scrpleo

Terhitung sudah 5 menit Farel duduk dimotornya untuk menunggu kedatangan Adys. Sekolah juga tampak begitu sepi, sudah tidak banyak murid yang berlalu-lalang di depan gerbang. Farel sangat yakin bahwa alasan Adys masih berada di sekolah pasti karena gadis itu baru saja selesai rapat untuk acara cup sekolahnya. Tidak lama setelah itu, Adys memunculkan batang hidungnya. Farel langsung memanggil Adys dan malambaikan tangannya ke arah gadis itu.

Sebenarnya, Adys sudah tahu siapa Farel. Adys juga sudah mengetahui wajah Farel. Namun, karena ia tidak ingin semua orang mengetahui fakta bahwa Farel merupakan salah satu orang yang ia sukai, maka ia berlaga seperti tidak mengenali siapa Farel, kecuali ketika sedang bersama Keya. Karena Keya merupakan satu-satunya orang yang mengetahui tentang fakta tersebut.

Adys langsung menghampiri Farel.

“Teh Adys, kan?” tanya Farel sembari menunjuk ke arah Adys untuk memastikan. Adys mengangguk.

“Oalah, bener berarti.”

“Bener apanya?” Adys sedikit tidak paham dengan ucapan Farel sebelumnya.

“Bener kalo ternyata teteh lebih cantik kalo dilihat secara langsung, apalagi jarak deket gi—Eh, maaf teh, Mulut suka ngga bisa di rem. Hayuk atuh, langsung naik aja, ini helmnya, teh.” Farel menyodorkan helm yang kebetulan tersimpan dimotornya.

Adys hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya sembari memakai helm milik Farel. Kalau boleh jujur, sebenarnya Adys ingin teriak sekarang juga. Pipinya sudah memanas, senyumnya sudah tidak bisa ia tahan. Adys benar-benar dibuat salah tingkah oleh laki-laki yang berumur satu tahun lebih muda darinya.

Motor Farel sudah berjalan mengitari jalanan kota Bandung. Langit yang tadinya tampak begitu cerah, kini sudah berubah warna menjadi ke abu-abuan. Suara petir juga melengkapi tanda-tanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Farel sempat khawatir karena ia sedang tidak membawa jas hujan, ia mulai menaikkan kecepatan motornya.

“Teh, ini mau hujan. Maaf kalo semisalnya Farel bawa motornya agak kenceng, soalnya Farel nggak bawa jas hujan. Teteh pegangan ya, teh,” ucap Farel dengan sedikit menengok ke arah belakang.

“Iya, nggak apa-apa. Hati-hati tapi ya, Rel,” sahut Adys.

Farel mengangguk, “Tenang, teh, aman!”

“Teteh udah pegangan belum?”

“Udah, kok.”

“Mana teh, kok nggak berasa?”

Adys yang mengerti maksud Farel langsung mencubit pelan lengan Farel. “Aduh! kok malah nyubit sih, teh? Orang disuruh pegangan juga…”

Maneh genit!” Farel tertawa puas dengan ucapan Adys barusan. “Ampun atuh, teh. Biar nggak canggung-canggung banget. By the way, salam kenal ya teh, walaupun sebenernya mah saya udah kenal sama teteh, tapi nama saya Farel teh, diinget ya, teh. Nuhun.”

“Siap. Salam kenal juga, ya.”

“Halah, kurang atuh kenalannya kalo belom tukeran nomor whasapp,” celetuk Farel.

“Minta si Haris aja ya, kalo disebutin disini juga pasti maneh nggak bakalan inget,” jawab Adys.

Farel membulatkan matanya, tidak percaya dengan respon Adys barusan.

“Teh, seriusan?”

“Iya, serius.”

Yes! eh maaf teh, kelepasan.” Adys hanya terkekeh melihat tingkah Farel yang terlihat sangat menggemaskan dimatanya. Sedangkan Farel, ia tidak bisa berhenti tersenyum sembari mengendarai motornya.

Terhitung sudah 5 menit Farel duduk dimotornya untuk menunggu kedatangan Adys. Sekolah juga tampak begitu sepi, sudah tidak banyak murid yang berlalu-lalang di depan gerbang. Farel sangat yakin bahwa alasan Adys masih berada di sekolah pasti karena gadis itu baru saja selesai rapat untuk acara cup sekolahnya. Tidak lama setelah itu, Adys memunculkan batang hidungnya. Farel langsung memanggil Adys dan malambaikan tangannya ke arah gadis itu.

Sebenarnya, Adys sudah tahu siapa Farel. Adys juga sudah mengetahui wajah Farel. Namun, karena ia tidak ingin semua orang mengetahui fakta bahwa Farel merupakan salah satu orang yang ia sukai, maka ia berlaga seperti tidak mengenali siapa Farel, kecuali ketika sedang bersama Keya. Karena Keya merupakan satu-satunya orang yang mengetahui tentang fakta tersebut.

Adys langsung menghampiri Farel.

“Teh Adys, kan?” tanya Farel sembari menunjuk ke arah Adys untuk memastikan. Adys mengangguk.

“Oalah, bener berarti.”

“Bener apanya?” Adys sedikit tidak paham dengan ucapan Farel sebelumnya.

“Bener kalo ternyata teteh lebih cantik kalo dilihat secara langsung, apalagi jarak deket gi—Eh, maaf teh, Mulut suka ngga bisa di rem. Hayuk atuh, langsung naik aja, ini helmnya, teh.” Farel menyodorkan helm yang kebetulan tersimpan dimotornya.

Adys hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya sembari memakai helm milik Farel. Kalau boleh jujur, sebenarnya Adys ingin teriak sekarang juga. Pipinya sudah memanas, senyumnya sudah tidak bisa ia tahan. Adys benar-benar dibuat salah tingkah oleh laki-laki yang berumur satu tahun lebih muda darinya.

