scrpleo

Pertandingan antara tim futsal SMANSA dan tim futsal SMA Nusa baru saja selesai. Pertandingan dimenangkan oleh SMANSA. Semua anggota futsal SMANSA beserta dengan coach mereka langsung berkumpul untuk merayakan kemenangannya dengan saling berpelukan di tengah lapangan lengkap dengan suara teriakan dari supporter SMANSA di tribun.

Sebenarnya saat tadi pertandingan berlangsung, Farel nyaris tidak fokus karena beberapa kali memperhatikan atau sekedar melirik ke arah tribun penonton untuk mencari keberadaan gadis yang ia nantikan kehadirannya. Bahkan sampai sekarang ia masih mecari sosok gadis itu, namun hasilnya tetap nihil.

Good job, Rel!” tegur Reno sembari menepuk bahu Farel. Farel yang sebelumnya sedang melihat ke arah tribun langsung sadar akan tepukan di bahunya.

Kaki maneh teh emang super,” lanjut Reno.

“Halah, lebay pisan! Semuanya kan juga sama, sat set sat set. Good job juga, No!”

Reno mengangguk, “Yaudah, aing duluan ke ruang ganti ya, sumuk banget.”

Farel mengangguk, “Hooh, sok.”

Haris yang sebelumnya sedang berbincang dengan coach team mereka langsung menghampiri Farel. “Temenin aing yuk.”

“Kemana?”

“Udah ikut wae, nanti juga seneng.”

Farel menatap Haris dengan bingung. Namun ia tetap mengikuti langkah sahabatnya itu.

Mereka berdua langsung berpamitan dengan teman-temannya serta coach mereka dan kemudian langsung pergi meninggalkan lapangan.

“Duluan ya semua, Good job team!”


“Yaelah, Ris, kalo ke ruang ganti mah tadi mending maneh bareng si Reno!”

Haris terkekeh. Karena nyatanya Haris hanya mengajak Farel untuk pergi ke ruang ganti peserta bersama.

“Sabar atuh, abis ini baru temenin aing, sekarang mah ganti baju dulu. Basah keringet gini emangnya maneh betah?”

Bade kamana, sih?”

“Ketemu cewek geulis,” sahut Haris.

“Dih? Sejak kapan maneh teh punya awewe.”

“Ya makanya ntar ketemu.”

“Yaudah,” final Farel.

Farel langsung masuk ke dalam bilik kosong untuk mengganti pakaiannya, bahkan ia juga sempat mengguyur badannya yang sebelumnya dibahasi oleh keringat. Sama halnya dengan Haris, ia juga masuk ke dalam bilik yang berada di sebelah Farel untuk melanjutkan sesi bersih-bersih tubuhnya.

Beberapa menit kemudian, Farel keluar dari bilik terlebih dahulu.

“Udah belom, Rel?” tanya Haris dari bilik sebelah.

Aing udah keluar daritadi, gelo! Maneh yang lama.”

“Oh, bilang atuh!” haris terkekeh.

“Yaudah hayuk cus…”

Keduanya melangkahkan kaki keluar dari ruang ganti. Ramainya siswa-siswi dari sekolah lain membuat Farel kewalahan untuk mencari keberadaan Adys. Iya, Farel masih berusaha untuk mencari gadis itu. Rasa penasarannya sangat tinggi. Sejak keluar dari ruang ganti, Farel hanya berjalan mengikuti kemana Haris akan membawanya pergi. Sampai dimana kini mereka sudah tiba di taman belakang SMA Nusa.

“Udah sampe.”

“Mana cewek geulis yang maneh bilang?” tanya Farel.

“Tuh,” tunjuk Haris ke arah gadis cantik dengan dress putih yang sedang berjalan ke arahnya dan Haris sembari membawa satu buket bunga ditangannya.

“Anjir maneh, Ris!”

“Ngerjain aing, ya?”

Haris hanya terkekeh melihat muka terkejut Farel.

Good luck ya, aing tinggal dulu,” ucap Haris yang langsung pergi meninggalkan Farel.

Gadis cantik yang sedari tadi Farel tunggu kehadirannya semakin memperdekat jaraknya. Bahkan kini sudah tinggal beberapa langkah untuk sampai di hadapannya.

“Halo,” sapa Adys.

“H-hai teh,” jawab Farel dengan gugup.

“Kenapa gugup begitu? Santai aja kali.”

“Grogi teh, kaget juga teteh kok bisa ada disini.”

“Duduk dulu atuh, biar nggak pegel.”

Keduanya langsung duduk di kursi taman yang memang tersedia disana.

