scrpleo

Suasana tempat pusat perbelanjaan yang Aubrey kunjungi saat ini bisa dibilang cukup ramai, Aubrey sekarang sedang menunggu Abhima disalah satu tempat kopi favoritnya, starbucks coffe. Tadinya ia hanya ingin melakukan me-time untuk dirinya sendiri, tapi dikarenakan postingannya di salah satu instastorynya di instagram membuat Abhima pergi menyusulnya.

Saat sedang mengamati para pengunjung di pusat perbelanjaan itu, tiba-tiba ia dibuat kaget oleh Abhima yang datang dari belakang sembari menepuk pundaknya.

“Serem lo! udah kayak mau nge-hipnotis org!” seru Aubrey.

Abhima terkekeh, “Haha, sorry sorry, untung lo nggak nendang gue, Brey.”

“Tadinya mau, tapi gue malah refleks melotot.”

“Lo udah nunggu lama?” tanya Abhima yang ikut duduk di depannya.

“Lumayan, ya ada lah 20 menitan.”

“Itu gak lama!” seru Abhima.

Alih-alih membalas, Aubrey malah memasang muka meledeknya. Hal itu membuat Abhima gemas dengan sikap Aubrey dan tersenyum.

“Jangan ngeliatin gue gitu! ntar cowok gue marah!”

“Cowok lo kan di Jakarta, nggak ngeliat.”

“Inget cewek lo!” Tatapan Aubrey langsung berubah dengan tatapan mematikan yang membuat Abhima meringis ngeri.

“Inget terus, cuma lagi kena badai aja nih hubungan gue. Curhat dong gue, boleh nggak?” Aubrey mengangguk dan langsung menaruh minuman yang sebelumnya ia pegang.

“Curhat aja, gue siap dengerin.”

Abhima langsung memasang muka seriusnya, “Gue abis ribut sama cewek gue. Alesannya karena kemarin dia video call gue berkali-kali, tapi nggak gue angkat karena gue lagi take video promosi kan. Terus dia marah, bilang katanya gue nggak bisa manage waktu buat kerja sama buat dia. Gila, padahal selama ini gue selalu manage waktu buat kerja sama buat dia, Brey! tapi dia nggak pernah ngerti dan nggak pernah terima. Dia minta waktu gue yang paling banyak buat dia,”

“Gue bener-bener udah jelasin ke dia, kalo akhir-akhir ini gue emang lagi banyak job, but she won’t believe it. Dia keukeuh buat bilang gue egois dan bilang kalo gue udah nggak sayang dia, makanya gue lampiasinnya ke job gue, padahal gue bener-bener sayang banget sama dia, tapi dia nggak pernah ngertiin dan selalu kepengen dingertiin. Gue juga ambil tawaran job ya karena itu kerjaan gue, paham nggak sih? passion dan hobi gue ada dijob itu gitu loh.”

“Gue capek, tapi gue masih sayang sama di—eh maaf banget, Brey, gue jadi curhat panjang lebar gini ya.”

“Gapapa,” Aubrey menepuk pelan punggung tangan Abhima, “Gue dengerin kok dan gue paham, paham banget kalo lo ngerasa capek sama hubungan lo, gue bisa ngerasain walaupun itu nggak terjadi dihubungan gue.”

Aubrey menyisipkan poninya ke sela-sela telinganya yang sempat menganggunya, “Coba nanti, ketika lo senggang, lo coba ajak dia jalan, ngabisin waktu sama dia, turutin apa yang dia mau. Tapi, disana juga lo bilang tentang hal ini pelan-pelan. Lo jelasin ke dia, siapa tau dia paham. Gue yakin cewek lo bisa paham, kok!”

“Atau sekarang lo mau telepon dia?”

Abhima menggeleng, “Bisa ngamuk kalo dia tau gue jalan sama lo.”

“Nanti gue yang ngomong, gue sama lo cuma partner kerja doang.”

“Nggak deh, nggak usah. Nanti aja balik dari sini gue call dia. Anyway, makasih ya Brey udah ngasih masukan. Gue kira anak SMA kayak lo nggak bisa ngomong gitu.” Abhima terkekeh pelan dan membuat Aubrey jengkel.

“Sembarangan! Jangan ngeremehin anak SMA deh, Lo!”

Keduanya terkekeh.

ting!

“Eh Brey, cek group deh. Foto-foto kemarin udah keluar, udah disuruh post juga.”

Hari ini, hari yang sudah dinantikan oleh Aubrey akhirnya tiba. Gadis itu terlihat sedang memoles wajahnya dengan sedikit riasan di depan meja riasnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, ia masih sibuk dengan mengoleskan lipstik berwarna nude ke bibirnya. Karena merasa asyik dengan kegiatannya, ia sampai tidak sadar bahwa Ibunya telah meneriaki namanya dari lantai bawah.

Tidak lama setelah itu, pintu kamar Aubrey terbuka dan menunjukkan sosok wanita yang tidak terlalu tua. Wanita itu sekarang sudah menggantungkan tangannya ke pundak anak perempuan satu-satunya.

“Udah cantik, sayang.” Wanita itu tersenyum sembari melihat penampilan Aubrey dari cermin.

Aubrey terkekeh, “Kan nurun dari Buna.”

“Aduh Buna jadi malu. Turun yuk? Daffin udah di bawah tuh,”

“Ganteng lho, Kak!” sambung Buna sembari berbisik.

“Iya, Bun, sebentar. Kakak mau benerin rambut sebelah sini dulu.”

Sebelum turun ke bawah, ia menyempatkan untuk melihat penampilannya di depan kaca panjang yang berada di samping pintu kamar. Dirasanya puas, ia langsung menyusul langkah kaki ibunya yang sudah lebih dulu pergi menuruni tangga.


Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, sekarang Aubrey dan Daffin sudah berada di dalam mobil dengan perasaan yang sedikit canggung. Mobil terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin mobil dan gesekan ban dengan jalan aspal yang samar-samar. Keduanya sama sekali tidak membuka obrolan sedari awal bertemu. Aubrey tidak suka dengan suasana ini. Jadi, mau tidak mau, ia harus memberanikan dirinya untuk memulai obrolan dan lagi-lagi ia harus melawan rasa gengsi nya.

“Ini nggak mau dengerin lagu? atau mungkin kamu mau ngobrol?”

“Kamu cantik.”

Aubrey tertegun, bisa-bisanya laki-laki yang sedaritadi sibuk dengan setir kemudinya dan tidak bersuara sama sekali langsung mengeluarkan kalimat singkat yang dapat membuat jutaan kupu-kupu berkeliaran di dalam perutnya.

“Apa sih!” seru Aubrey.

“Aku beneran, kamu cantik. I love seeing you tonight, kayaknya nanti disana aku bakalan nggak bisa buat nggak liatin kamu deh, Brey.”

“Eh kamu mending diem aja deh, Fin! sakit perut aku dengernya.“

“Aaah, salting kali.” Daffin tertawa menggoda kekasihnya.

Sial, awalnya Aubrey hanya berniat untuk mencairkan suasana agar tidak canggung. Tapi, kekasihnya malah melontarkan kalimat yang membuat perutnya terasa geli.

Tepat pukul delapan, mobil Daffin telah terpakir rapi di parkiran salah satu gedung tinggi yang berada di daerah Jakarta Pusat. Daffin lebih dulu keluar dari mobilnya. Ia mempercepat langkahnya agar dapat membukakan pintu untuk kekasihnya.

Thanks, padahal aku bisa buka sendiri tauuu.”

I’m gonna treat you like a princess tonight, jadi tolong kerja samanya buat jangan bawel, okay?”

Aubrey terkekeh akibat ucapan Daffin barusan, “Siapa yang nyihir kamu jadi kayak gini deh. Ngeri.”

Pintu lift terbuka di lantai 56 gedung ini. Daffin langsung menggenggam tangan Aubrey agar gadis itu bisa mengikuti langkahnya. Sesampainya di restoran, Daffin langsung berbicara kepada salah satu pelayan restoran. Kemudian pelayan tersebut memimpin jalan mereka berdua dan berhenti di salah satu meja yang berada di area outdoor dengan pemandangan malam kota Jakarta yang terlihat sangat cantik.