Motor Farel sudah berjalan mengitari jalanan kota Bandung. Langit yang tadinya tampak begitu cerah, kini sudah berubah warna menjadi ke abu-abuan. Suara petir juga melengkapi tanda-tanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Farel sempat khawatir karena ia sedang tidak membawa jas hujan, ia mulai menaikkan kecepatan motornya.

“Teh, ini mau hujan. Maaf kalo semisalnya Farel bawa motornya agak kenceng, soalnya Farel nggak bawa jas hujan. Teteh pegangan ya, teh,” ucap Farel dengan sedikit menengok ke arah belakang.

“Iya, nggak apa-apa. Hati-hati tapi ya, Rel,” sahut Adys.

Farel mengangguk, “Tenang, teh, aman!”

“Teteh udah pegangan belum?”

“Udah, kok.”

“Mana teh, kok nggak berasa?”

Adys yang mengerti maksud Farel langsung mencubit pelan lengan Farel. “Aduh! kok malah nyubit sih, teh? Orang disuruh pegangan juga…”

Maneh genit!” Farel tertawa puas dengan ucapan Adys barusan. “Ampun atuh, teh. Biar nggak canggung-canggung banget. By the way, salam kenal ya teh, walaupun sebenernya mah saya udah kenal sama teteh, tapi nama saya Farel teh, diinget ya, teh. Nuhun.”

“Siap. Salam kenal juga, ya.”

“Halah, kurang atuh kenalannya kalo belom tukeran nomor whasapp,” celetuk Farel.

“Minta si Haris aja ya, kalo disebutin disini juga pasti maneh nggak bakalan inget,” jawab Adys.

Farel membulatkan matanya, tidak percaya dengan respon Adys barusan.

“Teh, seriusan?”

“Iya, serius.”

Yes! eh maaf teh, kelepasan.” Adys hanya terkekeh melihat tingkah Farel yang terlihat sangat menggemaskan dimatanya. Sedangkan Farel, ia tidak bisa berhenti tersenyum sembari mengendarai motornya.

Iyal meninggalkan tenda dengan perasaan gusar akibat percakapannya dengan Isyila tadi. Namun, ia sama sekali tidak ingin memikirkannya. Sudah biasa bagi Iyal melihat Isyila berpergian dengan Kemal. Saat keluar dari tenda, Iyal langsung disambut oleh kedua temannya, Syauqy dan Farhan.

“Woy, muka lo murung aja. Isyila lagi?” tanya Farhan sembari merangkul pundak Iyal.

Iyal mengangguk.

“Udah gua bilang, putusin aja si Isyila. Tuh, Lo liat, cewek SMANDA tuh cantik-cantik, Yal. Liat tuh, si Safeera… Cantik, jomblo, nggak repot kayak ce—ADUH! kok gue dijitak sih, Yal?” Farhan mengelus-elus kepalanya yang sebelumnya menjadi sasaran kekesalan Iyal.

“Lo ngomong enak banget, An! coba sini lo yang jadi gue. Kalo segampang itu buat minta putus sama Icil, gue juga udah minta putus!”

“Udah… Udah… Nggak usah lo dengerin tuh omongan si Aan, mending sekarang cepetan ke lapangan. Lo berdua nggak denger, tuh, si ketos udah berisik banget neriakin kita buat cepet-cepet ngumpul?” jelas Syauqy.

“Ah osis bacot, sok paling keren!!!” seru Farhan.


Nina berjalan seorang diri menuju lapangan sesuai dengan pesan yang dikirimkan oleh teman satu tendanya, Fayla. Daritadi Nina sama sekali tidak melihat batang hidung kedua temannya yaitu, Gamalael dan Zaro. Nina sempat berpikir bahwa mereka berdua benar-benar melupakan bahwa dirinya juga mengikuti acara perkekemahan ini. Ia tampak seperti orang yang kehilangan arah karena berjalan seorang diri tanpa tau arah tujuan. Tempat ini sangat luas, hal itu membuat Nina lupa dimana letak lapangan utama yang sebelumnya dipakai untuk upacara pembukaan. Ia berjalan sembari menghubungi Fayla dengan mengirimkan beberapa pesan kepada temannya itu.

“Aduh, Fayla kok Nggak ba—Aw!”

Nina baru saja bertabrakan dengan seseorang. Nina benar-benar ingin marah sekarang juga. Tadi pagi ia harus bertabrakan dengan seseorang, sekarang bahunya juga baru saja tertabrak oleh orang lain. Nina sempat membuang napasnya kasar, ia sisir rambutnya kebelakang guna untuk merapihkan tampilannya yang tadi sempat berantakan akibat terguncang oleh laki-laki tinggi yang menabrak bahunya.

“Bisa nggak kalo ja—Kak Aden?”

“Nina?”

“Eh, sorry-sorry Nin, gue nggak sengaja. Beneran nggak sadar kalo ternyata lo yang gue tabrak. Maaf, lagi buru-buru banget soalnya.”

Nina masih mematung, laki-laki yang sebelumnya ia bicarakan dengan Fayla benar-benar berdiri dihadapannya. Mungkin setelah bertemu dengan Fayla nanti, ia akan memberitahu kepada Fayla agar harus berhati-hati dalam mengetik atau berbicara. Aden yang melihat Nina tidak berkutik langsung melambai-lambaikan tangannya kedepan wajah milik Nina.

“Nin, hey, lo nggak apa-apa?”

Nina langsung tersadar dari lamunannya, “Eh—Nggak apa-apa kok, kak.”

“Oh syukurlah, panik gue.”

Nina tersenyum canggung, “Kak Aden mau ke lapangan juga?”

“Iya, lo juga?” tanya Aden. Nina mengangguk, “Iya, kak.”

“Oh yaudah, kalo gitu bareng aja.”

“Gimana, kak?”

“Kita ke lapangannya bareng. Berdua. Mau, nggak?”

Nina ingin teriak sekarang juga, tidak tahu kenapa jantungnya berdegup dengan sangat kencang setelah Aden mengajaknya untuk pergi bersama menuju lapangan. Aden lagi-lagi menanyakan pertanyaan terakhirnya untuk kedua kalinya, “Nin, mau nggak? kok malah bengong?”

