scrpleo

Langit sore hari di kota Malang tampak begitu mendung, awan yang tadinya berwana putih seperti kapas langsung berubah warna menjadi keabuan seolah-olah memberi pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Abigail atau yang kerap dipanggil Bigel, sudah berdiri didepan rumah ber-cat putih yang dilengkapi dengan tulisan “Kos Putra”. Bigel berdiri menatap kearah rumah itu dengan perasaan antusiasnya, sebentar lagi ia akan segera bertemu dengan Ayden—kekasihnya, yang sudah satu tahun lamanya tidak pernah berjumpa. Ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya untuk menghubungi Ayden. Namun, setelah beberapa kali mencoba menghubungi kekasihnya itu, ia sama sekali tidak menerima jawaban apa-apa.

15 menit kemudian, hujan turun dengan sangat lebat. Bigel berlari dan segera mencari tempat untuk berteduh. Ia memilih untuk berteduh di warung kecil yang berada tepat didepan kos milik Ayden.

Setelah 30 menit Bigel menunggu, tiba-tiba mobil yang terlihat tak asing berhenti didepan rumah kos itu. Benar saja, itu mobil milik kekasihnya. Ayden baru saja turun dari mobil. Bigel yang melihat itu, langsung buru-buru berlari menghampiri kekasihnya.

“Ayden,” panggil Bigel.

Yang dipanggil pun terkejut.

“B-bigel?”

“Kamu ngapain disini? basah kuyup kayak gini lagi,” sambungnya.

“Ya nyamperin kamu!”

Bukannya senang dengan kehadiran kekasihnya, Ayden malah menyuruh Bigel untuk masuk kedalam mobilnya. Mau tidak mau, Bigel harus menuruti permintaan kekasihnya itu.

“Ngapain kamu jauh-jauh dari Jakarta ke Malang?” itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayden ketika mereka berdua sudah masuk kedalam mobil.

Bigel tampak tidak mengerti dengan pertanyaan Ayden, “Ya, aku mau kasih surprise buat kamu, Ayden.”

“Nggak perlu, kamu nggak perlu kayak gini, Bigel.”

“Kenapa? kenapa nggak perlu? aku cuma mau buat kamu seneng, Den. Emangnya kamu nggak seneng?” ucapnya.

Yang ditanya malah diam.

“Ayden, jawab.”

Ayden sempat memejamkan matanya, sampai akhirnya ia kembali menatap mata Bigel sembari menghelakan nafasnya.

“Aku nggak seneng, aku nggak seneng sama ide kamu yang tiba-tiba dateng kayak gini. Norak tau, nggak, Bi!”

“Ayden…”

Sakit, itu yang dirasakan oleh Bigel sekarang. Ia merasa usahanya tidak dihargai sama sekali oleh Ayden, padahal ia sudah jauh-jauh datang dari Jakarta hanya untuk memberi kejutan kecil untuk Ayden, tapi kekasihnya itu malah melontarkan kalimat yang menurutnya sangat menyakitkan.

“Ayok kita putus, Bi.”

Bigel terkejut, hatinya seperti sedang ditusuk-tusuk oleh ribuan pedang. Ia berusaha untuk tidak meneteskan air matanya didepan Ayden. Namun gagal, air matanya baru saja jatuh dan membasahi pipinya.

“Kenapa? kenapa kamu tiba-tiba minta putus kayak gini, Den?” tanya Abigail.

“Aku lagi nggak mau pacaran. Aku lagi mau sendiri, Bi,”

Aneh, itu adalah alasan ter-aneh menurut Bigel.

“Udah, ya? Kita selesai,” sambung Ayden.

Tiba-tiba saja, Bigel teringat oleh percakapannya dengan Ayden beberapa jam yang lalu.

“Ayden, Kamu bohong.”

“Bohong gimana, Bi?”

“Kamu bohong, kamu bilang hari ini kamu nggak kemana-mana, tapi nyatanya? kamu daritadi nggak ada di kosan.”

“Aku tiba-tiba diajak ngopi, Bi.”

“Nggak usah bohong, Den. Mobil kamu bau parfume cewek.”

“Lo nuduh gue selingkuh?” Ayden bertanya dengan nada yang cukup tinggi.

“Lo tuh emang dari dulu bisa nya nethink doang ya, Bi. Gue bener-bener muak sama lo. Emangnya gue nggak tau kelakuan lo di Jakarta kayak gimana? nempel terus sama Elian.”

“Ayden, nggak usah bawa-bawa Elian.”

“GUE NGOMONG SESUAI FAKTA!!” teriak Ayden.

Bigel terdiam, ia terkejut, selama berpacaran dengan Ayden, Ayden sama sekali tidak pernah membentaknya seperti ini.

Ayden-nya berubah.

Bigel memilih untuk mengalah, dan meng-iyakan ajakan Ayden untuk berpisah.

“Oke, kalau kamu mau kita putus. Ayok putus,” final Bigel.

“Itu didalam totebag ada kado buat kamu, aku beliin kamu sepatu yang beberapa bulan lalu kamu pengenin. Sama dibawahnya, ada scrapbook, isinya foto-foto kita berdua, kalo mau dibuang atau dibakar juga gapapa.”

“Maaf kalo aku belum bisa jadi pacar yang baik ya, Den.”

“Aku pamit, ya.”

Bigel langsung turun dari mobil tersebut dan meninggalkan Ayden yang masih duduk terdiam di dalam mobil. Batang hidung Bigel sudah tak terlihat lagi, Ayden benar-benar tidak merasa iba. Ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengejar Bigel yang sudah jauh pergi dari pengelihatannya. Bahkan, hanya untuk mengucap kata maaf dan terima kasih pun ia enggan untuk melakukannya.

Kini Bigel sedang berjalan tanpa tujuan dengan tatapan kosongnya, kakinya ia biarkan berjalan begitu saja. Ia benar-benar tidak percaya bahwa hubungannya dengan Ayden baru saja berakhir tepat di hari jadi mereka berdua.