“Ini buat kamu,” Adys memberikan bunga itu ke arah Farel yang langsung Farel terima dengan baik.

“Selamat ya karena udah juara.”

“Makasih teh. Tapi emangnya teteh tau kalo Farel menang?”

“Tau lah! Orang aku nonton.”

“Dimana? Kok Farel nggak ngeliat teteh.”

“Di tribun supporter Nusa.”

“Pantesan!!!”

Adys terkekeh melihat Farel yang lagi dan lagi bertingkah gemas. Beda sekali dengan Farel yang berada di lapangan beberapa jam yang lalu.

“Tapi tadi kamu keren mainnya, ih! Bangga aku.”

“Pacar siapa dulu?” tanya Farel.

“Nggak tau,” ledek Adys.

“Ih! Pacar kamu teh!”

“Kan belom baikan, emang masih pacaran?”

Teteh jangan begitu dong teh. Kayaknya seneng banget ya liat aku sedih begini.”

Adys menyentil jidat Farel pelan, “Lebay!”

“Yaudah ini mau maafan nggak nih?” tanya Adys.

“MAUUUUU!!!!!”

“Sini aku minjem tangan kamu,” pinta Adys. “Buat apa teh?”

“Siniin aja.”

Farel langsung mengarahkan tangannya ke arah Adys. Adys langsung memasukkan sela-sela jarinya ke jari milik Farel.

“Farel Ethan yang kasep… Farel Ethan pacar Kamelia Gladys Zaura… Farel Ethan yang baik hati walaupun kadang nyebelin pisan, permintaan maafmu waktu itu aku terima.”

“Aku juga minta maaf sama kamu kalo kemarin aku teh bener-bener kayak anak kecil, cemburuan nggak jelas, nggak bisa ngertiin kamu dan bersikap egois. Seharusnya teh aku bisa lebih dewasa dan paham sama situasi kamu ya Rel, tapi ternyata teh aku masih banyak kurangnya. Jadi, aku juga minta maaf sama kamu ya Rel. Setelah ini aku bakalan belajar biar bisa jadi pacar yang baik untuk Farel Ethan…”

“Mulai sekarang, kita berdua resmi baikan ya, setuju atau tidaaaakkk?” tanya Adys.

Farel tidak menjawab pertanyaan Adys, melainkan ia langsung membawa Adys ke dalam pelukannya. Ia benar-benar memeluk perempuan itu dengan erat, seakan-akan seperti menjaga agar perempuan ini tidak kemana-mana. Adys yang tiba-tiba didekap oleh Farel langsung terkejut. Ia juga benar-benar merindukan pelukan ini. Tangannya tidak diam saja, kedua tangannya langsung membalas pelukan Farel dan mengelus punggung kekasihnya dengan sayang.

“Kangen, aku kangen. Kita baikan, resmi baikan ya teh ini. Jangan berantem lagi ya teh, aku teh hampa pisan nggak ngobrol sama teteh. Loyo euy!”

Adys terkekeh di dalam pelukan Farel, “Iya baikaaan baweeeel!”

“Lepasin dulu atuh, sesek! Aku juga masih punya hadiah lain buat kamu,” ujar Adys sembari melepaskan pelukan Farel.

“Apa?”

“Merem.”

“Kok? Mau ninggalin aku ya?”

“Bawel ih, udah merem aja.”

Farel pun menuruti Adys untuk memejamkan matanya. Sedangkan Adys, pipinya sudah memanas terlebih dahulu. Adys kembali memastikan bahwa kekasihnya itu sudah sepenuhnya memejamkan matanya.

Dirasanya Farel benar-benar memejamkan matanya dengan sempurna, Adys sedikit memajukan tubuhnya dan menempelkan bibirnya di kening mlik Farel. Farel sontak membuka matanya dan langsung menatap wajah Adys yang sangat dekat dengannya tanpa sepengetahuan gadis itu. Pipinya memanas. Senyumnya tidak bisa ia sembunyikan, ia bisa merasakan ada kupu-kupu yang menari diperutnya. Farel kembali memejamkan mata ketika Adys yang sudah menajuh dari tubuhnya.

Memang hanya seorang Kamelia Gladys Zauranya lah yang bisa membuatnya merasakan perasaan jatuh cinta seperti ini.

“Teteh naha sih teh kok ngedumel aja.”

“Lagi kesel!”

“Kesel kenapa sini cerita ke bunda atuh…”

Setelah tadi melihat foto Farel yang berada di postingan Adin, Adys langsung turun untuk menuju kamar sang bunda. Niatnya hanya untuk menenangkan hatinya karena kamar bundanya merupakan tempat paling nyaman.