“Eh, iya mau, kak.”

“Yaudah, ayok,” ajak Aden.

Aden langsung menyamakan jaraknya dengan Nina, keduanya langsung berjalan menuju lapangan dengan bersebelahan.

Sesampainya disana, Aden dan Nina langsung berpisah karena berbeda barisan.

“Makasih ya, kak.”

“Makasih terus, Nin, Mending bilang makasihnya pake nomor telepon lo.”

“Khanina, buruan masuk barisan kelas 11,” ucap salah satu osis yang tiba-tiba datang dari depan.

“NANTI YA KAK KALO KITA KETEMU LAGI.” Nina berteriak ke arah Aden yang membuat Aden tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Aden membalas ucapan Nina dengan mengacungkan jempolnya. Nina langsung berjalan menuju barisan kelasnya dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Fayla yang melihat Nina dari kejauhan langsung buru-buru memanggil Nina untuk segera masuk ke dalam barisan.

“Nin, itu tadi Kak Aden kan?” tanya Fayla dengan antusias. “IYAAAA.”

“Ih ketikan gue manjur! bener aja kan, lo beneran ketemu Kak Aden!”

“Ketikan lo bahaya banget, anjir! besok lo harus hati-hati deh.” Keduanya terkekeh dan langsung menyamakan barisannya dengan barisan yang ada disebelahnya.

Ketua osis memasuki podium yang telah disediakan. Kali ini si manusia gila matematika yang dikenal sebagai Reza, tidak akan membacakan peraturan sekolah, melainkan kegiatan yang akan dilanjutkan setelah ini.

“Setelah ini, kita akan melaksanakan kegiatan ishoma terlebih dahulu, selanjutnya akan dilaksanakannya kegiatan api unggun dan jurit malam. Diharapkan seluruh siswa kelas 10 dan kelas 11 langsung berkumpul dilapangan ini dengan membuat lingkaran. Untuk kelas 12 akan ada api unggun terpisah yang berada di lapangan sebelah sana.” Kalimat terakhir yang baru saja disampaikan oleh ketua osis sukses membuat suasana menjadi ricuh.

CURANG BANGET MASA KELAS 12 API UNGGUNNYA TERPISAH

TAU NIH, NGGAK ADIL BANGET OSISNYA

WOY KALO SIRIK TUH BILANG, BERISIK BANGET ANAK TENGAH

WADUH AMPUN KAK AGIT

Hanya kelas 11 yang berani meneriaki kelas 12 seperti itu, kelas 10 hanya menyimak apa yang sedang terjadi. Ketua osis langsung turun tangan untuk menyuruh semua siswa kelas 11 dan 12 agar kembali ke barisannya masing-masing dan kembali tertib. Ketua osis memberi sedikit penjelasan kepada semuanya tentang alasan mengapa kelas 12 mendapatkan api unggun terpisah. Itu semua karena kelas 12 akan segera lulus dan akan jarang dengan adanya momen seperti ini.

Karena suasana yang sudah kembali kondusif, ketua osis itu meminta agar seluruh siswa kelas 11 meminta maaf kepada seluruh siswa kelas 12. Berlebihan. Namun, seluruh siswa kelas 11 sudah lebih dulu berteriak untuk meminta maaf. Dirasanya cukup dan dapat diterim, ketua osis langsung membubarkan barisan dan meminta agar semua siswa melakukan waktu ishoma dengan baik.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 3 jam perjalanan, kini seluruh warga SMANDA telah sampai di lokasi perkemahan. Bus Nina adalah bus yang terakhir memasuki area perkemahan, karena sempat tertinggal oleh rombongan bus lainnya. Nina terbangun akibat suara bising yang disebabkan oleh kakak-kakak kelasnya.

Bus yang dinaiki oleh Nina kini sudah terparkir rapih di parkiran bus yang telah disediakan. Setelah sopir bus telah mematikan mesin dengan sempurna, seluruh siswa yang ada di dalam bus itu mulai menuruni bus dengan bergantian. Beruntungnya, Nina menjadi orang pertama yang turun melalui pintu belakang, jadi ia tidak perlu berlama-lama untuk berbaris di dalam sana. Ada untungnya juga ia telat datang ke sekolah.

Setelah keluar dari bus, Nina langsung berjalan menuju bagasi untuk mengambil kopernya. Ia sedikit mendengus karena tas koper miliknya tertimpa oleh tumpukan tas yang lain.

“Anjir, nyesel bawa koper. Jadi ketimpa-timpa gini,” ucapnya bermonolog.

“Yang mana tas lo?” Nina dibuat terkejut oleh suara berat yang berasal dari belakangnya. Ia langsung mebalikkan badannya untuk melihat siapa pemilik suara itu.

“Eh?” Nina tampak bingung, karena ia sama sekali belum pernah melihat siapa sosok yang berdiri dihadapannya ini.

“Yang mana tas lo? buruan. Yang mau ambil bagasi banyak.”

“Y-yang itu kak,” tunjuk Nina untuk memberitahu dimana keberadaan kopernya.

“Tunggu sana aja, gue ambilin. Yang warna pink muda kan?”

Nina mengangguk, kemudian ia menuruti perintah si kakak kelas tadi yang menyuruhnya untuk menunggu ditempat yang tidak terlalu jauh dari lokasi parkiran bus.

Tidak lama setelah itu, kakak kelas itu datang mengampiri Nina dengan tangan kanan yang membawa tas koper milik Nina dan tangan kiri yang sengaja menggantungkan jaketnya disana.

“Nih, bener kan?” tanyanya.

“Bener kak, makasih ya.” Nina tersenyum ke arah laki-laki yang berada dihadapannya.

“Aden.” Laki-laki itu menjulurkan tangannya. Nina sempat terdiam. Sampai akhirnya ia paham dengan maksud juluran tangan itu.

“Khanina.”

“Nama lo bagus,” ucap Aden.

T-thanks… I guess?