“Udah semua? nggak ada yang ketinggalan, kan? charger, earphone, dompet, semuanya udah masuk belum?” tanya Elian.

“Udah semua, bawel banget deh!”

Elian menghiraukan perkataan Bigel barusan. Ia memilih untuk mengambil tas yang sedang Bigel tenteng, “Sini, ini berat. Gue aja yang bawa sampe masuk stasiun, biar lo nggak keberatan.”

Bigel tersenyum.

“Ngapain sih senyam-senyum, ayok jalan, udah mau jam 12.45 nih, nanti lo ketinggalan kereta!” seru Elian

“Iya, ayok.”

“Udah mau cerita?” tanya Daffin yang sedari tadi sudah berada di kelas Aubrey.

“Kenapa bisa berantem sama Valerie?”

“Okay, ini aku cerita ya.”

Daffin mengangguk sembari membuka kotak makan yang dari pagi belum sempat ia sentuh.

Aubrey mulai menceritakan tentang kejadian tadi kepada Daffin, “Jadi, tadi tuh aku baru aja kan mau keluar kelas buat ke kantin nyamperin Idan, tapi tiba-tiba si Valerie dateng sambil bawa satu gelas es teh yang emang udah setengah. Terus, all of sudden, dia nyuruh aku buat mutusin kamu kayak… apaansih? nggak jelas banget.”

Daffin sempat terkejut mendengarnya. Kemudian, ia kembali mendengarkan cerita Aubrey dengan sangat serius sembari mengunyah makanannya.

“Terus yaudah dong, karena aku ngga mau dan nggak akan pernah mau ngelakuin itu, aku langsung nolak, kita sempet adu mulut disitu. Tapi, emang dasarnya Valerie nyebelin dan agak nekat jadilah dia lemparin itu es teh ke baju aku,”

“Jujur aku malu banget, Fin. Karena itu bener-bener diliatin satu koridor, ditambah aku panik karena seragamnya kotor dan aku langsung mikirin gimana nanti aku bisa take video lomba kalo bajunya basah kuyup kayak tadi.”

“Hey, gapapa udah udah,”

“Sini, sekarang kamu liat aku.” Daffin menaruh kotak makan yang sedari tadi ia pegang dan langsung memegang pundak Aubrey.

“Aku tau kamu kesel banget sama Valerie disitu, aku juga tau Valerie udah kelewatan banget sampe segininya sama kamu. Tapi kamu tau, nggak? kamu tuh keren, kamu bisa nahan emosi kamu dengan enggak ngebales perlakuan Valerie ke kamu. Mungkin kalo aku jadi kamu, aku udah bales dia dengan hal yang sama kayak apa yang dia lakuin. Kamu keren, Brey!”

“Kamu juga tenang aja, Valerie udah aku tegor kok,” sambung Daffin.

“Fin, ih! nggak perlu, nanti dia makin-makin.”

“Nggak, sayang. Kalo dia berani macem-macem sama kamu lagi, aku beneran nggak segan-segan buat ngelakuin hal yang lebih dari sekedar negur, Brey.”

“Daffin… Kamu kok baik banget, Aku nangis aja kali ya.”

Daffin terkekeh dan langsung mengelus puncak kepala Aubrey, “Ngapain nangis, jelek! lagian udah jadi tugas aku buat selalu protect kamu,”

“Udah, nih. Makan! biar nanti pas take videonya semangat.”

Aubrey menatap Daffin dengan tatapan hangatnya.

i’m so lucky to have you, Fin”, batin Aubrey.

Aubrey mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum ke arah Daffin, “makasih banyak pacar ku!!”

Pintu lift yang dinaiki oleh Keira baru saja terbuka, ia melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari sana. Ia sempat melihat ke arah kanan dan kiri untuk mencari sosok Jevi yang katanya sudah menunggunya di Lobby. Saat sedang mencari keberadaan Jevi, tiba-tiba saja pundak Keira ditepuk oleh laki-laki yang umurnya 5 tahun lebih tua darinya.

“Ngapain celingak-celinguk kayak gitu?”

“Ih, kaget!!”

“Ya nyari kakak lah, pake nanya lagi,” sambung Keira.

Jevi tertawa pelan, “maaf ya, tadi kebelet buang air kecil, jadi harus ke toilet dulu.”

Keira mengangguk paham seakan mengerti dengan kondisi Jevi, “iya gapapa, sekarang ayo kita jalan, aku udah laper banget.”

“Oke, Bu Boss!”

Mereka berdua segera meninggalkan gedung fakultas Keira dan berjalan menuju parkiran mobil dengan berdampingan.

Omong-omong soal Jevi, Jevi merupakan Bakery Assistant yang bekerja di usaha bakery milik Keira dan Evelyn—Ibu Keira. Jevi sudah bekerja selama 2 tahun disana. Maka dari itu, Jevi dan Keira bisa dibilang sangat dekat layaknya adik dan kakak. Jevi benar-benar sudah menganggap Keira sebagai adik perempuannya sendiri, begitupun sebaliknya.

-

Kini mereka berdua telah masuk kedalam mobil milik Keira dengan Jevi yang mengambil alih kursi pengemudi. Keira memasangkan seat-beltnya dengan benar dan kemudian menyenderkan sedikit kebelakang kursi yang ia duduki.

Jevi yang melihat Keira tampak kelelahan langsung melontarkan pertanyaan untuk memastikan, “Gimana kelasnya, Kei? aman? lancar?”

“Lancaaaar kak, cuma ya… Agak capek aja, sih.”

“Oh gitu, yaudah tidur aja nanti kalo udah sampe saya bangunin—eh kamu udah makan siang belum?”

Keira menggeleng.

“Yaudah, nanti kita makan siang dulu baru belanja ya.”

“Okeeey Kak!”

