Adys menggeleng.

“Kalo aku kasih izin, aku juga boleh nggak minta izin sama kamu buat jadiin kamu pacar aku?”

Detik itu juga senyuman Farel langsung mengembang, “TETEH!!!”

“Ya boleh, atuh!” ucap Farel dengan sangat antusias.

“Jadi sekarang udah resmi nih, Teh? Kita pacaran nih?”

Adys mengangguk dengan sedikit malu-malu. “Asik!” teriak Farel dengan refleks.

“Oh iya teh, sakedap. Farel punya sesuatu.”

“Apa?”

Farel mebalikkan badannya untuk mengambil sesuatu yang berada di balik tubuhnya.

“Nih, bunga buat teteh dari pacar baru teteh, ihiw. Kata si Haris, teteh suka semua bunga. Semoga teteh suka ya sama pilihan Farel.”

Mata Adys langsung berbinar ketika Farel mengambil buket bunga dari belakang tubuhnya. Ia langsung menerima pemberian bunga dari Farel dan menghirup aroma dari bunga-bunga itu.

Nuhun ya, Rel, aku suka banget!!!”

“Sama-sama, teteh.” Farel tersenyum sembari menatap Adys yang nampak begitu senang dengan bunga pemberiannya.

Adys yang merasa ditatap pun langsung tersadar dan ikut menatap lekat bola mata Farel.

“Teh,”

“Hm?”

“Tadi tangan yang dipegang sama A’ Nathan sebelah mana?”

Kunaon tiba-tiba jadi bahas si Nathan?”

“Nanya doang teh, yang sebelah mana?”

Farel nampak begitu serius dengan pertanyaannya tadi, jadilah Adys langsung menjulurkan tangan kanannya. “Ini.”

Tangan sebelah kanan Adys langsung digenggam erat oleh Farel.

“Nih, udah Farel hapus bekas tangannya A’ Nathan. Jadi cuma ada bekas tangan Farel disini.” Farel berbicara sembari menatap ke arah punggung tangan Adys.

“Besok-besok kalo A’ Nathan genit, bilang Farel ya teh.”

“Kenapa gitu?”

“Mau Farel ajak duel futsal.”

Adys tertawa, “Eleuh… Eleuh… gaya banget pacar aku.”

Farel yang mendengar dua kata terakhir yang barusan saja dikatakan oleh Adys langsung salting bukan main.

“Hm… Rel,” panggil Adys disela-sela tawa Farel.

“Iya, teh?”

“Aku boleh minta sesuatu?”

“Apa teh?”

“Yang digambar sama kamu tadi diboyfriend application,” ucap Adys tanpa ragu. Karena jujur, ia benar-benar menginginkannya.

Seketika mata Farel langsung membulat ketika mengingat gambar apa yang tadi sempat ia buat untuk Adys.

“Ih, nggak boleh, ya?” tanya Adys setelah melihat reaksi Farel.

“Yaudah aku balik ke ka—“

grep

Farel langsung menarik tubuh Adys ke dalam pelukannya. Kini gantian Adys yang membulatkan matanya akibat Farel yang tiba-tiba memeluknya dengan erat.

“Teh, teteh minta setiap hari juga Farel bolehin teh.”

Adys langsung memukul pelan punggung Farel. Sedangkan Farel, ia hanya terkekeh sembari mengelus-elus kepala Adys dengan sayang.

“Teh,”

Adys melirik ke arah wajah Farel, “Iyaa?”

“Farel teh sayang pisan sama teteh.”

“WEY, KALO MAU PELUKAN LIAT TEMPAT DONG.” Haris yang baru saja turun dari tangga langsung berteriak ke arah dua insan yang sekarang sudah melepaskan pelukannya.

flashback on.

“Gue suka sama lo, Dys.”

Kalimat itu cukup mengejutkan Adys, apalagi tangan Nathan yang sudah lebih dulu memegang tangannya erat. Adys berusaha untuk menyingkirikan tangan Nathan dari atas punggung tangannya, namun Nathan lebih dulu menahannya.

“Sebentar, Dys.” Itu yang Nathan katakan.

“Kalo gue minta lo buat jadi pacar gue, lo mau?” Pertanyaan itu cukup membuat Adys menunjukkan ekspresi yang lebih terkejut dari sebelumnya.

“Nat…”

“Jujur aing kaget karena maneh yang tiba-tiba confess kayak gini. Aing bener-bener ngehargain maneh banget yang udah berani jujur gini ke aing. Tapi, maaf banget Nat, aing nggak bisa pacaran sama maneh.

Nathan menatap Adys dengan tatapan sedu, “Kenapa?”

Aing sama sekali nggak ada perasaan sama maneh Naf, maaf. Dari awal aing teh cuma anggep kita temen, nggak lebih.”

Nathan mengangguk paham, “Oke gue paham, lo lagi suka sama orang kan?”

“Nat?”

“Temennya adek lo kan? Yang waktu itu ketemu di gerbang deket pos?”

Adys tidak percaya dengan apa yang Nathan katakan, bagaimana ia bisa mengetahui fakta itu.

“Tadi di kantin, pas futsal udah selesai tanding, gue nggak sengaja denger adek lo sama temennya itu bahas tentang lo, bahas tentang hubungan lo sama dia juga,”

“Bener kan, Dys?”

Mau tidak mau Adys harus mengakui fakta tersebut.

Adys mengangguk, “Maaf ya, Nat.”

“Kenapa minta maaf? Namanya juga perasaan, Dys. Santai aja, ini gue confess ke lo ya biar gue nya lega juga.” Nathan teresenyum.

“Nat.”

“Iya?”

“Makasih ya udah baik sama aing, makasih juga karena maneh nggak marah sama respon aing.”

Nathan terdiam sebentar, sebenarnya ada rasa sakit pada dadanya. Namun ia tidak bisa memaksakan perasaan Adys untuk membalas perasaannya. Nathan berusaha untuk menghargai apa pilihan Adys. Baginya, berteman dengan Adys saja sudah cukup membuatnya senang.

Nathan kembali bersuara, “Sama-sama, Dys. Yaudah, gue balik deh, ya? udah mau malem. Badan pegel-pegel, nih.”