Aden hanya tersenyum, kedua netranya tidak berhenti menatap ke arah Nina. Nina yang mulai sedikit salah tingkah akibat ditatap seperti itu langsung berpamitan, “Duluan ya, kak. Sekali lagi makasih udah bantu ambil kopernya.” Nina langsung meninggalkan Aden tanpa menunggu balasan dari Aden.

Lucu.” Lagi-lagi aden tersenyum.

Anjir itu orang kenapa natap gue kayak gitu? Lo juga kenapa segala salting sih, Nin.


Sekarang seluruh warga SMANDA sudah sepenuhnya berkumpul. Kepala sekolah baru saja selesai membacakan amanat agar seluruh siswa tetap melaksanakan kegiatan perkemahan dengan sesuai aturan dan tata tertib sekolah. Nina yang merasa bosan mulai menggoyang-goyangkan tubuhnya.

“Nin, masih sikap istirahat di tempat,” ucap salah satu siswa laki-laki yang ada disebelah barisannya.

“Bawel,” sahut Nina. Nina tidak memperdulikan ucapan temannya itu, ia masih tetap menggoyangkan tubuhnya. Sampai akhirnya salah satu anggota osis yang berjaga dibelakang menghampirinya dengan tatapan sinis andalannya.

“Amanat kepala sekolah emang udah selesai, tapi abis ini ketua osis juga mau kasih amanat. Tolong dong, cuma disuruh sikap istirahat ditempat aja kok susah.” Salah satu anggota osis itu meninggalkan Nina dan langsung kembali ke barisan belakang. Nina hanya mendengus kesal dan kembali pada sikap istirahat ditempat.

“Kan udah gue bilangin, Nin. Batu sih… Jadi kena semprot osis kan.” Laki-laki itu terkekeh seperti meledek Nina.

“Berisik, Syauqy.”

Kini ketua osis sudah menggantikan posisi kepala sekolah. Ketua osis yang Nina kenal sebagai manusia gila matematika itu mulai membacakan beberapa peraturan dan tata tertib yang sudah dibuat.

Tidak ada yang boleh menggunakan ponsel genggam ketika sedang melaksanakan kegiatan resmi seperti, kegiatan api unggun dan jurit malam,

Dilarang pergi atau berkunjung ke tenda lawan jenis,

Ketika sedang ishoma, diharapkan seluruh siswa memanfaatkan waktu yang ada,

Dilarang begadang. Jika sudah memasuki jam tidur, siswa atau siswi diharapkan tetap berada di dalam tendanya masing-masing agar tidak menganggu siswa atau siswi yang lainnya.

“Sampai sini ada yang mau ditanyakan?” Semuanya menggeleng.

“Baik, kalo tidak ada yang ingin ditanyakan, barisan saya bubarkan. Kalian bisa langsung melihat nama kalian dan siapa teman satu tenda kalian di depan tenda yang sudah terpasang disana. Selebihnya mohon maaf, barisan saya bubarkan.”

Barisan benar-benar dibubarkan. Semua siswa SMANDA langsung pergi berhamburan untuk mencari nama merka dan mengetahui siapa yang akan menjadi teman satu tenda mereka. Nina dengan santainya berjalan sembari memutari area tenda untuk mencari namanya. 15, namanya terpasang di kertas yang tertempel di batang kayu di sebelah tenda bernomor 15. Ia mulai membaca satu persatu daftar nama yang akan menjadi teman satu tendanya.

“Fayla Andina. Aman ada Fayla, tapi tiga orang ini siapa ya? Asing semua.” Tanpa memperdulikan siapa ketiga teman lainnya yang akan menjadi teman satu tendanya, Nina langsung memasuki tenda dan mulai menyusun barang-barang bawaannya.

Tenda tampak masih kosong, belum ada satupun orang yang datang. Ternyata Nina menjadi orang pertama yang berada disini, sepertinya yang lain masih sibuk memutari tenda untuk mencari kebaradaan namanya. Sembari menunggu teman-temannya datang, Nina kembali mebereskan barang-barangnya dan mengeluarkan beberapa pakaian bersih untuk dipakai nanti.

Setelah selesai dengan acara memasang tenda dan bersantai sejenak, kini pengurus osis kembali memerintahkan seluruh siswa SMANDA untuk segera berkumpul dan berbaris di lapangan utama. Ketua osis kembali membacakan rundown acara selanjutnya yaitu api unggun dan jurit malam. Api unggun akan dilaksanakan setelah kegiatan ishoma. Sedangkan jurit malam akan dilaksanakan setelah kegiatan api unggun.

“Jam 18.30 semuanya udah harus bikin lingkaran di lapangan sebelah sana, nggak ada yang boleh telat dan nggak ada yang boleh rusuh pas bikin lingkarannya,”

“Untuk kelas 12, akan ada api unggun terpisah karena adanya keterbatasan tempat.”

Ucapan tersebut menimbulkan perseruan antara kels 11 dan kelas 12, karena merasa tidak adil.

“Dih, apaan kok enak banget dipisah gitu.”

“WOOOOO CURANG AGIT.”

“Lah sirik?”

“WOY ANGKATAN GUE JUGA MAU DONG API UNGGUN TERPISAH.”

“DIEM LO ANAK TENGAH.”

“IYA DEH AGIT”

Tidak ada protes dari seluruh siswa kelas 10, mereka memilih diam untuk mencari aman.

“Semuanya harap tenang, dikarenakan adanya keterbatasan tempat. Kami selaku pengurus osis dan kesiswaan telah merundingkan tentang masalah ini. Jadi, mau tidak mau kelas 12 akan melakukan kegiatan api unggun terpisah dengan kelas 10 dan kelas 11.” Ketua osis itu mulai menenengakan suasana yang sudah setengah ricuh.

Suasana sudah kembali kondusif, ketua osis kembali menyampaikan informasi selanjutnya, “Kegiatan jurit malam akan diadakan pukul 9 malam setelah kegiatan api unggun selesai. Diharapkan semua siswa membentuk kelompok masing-masing dengan jumlah anggota 6, cewek-cowok, tidak boleh cewek atau cowok semua.”