Baru saja Keira ingin memejamkan matanya, tiba-tiba lagu Perfect milik One Direction terputar.

please jangan sekarang,” batinnya.

Keira langsung gelisah. Tiba-tiba saja ingatannya dengan masa lalunya terputar.

Bukannya apa, tapi, lagu ini merupakan lagu yang selalu Keira dan Acel putar saat sedang bersama, lagu ini merupakan favorite mereka berdua dan lagu ini… lagu yang pernah Acel nyanyikan untuk Keira.

Keira berusaha untuk menahan agar air matanya tidak jatuh. Namun nihil, air matanya baru saja jatuh membasahi pipinya ketika lagunya mencapai bagian reff.

Jevi yang melihat kegelisahan Keira pun langsung dibuat khawatir.

“Kei, is everything okay?”

Keira langsung bangkit dari posisi tidurnya dan segera menghadap ke arah Jevi.

Jevi sontak menengok dan terkejut melihat Keira yang sudah menangis.

“Kak jevi…”

“Kei, kenapa? kenapa tiba-tiba nangis?”

This song… This song really reminds me of him, Kak.”

Jevi yang mendengar jawaban dari Keira langsung menepi kepinggir jalan.

Hey, sini.” Jevi merentangkan tangannya, menawarkan Keira agar masuk kedalam pelukannya.

Tidak, Jevi sedang tidak lagi modus atau mencari kesempatan dengan Keira, melainkan ia tau bagaimana cara membuat Keira tenang ketika sedang mengingat laki-laki itu. Karena kedekatan mereka berdua, mereka jadi sering bertukar cerita. Seperti Keira yang jadi banyak bercerita kepada Jevi tentang siapa sosok laki-laki itu. Hal itu membuat Jevi tahu tentang kisah Keira bersama laki-laki itu.

Keira langsung masuk kedalam pelukan Jevi.

“Kei, stop, udah ya? jangan kayak gini terus, saya nggak tega liat kamu sedih kayak gini. Percaya sama saya, he’ll be back, Kei.”

“Kapan, Kak? it’s been 2 years since he left me without any saying his last goodbye, Kak. He said, he still love me even though we’re not together anymore, tapi nyatanya apa? he lied… Dia b-bohong, Kak,” ucap Keira sambil terisak.

Jevi menepuk-nepuk pundak Keira, membiarkan Keira meluapkan semua emosinya. Jevi bisa merasakan betapa sakit dan sedihnya Keira.

“Yaudah, sekarang kamu nangis aja dulu ya sampe tenang, nanti kalo dirasanya udah lega baru saya kasih tau sesuatu ke kamu, okay?”

Keira mengangguk.

3 menit berlalu, Keira sudah merasa lega dan sudah melepas pelukan Jevi. Ia kembali merapihkan rambutnya yang berantakan dan menghapus sisa-sisa air matanya yang sempat membasahi pipinya itu.

“Udah lega?” tanya Jevi dengan lembut.

“U-udah,” jawab Keira yang masih sesegukkan.

“Keira, dengerin saya ya. Saya memang nggak tau kapannya Acel bisa balik lagi, tapi saya yakin, kalo dia benar-benar sayang dan cinta sama kamu, dia bakalan balik lagi. Kita juga nggak tau sama apa yang sekarang dia lagi alamin disana, jadi saya minta kamu buat sabar, ya?disini kalian berdua harus berpisah dengan keadaan masih saling sayang, dan itu nggak mudah untuk saling melupakan, Kei. Jadi, saya yakin Acel juga masih sayang sama kamu.”

Keira mendengarkan semua kalimat yang keluar dari mulut Jevi, walaupun baginya itu semua tidak mungkin, bagaimana bisa Acel masih menyayanginya? padahal antaranya dan Acel tidak pernah berkomunikasi.

“Sekarang udah bisa lanjutin perjalanannya belum?” tanya Jevi

“Udah kak, aku udah laper.”

Jevi terkekeh, ia mengacak-acak gemas puncak kepala Keira dan kemudian segera melajukan kembali mobil milik Keira.

Keira senang bukan main, bagaimana tidak? ia barus saja mendapat balasan pesan dari kekasihnya yang beberapa minggu ini tidak ada kabar. Ia langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya dan membukakan pintu untuk Acel. Betapa senangnya Keira saat melihat Acel yang sudah berdiri dihadapannya. Keira langsung menghambur kepelukan Acel untuk menyalurkan kerinduannya, “Aku kangen banget, kamu kemana aja!!!”

Acel hanya mengelus punggung serta kepala Keira sambil tersenyum.

“Jawab ih Acel,” ucap Keira yang kini sudah mulai terisak.

“Kamu kok nangis? sini lepas dulu, aku juga kangen, mau liat muka kamu!” seru Acel, walaupun sebenarnya ia sedang menahan untuk tidak menteskan air matanya, karena mengingat tujuan awalnya.

Keira melepaskan pelukanya, dan langsung menatap mata Acel yang sedikit terlihat sendu. Ia heran sekaligus penasaran.

“Kamu kemana aja, Cel?”

“Boleh ngobrolnya di dalem? ngga enak diluar kayak gini. Aku juga pegel ini berdiri terus!”

Keira tertawa akibat kalimat terakhir Acel, akhirnya ia mempersilahkan Acel untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kini keduanya sudah duduk bersebalahan di ruang tamu, “Ayo, ceritain. Kamu kemana aja seminggu ini?”

Acel hanya menatap Keira dan akhirnya mulai menjelaskan, “Waktu pas di puncak, mami telfon aku, mami bilang Kakek Opa koma karena stroke”

Keira terkejut dan tidak menyangka, ia langsung mengelus-elus punggung tangan Acel, ia tahu seberapa paniknya Acel pada saat itu.