“Yaudah,” ucap Adys.

“Lo nggak balik?”

“Lagi nunggu Fa—Temen!”

“Oh namanya Fa—siapa, Dys?” ledek Nathan.

“Nat ih! Iya, nungguin temennya si Haris. Tadi udah janjian tapi belom dateng-dateng. Aing udah chat juga nggak bales.”

“Yaudah, balik bareng gue aja. Udah malem gini, Dys. Ini gue lagi nggak modus ya, tapi liat taman yang gelap gini ditambah sepi bikin gue merinding apalagi di sebelah poh—Aw!”

Adys memukul pelan lengan Nathan.

Maneh ih, stop! Jangan nakutin.”

“Nggak nakutin, Dys. Beneran tau.”

“Ayok, makanya ikut pulang bareng gue aja.”

Adya menatap sekeliling taman komplek yang memang cukup remang dan sepi. Ia tidak bisa membayangkan kalau dirinya tetap menunggu Farel disini dengan seorang diri. Jadilah ia meng-iyakan ajakan Nathan untuk pulang bersama.

“Yaudah, hayuk!”

flashback off.

Setelah mengetahui bahwa tim futsal SMANSA tidak berhasil mendapatkan piala kemenangan. Adys langsung memberikan beberapa pesan kepada Farel untuk meminta laki-laki itu agar menemuinya setelah selesai rapat eval nanti. Namun dirinya belum juga mendapat balasan dari Farel.

“Dys, ayok ke aula. Eval dulu.” Chandra lagi-lagi meneriaki namanya.

“Iya, kaheula,” sahutnya.

Adys kembali melihat ponselnya sebelum pergi ke aula. Namun masih tetap sama, ia belum menerima notifikasi pesan dari Farel. Ia memutuskan untuk memasukkan ponselnya ke dalam kantung saku celananya dan langsung berjalan ke aula.

Kini semua panitia sudah berkumpul di dalam aula. Adys tidak sengaja mendapat tempat duduk di sebelah Nathan dikarenakan tidak ada lagi kursi yang kosong. Namun ia sama sekali mempermasalahkan itu dan kembali fokus dengan Chandra yang sedang berbicara di depan sana.

Nuhun pisan buat kalian yang udah bekerja keras hari ini, yang udah sabar kadang kena omelan aing, yang udah mau disuruh-suruh tengah malem buat bikin dekor. Pokoknya teh, nuhun pisan ya barudak.”

Satu persatu panitia lainnya juga mulai bergantian berbicara di depan sana untuk menyampaikan beberapa kekurangan dan keluh kesah.


Rapat eval baru saja selesai, Chandra selaku ketua panitia juga sudah membubarkan rapat dan menyuruh semuanya untuk kembali ke rumah masing-masing. Adys baru saja memakai totebagnya dan bergegas untuk keluar dari aula.

Sebelumnya, Farel telah membalas pesan singkat yang Adys kirimkan tadi. Farel meng-iyakan ajakan Adys untuk bertemu di taman komplek yang tidak jauh dari sekolah. Saat Adys ingin keluar dari gerbang sekolah, tiba-tiba saja Nathan kembali memunculkan batang hidungnya di hadapan Adys.

“Nggak lupa, kan?”

Adys menepuk jidatnya, i

Angin pagi pada hari ini cukup membuat Adys memeluk dirinya sendiri. Setelah selesai briefing tadi, Chandra langsung membagi-bagi tugas kepada seluruh panitia termasuk Adys. Adys diberi tugas untuk membangun stan dan mendekor area photobooth bersama Karissa dan Luel.

“Ini kumaha balonnya kempes gini, kurang ditiup atuh, Ca!” ujar Luel sembari memasang hiasan lainnya.

“Sabar, atuh! Aing teh ngos-ngos an. Napas dulu.”

“Sini aing yang niup aja, Ca.” Adys langsung mengambil balon yang ada ditangan Karissa.

“Jorok ih, maneh! Itu kan bekas mulutnya si Ica,” sahut Luel.

Aing niupnya pake sedotan yang beda!”

Setelah selesai dengan urusan menghias area photobooth, Adys menyempatkan diri untuk memakan bekalnya di taman yang lokasinya tidak begitu jauh dari lapangan. Ia duduk dipinggiran taman sembari menikmati roti selai cokelat yang telah dibuat oleh bundanya. Saat sedang menikmati bekalnya, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.

“Dys.”

“Ih! Maneh teh ngagetin aja, Nat!”

Yang ditegur langsung terkekeh karena melihat ekspresi Adys yang cukup lucu baginya.

“Maaf, Dys. Abisan gue liat lo sendirian disini, kebetulan tadi gue abis dari belakang kantin,” jelas Nathan.

“Oh gitu,” Adys hanya mengangguk sembari kembali menyantap rotinya.

“*Maneh udah kerja apa aja, Nat?” tanya Adys.

Nathan ikut duduk disebelah Adys, “Gue uda angkatin meja dari lanti tiga sampe bawah, bolak-balik. Terus tadi abis ambil kursi panjang di belakang kantin,”

“Ya pokoknya banyak deh, padahal gue bukan korlap tapi tetep ikut gotong royong juga.”

“Ya namanya juga teamwork, Nat. Saling membantu.”

Nathan hanya tersenyum sembari mengotak-atik kamera yang ia kalungkan dilehernya. “Dys, nengok sini dys.”

“Ngapain?”

*cekrek!”

Adys terkejut dengan suara kamera dan flash kamera yang menyinari pengelihatannya.

“Ih! Maneh ngapain foto *aing *!” Adys menepuk pelan tangan Nathan.

“Nge-test kamera kalo ngambil objek cantik tuh kayak gimana, Dys.”

Adys tersedak.

“Makanya kalo lagi makan jangan sambil ngobrol, Dys!” Nathan membukakan botol air mineral yang memang sudah ia beli tadi di kantin.

“Nih, minum.”

Nuhun, Nat.” Nathan mengangguk dan kembali melihat isi kameranya, lebih tepatnya jepretan gambar yang sebelumnya ia ambil. Nathan tersenyum melihat muka Adys yang sangat lucu dilayar kamera itu.