“Teteh lagi berantem sama Farel.”

“Loh kenapa? Kok bisa?”

“Ya bisa. Pokoknya tuh gara-gara satu cewek yang dateng ke kehidupannya si Farel lagi, bun. Katanya sih temen kecilnya si Farel, tapi kayak ngeselin banget bun!!!”

“Terus sekarang teh, Teteh break sama si Farel Bun.”

Eleuh eleuh, anak bunda…. Sini.” Aida yang sedang menjahit baju sambil menyender di senderan tempat tidur langsung merentangkan tangannya agar Adys bisa bersender di bahu sang bunda.

“Apa yang bikin teteh marah sampe-sampe bisa berantem sama si Farel kayak gini?”

“Ya teteh nggak suka karena dia selalu ketergantungan sama Farel, dia sampe pindah ke sekolah yang sama kayak teteh dan Farel bun. Terus tuh ibunya selalu minta tolong ke Farel buat jagain dia lah apa lah… Teteh nggak suka liatnya,”

“Terus dia teh pernah bilang ke teteh. Katanya teteh apa nggak malu pacaran sama cowok yang lebih muda, gitu bun. Kan teteh kesel.”

“Waduh, udah-udah, teteh tarik napas sekarang. Sini ibu bilangin ya geulis.”

“Teteh boleh marah, teteh boleh kecewa, tapi teteh nggak boleh asal buat keputusan untuk break dari si Farel. Teteh sadar nggak kalo teteh break sama Farel tuh jadi kayak ngasih kesempatan buat si cewek itu deketin Farel?”

Adys langsung terdiam setelah mendengar pertanyaan bundanya. Kenapa ia tidak sadar dengan hal itu.

“Teteh juga harus bersikap dewasa, teh. Ngertiin posisi si Farel. Teteh nggak tau kan kalo misalkan si Farel tuh berusaha buat bikin si cewek ini ngejauh, cuma dia lagi butuh waktu aja untuk kapan dia bisa ngejauh dari cewek itu,”

“Dulu waktu bunda sama ayah pacaran, juga sering tuh berantem karena orang ketiga gitu. Tapi kita berdua langsung selesain masalahnya baik-baik dan nggak langsung ambil keputusan buat break, apalah itu namanya jamannya bunda mah nggak ada itu istilah itu,” Aida terkekeh.

“Kalo sekarang nih berarti teteh lagi lari dari masalah, masalahnya nggak akan selesai-selesai dan teteh akan selalu salah paham. Jadi saran bunda, mending sekarang teteh baikan sama Farel. Nggak apa-apa kalo cewek minta maaf duluan. Nggak ada salahnya.”

“Baikan ya teh?”

Adys masih mencerna semua ucapan yang keluar dari mulut sang bunda. Dipikir-pikir, semua ucapan bundanya ada benarnya. Ia langsung memeluk tubuh sang bunda sembari berpikir tentang saran yang sudah bundanya berikan.

Adys & Bunda

“Teteh naha sih teh kok ngedumel aja.”

“Lagi kesel!”

“Kesel kenapa sini cerita ke bunda atuh…”

Setelah tadi melihat foto Farel yang berada di postingan Adin, Adys langsung turun untuk menuju kamar sang bunda. Niatnya hanya untuk menenangkan hatinya karena kamar bundanya merupakan tempat paling nyaman.

“Teteh lagi berantem sama Farel.”

“Loh kenapa? Kok bisa?”

“Ya bisa. Pokoknya tuh gara-gara satu cewek yang dateng ke kehidupannya si Farel lagi, bun. Katanya sih temen kecilnya si Farel, tapi kayak ngeselin banget bun!!!”

“Terus sekarang teh, Teteh break sama si Farel Bun.”

Eleuh eleuh, anak bunda…. Sini.” Aida yang sedang menjahit baju sambil menyender di senderan tempat tidur langsung merentangkan tangannya agar Adys bisa bersender di bahu sang bunda.

“Apa yang bikin teteh marah sampe-sampe bisa berantem sama si Farel kayak gini?”

“Ya teteh nggak suka karena dia selalu ketergantungan sama Farel, dia sampe pindah ke sekolah yang sama kayak teteh dan Farel bun. Terus tuh ibunya selalu minta tolong ke Farel buat jagain dia lah apa lah… Teteh nggak suka liatnya,”

“Terus dia teh pernah bilang ke teteh. Katanya teteh apa nggak malu pacaran sama cowok yang lebih muda, gitu bun. Kan teteh kesel.”