“Dari situ, aku langsung balik ke Jakarta tanpa pamitan sama siapa-siapa Kei, bahkan aku bener-bener ngga kepikiran buat ngabarin kamu, waktu itu aku cuma mikirin kondisi Kakek Opa, aku takut banget”

“Pas sampe rumah, aku, papi sama mami langsung packing buat terbang ke Singapore hari itu juga”

“Waktu udah sampe Singapore aku bener-bener ngga pegang handphone Kei, aku fokus ngurusin Kakek Opa disana. Jadi, aku minta maaf banget sama kamu, sama semuanya karena tiba-tiba udah ngilang gitu aja.”

“Hey, it’s fine. Itu musibah Cel, wajar kalo kamu ngga sempet ngabarin siapa-siapa.” Keira mengelus pundak Acel.

“Terus, gimana kondisi Kakek opa sekarang, Cel?”

Acel menundukkan kepalanya, “Semakin parah Kei,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

Keira langsung menarik Acel kedalam pelukannya. Keira tau betapa sayangnya Acel dengan kakeknya. Kakek opa merupakan satu-satunya kakek yang Acel punya dan merupakan kakek terdekat Acel. Jadi, ia bisa merasakan betapa sedihnya Acel saat ini.

“Sabar ya Cel, Kakek Opa pasti sembuh. Kita berdoa aja yaaaa, kamu jangan sedih begini ah, nanti Kakek Opa ikutan sedih!!”

Acel mengangguk.

“Terus, sekarang Kakek Opa sama siapa disana? kamu bakalan balik kesana lagi Cel?”

Acel langsung terdiam dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Keira.

“Eh… Kok kamu diem? kenapa?” tanya Keira, menyadarkan Acel dari lamunnanya.

“Sama Om Evan, Kei.”

“Tapi… Om Evan ada panggilan kerja di Aussie. Jadi, Om Evan sama istrinya harus pindah ke Aussie.”

“Iyaaaa, terus?” tanya Keira.

“Mau ngga mau, aku, papi sama mami yang bakalan ngurusin Kakek Opa disana Kei,”

Acel menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku sekeluarga bakalan pindah ke Singapore.”

Perasaan Keira mulai tidak enak, ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Acel menatap mata Keira sembari menggenggam tangan Keira, “Tentang hubungan kita, Aku mau kita udahan, Kei.”

deg

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Acel sukses membuat Keira meneteskan air matanya, ternyata dugaannya benar, Acel memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kenapa, Cel?” tanya Keira lirih.

“Kamu tau alasannya Kei, kamu tau aku ngga bisa jalanin hubungan jarak jauh.”

Benar, Acel benar. Keira memang sangat tau tentang itu, Keira tau kalau hubungan jarak jauh adalah salah satu ketakutan Acel. Keira sempat diam sejenak, ia mencoba untuk memahami situasi yang sedang dialami oleh Acel. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Acel untuk mengakhiri hubungan mereka berdua, walaupun sebenarnya mereka masih memiliki perasaan yang sama.

Acel sangat tidak bisa melihat Keira yang menangis seperti itu, walaupun ia tau bahwa dirinya lah yang menjadi penyebab Keira menangis. Acel membawa Keira kedalam pelukannya sambil berkata, “Keira, Even though we’re not together anymore…

…i will always love you.

Keira semakin menangis setelah mendengar ucapan Acel barusan, Keira semakin mengeratkan pelukannya pada Acel. Keira berharap ini semua adalah mimpi, Keira juga berharap agar nantinya ia bisa dipertemukan kembali oleh Acel.

Kini kisah mereka berdua telah usai. Setidaknya mereka berdua pernah bersama, walaupun pada akhirnya akhirnya mereka harus berpisah.

Keira senang bukan main, bagaimana tidak? ia barus saja mendapat balasan pesan dari kekasihnya yang beberapa minggu ini tidak ada kabar. Ia langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya dan membukakan pintu untuk Acel. Betapa senangnya Keira saat melihat Acel yang sudah berdiri dihadapannya. Keira langsung menghambur kepelukan Acel untuk menyalurkan kerinduannya, “Aku kangen banget, kamu kemana aja!!!”

Acel hanya mengelus punggung serta kepala Keira sambil tersenyum.

“Jawab ih Acel,” ucap Keira yang kini sudah mulai terisak.

“Kamu kok nangis? sini lepas dulu, aku juga kangen, mau liat muka kamu!” seru Acel, walaupun sebenarnya ia sedang menahan untuk tidak menteskan air matanya, karena mengingat tujuan awalnya.

Keira melepaskan pelukanya, dan langsung menatap mata Acel yang sedikit terlihat sendu. Ia heran sekaligus penasaran.

“Kamu kemana aja, Cel?”

“Boleh ngobrolnya di dalem? ngga enak diluar kayak gini. Aku juga pegel ini berdiri terus!”

Keira tertawa akibat kalimat terakhir Acel, akhirnya ia mempersilahkan Acel untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kini keduanya sudah duduk bersebalahan di ruang tamu, “Ayo, ceritain. Kamu kemana aja seminggu ini?”

Acel hanya menatap Keira dan akhirnya mulai menjelaskan, “Waktu pas di puncak, mami telfon aku, mami bilang Kakek Opa koma karena stroke”

Keira terkejut dan tidak menyangka, ia langsung mengelus-elus punggung tangan Acel, ia tahu seberapa paniknya Acel pada saat itu.

“Dari situ, aku langsung balik ke Jakarta tanpa pamitan sama siapa-siapa Kei, bahkan aku bener-bener ngga kepikiran buat ngabarin kamu, waktu itu aku cuma mikirin kondisi Kakek Opa, aku takut banget”

“Pas sampe rumah, aku, papi sama mami langsung packing buat terbang ke Singapore hari itu juga”

“Waktu udah sampe Singapore aku bener-bener ngga pegang handphone Kei, aku fokus ngurusin Kakek Opa disana. Jadi, aku minta maaf banget sama kamu, sama semuanya karena tiba-tiba udah ngilang gitu aja.”