“Dys,” panggil Nathan.

“Apa?”

“Jangan lupa nanti setelah eval, jangan balik dulu, ya.”


Farel baru saja sampai di sekolah setelah tadi sempat berkumpul di gor belakang sekolah. Ia langsung menuju kantin untuk menunggu acara dimulai.

“Rel, bade kamana?” tanya Haris yang sedang memakai kaos kaki futsalnya.

“Kantin, ikut nggak, maneh?”

“Ikut! kaheula nya, aing pake kaos kaki dulu.”

Setelah menunggu Haris yang tadi sempat memakai kaos kaki futsal, kini keduanya sudah berjalan menuju kantin. Saat sedang melihat ke sembarang arah, matanya tidak sengaja melihat ke arah dua insan yang sedang asyik mengobrol di taman sekolah. Matanya membulat ketika mengetahui siapa kedua orang yang sedang asyik mengobrol itu. Adys dan Nathan. Keduanya nampak begitu akrab dan serasi. Hatinya mendadak gelisah. Gadis yang sudah lama ia sukai tertawa lepas dengan laki-laki yang cukup membuatnya tidak percaya diri.

Haris yang paham suasana langsung mendekati Farel dan menepuk punggung sahabatnya itu.

“Tenang weh, Rel! Cuma temen kok, percaya sama aing,” ucap Haris seraya menenangkan.

Farel tidak menghiraukan ucapan Haris dan memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya dengan perasaan cemas dan penasaran.

Sesampainya di kantin, Farel langsung memesan satu porsi nasi goreng yang pada akhirnya sama sekali tidak ia sentuh.

“Sayang atuh itu nasinya dianggurin begitu, mending dikasihkeun ke aing wae!”

“Tuh, sok kalo maneh mau makan.” Farel menyodorkan satu piring nasi goreng tersebut ke arah Haris yang duduk di depannya.

Haris terheran oleh sikap Farel setelah melihat kedekatan kakaknya dengan Nathan.

“Jangan galau, atuh! Maneh kan janji mau menang, kalo galau begini kan bikin nggak fokus. Kalo kalah, kumaha?”

“Yailah, belum tanding aja aing udah kalah, Ris!”

“Kata siapa?”

“Kata aing barusan.”

“Halah, maneh mah overthinking nggak liat situasi.” Haris kembali menyantap makanannya dan juga makanan milik Farel.

“Udah, ah. Sekarang fokus dulu buat menang, aing yakin teteh sam A’ Nathan teh cuma temenan aja.”


Suara pluit dari wasit menghiasi lapangan. Pertandingan futsal baru saja dimulai dengan SMANSA yang melawan SMA Bakti Esa. Farel mulai menghampiri lawan dengan segala macam teknik permainan yang ia pelajari. Teriakan para supporter dan suara pembawa acara cukup membuat para pemain bersemangat.

AYOK FAREL KASEP!!

HARISSS SEMANGAT YAAAAA

*Wey aing megang Bakti Esa, maneh teh saha?”

“AING SMANSA LAH GELOOOO”

GO SMANSA GO!

BAKTI ESA JAYAAAA

Teriakan para suporter juga sukses membuat Adys yang berada di aula langsung bergegas keluar dan menyaksikan pertandingan tersebut. Adys langsung berdiri di samping lapangan yang cukup dekat dengan area pertandingan.

Farel yang tadinya fokus dengan arah pandangan ke bola langsung beralih ke arah gadis cantik yang sudah berdiri di pinggir lapangan sembari meneriaki namanya. Gadis itu melemparkan senyumannya ke arahnya dengan final memberikan kata semangat tanpa bersuara. Seketika energi Farel langsung bertambah dua kali lipat, pikiran-pikiran buruk yang tadi sempat terlintas dibenaknya seketika menghilang begitu saja. Gadis itu sukses membuat Farel melupakan pikiran buruknya. Farel langsung membalas senyuman Adys dan kembali mengejar bola yang sebelumnya menjadi objek sasarannya.

Adys yang berada di pinggir lapangan tidak berhenti melihat ke arah Farel. Fokusnya sekarang hanyalah Farel. Ia berharap Farel dan tim futsal sekolahnya bisa menang dalam pertandingan ini.

Skor unggul dipegang oleh SMANSA, ayok semangat!!!” suara pembawa acara sukses membuat Adys berteriak kegirangan.

“Seneng banget?”

Adys terkejut oleh suara yang berasal dari sebelah kirinya. “Maneh lagi?”

“Iya, halo.”

“Ngapain sih maneh? Kok dimana aja ada.” Adys meledek Nathan.

“Ya, kan gue tugasnya foto-fotoin orang, Dys, Jadinya ya gue bakalan muter-muter.”

“Oh iya, aing lupa, hampura atuh.”

Tidak lama setelah itu, Chandra meneriaki nama Adys dari arah belakang. Adys langsung menghampiri Chandra dengan perasaan tidak ikhlas karena pertandingan belum selesai dan ia sudah harus pergi terlebih dahulu.

“Nat, aing dipanggil si Chandra, tuh. Duluan ya!”

Nathan hanya mengangguk sembari mengambil foto para peserta lomba.

“Iya, Dys. Samperin aja dulu,” kata Nathan.

Adys meninggalkan lapangan dengan Nathan yang juga berada disana dan langsung menghampiri Chandra yang sudah meneriaki namanya sedaritadi.

“Naon, Dra?”

“Itu, tolong bantu panggilin anak SMANDA buat siap-siap, ya.”

Adys mengangguk paham dan segera melaksanakan tugasnya.

“Siap, laksanakan!”

Pertandingan masih berlangsung dengan skor yang dibilang cukup menegangkan semua supporter. Skor menunjukkan pada angka 4-4. Farel dengan semangat menendang bola yang sedaritadi berpergiam kesana-kemari. Matanya seakan mencari keberadaan seseorang yang sebelumnya sempat ia lihat dipinggiran lapangan tempat ia berdiri sekarang.