“Yah…”

“Ada yang keberatan? Boleh menyuarakan pendapat di depan sini, di sebelah saya.”

Seketika semuanya hening dan menggeleng. Ketua osis tahun ini memang dapat dibilang sangat tegas dan menyeramkan. Jadi tidak ada satupun murid yang membantah.

“Kalau begitu barisan saya bubarkan dan kalian bisa kembali untuk bersap-siap sebelum melaksanakan kegiatan ishoma… Oh iya, satu lagi, jangan lupa bawa senter untuk kegiatan jurit malam nanti.”

“Ada yang ingin bertanya sebelum barisan benar-benar saya bubarkan?”

Seluruh siswa saling menengok satu sama lain untuk melihat apakah ada yang ingin bertanya. Karena tidak ada yang bertanya, barisan benar-benar dibubarkan. Seluruh siswa SMANDA langsung pergi ke tendanya masing-masing untuk berisap-siap.

Alarm yang telah Nina pasang semalam tidak berhasil membuat ia bangun lebih awal. Nina sangat yakin bahwa ia telah memasang banyak waktu di alarm ponselnya, tapi ia sama sekali tidak mendengar bunyi dari alarm tersebut. Karena sudah terlambat beberapa menit, Nina langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya tanpa menghiraukan notifikasi yang terus berbunyi dari ponsel yang sedang ia genggam. Ia yakin seratus persen bahwa itu semua adalah notifikasi yang dikirimkan oleh teman-temannya untuk menyuruhnya agar segera datang ke sekolah.

Good morning, nyenyak banget tidurnya sampe nggak denger alarm bunyi dua belas kali.” Kian menyapa sang adik yang baru saja tiba di ruang makan.

Nina mendengus kesal sembari menggigit roti lipat yang sudah tersedia di atas meja makan. “Mas kok denger alarm Nina bunyi, tapi nggak bangunin Nina?”

“Udah! tapi kamar kamu dikunci, gimana mas mau masuk buat bangunin kamu?”

“Yaa, Oke, salah Nina. Yaudah ayok berangkat sekarang, Nina udah telat banget ini!” seru Nina sembari menarik pergelangan tangan Kian.

Kian langsung bangkit dari duduknya dan mengambil kunci mobil yang menggantung di atas meja marmer sebelah meja makan.

“Masuk duluan aja ke mobil, mas mau bangunin Kenan.”

Nina mengangguk sembari membawa koper yang dari semalam sudah ia tarih di bawah.

Tanpa menunggu lama, pintu mobil terbuka menujukkan sosok Kian yang langsung duduk di kursi kemudi. “Pake seatbeltnya, Nin.”

Nina yang sedaritadi sedang asyik membaca notifikasi pesan dari teman-temannya itu, langsung menaruh ponselnya dan segera mengikuti perintah sang kakak. Setelah itu, ia kembali membaca tumpukan notifikasi dari teman-temannya yang meminta Nina untuk segera datang agar tidak tertinggal bus nomor awal.

“Aduh... Ini sih fix kedapetan bus nomor akhir,” celetuk Nina sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Ucapan Nina barusan berhasil membuat Kian mengalihkan fokusnya, “Santai. Mas Kian siap anterin kamu sampe ke Cikole kalo semisalnya kamu ditinggal bus rombongan.”

“Yeh, itu mah maunya Mas Kian biar nggak pergi ngampus!”

Kian terkekeh, “Jangan bilang Ayah, hari ini mas mau absen.”

Mata Nina langsung melotot tidak percaya ke arah Kian, “Ih... Mau kemana?”

“Jalan sama temen, capek kali kuliah terus,” jawab Kian dengan santai.

“Cih, tidak patut.”


Suara jam wecker berhasil membuat Iyal membuka kedua kelopak matanya, matanya belum sepenuhnya terbuka sempurna. Iyal langsung melotot sembaru turun dari tempat tidurnya.

“Anjir jam 7?!” Iyal langsung berlari ke arah toilet.

Setelah membersihkan diri, Iyal langsung buru-buru berpamitan kepada kedua orang tuanya sembari menggit satu helai roti tanpa selai.

“Ayah, Bunda, Iyal jalan yaa…”

Motornya berlaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Sebenarnya ini bukanlah hal yang dapat kita lakukan. Tapi, dikarenakan ia sedang telat dan buru-buru, mau tidak mau ia harus melakukan itu.

tin tin

“Aduh lama banget sih ini lampu merah!”

“Elah, ini mobil siapa sih jalannya lelet banget?” Iyal hanya bermonolog sembari menunggu lampu lalulintas berubah menjadi warna hijau.


Setelah menghabiskan beberapa menit diperjalanan, kini mobil milik kakaknua sudah terparkir bebas di halaman sekolah yang sudah lama tidak ia kunjungi. Betul!, Kian merupakan salah satu alumni di sekolah ini.

Nina membuka pintu mobil dan langsung menampakkan kaki di halaman luas sekolahnya dengan Kian yang juga ikut turun dari mobil dan menyusul langkah sang adik.

“Mas ngapain sih ikut turun?” tanya Nina heran.

“Bawel ah, udah jalan aja. Tuh, pintu bus nya udah mau ditutup.” Kian menunjuk ke salah satu bus yang memang terlihat seperti sudah memenuhi kapasitas.

Karena penasaran, Nina kembali memutarkan badannya dan melihat ke arah bus yang ditunjuk oleh kakaknya tadi. Nina yakin seratus persen bahwa bus itu merupakan bus yang dinaiki oleh teman-temannya. Jadilah ia langsung berlari menuju bus tersebut dan tidak lupa mengucapkan salam perpisahan kepada kakknya tanpa menghiraukan balasan dari sang kakak. Sedangkan Kian, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari menatap kepergian adiknya sampai akhirnya ia juga ikut meninggalkan halaman sekolah tersebut.