“Atas nama bapak Daffin, ya. Silahkan duduk. Untuk makanannya ditunggu sebentar, ya.” Pelayan resto itu pergi meninggalkan keduanya dengan sangat ramah.

“Ini ide kamu?” tanya Aubrey setelah pelayan itu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Ya iya! emang kamu ngiranya ide siapa? mbak-mbak tadi?”

“Ya enggak! siapa tau Kak Monic ikut berpartisipasi,” jelas Aubrey.

“Ini semua aku yang siapin, ya! eh nggak deh, kan yang bikin makan bukan aku.”

Keduanya terkekeh. “Garing, sih. Tapi oke, diterima.”

Daffin hanya memperhatikan kekasihnya yang sedang tertawa akibat ucapannya tadi. Cantik, itu yang ia ucapkan di dalam hati.

“Brey,” panggil Daffin tiba-tiba. Yang dipanggil sedang asyik melihat pemandangan gedung-gedung tinggi yang dilengkapi oleh kilauan cahaya. Merasa terabaikan, ia langsung menautkan jarinya ke sela-sela jari milik Aubrey.

Aubrey refleks menengok dan menatap ke arah tautan jari mereka berdua dengan perasaan bingung.

“Aku manggil kamu tadi, tapi kamu asik liatin view.”

“Sorry, cantik banget abisan. Kamu kenapa manggil?”

Seketika Daffing langsung menatap mata Aubrey dengan tatapan yang sangat dalam “Maaf.”

Aubrey mengernyitkan dahi. “Eh?”

“Soal waktu itu, maaf karena aku terlalu gampang nyimpulin sesuatu yang nggak-nggak. Maaf karena aku terlalu cemburuan sama kamu. Maaf karena aku selalu curiga setiap kamu interaksi sama cowok. As i said before, aku emang gampang banget buat cemburu, itu karena i really really love you, Brey. Tapi kayaknya kemarin aku berlebihan ya, Brey? Maaf ya, aku bener-bener takut,”

Jarinya semakin ia eratkan, “Takut kamu bakalan pergi,” sambungnya.

“Fin,” Aubrey mengelus punggung tangan Daffin.

“Gapapa, aku udah maafin kamu. Nggak ada yang bakalan pergi. I’m here, always. Udah, ya?”

“Brey, padahal kalo kamu marah, aku nggak apa-apa, kamu mau pukul aku juga nggak apa-apa.”

“Jangan ngaco! aku nggak bakalan ngelakuin itu. Kemarin kita berdua sama-sama salah. Udah ya, sekarang mending kita bahas yang lain,” final Aubrey.

Senyum Daffin mengembang, tatapannya tidak beralih. Hatinya benar-benar dibuat hangat oleh sosok perempuan yang sedang tersenyum ke arahnya.

Brey, i promise to be a better person for you,” batinnya.

Makanan datang. Pelayan resto itu mulai menata beberapa sajian dengan rapi. Tidak lupa, pelayan tersebut juga menyalakan lilin yang berada di atas meja itu agar terkesan lebih romantis.

“Brey,” panggil Daffin setelah pelayan itu pergi.

“Fin, udah. Jangan bahas lagi yaa. Yuk, makan aja yuk.”

Daffin menggeleng, “No, i'm not gonna talk about it anymore.”

So?”

“Aubrey, liat aku.” Daffin mengeluarkan satu kotak berwarna silver. Lalu, ia tunjukkan isi kotak itu kepada Aubrey. Yang berada di depannya langsung menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

Happy Anniversary, selamat hari jadi yang ke-2, babe! Thank you for staying here with me, thank you for always put your happiness on me, thank your for always being my comfort. I love you always, Athena Aubrey.” Mata Aubrey langsung berbinar setelah Daffin mengucapkan kalimat tersebut.

Daffin bangkit dari duduknya sembari melepas kalung yang sebelumnya terpasang indah di dalam kotak sana, kini ia sudah berdiri tepat dibelakang Aubrey sembari memasangkan kalung tersebut ke leher gadis itu.

“Fin,”

SEE! ini cantik banget di pake kamu,” ucap Daffin antusias.

Aubrey masih membisu, ia sangat terkejut ketika mendengar ucapan hari jadi dari Daffin, terlebih lagi kekasihnya itu memberikan hadiah untuknya berupa kalung cantik yang dikengkapi dengan liontin kecil namun tetap terlihat indah.

“Fin, makasih banyak, and happy anniversary juga! thank your for always loving me. Sorry, aku nggak prepare apa-apa, aku nggak sempet beliin kado buat kamu.”

It's okay, it’s totally okay, babe. Eh sebentar ya, aku ke kasir sebentar,” pamit Daffin. Sorot mata Aubrey terus menatap ke arah Daffin, ia benar-benar dibuat tersenyum kali ini. Bagaimana tidak? Daffin terlihat sedang berlari kecil ke arahnya sembari membawa buket bunga. Kekasihnya itu bertingkah sangat manis malam ini.

Here, kado lagi, buat kamu hehe. Tahun ini aku nggak lupa buat beliin kamu bunga. Cantik nggak?” Daffin menyerahkan satu buket bunga mawar putih kepada Aubrey.

Aubrey mengangguk, “Cantik, aku suka. Makasih yaa.”

“Aku beneran nggak ada kado buat kamu, abis ini kita mampir dulu ke mall ya, Fin.”

Daffin terkekeh, “Mana sempet, udah nggak usah! Mall juga udah pada mau tutup kalo kita kesana nya setelah dinner, sayang.”

“Terus? masa aku nggak kasih kamu kado, nggak fair dong!”

“Yaudah, aku minta satu kado deh, ini nggak perlu macet-macet an lagi buat ke mall. Bisa langsung kasih.”

“Apa?” tanya Aubrey penasaran.

“Peluk. I just want it so bad.”

“That's it???”

Daffin mengangguk. “Okay, i'll give you a huge warm hug! tapi nanti ya, di mobil. Jangan disini. Malu diliatin satu resto. Aku juga laper, ayok kita makan!!”

“Nggak apa-apa, selagi kita malunya berdua, babe.”

“Daffin!”

Daffin tertawa puas setelah mencoba untuk menggoda kekasihnya, “Iya, iya... Ayok kita makan, yuk.”

Setelah selesai dengan acara makan malam, mereka berdua kembali ke dalam mobil. Keduanya pun merasa lega satu sama lain. Mereka berhasil untuk saling memaafkan, saling mengembalikan keadaan yang sebelumnya sempat terasa asing dan bisa saling percaya satu sama lain untuk kedepannya.

Senyuman mengembang di wajah keduanya ketika salah satu dari mereka semakin mengeratkan pelukannya. Malam itu menjadi saksi untuk kedua insan yang saling menyalurkan kebahagian melalui pelukan hangat yang telah dijanjikan.

Hari ini, hari yang sudah dinantikan oleh Aubrey akhirnya tiba. Gadis itu terlihat sedang memoles wajahnya dengan sedikit riasan di depan meja riasnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, ia masih sibuk dengan mengoleskan lipstik berwarna nude ke bibirnya. Karena merasa asyik dengan kegiatannya, ia sampai tidak sadar bahwa Ibunya telah meneriaki namanya dari lantai bawah.

Tidak lama setelah itu, pintu kamar Aubrey terbuka dan menunjukkan sosok wanita yang tidak terlalu tua. Wanita itu sekarang sudah menggantungkan tangannya ke pundak anak perempuan satu-satunya.

“Udah cantik, sayang.” Wanita itu tersenyum sembari melihat penampilan Aubrey dari cermin.

Aubrey terkekeh, “Kan nurun dari Buna.”

“Aduh Buna jadi malu. Turun yuk? Daffin udah di bawah tuh,”

“Ganteng lho, Kak!” sambung Buna sembari berbisik.

“Iya, Bun, sebentar. Kakak mau benerin rambut sebelah sini dulu.”

Sebelum turun ke bawah, ia menyempatkan untuk melihat penampilannya di depan kaca panjang yang berada di samping pintu kamar. Dirasanya puas, ia langsung menyusul langkah kaki ibunya yang sudah lebih dulu pergi menuruni tangga.


Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, sekarang Aubrey dan Daffin sudah berada di dalam mobil dengan perasaan yang sedikit canggung. Mobil terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin mobil dan gesekan ban dengan jalan aspal yang samar-samar. Keduanya sama sekali tidak membuka obrolan sedari awal bertemu. Aubrey tidak suka dengan suasana ini. Jadi, mau tidak mau, ia harus memberanikan dirinya untuk memulai obrolan dan lagi-lagi ia harus melawan rasa gengsi nya.

“Ini nggak mau dengerin lagu? atau mungkin kamu mau ngobrol?”

“Kamu cantik.”

Aubrey tertegun, bisa-bisanya laki-laki yang sedaritadi sibuk dengan setir kemudinya dan tidak bersuara sama sekali langsung mengeluarkan kalimat singkat yang dapat membuat jutaan kupu-kupu berkeliaran di dalam perutnya.

“Apa sih!” seru Aubrey.

“Aku beneran, kamu cantik. I love seeing you tonight, kayaknya nanti disana aku bakalan nggak bisa buat nggak liatin kamu deh, Brey.”

“Eh kamu mending diem aja deh, Fin! sakit perut aku dengernya.“

“Aaah, salting kali.” Daffin tertawa menggoda kekasihnya.

Sial, awalnya Aubrey hanya berniat untuk mencairkan suasana agar tidak canggung. Tapi, kekasihnya malah melontarkan kalimat yang membuat perutnya terasa geli.

Tepat pukul delapan, mobil Daffin telah terpakir rapi di parkiran salah satu gedung tinggi yang berada di daerah Jakarta Pusat. Daffin lebih dulu keluar dari mobilnya. Ia mempercepat langkahnya agar dapat membukakan pintu untuk kekasihnya.

Thanks, padahal aku bisa buka sendiri tauuu.”

I’m gonna treat you like a princess tonight, jadi tolong kerja samanya buat jangan bawel, okay?”

Aubrey terkekeh akibat ucapan Daffin barusan, “Siapa yang nyihir kamu jadi kayak gini deh. Ngeri.”

Pintu lift terbuka di lantai 56 gedung ini. Daffin langsung menggenggam tangan Aubrey agar gadis itu bisa mengikuti langkahnya. Sesampainya di restoran, Daffin langsung berbicara kepada salah satu pelayan restoran. Kemudian pelayan tersebut memimpin jalan mereka berdua dan berhenti di salah satu meja yang berada di area outdoor dengan pemandangan malam kota Jakarta yang terlihat sangat cantik.

“Atas nama bapak Daffin, ya. Silahkan duduk. Untuk makanannya ditunggu sebentar, ya.” Pelayan resto itu pergi meninggalkan keduanya dengan sangat ramah.

“Ini ide kamu?” tanya Aubrey setelah pelayan itu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Ya iya! emang kamu ngiranya ide siapa? mbak-mbak tadi?”

“Ya enggak! siapa tau Kak Monic ikut berpartisipasi,” jelas Aubrey.

“Ini semua aku yang siapin, ya! eh nggak deh, kan yang bikin makan bukan aku.”

Keduanya terkekeh. “Garing, sih. Tapi oke, diterima.”

Daffin hanya memperhatikan kekasihnya yang sedang tertawa akibat ucapannya tadi. Cantik, itu yang ia ucapkan di dalam hati.

“Brey,” panggil Daffin tiba-tiba. Yang dipanggil sedang asyik melihat pemandangan gedung-gedung tinggi yang dilengkapi oleh kilauan cahaya. Merasa terabaikan, ia langsung menautkan jarinya ke sela-sela jari milik Aubrey.

Aubrey refleks menengok dan menatap ke arah tautan jari mereka berdua dengan perasaan bingung.

“Aku manggil kamu tadi, tapi kamu asik liatin view.”

“Sorry, cantik banget abisan. Kamu kenapa manggil?”

Seketika Daffing langsung menatap mata Aubrey dengan tatapan yang sangat dalam “Maaf.”

Aubrey mengernyitkan dahi. “Eh?”

“Soal waktu itu, maaf karena aku terlalu gampang nyimpulin sesuatu yang nggak-nggak. Maaf karena aku terlalu cemburuan sama kamu. Maaf karena aku selalu curiga setiap kamu interaksi sama cowok. As i said before, aku emang gampang banget buat cemburu, itu karena i really really love you, Brey. Tapi kayaknya kemarin aku berlebihan ya, Brey? Maaf ya, aku bener-bener takut,”

Jarinya semakin ia eratkan, “Takut kamu bakalan pergi,” sambungnya.

“Fin,” Aubrey mengelus punggung tangan Daffin.

“Gapapa, aku udah maafin kamu. Nggak ada yang bakalan pergi. I’m here, always. Udah, ya?”

“Brey, padahal kalo kamu marah, aku nggak apa-apa, kamu mau pukul aku juga nggak apa-apa.”

“Jangan ngaco! aku nggak bakalan ngelakuin itu. Kemarin kita berdua sama-sama salah. Udah ya, sekarang mending kita bahas yang lain,” final Aubrey.

Senyum Daffin mengembang, tatapannya tidak beralih. Hatinya benar-benar dibuat hangat oleh sosok perempuan yang sedang tersenyum ke arahnya.

Brey, i promise to be a better person for you,” batinnya.

Makanan datang. Pelayan resto itu mulai menata beberapa sajian dengan rapi. Tidak lupa, pelayan tersebut juga menyalakan lilin yang berada di atas meja itu agar terkesan lebih romantis.

“Brey,” panggil Daffin setelah pelayan itu pergi.

“Fin, udah. Jangan bahas lagi yaa. Yuk, makan aja yuk.”

Daffin menggeleng, “No, i'm not gonna talk about it anymore.”

So?”

“Aubrey, liat aku.” Daffin mengeluarkan satu kotak berwarna silver. Lalu, ia tunjukkan isi kotak itu kepada Aubrey. Yang berada di depannya langsung menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

Happy Anniversary, selamat hari jadi yang ke-2, babe! Thank you for staying here with me, thank you for always put your happiness on me, thank your for always being my comfort. I love you always, Athena Aubrey.” Mata Aubrey langsung berbinar setelah Daffin mengucapkan kalimat tersebut.

Daffin bangkit dari duduknya sembari melepas kalung yang sebelumnya terpasang indah di dalam kotak sana, kini ia sudah berdiri tepat dibelakang Aubrey sembari memasangkan kalung tersebut ke leher gadis itu.

“Fin,”

SEE! ini cantik banget di pake kamu,” ucap Daffin antusias.

Aubrey masih membisu, ia sangat terkejut ketika mendengar ucapan hari jadi dari Daffin, terlebih lagi kekasihnya itu memberikan hadiah untuknya berupa kalung cantik yang dikengkapi dengan liontin kecil namun tetap terlihat indah.

“Fin, makasih banyak, and happy anniversary juga! thank your for always loving me. Sorry, aku nggak prepare apa-apa, aku nggak sempet beliin kado buat kamu.”

It's okay, it’s totally okay, babe. Eh sebentar ya, aku ke kasir sebentar,” pamit Daffin. Sorot mata Aubrey terus menatap ke arah Daffin, ia benar-benar dibuat tersenyum kali ini. Bagaimana tidak? Daffin terlihat sedang berlari kecil ke arahnya sembari membawa buket bunga. Kekasihnya itu bertingkah sangat manis malam ini.

Here, kado lagi, buat kamu hehe. Tahun ini aku nggak lupa buat beliin kamu bunga. Cantik nggak?” Daffin menyerahkan satu buket bunga mawar putih kepada Aubrey.

Aubrey mengangguk, “Cantik, aku suka. Makasih yaa.”

“Aku beneran nggak ada kado buat kamu, abis ini kita mampir dulu ke mall ya, Fin.”

Daffin terkekeh, “Mana sempet, udah nggak usah! Mall juga udah pada mau tutup kalo kita kesana nya setelah dinner, sayang.”

“Terus? masa aku nggak kasih kamu kado, nggak fair dong!”

“Yaudah, aku minta satu kado deh, ini nggak perlu macet-macet an lagi buat ke mall. Bisa langsung kasih.”

“Apa?” tanya Aubrey penasaran.

“Peluk. I just want it so bad.”

“That's it???”

Daffin mengangguk. “Okay, i'll give you a huge warm hug! tapi nanti ya, di mobil. Jangan disini. Malu diliatin satu resto. Aku juga laper, ayok kita makan!!”