“Hey, it’s fine. Itu musibah Cel, wajar kalo kamu ngga sempet ngabarin siapa-siapa.” Keira mengelus pundak Acel.

“Terus, gimana kondisi Kakek opa sekarang, Cel?”

Acel menundukkan kepalanya, “Semakin parah Kei,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

Keira langsung menarik Acel kedalam pelukannya. Keira tau betapa sayangnya Acel dengan kakeknya. Kakek opa merupakan satu-satunya kakek yang Acel punya dan merupakan kakek terdekat Acel. Jadi, ia bisa merasakan betapa sedihnya Acel saat ini.

“Sabar ya Cel, Kakek Opa pasti sembuh. Kita berdoa aja yaaaa, kamu jangan sedih begini ah, nanti Kakek Opa ikutan sedih!!”

Acel mengangguk.

“Terus, sekarang Kakek Opa sama siapa disana? kamu bakalan balik kesana lagi Cel?”

Acel langsung terdiam dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Keira.

“Eh… Kok kamu diem? kenapa?” tanya Keira, menyadarkan Acel dari lamunnanya.

“Sama Om Evan, Kei.”

“Tapi… Om Evan ada panggilan kerja di Aussie. Jadi, Om Evan sama istrinya harus pindah ke Aussie.”

“Jadi?” tanya Keira.

“Mau ngga mau, aku, papi sama mami yang bakalan ngurusin Kakek Opa disana Kei,”

Acel menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku sekeluarga bakalan pindah ke Singapore.”

Perasaan Keira mulai tidak enak, ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Acel menatap mata Keira sembari menggenggam tangan Keira, “Tentang hubungan kita, Aku mau kita udahan, Kei.”

deg

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Acel sukses membuat Keira meneteskan air matanya, ternyata dugaannya benar, Acel memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kenapa, Cel?” tanya Keira lirih.

“Kamu tau alasannya Kei, kamu tau aku ngga bisa jalanin hubungan jarak jauh.”

Benar, Acel benar. Keira memang sangat tau tentang itu, Keira tau kalau hubungan jarak jauh adalah salah satu ketakutan bagi Acel. Keira sempat diam sejenak, ia mencoba untuk memahami situasi yang sedang dialami oleh Acel. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Acel untuk mengakhiri hubungan mereka berdua, walaupun sebenarnya mereka masih memiliki perasaan yang sama.

Acel sangat tidak bisa melihat Keira yang menangis seperti itu, walaupun ia tau bahwa dirinya lah yang menjadi penyebab Keira menangis. Acel membawa Keira kedalam pelukannya sambil berkata, “Keira, Even though we’re not together anymore…

…i will always love you.

Keira semakin menangis setelah mendengar ucapan Acel barusan, Keira semakin mengeratkan pelukannya pada Acel. Keira berharap ini semua adalah mimpi, Keira juga berharap agar nantinya ia bisa dipertemukan kembali oleh Acel.

Keira senang bukan main, bagaimana tidak? ia barus saja mendapat balasan pesan dari kekasihnya yang beberapa minggu ini tidak ada kabar. Ia langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya dan membukakan pintu untuk Acel. Betapa senangnya Keira saat melihat Acel yang sudah berdiri dihadapannya. Keira langsung menghambur kepelukan Acel untuk menyalurkan kerinduannya, “Aku kangen banget, kamu kemana aja!!!”

Acel hanya mengelus punggung serta kepala Keira sambil tersenyum.

“Jawab ih Acel,” ucap Keira yang kini sudah mulai terisak.

“Kamu kok nangis? sini lepas dulu, aku juga kangen, mau liat muka kamu!” seru Acel, walaupun sebenarnya ia sedang menahan untuk tidak menteskan air matanya, karena mengingat tujuan awalnya.

Keira melepaskan pelukanya, dan langsung menatap mata Acel yang sedikit terlihat sendu. Ia heran sekaligus penasaran.

“Kamu kemana aja, Cel?”

“Boleh ngobrolnya di dalem? ngga enak diluar kayak gini. Aku juga pegel ini berdiri terus!”

Keira tertawa akibat kalimat terakhir Acel, akhirnya ia mempersilahkan Acel untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kini keduanya sudah duduk bersebalahan di ruang tamu, “Ayo, ceritain. Kamu kemana aja seminggu ini?”

Acel hanya menatap Keira dan akhirnya mulai menjelaskan, “Waktu pas di puncak, mami telfon aku, mami bilang Kakek Opa koma karena stroke”

Keira terkejut dan tidak menyangka, ia langsung mengelus-elus punggung tangan Acel, ia tahu seberapa paniknya Acel pada saat itu.

“Dari situ, aku langsung balik ke Jakarta tanpa pamitan sama siapa-siapa Kei, bahkan aku bener-bener ngga kepikiran buat ngabarin kamu, waktu itu aku cuma mikirin kondisi Kakek Opa, aku takut banget”

“Pas sampe rumah, aku, papi sama mami langsung packing buat terbang ke Singapore hari itu juga”

“Waktu udah sampe Singapore aku bener-bener ngga pegang handphone Kei, aku fokus ngurusin Kakek Opa disana. Jadi, aku minta maaf banget sama kamu, sama semuanya karena tiba-tiba udah ngilang gitu aja.”

“Hey, it’s fine. Itu musibah Cel, wajar kalo kamu ngga sempet ngabarin siapa-siapa.” Keira mengelus pundak Acel.

“Terus, gimana kondisi Kakek opa sekarang, Cel?”

Acel menundukkan kepalanya, “Semakin parah Kei,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

Keira langsung menarik Acel kedalam pelukannya. Keira tau betapa sayangnya Acel dengan kakeknya. Kakek opa merupakan satu-satunya kakek yang Acel punya dan merupakan kakek terdekat Acel. Jadi, ia bisa merasakan betapa sedihnya Acel saat ini.