Langkah Nina semakin kencang ketika salah satu gurunya mengumumkan dari kejauhan bahwa bus tersebut masih bisa menampung satu penumpang. Nina benar-benar sangat berambisi untuk memperebutkan kursi tersebut agar dirinya tidak terpisah oleh kedua temannya. Namun sangat disayangkan dirinya harus bersentuhan dengan tanah akibat laki-laki yang tidak sengaja menabraknya dari sisi samping kanan.

Bruk

“Aduh!”

“Woy! kalo jalan tuh liat-liat kek,” teriak Nina.

Laki-laki itu tidak menghiraukan ucapan Nina dan langsung berlari meninggalkan Nina yang masih dengan posisi jatuhnya. Nina mendengus kesal, bagaimana bisa ada orang yang sama sekali tidak tahu kata 'maaf'.

Nina bisa melihat jelas laki-laki itu berlari seakan-akan ingin mengalahkan dirinya untuk bisa masuk ke dalam bus itu untuk mendapatkan kursi yang menurut Nina merupakan kursi limited.

Sial. Ia berdecak sebal karena melihat pintu bus itu telah tertutup sempurna setelah laki-laki yang tadi menabraknya berhasil masuk ke dalam sana.

“Nyebelin banget, seharusnya gue yang masuk kesana!”

Mau tidak mau, Nina harus berpisah dengan kedua temannya yaitu Aro dan Gael dikarenakan dirinya tidak berhasil mendapatkan kursi limited tersebut. Nina kembali melangkahkan kakinya menuju bus yang tepat berada di belakang bus yang sebelumnya ingin ia naiki. Perasaan Nina saat ini sangat tidak bisa dideskripsikan. Ia hanya ingin memberikan umpatan kepada laki-laki yang tadi menabraknya.

“Apes banget. Liat aja, gue bakal cari itu cowok nyebelin!” batinnya.

Nina menuruni tangga dengan terburu-buru sembari meneriaki nama Kakak laki-lakinya.

“Mas Kian!!”

“Di bawah,” sahut Kian dari bawah.

“Mas, kenapa nggak bangunin kakak, sih?”

“Udah!” jawab Kian yang sedang duduk santai di ruang tengah. “Tapi kamu nya nggak bangun-bangun, jadi yaudah Mas Kian diemin,” sambungnya.

“Kenan mana? Ini kita tinggal nggak apa-apa?”

“Masih tidur, biarin aja nanti kan ada Bi Yu dateng,” sahut Kian.

“Yaudah, ayok berangkat sekarang! Nanti kakak kedapetan bis akhir.” Nina menarik tangan Kian agar segera

“Sabar, mau taro gelas dulu.” Kian berjalan menuju dapur. “Lagian kalo ketinggalan bis juga nggak apa-apa, Mas Kian anterin ke tempat kemahnya,” sambungnya.

“Bilang aja biar Mas bolos kuliah!”

Kian tertawa dan segera mengambil kunci mobil yang menggantung di atas meja marmer yang tidak jauh dari tempat ia berdiri.

Let’s go,” ucap Kian.

Seharusnya, Jurel bisa sampai dengan cepat ke rumah bercat putih yang berada tepat di depan rumahnya. Namun, sekarang ia sedang berada di salah satu warung kopi bersama Galih. Setelah selesai mengirimkan pesan terakhirnya kepada Kaysa, sahabatnya. Ia langsung buru-buru berpamitan dengan Galih dan beberapa teman-temannya.

“Balik duluan ya, urgent.” Jurel langsung mengambil jaket denimnya dan segera keluar dari warung kopi tersebut, tanpa mendengarkan balasan teman-temannya.

Motor Jurel kini sudah berjalan dengan kecepat sedang, sebelum ia kembali ke rumah, lebih tepatnya ke rumah Kaysa. Ia menyempatkan diri untuk singgah ke toko kue langganannya dengan Kaysa. Mengingat sahabatnya itu sangat menyukai cheesecake , ia langsung meminta pelayan bakery itu untuk segera membungkus beberapa slice kue tersebut.

Kini, motornya sudah terpakir di depan halaman rumah Kaysa. Dapat ia lihat, Kaysa sedang duduk di balkon rumahnya sembari menatap ke arah langit yang sudah berubah menjadi biru tua. Kaysa sama sekali tidak sadar dengan siapa yang baru saja tiba di depan rumahnya. Karena tidak mau mengganggu, Jurel langsung masuk ke dalam rumah Kaysa, pintunya tidak terkunci. Kebiasaan. Begini lah kalau Kaysa ditinggal seorang diri dirumahnya.

“Kay,” panggil Jurel yang kini sudah ikut duduk di sebelah Kaysa.

“Kapan dateng? Kok gue nggak denger suara motor lo?” tanya nya dengan mata yang terlihat sedikit sembab.

“Lo terlalu fokus liatin bintang!” Kaysa terkekeh. Namun, Jurel malah merasa sesak ketika melihat Kaysa tertawa dengan kondisi seperti ini.

“Kay, mau cerita?”

Kaysa merubah posisinya, mengarah ke Jurel.

“Udah dua bulan gue putus dari Biel, tapi kenapa ya Ju, gue masih suka kepikiran dia. Padahal dia udah main belakang sama gue. Udah gitu, gue yang diputusin! Seharusnya kan gue yang mutusin dia di depan selingkuhannya, bukan dia!”

“Ju, mungkin lo liat gue ketawa-ketawa dan fine-fine aja, tapi sebenernya tuh gue sedih banget Ju, ancur banget pas tau Biel kayak gitu. Tapi gue nggak mau semua orang tau, jadinya gue pendem.”

Air mata Kaysa berhasil lepas dari pertahanannya.

“Aduh, sorry, Ju. Gue seharus—“

Jurel mendekap tubuh mungil milik Kaysa. Kaysa sontak terkejut dengan perlakuan Jurel tiba-tiba.

“Nggak apa-apa, gue tau lo rapuh. Sini, nangis yang kenceng. Luapin semuanya, lampiasin ke gue kalo emang itu buat lo lega.” Jurel mengelus-elus pundak Kaysa.