“Nggak apa-apa, selagi kita malunya berdua, babe.”

“Daffin!”

Daffin tertawa puas setelah mencoba untuk menggoda kekasihnya, “Iya, iya... Ayok kita makan, yuk.”

Setelah selesai dengan acara makan malam, mereka berdua kembali ke dalam mobil. Keduanya pun merasa lega satu sama lain. Mereka berhasil untuk saling memaafkan, saling mengembalikan keadaan yang sebelumnya sempat terasa asing dan bisa saling percaya satu sama lain untuk kedepannya.

Senyuman mengembang di wajah keduanya ketika salah satu dari mereka semakin mengeratkan pelukannya. Malam itu menjadi saksi untuk kedua insan yang saling menyalurkan kebahagian melalui pelukan hangat yang telah dijanjikan.

Suara pintu rumah terbuka. Daffin yang sedang asyik bermain game di depan ruang tamu langsung menoleh ke samping untuk mengecek siapa yang baru saja membuka pintu tersebut. Dilihatnya, Monica dan Ayahnya tampak begitu kerepotan dengan membawa barang belanjaan. Dengan inisiatif, ia bangkit dan langsung membantu kakak dan ayahnya.

“Sini,” ujar Daffin seraya meminta satu paper bag cokelat yang dipegang oleh Monica.

“Tuh, tolong bawain koper aku aja di depan teras. Belom kepegang.”

Daffin berjalan keluar teras untuk mengambil koper besar yang baru saja kakaknya beli.

“Ayah naik ya, Kak, Fin. Nanti kalo Bunda kalian minta jemput bangunin Ayah aja, Ayah mau tidur sebentar. Capek.”

Monic tertawa, “Lagian dari tadi diajak pulang malah masih minta muter cari sepatu, capek kan tuh… Yaudah nanti Monic bangunin, Ayah istirahat aja.”

Sang Ayah pun langsung menaiki tangga untuk menuju kamar dan beristirahat. Lain halnya dengan Monic, alih-alih berganti pakaian, ia malah meminta Daffin untuk duduk di sofa.

“Duduk, Kakak mau ngobrol sekarang aja, baru nanti naik.”

Daffin menuruti perintah Kakaknya dengan perasaan terpaksa, “Cepetan, gue juga mau main lagi.”

“Gini…”

“Kamu sama Aubrey apa nggak mau baikan, Fin?”

Daffin menaikan bahunya, “Enggak tau.”

“Yeh! kamu tuh! mau sampe kapan coba diem-diem an kayak gini? Ayo diselesain baik-baik… Diomongin baik-baik, Fin.”

“Iya nanti,” jawabnya singkat.

“Nanti kapan? Kalian bentar lagi udah mau lulus dan bakalan jadi jarang ketemu, loh!”

“Pilih sekarang atau nanti tapi nyesel?” Monica sedikit meninggikan intonasinya.

“Kakak cuma mau bilangin kamu, kalo ada masalah kayak gini itu harus cepet diselesain. Apalagi masalah salah paham kayak gini, kalo nggak segera dilurusin ya jadinya begini… Nggak jelas!”

“Aubrey udah minta maaf, dia juga udah jelasin semuanya ke kamu. Kakak juga tau kalo Aubrey bukan tipe cewek yang gampang kepincut sama cowok lain. Bukannya kakak ngebela Aubrey, tapi kakak tau kalo dia emang beneran tulus sama kamu,”

“Kamu juga Fin, stop cemburuan, stop curigaan. Kakak tau kamu sayang sama dia, tapi nggak gitu Daffin. Dia juga bunya kebebasan. Dia bebas buat bergaul sama lawan jenis, apalagi posisi dia disini selebgram. Pasti bakalan ada job yang emang dipartner-in sama cowok, Fin,”

“Jadi Kakak minta sama kamu, kurangin sikap cemburuan kamu. Cemburu boleh, tapi tau batasan ya, Fin?”

“Kakak naik, semoga omongan aku barusan bisa bikin kamu sadar dan jadi lebih baik lagi.” Monica sempat menepuk pelan bahu adiknya sebelum kembali ke kamarnya.

Ucapan yang dilontarkan Monica barusan sukses membuat Daffin tertampar. Dia baru sadar bahwa ternyata dirinya sebegitu overnya kepada Aubrey, apalagi setelah mengetahui fakta bahwa sebentar lagi ia dan Aubrey akan jarang bertemu dikarenakan keharusan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Daffin membisu, tatapannya entah kemana. Ia masih memikirkan ucapan kakaknya barusan. Haruskah ia minta maaf kepada Aubrey atau tidak. Tiba-tiba, lamunanya disadar kan oleh notifikasi pengingat yang bertulisan “Dua tahun sama Aubrey, jangan lupa beli bunga!!!

Is it too late now to say sorry?

Malam itu, malam dimana keduanya baru saja selesai merayakan hari jadi mereka yang pertama, hujan turun sangat lebat. Mobil Daffin tetap terus menerobos derasnya hujan diluar sana. Aubrey yang memakai gaun selutut mulai merasa kedinginan dikarenakan hujan dan suhu di dalam mobil yang cukup dingin.

“Di belakang ada jaket aku, kamu kedinginan kan?” Daffin yang peka terhadap tingkah Aubrey langsung menatap ke arah gadis itu dengan memberikan tatapan seakan menyuruh untuk mengambil jaket yang ada di belakang kursi penumpang.

Gadis dengan rambut sebahu itu langsung mengambil jaket milik Daffin yang tergantung di hand grip kabin mobil. Kemudian, ia langsunv mengenakan jaket itu di tubuhnya. Hangat.

“Makasih ya,” ucap Aubrey yang kembali menyenderkan tubuhnya ke jok mobil yang sudah ia turunkan sedikit. “Aku boleh tidur sebentar, nggak?” tanya Aubrey dengan tubuh yang meringkuk menghadap ke arah Daffin. Yang sedang sibuk dengan setirnya pun langsung memberikan anggukan kecil, “Tidur aja, nanti kalau udah sampe rumah kamu, aku bangunin ya.”

-

Hujan sudah mulai reda, Daffin dapat melihat jelas jalanan malam yang ia lewati. Ia juga sempat melihat kondisi kekasihnya yang berada disebelah kirinya, di elus kepala dan tangan mungil milik kekasihnya yang sedang tertidur pulas, lalu ia genggam dan memberikan sedikit kecupan kecil di punggung tangan gadis itu.

“Cantik,” ucapnya.

Dirasanya terlalu sepi, Daffin kembali menyalakan tape dan bluetooth mobilnya. Daffin memilih untuk meng-shuffle lagu dari ponselnya. Kini lagu Roses & Sunflowers milik Timmy Albert terputar. Ia menaruh ponselnya dan kembali mengemudikan setirnya sembari menikmati bait demi bait lirik lagu yang sedang diputar.

You're a flower that's blooming every season with spring

I fell in love with your roots, the whole you, everything

You give me those butterflies

Wish I could keep them in a jar

So I could take you with me no matter where you are, oh

Daffin teringat sesuatu setelah mendengarkan lirik lagu tersebut, flower. Ia sadar bahwa dirinya lupa untuk memberikan bunga kepada kekasihnya di hari jadi mereka.

“Anjir! kok gue bisa lupa, pantesan tadi kayak ada yang kurang waktu dinner,” gerutunya.

Aubrey mulai gelisah dan sedikit mendengar ucapan Daffin barusan. “Hey, kenapa? Kamu lupa apa?” tanyanya dengan tatapan samar.

Yang ditanya pun langsung menoleh ke arah samping kirinya, “Brey, i'm so sorry... Aku lupa beliin kamu bouquet flowers.”

“Fin, nggak apa-apa.” Aubrey memegang tangan Daffin.

Daffin tetap lah Daffin, ia tidak menghiraukan ucapan kekasihnya barusan. Ia membanting setir ke lain arah. “Aku tadi liat ada toko bunga yang masih buka di deket sini. Kita kesana, ya? Aku beneran lupa banget babe, maaf,”

“Nanti disana kamu bebas pilih deh, mau bunga apa,” sambungnya.

Aubrey terkekeh akibat ucapan kekasihnya barusan.

“Ih, kok ketawa sih?” Daffin mengernyitkan alisnya.

“Kamu lucu kalo lagi panik.”