“Sabar ya Cel, Kakek Opa pasti sembuh. Kita berdoa aja yaaaa, kamu jangan sedih begini ah, nanti Kakek Opa ikutan sedih!!”

Acel mengangguk.

“Terus, sekarang Kakek Opa sama siapa disana? kamu bakalan balik kesana lagi Cel?”

Acel langsung terdiam dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Keira.

“Eh… Kok kamu diem? kenapa?” tanya Keira, menyadarkan Acel dari lamunnanya.

“Sama Om Evan, Kei.”

“Tapi… Om Evan ada panggilan kerja di Aussie. Jadi, Om Evan sama istrinya harus pindah ke Aussie.”

“Jadi?” tanya Keira.

“Mau ngga mau, aku, papi sama mami yang bakalan ngurusin Kakek Opa disana Kei,”

Acel menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku sekeluarga bakalan pindah ke Singapore.”

Perasaan Keira mulai tidak enak, ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Acel menatap mata Keira sembari menggenggam tangan Keira, “Tentang hubungan kita, Aku mau kita udahan, Kei.”

deg

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Acel sukses membuat Keira meneteskan air matanya, ternyata dugaannya benar, Acel memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kenapa, Cel?” tanya Keira lirih.

“Kamu tau alasannya Kei, kamu tau aku ngga bisa jalanin hubungan jarak jauh.”

Benar, Acel benar. Keira memang sangat tau tentang itu, Keira tau kalau hubungan jarak jauh adalah salah satu ketakutan bagi Acel. Keira sempat diam sejenak, ia mencoba untuk memahami situasi yang sedang dialami oleh Acel. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Acel untuk mengakhiri hubungan mereka berdua, walaupun sebenarnya mereka masih memiliki perasaan yang sama.

Acel sangat tidak bisa melihat Keira yang menangis seperti itu, walaupun ia tau bahwa dirinya lah yang menjadi penyebab Keira menangis. Acel membawa Keira kedalam pelukannya sambil berkata, “*Keira, Even though we’re not together anymore…

…i will always love you.*”

Keira semakin menangis setelah mendengar ucapan Acel barusan, Keira semakin mengeratkan pelukannya pada Acel. Keira berharap ini semua adalah mimpi, Keira juga berharap agar nantinya ia bisa dipertemukan kembali oleh Acel.

Keira senang bukan main, bagaimana tidak? ia barus saja mendapat balasan pesan dari kekasihnya yang beberapa minggu ini tidak ada kabar. Ia langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya dan membukakan pintu untuk Acel. Betapa senangnya Keira saat melihat Acel yang sudah berdiri dihadapannya. Keira langsung menghambur kepelukan Acel untuk menyalurkan kerinduannya, “Aku kangen banget, kamu kemana aja!!!”

Acel hanya mengelus punggung serta kepala Keira sambil tersenyum.

“Jawab ih Acel,” ucap Keira yang kini sudah mulai terisak.

“Kamu kok nangis? sini lepas dulu, aku juga kangen, mau liat muka kamu!” seru Acel, walaupun sebenarnya ia sedang menahan untuk tidak menteskan air matanya, karena mengingat tujuan awalnya.

Keira melepaskan pelukanya, dan langsung menatap mata Acel yang sedikit terlihat sendu. Ia heran sekaligus penasaran.

“Kamu kemana aja, Cel?”

“Boleh ngobrolnya di dalem? ngga enak diluar kayak gini. Aku juga pegel ini berdiri terus!”

Keira tertawa akibat kalimat terakhir Acel, akhirnya ia mempersilahkan Acel untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kini keduanya sudah duduk bersebalahan di ruang tamu, “Ayo, ceritain. Kamu kemana aja seminggu ini?”

Acel hanya menatap Keira dan akhirnya mulai menjelaskan, “Waktu pas di puncak, mami telfon aku, mami bilang Kakek Opa koma karena stroke”

Keira terkejut dan tidak menyangka, ia langsung mengelus-elus punggung tangan Acel, ia tahu seberapa paniknya Acel pada saat itu.

“Dari situ, aku langsung balik ke Jakarta tanpa pamitan sama siapa-siapa Kei, bahkan aku bener-bener ngga kepikiran buat ngabarin kamu, waktu itu aku cuma mikirin kondisi Kakek Opa, aku takut banget”

“Pas sampe rumah, aku, papi sama mami langsung packing buat terbang ke Singapore hari itu juga”

“Waktu udah sampe Singapore aku bener-bener ngga pegang handphone Kei, aku fokus ngurusin Kakek Opa disana. Jadi, aku minta maaf banget sama kamu, sama semuanya karena tiba-tiba udah ngilang gitu aja.”

“Hey, it’s fine. Itu musibah Cel, wajar kalo kamu ngga sempet ngabarin siapa-siapa.” Keira mengelus pundak Acel.

“Terus, gimana kondisi Kakek opa sekarang, Cel?”

Acel menundukkan kepalanya, “Semakin parah Kei,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

Keira langsung menarik Acel kedalam pelukannya. Keira tau betapa sayangnya Acel dengan kakeknya. Kakek opa merupakan satu-satunya kakek yang Acel punya dan merupakan kakek terdekat Acel. Jadi, ia bisa merasakan betapa sedihnya Acel saat ini.

“Sabar ya Cel, Kakek Opa pasti sembuh. Kita berdoa aja yaaaa, kamu jangan sedih begini ah, nanti Kakek Opa ikutan sedih!!”

Acel mengangguk.

“Terus, sekarang Kakek Opa sama siapa disana? kamu bakalan balik kesana lagi Cel?”

Acel langsung terdiam dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Keira.

“Sama Om Evan, Kei.”

“Tapi… Om Evan ada panggilan kerja di Aussie. Jadi, Om Evan sama istrinya harus pindah ke Aussie.”