Kaysa yang terbawa suasana langsung kembali menangis, membalas pelukan hangat dari Jurel dan sesekali memukul dada bidang milik Jurel untuk melampiaskan kekesalnnya. “Gue benci banget sama lo, Biel!” ucapnya.

“Liat aja ya, gue yakin lo nggak akan bahagia sama cewek baru lo itu! Gue doain semoga lo nyesel mutusin gue!!!” lanjutnya dengan sedikit teriak. Pukulan yang sebelumnya ia berikan ke Jurel kini ia hentikan.

Jurel melihat ke arah Kaysa, gadis itu masih menangis, namun sudah tidak begitu histeris seperti sebelumnya.

“Kay, gue tau lo lagi nggak baik-baik aja. Tapi gue minta sama lo, boleh?”

“Apa?” sahut Kaysa sembari melihat wajah Jurel.

“Gue minta, mulai sekarang tolong jangan pendem apapun yang emang lo nggak kuat untuk nyimpen itu sendirian. Gue tau mungkin agak sulit, tapi coba deh untuk cerita ke orang terdekat lo, atau orang yang emang udah lo percaya banget. Dari pada lo pendem sendiri, sakit sendiri, sedih sendiri. Nggak enak kan? Gue enggak maksa lo, tapi coba buat terbuka sama orang biar lo nggak ngerasain itu sendirian. Ke gue contohnya, coba kalo lo cerita ke gue, kan sakit dan sedihnya nggak sendirian, Kay.”

Kaysa mengangguk, masih di dalam dekapan Jurel. “Sorry, besok gue akan lebih terbuka lagi.”

Senyum Jurel mengembang ketika mendengar jawaban dari Kaysa.

“Udah, yuk? Nangisnya udahan. Tuh gue beliin cheesecake kesukaan lo. Jangan sedih-sedih lagi, Ah! muka lo kayak bebek tuh!!”

“Ih, nyebelin!! Mana mauuuu cheesecakenya.” Gadis itu langsung melepaskan pelukan Jurel dan langsung mengambil kotak kue yang berada di meja.

“Thanks, ya Ju! Lo emang terbaik,” ucap Kaysa sembari memakan potongan cheesecake dari Jurel.

Jurel tersenyum, kemudian mengangguk sembari menatapi Kaysa yang asik menyantap kue itu.

Kaysa, seandainya lo tau kalo gue sayang banget sama lo…

Thanks ya Ju, pelukan lo bikin gue tenang banget.

Seharusnya, Juan bisa sampai dengan cepat ke rumah cat putih yang berada tepat di depan rumahnya. Namun, sekarang ia sedang berada di salah satu warung kopi bersama Galih. Setelah selesai mengirimkan pesan terakhirnya kepada Kaysa, sahabatnya. Ia langsung buru-buru berpamitan dengan Galih dan beberapa teman-temannya.

“Balik duluan ya, urgent.” Juan langsung mengambil jaket denimnya dan segera keluar dari warung kopi tersebut, tanpa mendengarkan balasan teman-temannya.

Motor Juan kini sudah berjalan dengan kecepat sedang, sebelum ia kembali ke rumah, lebih tepatnya ke rumah Kaysa. Ia menyempatkan diri untuk singgah ke toko kue langganannya dengan Kaysa. Mengingat sahabatnya itu sangat menyukai cheesecake , ia langsung meminta pelayan bakery itu untuk segera membungkus beberapa slice kue tersebut.

Kini, motornya sudah terpakir di depan halaman rumah Kaysa. Dapat ia lihat, Kaysa sedang duduk di balkon rumahnya sembari menatap langit yang sudah berubah menjadi biru tua. Kaysa sama sekali tidak sadar dengan siapa yang baru saja tiba di depan rumahnya. Karena tidak mau mengganggu, Juan langsung masuk ke dalam rumah Kaysa, pintunya tidak terkunci. Kebiasaan. Begini lah kalau Kaysa ditinggal seorang diri dirumahnya.

“Kay,” panggil Juan yang kini sudah ikut duduk di sebelah Kaysa.

“Kapan dateng? Kok gue nggak denger suara motor lo?” tanya nya dengan mata yang terlihat sedikit sembab.

“Lo terlalu fokus liatin bintang!” Kaysa terkekeh. Namun, Juan malah merasa sakit ketika melihat Kaysa tertawa dengan kondisi seperti ini.

“Kay, mau cerita?”

Kaysa merubah posisinya, mengarah ke Juan.

“Udah dua bulan gue putus dari Biel, tapi kenapa ya Ju, gue masih suka kepikiran dia. Padahal dia udah main belakang sama gue. Udah gitu, gue yang diputusin! Seharusnya kan gue yang mutusin dia di depan selingkuhannya, bukan dia!”

“Ju, mungkin lo liat gue ketawa-ketawa dan fine-fine aja, tapi sebenernya tuh gue sedih banget Ju, ancur banget pas tau Biel kayak gitu. Tapi gue nggak mau semua orang tau, jadinya gue pendem.”

Air mata Kaysa berhasil lepas dari pertahanannya.

“Aduh, sorry, Ju. Gue seharus—“

Juan mendekap tubuh mungil milik Kaysa. Kaysa sontak terkejut dengan perlakuan Juan tiba-tiba.

“Nggak apa-apa, gue tau lo rapuh. Sini, nangis yang kenceng. Luapin semuanya, lampiasin ke gue kalo emang itu buat lo lega.” Juan mengelus-elus pundak Kaysa.

Kaysa yang terbawa suasana langsung kembali menangis, membalas pelukan hangat dari Juan dan sesekali memukul dada bidang milik Juan untuk melampiaskan kekesalnnya. “Gue benci banget sama lo, Biel!” ucapnya.

“Liat aja ya, gue yakin lo nggak akan bahagia sama cewek baru lo itu! Gue doain semoga lo nyesel mutusin gue!!!” lanjutnya dengan sedikit teriak. Pukulan yang sebelumnya ia berikan ke Juan kini ia hentikan.