Babe... Jangan gitu!”

“Idih, jelek banget anak gadis tampilannya begini.” Zaidan baru saja membuka pintu kamar milik Aubrey dan langsung dibuat terkejut oleh penampilan sahabatnya yang dapat dibilang cukup berantakan itu. Bagaimana tidak? sekarang Aubrey hanya menggunakan kaos lengan panjang dilengkapi dengan celana tidurnya sembari tengkurap di tempat tidurnya, ditambah lagi rambutnya yang menutupi semua wajahnya.

“Kan udah gue bilang, gue lagi lesu!”

Zaidan otomatis menarik tangan Aubrey agar segera bangkit, “Bangun. Gue udah ngantri beliin lo roti bakar mang asep.” Seketika Aubrey langsung bangun dan menatap satu kantong plastik yang sedaritadi masih tergantung ditangan Zaidan.

“Sini, jangan di tempat tidur makannya.” Aubrey menuruti perintah Zaidan dan segera duduk di sofa kecil yang berada tepat disamping tempat tidurnya.

Saat sedang menyantap roti bakarnya, tiba-tiba saja ia merasa sangat emosional yang mengakitbatkan air matanya terjatuh dengan tatapan yang kosong.

“Woy, brey! Kok nangis? anjing serem dah,” ucap Zaidan panik dan langsung membangunkan Aubrey dari lamunannya.

“Gue salah banget ya, Dan? Kenapa gue harus nge-iyain ajakan Abhima ya, Dan?”

“Gue nyesel banget, seharusnya gue nggak usah terlalu friendly sama orang baru, terutama cowok.”

“Gue—“ Aubrey belum sempat melanjutkan ucapannya barusan tapi Zaidan sudah lebih dulu membawanya kedalam pelukannya. “Udah, stop nyalahin diri lo sendiri. Gue tau lo juga salah disini, tapi itu bukan berarti lo bisa seenaknya nyalahin diri lo terus-terusan gini. Ini cuma salah paham, Daffin juga terlalu emosi karena foto yang dikirim dari orang lain. Udah, ya? Jangan nangis lagi. Mana Aubrey gue yang apa-apa ketawa? lo jelek banget anying nangis begini.”

Aubrey memukul lengan Zaidan pelan, “Rese lo!”

“Kata lo, gue sama Daffin bakalan lama nggak diem-diem an kayak gini?”

“Gue prediksi sih, nggak. Soalnya lo berdua kan bucinnya bikin huek!

“MAKSUD LO???”

Zaidan terkekeh, “Bercanda… Udah ah, dimakan deh tuh roti bakarnya, ntar dingin.”

Aubrey langsung memakan satu potong roti bakar yang sudah dibelikan oleh Zaidan.

“Dan..”

“Hm?”

“Makasih ya. Makasih karena lo selalu jadi sahabat yang baik dari kita yang dulu nggak tau apa itu cinta-cintaan sampe sekarang. Makasih ya, Dan?”

Alih-alih menjawab, Zaidan malah mengacak-acak rambut milik Aubrey. “Gue yang makasih sama lo, Brey. Karena lo nggak pernah keberatan punya sahabat yang ganteng kayak gue!”

Serangan bantal dari Aubrey langsung tepat mengenai kepala milik Zaidan, “Geli!!!”

Deretan lagu sudah Aubrey putar untuk menemaninya berpakaian sekaligus berdandan untuk pergi makan siang hari ini. Dirasanya sudah siap, ia segera mematikan lagu yang sedaritadi ia putar dan langsung pergi meninggalkan kamar hotelnya.

Sesampainya di lobby hotel, ia bisa melihat Helen yang sedang duduk menunggunya dari kejauhan.

“Lama ya kak?”

“Ngga, kok. Yaudah, yuk? Abhima sama managernya udah nunggu disana.”

Aubrey mengangguk dan jalan membuntuti Helen.

Setelah menghabiskan waktu belasan menit di perjalanan, akhirnya Aubrey tiba di tempat tujuan. Helen langsung menuntunnya untuk pergi ke meja yang berada di dekat taman, yang tentunya telah diisi oleh Abhima dan managernya.

“Halo, sorry ya lama. Macet banget nih tadi… Apa kabar, Ju?” ucap Helen sembari bersalaman dengan lawan bicaranya.

It’s okay, kita juga baru sampe. Kabar gue baik selalu. Ayo, duduk… duduk.”

“Oh iya, kenalin, ini Aubrey.” Helen baru saja memperkenalkan Aubrey di depan dua laki-laki yang sama sekali tidak Aubrey kenal. “Brey, kenalin ini Abhima yang bakalan jadi partner kamu. Nah ini… Juan, managernya Abhima.” Mereka mulai mengulurkan tangannya kepada Aubrey. Tentu saja Aubrey membalas uluran tangan mereka.

“Salam kenal Aubrey, gue Abhima.” Laki-laki tersebut tersenyum ke arah Aubrey.

Setelah Acara perkenalan tersebut, mereka semua hanya berbincang sembari menikmati makan siang. Aubrey dan Abhima juga sudah mulai cair dan mulai bisa menyesuaikan diri.

“Brey, boleh minta nomor lo?” Aubrey yang sedang minum langsung tersedak. “Eh, lo gapapa?” tanya Abhima.

“Gapapa gapapa, tadi gue terlalu semangat minumnya. Sorry sorry… Tadi mau minta nomor gue, ya?” Abhima mengangguk. “Sini handphone lo.”

“Udah, nih.” Aubrey memberikan kembali ponsel milik Abhima.

Thanks, nanti gue test ya.”

Aubrey mengangguk, “Iya, boleh.”

“Gue cabut duluan, bro!”

“Lah tumbenan, mau kemana lo?”

Abam tidak menghiraukan ucapan Alfi barusan. Ia memilih untuk meninggalkan kelasnya untuk menemui Aluna.

Muka Abam hari ini dua kali lebih cerah dari biasanya, ia benar-benar sedang merasakan jatuh cinta sekarang. Biasanya para siswa SMA 2 otomatis menghindar jika Abam melewati lorong kelas dikarenakan terlalu takut dengan ekspresi dan tatapan membunuh Abam, padahal Abam hanya lewat dan memang tidak ingin mencari gara-gara. Namun, kali ini mereka semua dibuat heran karena Abam yang memamerkan senyuman manisnya selama ia berjalan menelusuri lorong kelas.

Sedangkan Aluna, ia baru saja memasukkan buku-buku pelajarannya, teman sebangkunya yaitu Nasywa, sudah lebih dulu meninggalkannya karena ada jadwal les piano. Jadilah sekarang hanya Aluna dan beberapa teman sekelasnya yang masih berada di dalam kelas. Saat ingin menutup resleting tasnya, Aluna dibuat terkejut oleh kehadiran Abam. Abam baru saja sampai di kelas Aluna dengan senyuman manis yang masih terukir diwajahnya.

“Ayo, pulang,” ajak Abam.

“Kak, seriusan kah ini?” Aluna kira Abam tidak serius dengan pesan yang tadi sempat dikirimkan oleh Abam melalui aplikasi chat.

“Emangnya aku keliatan lagi bercanda ya, Lun? Aku tuh serius, ayo pulang bareng sama aku.” Abam langsung menarik tangan Aluna untuk segera meninggalkan ruang kelas. Jangan tanyakan kondisi Aluna sekarang, tentu saja jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

Keduanya benar-benar pergi meninggalkan kelas Aluna dan berjalan melewati loronhg kelas dengan tangan yang saling bertautan. Seketika, semua perhatian menuju ke arah mereka berdua, berbagai macam reaksi yang mereka dapatkan. Dari tatapan gemas akan kedekatan Aluna dan Abam, sampai tatapan tidak suka yang ditunjukkan oleh penggemar Abam. Tatapan tidak suka pun mulai mengganggu Aluna. Abam yang melihat Aluna kurang nyaman langsung merangkul Aluna, situasi sekarang semakin membuat Aluna tidak nyaman. Bukan karena rangkulan Abam, namun tatapan orang-orang yang menurutnya itu seakan ingin membunuhnya.

“Tenang, gue ada disamping lo, nggak perlu worry,” bisik Abam.