“Jadi?” tanya Keira.

“Mau ngga mau, aku, papi sama mami yang bakalan ngurusin Kakek Opa disana Kei,”

Acel menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku sekeluarga bakalan pindah ke Singapore.”

deg

Perasaan Keira mulai tidak enak, ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Acel menatap mata Keira sembari menggenggam tangan Keira, “Tentang hubungan kita, Aku mau kita udahan, Kei.”

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Acel sukses membuat Keira meneteskan air matanya, ternyata dugaannya benar, Acel memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kenapa, Cel?” tanya Keira lirih.

“Kamu tau alasannya Kei, kamu tau aku ngga bisa jalanin hubungan jarak jauh.”

Benar, Acel benar. Keira memang sangat tau tentang itu, Keira tau kalau hubungan jarak jauh adalah salah satu ketakutan bagi Acel. Keira sempat diam sejenak, ia mencoba untuk memahami situasi yang sedang dialami oleh Acel. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Acel untuk mengakhiri hubungan mereka berdua, walaupun sebenarnya mereka berdua masih memiliki perasaan yang sama.

Acel tidak bisa melihat Keira yang menangis seperti itu, ia membawa Keira kedalam pelukannya, “*Keira, Even though we’re not together anymore…

…i will always love you.*”

Keira semakin menangis mendengar ucapan Acel barusan, Keira mengeratkan pelukannya dan menangis dipelukan Acel. Ia berharap ini semua adalah mimpi dan berharap nantinya ia bisa dipertemukan kembali oleh Acel.

Keira senang bukan main, bagaimana tidak? ia barus saja mendapat balasan pesan dari kekasihnya yang beberapa minggu ini tidak ada kabar. Ia langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya dan membukakan pintu untuk Acel. Betapa senangnya Keira saat melihat Acel yang sudah berdiri dihadapannya. Keira langsung menghambur kepelukan Acel untuk menyalurkan kerinduannya, “Aku kangen banget, kamu kemana aja!!!”

Acel hanya mengelus punggung serta kepala Keira sambil tersenyum.

“Jawab ih Acel,” ucap Keira yang kini sudah mulai terisak.

“Kamu kok nangis? sini lepas dulu, aku juga kangen, mau liat muka kamu!” seru Acel, walaupun sebenarnya ia sedang menahan untuk tidak menteskan air matanya, karena mengingat tujuan awalnya.

Keira melepaskan pelukanya, dan langsung menatap mata Acel yang sedikit terlihat sendu. Ia heran sekaligus penasaran.

“Kamu kemana aja, Cel?”

“Boleh ngobrolnya di dalem? ngga enak diluar kayak gini. Aku juga pegel ini berdiri terus!”

Keira tertawa dengan kalimat terakhir Acel, akhirnya ia mempersilahkan Acel untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kini keduanya sudah duduk bersebalahan di ruang tamu, “Ayo, ceritain. Kamu kemana aja seminggu ini?”

Acel hanya menatap Keira dan akhirnya mulai menjelaskan, “Waktu pas di puncak, mami telfon aku, mami bilang Kakek Opa koma karena stroke”

Keira terkejut dan tidak menyangka, ia langsung mengelus-elus punggung tangan Acel, ia tahu seberapa paniknya Acel pada saat itu.

“Dari situ, aku langsung balik ke Jakarta tanpa pamitan sama siapa-siapa Kei, bahkan aku bener-bener ngga kepikiran buat ngabarin kamu, waktu itu aku cuma mikirin kondisi Kakek Opa, aku takut banget”

“Pas sampe rumah, aku, papi sama mami langsung packing buat terbang ke Singapore hari itu juga”

“Waktu udah sampe Singapore aku bener-bener ngga pegang handphone Kei, aku fokus ngurusin Kakek Opa disana. Jadi, aku minta maaf banget sama kamu, sama semuanya karena tiba-tiba udah ngilang gitu aja.”

“Hey, it’s fine. Itu musibah Cel, wajar kalo kamu ngga sempet ngabarin siapa-siapa.” Keira mengelus pundak Acel.

“Terus, gimana kondisi Kakek opa sekarang, Cel?”

Acel menundukkan kepalanya, “Semakin parah Kei,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

Keira langsung menarik Acel kedalam pelukannya. Keira tau betapa sayangnya Acel dengan kakeknya. Kakek opa merupakan satu-satunya kakek yang Acel punya dan merupakan kakek terdekat Acel. Jadi, ia bisa merasakan betapa sedihnya Acel saat ini.

“Sabar ya Cel, Kakek Opa pasti sembuh. Kita berdoa aja yaaaa, kamu jangan sedih begini ah, nanti Kakek Opa ikutan sedih!!”

Acel mengangguk.

“Terus, sekarang Kakek Opa sama siapa disana? kamu bakalan balik kesana lagi Cel?”

Acel langsung terdiam dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Keira.

“Sama Om Evan, Kei.”

“Tapi… Om Evan ada panggilan kerja di Aussie. Jadi, Om Evan sama istrinya harus pindah ke Aussie.”

“Jadi?” tanya Keira.

“Mau ngga mau, aku, papi sama mami yang bakalan ngurusin Kakek Opa disana Kei,”

Acel menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku sekeluarga bakalan pindah ke Singapore.”

deg

Perasaan Keira mulai tidak enak, ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Acel menatap mata Keira sembari menggenggam tangan Keira, “Tentang hubungan kita, Aku mau kita udahan, Kei.”

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Acel sukses membuat Keira meneteskan air matanya, ternyata dugaannya benar, Acel memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kenapa, Cel?” tanya Keira lirih.

“Kamu tau alasannya Kei, kamu tau aku ngga bisa jalanin hubungan jarak jauh.”