Farel langsung melihat ke arah lawannya yang ingin mencetak gol, sebelumnya ia berdoa agar bola yang ditendang oleh musuhnya tidak masuk ke dalam gawang. Namun, dugaannya salah, lawannya berhasil mencetak gol denga sempurna. Skor akhir menunjukkan angka 4-5. Sangat disayangkan Farel dan tim futsal sekolahnya tidak bisa melanjutkan pertandingan ke sesi berikutnya, yaitu final.

Suara pluit berbunyi.

“Pertandingan selesai,” ujar sang wasit.

Setelah itu, sang wasit kembali berbicara untuk menyuruh kedua tim tersebut saling bersalaman di tengah lapangan. Farel dan teman-teman lainnya menyalami satu persatu para pemain dari SMA Bakti Esa dan tidak lupa memberi ucapan selamat. Setelah selesai dengan acara bersalaman tim futsal SMANSA langsung kembali masuk ke ruang ganti.

“Gapapa, nggak usah sedih begitu muka maneh, Dar!” ucap Reno selaku ketua futsal.

Aing sedih kita nggak bisa ganti jaring gawang.” Semuanya tertawa akibat ucapan Edar barusan.

“Kalem, euy! Banyak jalan menuju roma ceunah,” celetuk Dimas.

Dino memukul pelan lengan Dimas, “Halah bahasa maneh teh sok pisan.”

“Wey Rel! Naon muka maneh mendadak sedih gitu?” Kini gantian Farel yang menjadi sasaran Reno.

“H-hah? Eh nggak apa-apa.”

“Serius?”

Farel menangguk, “Hooh.”

Ngabohong wae maneh, Rel! Dia teh galauin si t—AW ANYING SAKIT REL! JANGAN CUBIT PERUT AING!!!”

Farel berterima kasih kepada dirinya sendiri karena ia langsung sigap untuk mencubit perut Dimas yang hampir saja kelepasan berbicara. Kalau tidak, bisa-bisa semua teman futsalnya bisa tahu tentang kedekatannya dengan Adys.

Hari ini jadwal Adys dan teman-teman panitia yang lainnya untuk mengadakan Technical Meeting untuk acara cup sekolahnya. Adys sudah terlebih dahulu berada di aula dengan Chandra yang sedari tadi sibuk dengan menghafal materi yang ingin disampaikan.

Kalem weh atuh, Dra.” Adys berusaha menenenangkan Chandra.

“Duh! Lagi tumbenan nih Dys, lagi nggak fokus,” sahut Chandra.

“Minum dulu minum.”

Setelah beberapa menit, siswa-siswi dari sekolah lain bahkan dari SMANSA sudah mulai berdatangan dan mulai mengisi kursi-kursi yang telah disediakan.

Chandra mulai membuka pertemuan hari ini. Adys juga ikut berbicara untuk membantu Chandra di depan sana. Saat sedang memberikan arahan, matanya tidak sengaja bertemu dengan mata laki-laki yang sedaritadi tidak berhenti memperhatikannya.

Laki-laki itu melemparkan senyuman hangat kepadanya. Adys yang masih memberikan arahan tanpa sadar juga membalas senyuman laki-laki itu.

Farel yang melihat Adys tersenyum ke arahnya langsung salah tingkah.

“Wey teteh senyumin aing balik wey!” batinnya.

Sedangkan Reno yang duduk di sebelahnya melihat Farel dengan tatapan bingung.

Maneh teh kenapa sih, Rel? Dari tadi kayak orang bener aja.”

“Eh—Apa No? Maaf, aing terlalu serius dan excited itu dengerin arahannya, nggak sabar euy! Tinggal sehari lagi.” Farel terkekeh.

Reno menggelengkan kepalanya pertanda tidak paham dengan sikap Farel. Sedangkan Farel, ia memilih untuk menahan salah tingkahnya dengan kembali mendengarkan Adys yang masih berbicara di depan sana.


Technical Meeting selesai dengan tepat waktu. Adys baru saja keluar dari toilet setelah tadi izin sebentar untuk buang air kecil. Ia berjalan mengitari koridor panjang yang sudah lumayan sepi. Baru saja ia ingin kembali masuk ke dalam aula, dirinya tidak sengaja berpapasan dengan Farel.

“Teteh?”

“E-eh… Maneh mau kemana?”

“Futsal teh,” jawab Farel.

“Teteh masih beberes?” Farel mencoba melihat ke arah aula yang masih ramai dengan panitia.

Adys mengangguk.

“Kamu mau futsal udah bawa minum belum, Rel?” tanya Adys.

Baru saja Farel ingin menjawab, Reno sudah lebih dulu meneriaki namanya agar segera berjalan menghampirinya.

Farel hanya menggeleng, “Belum teh, yaudah Farel izin ke lapangan ya teh, udah ditunggu yang lain.”

“Eh bentar!” tahan Adys saat Farel ingin berjalan menghampiri Reno.

Adys langsung masuk ke aula dengan sedikit berlari, Farel yang melihat itu langsung tertawa gemas karena melihat tingkah Adys.

Tidak lama setelah itu, Adys keluar dengan membawa dua botol air mineral.

“Nih, satu buat maneh, satu buat Haris. Masih ada sisa tadi bekas TM.” Adys memberikan dua botol air mineral ke arah Farel yang langsung diterima oleh Farel.

Nuhun ya, teh. Teteh semangat beres-beresnya!”

Adys mengangguk, “Makasih ya! Maneh juga semangat futsalnya, biar bisa menang!”

“Yaudah, gih, sana. Udah ditunggu yang lain tuh, nanti telat.”

Bukannya berjalan menuju lapangan, Farel malah terdiam sembari menatap lekat mata Adys.

“Kalo begini aing rela denda dua ribu permenitnya kalo telatnya karena ngobrol sama teteh!” ucapnya dalam hati.

“Rel?” Adys melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Farel.

Farel langsung tersadar dari lamunanbya dan langsung mengangguk, “Eh iya teh. Yaudah, aing futsal dulu ya teh!”

“Dah, teteh!” Farel berlari menuju lapangan sekolah.

Adys langsung kembali masuk ke dalam aula sembari tersenyum.

Eleuh.. Eleuh… Maneh teh selesai buang air kecil ketemu pangeran apa gimana, Dys? Masuk-masuk langsung cerah begitu muka maneh!”

“Ih! Berisik mulut maneh, Ca!”

flashback on.