Sekarang Abam dan Aluna sudah berada di parkian belakang sekolah. Tentu saja disini sangat ramai. Parkiran belakang sekolah ini selalu ramai dengan sekumpulan anak-anak yang malas pulang kerumah, alias lebih memilih untuk menongkrong sejenak sembari menghabiskan satu puntung rokok.

“Jangan ikut masuk, kamu tunggu di depan gerbang parkiran aja.”

“Kenapa kak?“

“Rame, banyak cowok. Diem disini, ya? Aku cuma sebentar kok ambil motornya.”

Aluna hanya mengangguk menuruti apa kata Abam. Abam langsung meninggalkan Aluna untuk mengambil motornya di dalam sana. Tidak lama setelah itu, Abam datang dengan motor vespa hitam kesayangannya. Ia bunyikan klakson motornya dua kali ke arah Aluna.

tiin tiin

Aluna yang sedang asyik dengan ponselnya langsung menengok ke arah sumber suara.

“Ayo, naik. Udah kangen nih jok belakang motorku karena udah lama nggak didudukin sama Luna.”

Luna otomatis menepuk lengan Abam, “Gombal ah, Kak!”

Abam hanya terkekeh.

Aluna pun naik dengan sangat hati-hati, ia mulai memegang kedua pundak milik Abam dan kemudian duduk dengan sempurna di atas jok motor Abam. “Pegangan,” ucap Abam ketika melihat Aluna yang sudah duduk dengan sempurna diatas jok motornya.

Luna sedikit memajukan kepalanya agar Abam bisa mendengar ucapannya, “Udah, Kak.”

Abam tidak merasakan apa-apa dipinggangnya, tidak ada sesuatu yang melingkar disana. “Disini, Lun,” ucapnya sembari menarik tangan Aluna dan ia arahkan ke pinggangnya. “Jangan pegangan disitu lagi, udah kayak naik ojek aja!”

“Lah, kemaren kamu marah, Kak, pas aku pegangan dipinggang Kakak,” gerutu Aluna.

“Sekarang nggak, kan bentar lagi jadi pacar.”

Aluna mati kutu, tidak bisa menanggapi ucapan Abam. Muka Aluna seketika memerah, ia benar-benar dibuat salah tingkah oleh ucapan kakak kelas nya barusan.

Motor Abam kini sudah melaju. Abam membawa motor dengan sangat santai, seakan-akan menyuruh Aluna untuk menikmati perjalan ini.

“Lun,” panggil Abam.

“Kenapa, Kak?”

“Mau mampir dulu, nggak?”

“Mampi kemana?” tanya Aluna.

Abam melirik ke arah spion agar bisa melihat Aluna dengan jelas, “Mam bakso, perut aku bunyi, minta makan. Kamu mau, nggak?”

“Yaudah ayok, boleh.”

Abam tersenyum setelah mendengar jawaban dari Aluna, ia pun langsung buru-buru melajukan motornya ke tempat bakso langganannya.

“Ayok, udah sampe.”

Aluna pun segera turun dan mengikuti langkah Abam.

“Mau pesen apa?”

“Apa aja Kak, disamain aja sama pesenan Kak Abam, hehe.”

“Yaudah, tunggu dimeja sana, tuh,” tunjuk Abam. “Aku nggak lama, kok.”

Aluna segera menuruti perintah Abam dan langsung duduk di meja tersebut.

Anjir! ini gue berasa pacaran sama dia,” batin Aluna.

Lima menit berlalu, kini Abam sudah datang dengan membawa satu nampan yang berisi dua mangkuk bakso.

“Waaah, terima kasih!” ucap Aluna.

Abam hanya tersenyum dan duduk di depan Aluna. Mereka berdua mulai melahap bakso yang tadi sudah dipesan. Saat Aluna sedang ingin melakukan suapan kedua tiba-tiba Abam menatap ke arahnya dengan tatapan penuh arti.

“Kenapa, Kak? Kok ngeliatinnya gitu?”

“Cantik.” Ucapan Abam barusan sukses membuat Aluna tersedak. Abam langsung memberikan satu botol air mineral kepada Aluna. “Minum, salting aja sampe keselek gitu.”

“Siapa suruh kalo ngomong asal banget! Aku kan kaget, jadinya keselek.”

“Iya, iya maaf... Ngomong-ngomong, gimana soal pertanyaan aku yang tadi dichat? diterima nggak ajakannya?”

“Kak, kamu tuh ngajak pacaran udah kayak ngajak beli permen, gampang banget!”

“Biarin, kan aku beneran suka kamu, kalo nggak diajak sekarang nanti keduluan sama orang-orang yang suka sama kamu. Lagian mendingan aku ngajak pacaran kamu daripada aku ngajak Ellen, hayo, gimana?” Abam menaikkan satu alisnya.

“Ya, jangan!”

“Nah, yaudah. Sekarang mau nggak kalo aku ajak pacaran?” tanya Abam dengan serius.

“Kak, kamu nggak lagi main taruhan atau truth or dare, kan?”

Mata Abam membulat, bisa-bisanya gadis didepannya saat ini mempunya pikiran seperti itu kepadanya. Karena merasa bahwa dirinya bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main dengan perempuan, Abam langsung menyentil dahi Aluna yang tidak begitu kencang. “Aw...” Aluna meringis sembari mengelus-elus dahinya.

“Sembarangan! aku bukan cowok kayak gitu tau, Lun. Aku tuh emang beneran suka sama kamu, tapi malu dan gengsi aja, sih... Jadi nggak berani nujukkin kalo sebenernya tuh aku suka sama kamu. Tapi asal kamu tau aja, bekel kamu tuh selalu aku makan. Aku nggak pernah nggak makan bekel buatan kamu, aku yang nyuruh Alfi sama Angga buat bohong, haha... Maaf ya, tapi asli deh, bekel kamu enak-enak, aku suka!”

“Aku juga selalu merhatiin kamu kalo kamu lagi ke kantin, tapi kamunya nggak sadar aja. Terus aku nggak pernah ngerasa kamu ngeganggu aku dengan chat yang setiap hari kamu kirim, apalagi stiker-stiker jelek kamu itu, haha. Aku suka dichat kayak gitu sama kamu,”

“Sama, oh iya... Aku minta maaf ya sama kamu karena tadi pagi kasar banget bales chatnya. Jujur, itu aku lagi kesel bange, Lun. Sepatu futsal ku basah padahal mau dibawa hari itu juga. Terus, pas banget kamu ngechat, jadinya kamu yang kena deh... Maaf ya, Luna,”

“Haha, ini aku bawel banget ya ngomong mulu... Yaudah deh, jadi gimana, nih, udah percaya belum? Mau nggak, jadi pacarnya Abam?” Abam memegang dagunya dengan telunjuk terangkat ke atas sembari menunggu jawaban dari Aluna.

Aluna mengangguk, “Iya, Luna percaya.” Luna mencoba untuk menatap mata Abam, “Luna juga mau jadi pacar Kakak.” Setelah itu, Luna memutus kontak mata keduanya karena ia benar-benar tidak kuat untuk menatap mata Abam lama-lama.

Perasaan Abam saat ini senang bukan main, ia refleks mengucapkan “Yes” dihadapan Aluna.

“Jadi, sekarang pacaran nih?” tanya Abam memastikan. Aluna mengangguk sembari tersenyum malu.

“Kak, kok aku mendadak cupu gini ya... Padahal kalo aku lagi gombalin kamu tuh, nggak pernah se-deg-degan ini, tapi kali ini aku cupu banget, maaf banget.” Aluna membuang muka karena malu. Pipinya juga sudah memanas dan sudah memerah.

Abam terkekeh, “Aduh, lucu banget sih pacar Abam pipinya merah gitu.”

“Gue cabut duluan, bro!”

“Lah tumbenan, mau kemana lo?”

Abam tidak menghiraukan ucapan Alfi barusan. Ia memilih untuk meninggalkan kelasnya untuk menemui Aluna.

Muka Abam hari ini dua kali lebih cerah dari biasanya, ia benar-benar sedang merasakan jatuh cinta sekarang. Biasanya para siswa SMA 2 otomatis menghindar jika Abam melewati lorong kelas dikarenakan terlalu takut dengan ekspresi dan tatapan membunuh Abam, padahal Abam hanya lewat dan memang tidak ingin mencari gara-gara. Namun, kali ini mereka semua dibuat heran karena Abam yang memamerkan senyuman manisnya selama ia berjalan menelusuri lorong kelas.