Benar, Acel benar. Keira memang sangat tau tentang itu, Keira tau kalau hubungan jarak jauh adalah salah satu ketakutan bagi Acel. Keira sempat diam sejenak, ia mencoba untuk memahami situasi yang sedang dialami oleh Acel. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Acel untuk mengakhiri hubungan mereka berdua, walaupun sebenarnya mereka berdua masih memiliki perasaan yang sama.

Acel tidak bisa melihat Keira yang menangis seperti itu, ia membawa Keira kedalam pelukannya, “*Keira, Even though we’re not together anymore…

…i will always love you.*”

Keira semakin menangis mendengar ucapan Acel barusan, Keira mengeratkan pelukannya dan menangis dipelukan Acel. Ia berharap ini semua adalah mimpi dan berharap nantinya ia bisa dipertemukan kembali oleh Acel.

Keira senang bukan main, bagaimana tidak? ia barus saja mendapat balasan pesan dari kekasihnya yang beberapa minggu ini tidak ada kabar. Ia langsung buru-buru menuruni tangga rumahnya dan membukakan pintu untuk Acel. Betapa senangnya Keira saat melihat Acel yang sudah berdiri dihadapannya. Keira langsung menghambur kepelukan Acel untuk menyalurkan kerinduannya, “Aku kangen banget, kamu kemana aja!!!”

Acel hanya mengelus punggung serta kepala Keira sambil tersenyum.

“Jawab ih Acel,” ucap Keira yang kini sudah mulai terisak.

“Kamu kok nangis? sini lepas dulu, aku juga kangen, mau liat muka kamu!” seru Acel. Walaupun sebenarnya ia sedang menahan untuk tidak menteskan air matanya, karena mengingat maksud dan tujuannya untuk datang kerumah Keira.

Keira melepaskan pelukanya, dan langsung menatap mata Acel yang sedikit terlihat sendu. Ia heran sekaligus penasaran.

“Kamu kemana aja, Cel?”

“Boleh ngobrolnya di dalem? ngga enak diluar kayak gini. Aku juga pegel ini berdiri terus!”

Keira tertawa dengan kalimat terakhir Acel, akhirnya ia mempersilahkan Acel untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kini keduanya sudah duduk bersebalahan di ruang tamu, “Ayo, ceritain. Kamu kemana aja seminggu ini?”

Acel hanya menatap Keira dan akhirnya mulai menjelaskan, “Waktu pas di puncak, mami telfon aku, mami bilang Kakek Opa koma karena stroke”

Keira terkejut dan tidak menyangka, ia langsung mengelus-elus punggung tangan Acel, ia tahu seberapa paniknya Acel pada saat itu.

“Dari situ, aku langsung balik ke Jakarta tanpa pamitan sama siapa-siapa Kei, bahkan aku bener-bener ngga kepikiran buat ngabarin kamu, waktu itu aku cuma mikirin kondisi Kakek Opa, aku takut banget”

“Pas sampe rumah, aku, papi sama mami langsung packing buat terbang ke Singapore hari itu juga”

“Waktu udah sampe Singapore aku bener-bener ngga pegang handphone Kei, aku fokus ngurusin Kakek Opa disana. Jadi, aku minta maaf banget sama kamu, sama semuanya karena tiba-tiba udah ngilang gitu aja.”

“Hey, it’s fine. Itu musibah Cel, wajar kalo kamu ngga sempet ngabarin siapa-siapa.” Keira mengelus pundak Acel.

“Terus, gimana kondisi Kakek opa sekarang, Cel?”

Acel menundukkan kepalanya, “Semakin parah Kei,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

Keira langsung menarik Acel kedalam pelukannya. Keira tau betapa sayangnya Acel dengan kakeknya. Kakek opa merupakan satu-satunya kakek yang Acel punya dan merupakan kakek terdekat Acel. Jadi, ia bisa merasakan betapa sedihnya Acel saat ini.

“Sabar ya Cel, Kakek Opa pasti sembuh. Kita berdoa aja yaaaa, kamu jangan sedih begini ah, nanti Kakek Opa ikutan sedih!!”

Acel mengangguk.

“Terus, sekarang Kakek Opa sama siapa disana? kamu bakalan balik kesana lagi Cel?”

Acel langsung terdiam dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Keira.

“Sama Om Evan, Kei.”

“Tapi… Om Evan ada panggilan kerja di Aussie. Jadi, Om Evan sama istrinya harus pindah ke Aussie.”

“Jadi?” tanya Keira.

“Mau ngga mau, aku, papi sama mami yang bakalan ngurusin Kakek Opa disana Kei,”

Acel menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku sekeluarga bakalan pindah ke Singapore.”

deg

Perasaan Keira mulai tidak enak, ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Acel menatap mata Keira sembari menggenggam tangan Keira, “Tentang hubungan kita, Aku mau kita udahan, Kei.”

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Acel sukses membuat Keira meneteskan air matanya, ternyata dugaannya benar, Acel memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.

“Kenapa, Cel?” tanya Keira lirih.

“Kamu tau alasannya Kei, kamu tau aku ngga bisa jalanin hubungan jarak jauh.”

Benar, Acel benar. Keira memang sangat tau tentang itu, Keira tau kalau hubungan jarak jauh adalah salah satu ketakutan bagi Acel. Keira sempat diam sejenak, ia mencoba untuk memahami situasi yang sedang dialami oleh Acel. Sampai akhirnya ia mengiyakan permintaan Acel untuk mengakhiri hubungan mereka berdua, walaupun sebenarnya mereka berdua masih memiliki perasaan yang sama.

Acel tidak bisa melihat Keira yang menangis seperti itu, ia membawa Keira kedalam pelukannya, “*Keira, Even though we’re not together anymore…

…i will always love you.*”

Keira semakin menangis mendengar ucapan Acel barusan, Keira mengeratkan pelukannya dan menangis dipelukan Acel. Ia berharap ini semua adalah mimpi dan berharap nantinya ia bisa dipertemukan kembali oleh Acel.