“Gue suka sama lo, Dys.”

Kalimat itu cukup mengejutkan Adys, apalagi tangan Nathan yang sudah lebih dulu memegang tangannya erat. Adys berusaha untuk menyingkirikan tangan Nathan dari atas punggung tangannya, namun Nathan lebih dulu menahannya.

“Sebentar, Dys.” Itu yang Nathan katakan.

“Kalo gue minta lo buat jadi pacar lo, lo mau?” Pertanyaan itu cukup membuat Adys lebih terkejut dari sebelumnya.

“Nat…”

“Jujur aing kaget karena maneh yang tiba-tiba confess kayak gini. Aing bener-bener ngehargain maneh yang udah berani jujur gini ke aing. Tapi, maaf banget Nat, aing nggak bisa pacaran sama maneh.

Nathan menatap Adys dengan tatapan sedu, “Kenapa?”

Aing sama sekali nggak ada perasaan sama maneh Naf, maaf. Dari awal aing teh cuma anggep maneh temen.”

Nathan mengangguk paham, “Oke gue paham, lo lagi suka sama orang kan?”

“Nat?”

“Temennya adek lo kan? Yang waktu itu ketemu di gerbang deket pos?”

Adys tidak percaya dengan apa yang Nathan katakan, bagaimana ia bisa tahu tentang fakta itu.

“Tadi di kantin pas futsal udah selesai tanding, gue nggak sengaja denger adek lo sama temennya itu bahas tentang lo, bahas tentang hubungan lo sama dia juga,”

“Bener kan, Dys?”

Adys mengangguk, “Maaf ya, Nat.”

“Kenapa minta maaf? Namanya juga perasaan, Dys. Santai aja, ini gue confess ke lo ya biar gue nya lega juga.” Nathan teresenyum.

“Nat.”

“Iya?”

“Makasih ya udah baik sama aing, makasih juga karena maneh nggak marah sama respon aing.”

“Sama-sama, Dys. Yaudah, gue balik deh, ya? udah mau malem. Badan pegel-pegel.”

“Yaudah,” ucap Adys.

“Lo nggak balik?”

“Lagi nunggu Fa—Temen!”

“Oh namanya Fa—siapa, Dys?” ledek Nathan.

“Nat ih! Iya, nungguin temennya si Haris. Tadi udah janjian tapi belom dateng-dateng. Aing udah chat juga nggak bales.”

“Yaudah, balik aja bareng gue. Udah malem gini, Dys. Ini gue lagi nggak modus ya, tapi liat taman yang gelap gini ditambah sepi bikin gue merinding apalagi di sebelah poh—Aw!”

Adys memukul pelan lengan Nathan.

Maneh ih, stop! Jangan nakutin.”

“Nggak nakutin, Dys. Beneran tau.”

“Ayok, makanya ikut pulang bareng gue aja.”

Adya menatap sekeliling taman komplek yang memang cukup remang dan sepi. Ia tidak bisa membayangkan kalau dirinya tetap menunggu Farel disini dengan seorang diri. Jadilah ia meng-iyakan ajakan Nathan untuk pulang bersama.

“Yaudah, hayuk!”

flashback off.

Setelah mengetahui bahwa tim futsal SMANSA tidak berhasil mendapatkan piala kemenangan. Adys langsung memberikan beberapa pesan kepada Farel untuk meminta laki-laki itu agar menemuinya setelah selesai rapat eval nanti. Namun dirinya belum juga mendapat balasan dari Farel.

“Dys, ayok ke aula. Eval dulu.” Chandra lagi-lagi meneriaki namanya.

“Iya, kaheula,” sahutnya.

Adys kembali melihat ponselnya sebelum pergi ke aula. Namun masih tetap sama, ia belum menerima notifikasi pesan dari Farel. Ia memutuskan untuk memasukkan ponselnya ke dalam kantung saku celananya dan langsung berjalan ke aula.

Kini semua panitia sudah berkumpul di dalam aula. Adys tidak sengaja mendapat tempat duduk di sebelah Nathan dikarenakan tidak ada lagi kursi yang kosong. Namun ia sama sekali mempermasalahkan itu dan kembali fokus dengan Chandra yang sedang berbicara di depan sana.

Nuhun pisan buat kalian yang udah bekerja keras hari ini, yang udah sabar kadang kena omelan aing, yang udah mau disuruh-suruh tengah malem buat bikin dekor. Pokoknya teh, nuhun pisan ya barudak.”

Satu persatu panitia lainnya juga mulai bergantian berbicara di depan sana untuk menyampaikan beberapa kekurangan dan keluh kesah.


Rapat eval baru saja selesai, Chandra selaku ketua panitia juga sudah membubarkan rapat dan menyuruh semuanya untuk kembali ke rumah masing-masing. Adys baru saja memakai totebagnya dan bergegas untuk keluar dari aula.

Sebelumnya, Farel telah membalas pesan singkat yang Adys kirimkan tadi. Farel meng-iyakan ajakan Adys untuk bertemu di taman komplek yang tidak jauh dari sekolah. Saat Adys ingin keluar dari gerbang sekolah, tiba-tiba saja Nathan kembali memunculkan batang hidungnya di hadapan Adys.

“Nggak lupa, kan?”

Adys menepuk jidatnya, ia lupa bahwa ia juga memiliki janji dengan Nathan.

“Kenapa, Dys?”

“Lo lupa, ya?”

“Dikit,” Adys memamerkan deretan giginya.

“Parah, sih.”

“Yaudah, maneh ikut aing aja deh yuk, ke taman komplek. Aing juga ada janji sama orang disana.”

“Yaudah.”

Adys dan Nathan langsung berjalan berdampingan untuk menuju taman komplek. Karena lokasi yang sangat dekat, jadilah mereka tidak perlu menggunakan motor atau kendaraan lainnya untuk sampai disana.

Sesampainya disana, Adys langsung duduk di atas ayunan yang baru saja selesai digunakan oleh anak kecil. Nathan juga ikut duduk di atas ayunan yang berada di sebelah Adys.

Maneh mau ngomong apa, Nat?”

“Hm…”

“Jangan kaget tapi ya, Dys?”