Sedangkan Aluna, ia baru saja memasukkan buku-buku pelajarannya, teman sebangkunya yaitu Nasywa, sudah lebih dulu meninggalkannya karena ada jadwal les piano. Jadilah sekarang hanya Aluna dan beberapa teman sekelasnya yang masih berada di dalam kelas. Saat ingin menutup resleting tasnya, Aluna dibuat terkejut oleh kehadiran Abam. Abam baru saja sampai di kelas Aluna dengan senyuman manis yang masih terukir diwajahnya.

“Ayo, pulang,” ajak Abam.

“Kak, seriusan kah ini?” Aluna kira Abam tidak serius dengan pesan yang tadi sempat dikirimkan oleh Abam melalui aplikasi chat.

“Emangnya aku keliatan lagi bercanda ya, Lun? Aku tuh serius, ayo pulang bareng sama aku.” Abam langsung menarik tangan Aluna untuk segera meninggalkan ruang kelas. Jangan tanyakan kondisi Aluna sekarang, tentu saja jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

Keduanya benar-benar pergi meninggalkan kelas Aluna dan berjalan melewati loronhg kelas dengan tangan yang saling bertautan. Seketika, semua perhatian menuju ke arah mereka berdua, berbagai macam reaksi yang mereka dapatkan. Dari tatapan gemas akan kedekatan Aluna dan Abam, sampai tatapan tidak suka yang ditunjukkan oleh penggemar Abam. Tatapan tidak suka pun mulai mengganggu Aluna. Abam yang melihat Aluna kurang nyaman langsung merangkul Aluna, situasi sekarang semakin membuat Aluna tidak nyaman. Bukan karena rangkulan Abam, namun tatapan orang-orang yang menurutnya itu seakan ingin membunuhnya.

“Tenang, gue ada disamping lo, nggak perlu worry,” bisik Abam.

Sekarang Abam dan Aluna sudah berada di parkian belakang sekolah. Tentu saja disini sangat ramai. Parkiran belakang sekolah ini selalu ramai dengan sekumpulan anak-anak yang malas pulang kerumah, alias lebih memilih untuk menongkrong sejenak sembari menghabiskan satu puntung rokok.

“Jangan ikut masuk, kamu tunggu di depan gerbang parkiran aja.”

“Kenapa kak?“

“Rame, banyak cowok. Diem disini, ya? Aku cuma sebentar kok ambil motornya.”

Aluna hanya mengangguk menuruti apa kata Abam. Abam langsung meninggalkan Aluna untuk mengambil motornya di dalam sana. Tidak lama setelah itu, Abam datang dengan motor vespa hitam kesayangannya. Ia bunyikan klakson motornya dua kali ke arah Aluna.

tiin tiin

Aluna yang sedang asyik dengan ponselnya langsung menengok ke arah sumber suara.

“Ayo, naik. Udah kangen nih jok belakang motorku karena udah lama nggak didudukin sama Luna.”

Luna otomatis menepuk lengan Abam, “Gombal ah, Kak!”

Abam hanya terkekeh.

Aluna pun naik dengan sangat hati-hati, ia mulai memegang kedua pundak milik Abam dan kemudian duduk dengan sempurna di atas jok motor Abam. “Pegangan,” ucap Abam ketika melihat Aluna yang sudah duduk dengan sempurna diatas jok motornya.

Luna sedikit memajukan kepalanya agar Abam bisa mendengar ucapannya, “Udah, Kak.”

Abam tidak merasakan apa-apa dipinggangnya, tidak ada sesuatu yang melingkar disana. “Disini, Lun,” ucapnya sembari menarik tangan Aluna dan ia arahkan ke pinggangnya. “Jangan pegangan disitu lagi, udah kayak naik ojek aja!”

“Lah, kemaren kamu marah, Kak, pas aku pegangan dipinggang Kakak,” gerutu Aluna.

“Sekarang nggak, kan bentar lagi jadi pacar.”

Aluna mati kutu, tidak bisa menanggapi ucapan Abam. Muka Aluna seketika memerah, ia benar-benar dibuat salah tingkah oleh ucapan kakak kelas nya barusan.

Motor Abam kini sudah melaju. Abam membawa motor dengan sangat santai, seakan-akan menyuruh Aluna untuk menikmati perjalan ini.

“Lun,” panggil Abam.

“Kenapa, Kak?”

“Mau mampir dulu, nggak?”

“Mampi kemana?” tanya Aluna.

Abam melirik ke arah spion agar bisa melihat Aluna dengan jelas, “Mam bakso, perut aku bunyi, minta makan. Kamu mau, nggak?”

“Yaudah ayok, boleh.”

Abam tersenyum setelah mendengar jawaban dari Aluna, ia pun langsung buru-buru melajukan motornya ke tempat bakso langganannya.

“Ayok, udah sampe.”

Aluna pun segera turun dan mengikuti langkah Abam.

“Mau pesen apa?”

“Apa aja Kak, disamain aja sama pesenan Kak Abam, hehe.”

“Yaudah, tunggu dimeja sana, tuh,” tunjuk Abam. “Aku nggak lama, kok.”

Aluna segera menuruti perintah Abam dan langsung duduk di meja tersebut.

Anjir! ini gue berasa pacaran sama dia,” batin Aluna.

Lima menit berlalu, kini Abam sudah datang dengan membawa satu nampan yang berisi dua mangkuk bakso.

“Waaah, terima kasih!” ucap Aluna.

Abam hanya tersenyum dan duduk di depan Aluna. Mereka berdua mulai melahap bakso yang tadi sudah dipesan. Saat Aluna sedang ingin melakukan suapan kedua tiba-tiba Abam menatap ke arahnya dengan tatapan penuh arti.

“Kenapa, Kak? Kok ngeliatinnya gitu?”

“Cantik.” Ucapan Abam barusan sukses membuat Aluna tersedak. Abam langsung memberikan satu botol air mineral kepada Aluna. “Minum, salting aja sampe keselek gitu.”

“Siapa suruh kalo ngomong asal banget! Aku kan kaget, jadinya keselek.”

“Iya, iya maaf... Ngomong-ngomong, gimana soal pertanyaan aku yang tadi dichat? diterima nggak ajakannya?”

“Kak, kamu tuh ngajak pacaran udah kayak ngajak beli permen, gampang banget!”

“Biarin, kan aku beneran suka kamu, kalo nggak diajak sekarang nanti keduluan sama orang-orang yang suka sama kamu. Lagian mendingan aku ngajak pacaran kamu daripada aku ngajak Ellen, hayo, gimana?” Abam menaikkan satu alisnya.

“Ya, jangan!”

“Nah, yaudah. Sekarang mau nggak kalo aku ajak pacaran?” tanya Abam dengan serius.

“Kak, kamu nggak lagi main taruhan atau truth or dare, kan?”

Mata Abam membulat, bisa-bisanya gadis didepannya saat ini mempunya pikiran seperti itu kepadanya. Karena merasa bahwa dirinya bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main dengan perempuan, Abam langsung menyentil dahi Aluna yang tidak begitu kencang. “Aw...” Aluna meringis sembari mengelus-elus dahinya.

“Sembarangan! aku bukan cowok kayak gitu tau, Lun. Aku tuh emang beneran suka sama kamu, tapi malu dan gengsi aja, sih... Jadi nggak berani nujukkin kalo sebenernya tuh aku suka sama kamu. Tapi asal kamu tau aja, bekel kamu tuh selalu aku makan. Aku nggak pernah nggak makan bekel buatan kamu, aku yang nyuruh Alfi sama Angga buat bohong, haha... Maaf ya, tapi asli deh, bekel kamu enak-enak, aku suka!”

“Aku juga selalu merhatiin kamu kalo kamu lagi ke kantin, tapi kamunya nggak sadar aja. Terus aku nggak pernah ngerasa kamu ngeganggu aku dengan chat yang setiap hari kamu kirim, apalagi stiker-stiker jelek kamu itu, haha. Aku suka dichat kayak gitu sama kamu,”

“Sama, oh iya... Aku minta maaf ya sama kamu karena tadi pagi kasar banget bales chatnya. Jujur, itu aku lagi kesel bange, Lun. Sepatu futsal ku basah padahal mau dibawa hari itu juga. Terus, pas banget kamu ngechat, jadinya kamu yang kena deh... Maaf ya, Luna,”

“Haha, ini aku bawel banget ya ngomong mulu... Yaudah deh, jadi gimana, nih, udah percaya belum? Mau nggak, jadi pacarnya Abam?” Abam memegang dagunya dengan telunjuk terangkat ke atas sembari menunggu jawaban dari Aluna.