Juan melihat ke arah Kaysa, gadis itu masih menangis, namun sudah tidak begitu histeris seperti sebelumnya.

“Kay, gue tau lo lagi nggak baik-baik aja. Tapi gue minta sama lo, boleh?”

“Apa?” sahut Kaysa sembari melihat wajah Juan.

“Gue minta, mulai sekarang tolong jangan pendem apapun yang emang lo nggak kuat untuk nyimpen itu sendirian. Gue tau mungkin agak sulit, tapi coba deh untuk cerita ke orang terdekat lo, atau orang yang emang udah lo percaya banget. Dari pada lo pendem sendiri, sakit sendiri, sedih sendiri. Nggak enak kan? Coba kalo lo bilang ke gue, kan jadi ada temennya.”

Kaysa mengangguk, masih di dalam dekapan Juan. “Sorry, besok gue akan lebih terbuka lagi.”

Senyum Juan mengembang ketika mendengar jawaban dari Kaysa.

“Udah, yuk? Nangisnya udahan. Tuh gue bawa cheesecake kesukaan lo. Jangan sedih-sedih lagi, Ah! muka lo kayak bebek tuh!!”

“Ih, nyebelin!! Mana mauuuu cheesecakenya.” Gadis itu langsung melepaskan pelukan Juan dan langsung mengambil kotak kue yang berada di meja.

“Thanks, ya Ju! Lo emang terbaik,” ucap Kaysa sembari memakan potongan cheesecake dari Juan.

Juan tersenyum, kemudian mengangguk sembari menatapi Kaysa yang asik menyantap kue itu.

Kaysa, seandainya lo tau kalo gue sayang banget sama lo…

Mobil sedan milik Aubrey baru saja terparkir di depan sebuah cafe dengan nuansa klasik yang berada di daerah ibu kota. Sebelum masuk ke dalam cafe tersebut, Aubrey mengambil barang-barangnya yang berada di kursi belakang. Dikarenakan Marola mengajaknya untuk belajar bersama, jadi Aubrey membawa beberapa buku dan laptopnya untuk membaca dan mencari materi dari pelajaran UAS besok.

Setelah selesai mengambil barangnya, ia langsung buru-buru masuk ke dalam cafe milik temannya, Abi. Dilihatnya dari kejauhan, Marola dan Abi sedang duduk bersebelahan sembari berfoto-foto dengan mesra. Aubrey langsung menghampiri keduanya.

“Woy, tau tempat kek!” tegur Aubrey ketika sampai di meja Marola dan Abi.

“Yeh, nggak ada tuh disini larangan untuk bucin! Yakan, Bi?” Marola menyenggol lengan kekasihnya. Abi hanya mengangguk.

“Udah gih Brey, mending lo pesen minum sana. Bilang aja temen Abi,” ujar Abi.

Aubrey langsung tersenyum lebar dan segera meninggalkan kedua temannya untuk menuju kasir.


Daffin baru saja sampai di cafe milik Abi. Saat sedang memarkirkan mobilnya, mobil yang berada disebelahnya tampak tidak begitu asing baginya. Mobil yang terparkir disebelahnya terlihat seperti mobil milik Aubrey. Tetapi, mengingat bahwa yang mempunyai mobil seperti itu bukan hanya kekasihnya saja membuat ia tidak terlalu memikirkannya.

Pintu cafe terbuka, Daffin langsung melihat ke segala arah untuk mencari keberadaan teman-temannya. Pandangannya terhenti ketika melihat Zaidan yang melambaikan tangan ke arahnya. Sepertinya Zaidan juga baru sampai walaupun tidak selama dirinya. Ia buru-buru berjalan menghampiri teman-temannya diujung sana.

“Lama banget, ditungguin juga!” Zaidan menarik Daffin agar duduk di kursi yang ada disebelahnya.”

“Macet, nyet!” sahut Daffin sembari melepas maskernya.

“Loh, kok nggak ada Adip? Lo pada cuma bertigaan aja?” tanya Daffin.

Babe, jawab apa? Ini Aubrey kalo udah balik dari toilet langsung liat Daffin, pasti dia pulang,” bisik Marola kepada Abi.

“Udah, kita diem aja.”

“Oy, kok diem sih? Gue tanya juga.”

“Eh, sorry. Ini kursi gu—“ Daffin terkejut dengan suara yang membuatnya menengok kebelakang. Sama halnya dengan Aubrey yang baru saja kembali dari toilet, ia benar-benar terkejut dengan kehadiran Daffin disini.

Mau tidak mau, Daffin langsung bangkit dan pindah tempat duduk ke sebelah kanan Zaidan.

“Anjing! lo kenapa nggak bilang kalo ada Aubrey juga,” Daffin berbisik ke arah Zaidan.

Sorry sorry, sengaja,” jawab Zaidan sembari tertawa pelan.

Suasana mendadak canggung sekarang. Aubrey tidak memperdulikan kehadiran Daffin disini, ia masih tetap sibuk dengan mempelajari materi.

“Eh, ngobrol kali, diem-diem an aja.” Zaidan mencolek lengan Aubrey yang dihadiahi oleh pukulan kecil dari Aubrey.

“Diem, gue lagi belajar.”

“Idih, sensi bener… Kenapa, sih?” Zaidan masih belum puas untuk menggoda Aubrey. Rasanya Aubrey ingin sekali menjambak rambut sahabatnya sekarang juga. Tapi, ia urungkan karena ia tidak mau membuat keributan disini.

Sedangkan Daffin, ia hanya beberapa kali melirik ke arah Aubrey yang sekarang berada di serongnya. Saat ingin mencoba melihat Aubrey lagi, ia tidak sengaja berkontak mata dengan Aubrey. Jantungnya mendadak berdegup kencang, ia langsung memalingkan wajahnya dan berlaga ikut membaca materi bersama Abi.

Aduh, berasa ketangkep basah gini gue,” batinnya.