Naon sih, jangan bikin penasaran atuh!”

“Gini, Dys. Lo mungkin lupa sih, tapi yaudah gue coba ingetin lagi ya. Inget nggak waktu lo pergi jenguk Keya abis operasi usus buntu di rumah sakit? Terus bintang dateng sama cowok pas ujan-ujan? Nah kalo lo lupa, cowok itu gue, Dys,”

“Lo mungkin nggak begitu sadar karena gue juga pake masker dan kondisi gue waktu itu beneran kuyup banget,”

“Dari situ gue selalu merhatiin lo yang cemasin Keya di dalam ruang inap, gue pengen banget nenangin lo dan bilang kalo Keya baik-baik aja, tapi gue terlalu takut karena kita sama sekali belum kenal,”

“Dan dari situ juga, gue kepengen lebih deket dan kenal sama lo tapi gue terlalu ragu karena gue takut lo risih atau gimana, tapi tiba-tiba Bintang bilang kalo panitia lagi butuh orang untuk di divisi yang emang cocok di gue dan gue sangat bersyukur karena itu lo yang minta,”

“Gue seneng bukan main pas lo minta nomor gue, walaupun mungkin lo mikir pas awal gue bales chat lo itu, gue bener-bener cuek dan agak sedikit galak. Tapi sebenernya gue seneng bukan main, Dys.”

Nathan menarik napasnya sebentar.

“Makin kesini, kita jadi deket juga jadi sering komunikasi dan gue bersyukur banget. Gue juga nyaman setiap ada di deket lo, Dys.”

Adys tidak berhenti menatap mata Nathan dengan rasa penasaran kalimat apa yang selanjutnya akan Nathan ucapkan.

Nathan sempat berhenti dan menunduk, “Lanjut, Nat.”

Mendengar Adys yang berbicara seperti itu membuat Nathan kembali menegakkan kepalanya dan menatap lekat bola mata Adys.

“Gue suka sama lo, Dys.”

deg

Gue suka sama lo, Dys.

Kalimat itu adalah kalimat pertama yang masuk ke dalam pendengaran Farel ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di taman depan komplek. Ia sedikit mengintip dari balik dedaunan untuk melihat siapa yang mengatakan kalimat itu. Matanya membulat, ia terkejut siapa yang mengatakan kalimat itu, terlebih lagi laki-laki itu sudah memegang tangan gadis yang ia sukai. Ada rasa kesal dan amarah setelah melihat pemandangan di depannya itu. Farel langsung pergi meninggalkan Adys dan Nathan yang berada disana.

Aing teh kalah cepet?” tanyanya dalam hati.

Bercanda banget.” Farel tertawa miris sembari melajukan motornya.

Acara cup sekolah benar-benar selesai. Semua panitia sibuk dengan melakukan operasi semut di lapangan, begitu juga dengan Adys. Ia membantu beberpa temannya untuk mengembalikan beberapa fasilitas sekolah yang digunakan untuk melengkapi acara cup tadi.

“Teh adys.”

Naon?”

“Sini biar Sammy yang angkat kursinya, teteh bantu ambilin sampah aja teh.”

“Waduh, nuhun ya, Sam!”

“Hooh, sama-sama teh.”

Adys yang tadi berada di tangga langsung kembali menuju lapangan. Tapi sebelum itu, ia berinisiatif untuk mencari sapu lidi yang berada di samping kantin. Saat sedang mengambil sapu, ia tidak sengaja mendengar obrolan anak Bakti Esa yang memang masih berada disana untuk menikmati makanan-makanan kantin sekolahnya.

“Wey udah aing bilang kan, kita teh pasti menang ngelawan si Reno dkk.”

deg

SMANSA kalah?” tanyanya dalam hati.

Salah satu anak Bakti Esa menyebutkan nama Reno yang jelas-jelas ia kenal siapa pemilik nama itu. Ia langsung mengambil ponselnya dan menyambungkan panggilan telepon dengan seseorang.

“Halo?”

“*Iya, halo teh? kunaon telepon Farel? Teteh butuh sesuatu?”

“Maneh dimana, Rel?”

Di gor teh, lagi mau eval. Tapi masih nunggu si Reno.”

“Nanti abis Eval ketemu aing di sekolah, bisa?”

Dimana tuh, teh?

“Di kantin.”

Oke teh, nanti aing kesana.

Adys memutuskan panggilan telepon akibat salah satu teman panitianya yang meneriaki namanya dari kejauhan

Angin pagi pada hari ini cukup membuat Adys memeluk dirinya sendiri. Setelah selesai briefing tadi, Chandra langsung membagi-bagi tugas kepada seluruh panitia termasuk Adys. Adys diberi tugas untuk membangun stan dan mendekor area photobooth bersama Karissa dan Luel.

“Ini kumaha balonnya kempes gini, kurang ditiup atuh, Ca!” ujar Luel sembari memasang hiasan lainnya.

“Sabar, atuh! Aing teh ngos-ngos an. Napas dulu.”

“Sini aing yang niup aja, Ca.” Adys langsung mengambil balon yang ada ditangan Karissa.

“Jorok ih, maneh! Itu kan bekas mulutnya si Ica,” sahut Luel.

Aing niupnya pake sedotan yang beda!”

Setelah selesai dengan urusan menghias area photobooth, Adys menyempatkan diri untuk memakan bekalnya di taman yang lokasinya tidak begitu jauh dari lapangan. Ia duduk dipinggiran taman sembari menikmati roti selai cokelat yang telah dibuat oleh bundanya. Saat sedang menikmati bekalnya, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.

“Dys.”

“Ih! Maneh teh ngagetin aja, Nat!”

Yang ditegur langsung terkekeh karena melihat ekspresi Adys yang cukup lucu baginya.

“Maaf, Dys. Abisan gue liat lo sendirian disini, kebetulan tadi gue abis dari belakang kantin,” jelas Nathan.

“Oh gitu,” Adys hanya mengangguk sembari kembali menyantap rotinya.

“*Maneh udah kerja apa aja, Nat?” tanya Adys.