Aluna mengangguk, “Iya, Luna percaya.” Luna mencoba untuk menatap mata Abam, “Luna juga mau jadi pacar Kakak.” Setelah itu, Luna memutus kontak mata keduanya karena ia benar-benar tidak kuat untuk menatap mata Abam lama-lama.

Perasaan Abam saat ini senang bukan main, ia refleks mengucapkan “Yes” dihadapan Aluna.

“Jadi, sekarang pacaran nih?” tanya Abam memastikan. Aluna mengangguk sembari tersenyum malu.

“Kak, kok aku mendadak cupu gini ya... Padahal kalo aku lagi gombalin kamu tuh, nggak pernah se-deg-degan ini, tapi kali ini aku cupu banget, maaf banget.” Aluna membuang muka karena malu. Pipinya juga sudah memanas dan sudah memerah.

Abam terkekeh, “Aduh, lucu banget sih pacar Abam pipinya merah gitu.”

“Halo, cantik,” sapa Daffin kepada Aubrey yang baru saja masuk kedalam mobilnya.

“Halo, ganteng. Eh—jangan peluk!! aku bau keringet.” Aubrey baru saja menahan Daffin yang ingin memeluknya.

Daffin sempat memanyunkan bibirnya karena kecewa. Karena penasaran, Daffin mulai menghirup wangi tubuh Aubrey dari jarak yang tidak terlalu dekat, tidak ada tanda-tanda bau tak sedap dari kekasihnya. Daffin yang merasa dibohongi langsung kembali menatap Aubrey.

“Apa sih, mana bau keringet! kamu bohongin aku ya?” Aubrey yang sempat terkejut karena ucapan Daffin terdengar agak kencang pun langsung terkekeh. Ia langsung merentangkan tangannya untuk memberi akses agar kekasihnya itu bisa memeluk dirinya dengan bebas. Daffin langsung menghambur kepelukan Aubrey.

“KANGENNNNNNN,” teriak Daffin.

Aubrey memukul pelan punggung Daffin, “Lebay, orang cuma nggak ketemu sehari!”

“Tetep aja!”

Aubrey melepaskan pelukannya, “Udah ah, ayok, jalan! kasian Kak Monic nanti nunggu lama.”

Daffin mengangguk dan langsung melajukan mobilnya.

Setelah beberapa menit diperjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di kediaman milik Daffin. Daffin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumahnya. Setelah mobil Daffin sudah terparkir dengan sempurna, keduanya pun turun dari Mobil dan berjalan ke arah pintu masuk.

Daffin mulai menekan bel rumahnya, beberapa menit kemudian pintu rumahnya terbuka dan memunculkan sosok perempuan cantik yang langsung menyambut kedatangan mereka dengan ramah.

“Ya ampun, Brey. Kamu makin cantik aja, ih!” Monica langsung memeluk Aubrey, begitupun Aubrey, ia langsung membalas pelukan Monica. “Makasih Kak, Kak Monic juga makin cantik ih dari Bali!”

Sedangkan Daffin, ia hanya melihat kedua perempuan dihadapannya berinteraksi.

“Waduh bisa aja, Eh… Yaudah yuk, masuk!”

Kini ketiganya sudah duduk dimeja makan. Hanya ada Daffin, Aubrey, dan Monica di meja ini. Kedua orang tua Daffin dan Monica sedang tidak ada dirumah karena alasan pekerjaan.

“Gimana Bali, Kak?” tanya Aubrey sembari mencicipi kue kering buatan Monica.

“Ya gitu deh, seru sih… Tapi kadang suka kangen Jakarta, haha. Kalian dong, kapan-kapan main ke Bali.”

“Mau sih, tapi nggak boleh nih sama Daffin.” Aubrey menunjuk Daffin yang ada disebelahnya “Padahal aku udah ada planning buat kesana sebelum UAS,” sambungnya.

Yang ditunjuk pun langsung bersuara, “Ya nggak boleh lah, orang kamu maunya pergi sendiri, buat apa tuh namanya… oh iya, healing! kalo nanti disana kamu digodain bule nakal gimana? kan aku yang repot,” jelas Daffin.

“Aduh, possessive banget, Pak!” ledek Monica.

Daffin memilih untuk tidak menghiraukan ucapak kakaknya barusan dan lanjut untuk menyantap makanan yang ada didepannya.

“Wisudanya kapan, Kak?”

“Masih beberapa bulan lagi, Brey, ikut yuk nanti!”

“Mau sih kak, tapi semoga aja boleh sama Buna, hehe.”

“Gampang itu mah, nanti aku yang izinin,” ucap Monica.

Daffin hanya menyimak percakapan keduanya.

“Ekhem… Mohon maaf nih ya, disini juga ada orang, diajak kali…” sindir Daffin.

Aubrey dan Monica langsung tertawa setelah mendengar ucapan Daffin.


Setelah selesai dengan acara makan bersama, kini ketiganya sudah duduk bersama di ruang TV. Daffin sudah lebih dulu untuk menyenderkan kepalanya ke pundak milik Aubrey, sedangkan Aubrey sempat meminggirkan kepala Daffin karena tidak enak dengan Monica. Padahal, Monica juga sama sekali tidak mempermasalahkan itu.

“Haduh, pengen juga. Cowokku masih di Korea, sih!”

Daffin tertawa sembari melemparkan bantal kecil kearah Monica, “Halu lo! haha”

Aubrey langsung memukul pelan paha Daffin, “Nggak boleh begitu,” bisik Aubrey.

“Gapapa kak, aku juga suka halu. Seru ternyata,” ucap Aubrey berada dipihak Monica.

“Ih, kamu haluin siapa???” tanya Daffin yang langsung bangun menatap Aubrey.

“Lee Jeno.”

“Siapa tuh?” tanya Daffin.

“Udah deh, kamu mah gatau soal korea-koreaan,” sahut Monica.

“Ih gue tau ya! siapa tuh namanya, Lee Minho, yang suka Bunda tonton kalo weekend,” ucap Daffin.

“Coba bentar, aku cari si Lee Jeno, siapa sih dia, Brey?” Daffin langsung mengambil ponselnya dan benar-benar mencari siapa Lee Jeno sebenarnya.

Aubrey dan Monica hanya tertawa tidak menyangka bahwa Daffin benar-benar seniat itu.

“Yah elah, babe! Masih cakepan aku kemana-mana kali,”

“Liat, nih… Apaan sih dia, ngapain segala ngehaluin dia coba? orang kamu punya aku, nggak perlu ngehalu-halu lagi, lah.”

Monica tertawa puas, “Cemburu kok sama idol k-pop!”


Waktu berlalu begitu cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, Aubrey yang merasa tidak enak karena sudah lama berada di rumah Daffin langsung berpamitan untuk pulang.

“Kak, kayaknya aku harus pulang deh. Udah dicariin Buna.”

“Yah, cepet banget sih mainnya.” Monica langsung menghampiri Aubrey dan memeluk tubuh Aubrey.

“Udah lama banget tau aku disini, Kak! malah akunya jadi ngerepotin Kak Monic sampe dibikinin cookies kayak gini.”

“Gapapa, ih! nggak ngerepotin, kok. Malahan seneng, akunya jadi ada temen. Bosen kalo berduaan doang sama Daffin.”

Aubrey hanya terkekeh sembari melihat Daffin yang masih asik dengan game yang berada diponselnya.

“Yaudah, Fin, dianterin nih pacarnya. Kasian udah jam segini kalo balik sendiri.”

Daffin langsung bangkit dari duduknya. “Ya mana mungkin juga Aubrey aku suruh pulang sendiri,”

“Ayok, babe,” sambung Daffin sembari mengambil kunci mobilnya dan langsung meninggalkan ruang tengah keluarganya.

“Kak, makasih ya buat hari ini, kapan-kapan kita shopping bareng!”

“Okay siap! hati-hati ya, Brey, Fin!”