Nathan ikut duduk disebelah Adys, “Gue uda angkatin meja dari lanti tiga sampe bawah, bolak-balik. Terus tadi abis ambil kursi panjang di belakang kantin,”

“Ya pokoknya banyak deh, padahal gue bukan korlap tapi tetep ikut gotong royong juga.”

“Ya namanya juga teamwork, Nat. Saling membantu.”

Nathan hanya tersenyum sembari mengotak-atik kamera yang ia kalungkan dilehernya. “Dys, nengok sini dys.”

“Ngapain?”

*cekrek!”

Adys terkejut dengan suara kamera dan flash kamera yang menyinari pengelihatannya.

“Ih! Maneh ngapain foto *aing *!” Adys menepuk pelan tangan Nathan.

“Nge-test kamera kalo ngambil objek cantik tuh kayak gimana, Dys.”

Adys tersedak.

“Makanya kalo lagi makan jangan sambil ngobrol, Dys!” Nathan membukakan botol air mineral yang memang sudah ia beli tadi di kantin.

“Nih, minum.”

Nuhun, Nat.” Nathan mengangguk dan kembali melihat isi kameranya, lebih tepatnya jepretan gambar yang sebelumnya ia ambil. Nathan tersenyum melihat muka Adys yang sangat lucu dilayar kamera itu.

“Dys,” panggil Nathan.

“Apa?”

“Jangan lupa nanti setelah eval, jangan balik dulu, ya.”


Farel baru saja sampai di sekolah setelah tadi sempat berkumpul di gor belakang sekolah. Ia langsung menuju kantin untuk menunggu acara dimulai.

“Rel, bade kamana?” tanya Haris yang sedang memakai kaos kaki futsalnya.

“Kantin, ikut nggak, maneh?”

“Ikut! kaheula nya, aing pake kaos kaki dulu.”

Setelah menunggu Haris yang tadi sempat memakai kaos kaki futsal, kini keduanya sudah berjalan menuju kantin. Saat sedang melihat ke sembarang arah, matanya tidak sengaja melihat ke arah dua insan yang sedang asyik mengobrol di taman sekolah. Matanya membulat ketika mengetahui siapa kedua orang yang sedang asyik mengobrol itu. Adys dan Nathan. Keduanya nampak begitu akrab dan serasi. Hatinya mendadak gelisah. Gadis yang sudah lama ia sukai tertawa lepas dengan laki-laki yang cukup membuatnya tidak percaya diri.

Haris yang paham suasana langsung mendekati Farel dan menepuk punggung sahabatnya itu.

“Tenang weh, Rel! Cuma temen kok, percaya sama aing,” ucap Haris seraya menenangkan.

Farel tidak menghiraukan ucapan Haris dan memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya dengan perasaan cemas dan penasaran.

Sesampainya di kantin, Farel langsung memesan satu porsi nasi goreng yang pada akhirnya sama sekali tidak ia sentuh.

“Sayang atuh itu nasinya dianggurin begitu, mending dikasihkeun ke aing wae!”

“Tuh, sok kalo maneh mau makan.” Farel menyodorkan satu piring nasi goreng tersebut ke arah Haris yang duduk di depannya.

Haris terheran oleh sikap Farel setelah melihat kedekatan kakaknya dengan Nathan.

“Jangan galau, atuh! Maneh kan janji mau menang, kalo galau begini kan bikin nggak fokus. Kalo kalah, kumaha?”

“Yailah, belum tanding aja aing udah kalah, Ris!”

“Kata siapa?”

“Kata aing barusan.”

“Halah, maneh mah overthinking nggak liat situasi.” Haris kembali menyantap makanannya dan juga makanan milik Farel.

“Udah, ah. Sekarang fokus dulu buat menang, aing yakin teteh sam A’ Nathan teh cuma temenan aja.”


Suara pluit dari wasit menghiasi lapangan. Pertandingan futsal baru saja dimulai dengan SMANSA yang melawan SMA Bakti Esa. Farel mulai menghampiri lawan dengan segala macam teknik permainan yang ia pelajari. Teriakan para supporter dan suara pembawa acara cukup membuat para pemain bersemangat.

AYOK FAREL KASEP!!

HARISSS SEMANGAT YAAAAA

*Wey aing megang Bakti Esa, maneh teh saha?”

“AING SMANSA LAH GELOOOO”

GO SMANSA GO!

BAKTI ESA JAYAAAA

Teriakan para suporter juga sukses membuat Adys yang berada di aula langsung bergegas keluar dan menyaksikan pertandingan tersebut. Adys langsung berdiri di samping lapangan yang cukup dekat dengan area pertandingan.

Farel yang tadinya fokus dengan arah pandangan ke bola langsung beralih ke arah gadis cantik yang sudah berdiri di pinggir lapangan sembari meneriaki namanya. Gadis itu melemparkan senyumannya ke arahnya dengan final memberikan kata semangat tanpa bersuara. Seketika energi Farel langsung bertambah dua kali lipat, pikiran-pikiran buruk yang tadi sempat terlintas dibenaknya seketika menghilang begitu saja. Gadis itu sukses membuat Farel melupakan pikiran buruknya. Farel langsung membalas senyuman Adys dan kembali mengejar bola yang sebelumnya menjadi objek sasarannya.

Adys yang berada di pinggir lapangan tidak berhenti melihat ke arah Farel. Fokusnya sekarang hanyalah Farel. Ia berharap Farel dan tim futsal sekolahnya bisa menang dalam pertandingan ini.

Skor unggul dipegang oleh SMANSA, ayok semangat!!!” suara pembawa acara sukses membuat Adys berteriak kegirangan.

“Seneng banget?”

Adys terkejut oleh suara yang berasal dari sebelah kirinya. “Maneh lagi?”

“Iya, halo.”

“Ngapain sih maneh? Kok dimana aja ada.” Adys meledek Nathan.

“Ya, kan gue tugasnya foto-fotoin orang, Dys, Jadinya ya gue bakalan muter-muter.”

“Oh iya, aing lupa, hampura atuh.”

Tidak lama setelah itu, Chandra meneriaki nama Adys dari arah belakang. Adys langsung menghampiri Chandra dengan perasaan tidak ikhlas karena pertandingan belum selesai dan ia sudah harus pergi terlebih dahulu.

“Nat, aing dipanggil si Chandra, tuh. Duluan ya!”

Nathan hanya mengangguk sembari mengambil foto para peserta lomba.

“Iya, Dys. Samperin aja dulu,” kata Nathan.

Adys meninggalkan lapangan dengan Nathan yang juga berada disana dan langsung menghampiri Chandra yang sudah meneriaki namanya sedaritadi.

“Naon, Dra?”

“Itu, tolong bantu panggilin anak SMANDA buat siap-siap, ya.”

Adys mengangguk paham dan segera melaksanakan tugasnya.

“Siap, laksanakan!”

Pertandingan masih berlangsung dengan skor yang dibilang cukup menegangkan semua supporter. Skor menunjukkan pada angka 4-4. Farel dengan semangat menendang bola yang sedaritadi berpergiam kesana-kemari. Matanya seakan mencari keberadaan seseorang yang sebelumnya sempat ia lihat dipinggiran lapangan tempat ia berdiri sekarang.

Farel langsung melihat ke arah lawannya yang ingin mencetak gol, sebelumnya ia berdoa agar bola yang ditendang oleh musuhnya tidak masuk ke dalam gawang. Namun, dugaannya salah, lawannya berhasil mencetak gol denga sempurna. Skor akhir menunjukkan angka 4-5. Sangat disayangkan Farel dan tim futsal sekolahnya tidak bisa melanjutkan pertandingan ke sesi berikutnya, yaitu final.

Suara pluit berbunyi.

“Pertandingan selesai,” ujar sang wasit.

Setelah itu, sang wasit kembali berbicara untuk menyuruh kedua tim tersebut saling bersalaman di tengah lapangan. Farel dan teman-teman lainnya menyalami satu persatu para pemain dari SMA Bakti Esa dan tidak lupa memberi ucapan selamat. Setelah selesai dengan acara bersalaman tim futsal SMANSA langsung kembali masuk ke ruang ganti.

“Gapapa, nggak usah sedih begitu muka maneh, Dar!” ucap Reno selaku ketua futsal.

Aing sedih kita nggak bisa ganti jaring gawang.” Semuanya tertawa akibat ucapan Edar barusan.

“Kalem, euy! Banyak jalan menuju roma ceunah,” celetuk Dimas.

Dino memukul pelan lengan Dimas, “Halah bahasa maneh teh sok pisan.”

“Wey Rel! Naon muka maneh mendadak sedih gitu?” Kini gantian Farel yang menjadi sasaran Reno.

“H-hah? Eh nggak apa-apa.”

“Serius?”

Farel menangguk, “Hooh.”

Ngabohong wae maneh, Rel! Dia teh galauin si t—AW ANYING SAKIT REL! JANGAN CUBIT PERUT AING!!!”

Farel berterima kasih kepada dirinya sendiri karena ia langsung sigap untuk mencubit perut Dimas yang hampir saja kelepasan berbicara. Kalau tidak, bisa-bisa semua teman futsalnya bisa tahu tentang kedekatannya dengan Adys.

Pintu mobil baru saja tertutup, Farel baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan Adys yang sudah duduk di kursi penumpang depan atas perintah Farel sendiri. Haris dengan terpaksa duduk di belakang menjadi saksi kedekatan keduanya.

“Ngomongin apa tadi sama ayah? Kok sampe ketawa-tawa gitu?”

Farel yang sibuk dengan memasang sabuk pengamannya langsung menatap ke arah Adys.

“Kata ayahnya teteh, nanti Farel suruh gandeng teteh terus pas di mall,” ucap Farel yang membuat Adys menepuk lengannya pelan. “Ngasal aja kamu mah!”

“Ih kok ngasal sih, teh, itu beneran tau!”

Aing nggak percaya!”

“Yeh, yaudah kalo nggak percaya, Farel juga bakalan tetep gandeng teteh disana. Biar nggak ilang.” Farel langsung menyalakan mesin mobilnya dan mulai menginjakkan gas mobilnya.

“Wey, inget ada aing disini ya, tolong tahu diri.” Haris memajukan posisinya menjadi berada di antara Adys dan Farel.

“Dih, maneh teh saha, sih? Ngapain di mobil aing? Ganggu orang berduaan aja!” ledek Farel.

“Tau ah, sebel banget! Mending aing pake earphone!”

Haris benar-benar langsung memasangkan earphonenya dan menyenderkan kepalanya ke pinggir pintu tanpa memperdulikan kedua insan yang berada di depan sana. Adys sempat melihat kebelakang untuk memastikan Haris, ia terkekeh melihat adiknya yang benar-benar mengabaikannya dan juga Farel.

“Teh,” Panggil Farel.

Adys menengok ke arah Farel, “Iya?”

“Si Haris nggak lihat kesini kan, teh?”

“Iya enggak, kenapa?”

“Mau nggak, teh?”

“Mau apa?”

Farel membuka kepalan tangannya, “Pegangan.”

“Kayaknya nyetir pake tangan satu seru juga teh, apalagi kalo satu tangannya pegangan sama teteh.”

“Kamu teh jangan bercanda!”

“Nggak ada yang bercanda, teh. *Aing teh beneran ini ngajak pegangannya.”

Sejujurnya, Adys sedang berusaha menahan malu. Agar pipinya tidak berubah warna menjadi merah muda.

“Mau nggak, teh?”

“Maneh teh serius, Rel?”

Farel mengangguk.

“Tapi kalo Haris udah berisik, langsung lepas ya? Malu.”

Farel terkekeh, “Aduh, teteh lucu banget!”

“Ih, kok malah ketawa.”

“Iya-iya, maaf atuh. Yaudah siniin tangan teteh.”

Adys langsung menuruti perintah Farel. Tidak lama setelah itu, jari-jarinya sudah terpaut dengan lima jari milik Farel. Jantungnya langsung berdebar. Pipinya memanas. Adys ingin teriak sekarang juga. Lain halnya dengan Farel, ia tidak bisa berhenti tersenyum sembari sesekali menatap ke arah jalanan dan jarinya juga jari milik Adys yang saling terpaut.

“Teh, ini mah kayaknya susah lepas.”

“REL KAMU TEH DIEMMMM!!!”