“Waduh, udah-udah, teteh tarik napas sekarang. Sini ibu bilangin ya geulis.”

“Teteh boleh marah, teteh boleh kecewa, tapi teteh nggak boleh asal buat keputusan untuk break dari si Farel. Teteh sadar nggak kalo teteh break sama Farel tuh jadi kayak ngasih kesempatan buat si cewek itu deketin Farel?”

Adys langsung terdiam setelah mendengar pertanyaan bundanya. Kenapa ia tidak sadar dengan hal itu.

“Teteh juga harus bersikap dewasa, teh. Ngertiin posisi si Farel. Teteh nggak tau kan kalo misalkan si Farel tuh berusaha buat bikin si cewek ini ngejauh, cuma dia lagi butuh waktu aja untuk kapan dia bisa ngejauh dari cewek itu,”

“Dulu waktu bunda sama ayah pacaran, juga sering tuh berantem karena orang ketiga gitu. Tapi kita berdua langsung selesain masalahnya baik-baik dan nggak langsung ambil keputusan buat break, apalah itu namanya jamannya bunda mah nggak ada itu istilah itu,” Aida terkekeh.

“Kalo sekarang nih berarti teteh lagi lari dari masalah, masalahnya nggak akan selesai-selesai dan teteh akan selalu salah paham. Jadi saran bunda, mending sekarang teteh baikan sama Farel. Nggak apa-apa kalo cewek minta maaf duluan. Nggak ada salahnya.”

“Baikan ya teh?”

Adys masih mencerna semua ucapan yang keluar dari mulut sang bunda. Dipikir-pikir, semua ucapan bundanya ada benarnya. Ia langsung memeluk tubuh sang bunda sembari berpikir tentang saran yang sudah bundanya berikan.

Suasana kota Bandung pada hari ini cukup cerah dan sejuk. Namun, senyuman Adys tidak sama cerahnya dengan kota Bandung hari ini. Sedaritadi ia hanya duduk diam di kelas tanpa mengajak bicara siapapun. Ditambah lagi nyeri perut karena haid membuat dirinya susah untuk bergerak.

Nakeya yang sudah janji untuk datang ke kelasnya sampai sekarang belum juga tiba. Adys bolak-balik melihat siapa yang baru saja membuka pintunya untuk memastikan apakah temannya benar-benar datang atau tidak.

“Adys…. Main yukkk.”

Adys yang sebelumnya sedang menenggelamkan kepalanya ke dalam tumpuan tangannya langsung melihat ke arah sumber suara.

“Aing kira nggak dateng.”

“Dateng dong. Nih, nunggu si Bintang lama pisan, omelin weh anaknya,” jelas Nakeya.

“Ampun, Dys. Tadi teh aing ditagih uang kas dulu.”

“Iya gapapa.”

“Jadi gimana? Kenapa maneh bisa break sama Farel?” tanya Nakeya penasaran.

“LAH MANEH BREAK?!”

Nakeya yang terkejut dengan teriakan dari kekasihnya langsung menempelkan telunjuknya ke depan bibir Bintang. “Cicing!”

Adys hanya melihat keduanya dengan tatapan datar. Kemudian Adys mulai menceritakan tentang kejadian tadi malam tanpa ada yang dilewati.

“Anjir! Kenapa mesti bentak maneh, sih!”

Nakeya terbawa emosi. “Lagi dia kenapa nggak bisa langsung ambil keputusan buat ngejauh dari si Adin gitu. Kalo emang nggak enak sama ibunya teh setidaknya dia mau bilang ke ibunya, aing yakin ibunya ngerti kok. Apalagi kan ibunya Farel udah kenal juga kan sama maneh?”

“Udah.”

“Nah! Itu.”

“Terus sekarang si Farel gimana ke maneh?” tanya Bintang.

“Ya nggak gimana-gimana… Terakhir dia ngechat aing, minta maaf karena kejadian semalem itu.”

“Kapan?”

“Tadi pagi, sebelum berangkat sekolah.”

Keya mengangguk paham. “Terus, maneh maafin?”

“Belum, aing masih kesel.”

Aing mau liat dulu, dia masih tetep digangguin si Adin apa nggak. Pokoknya aing mau maafin dia sampe dia bener-bener bisa ambil keputusan.”

“Ditambah lagi tadi aing papas-papasan sama dia, sama Adin juga. Kayaknya mereka teh berangkat bareng.”

Nakeya dan Bintang tidak berani mengeluarkan kata-kata, mereka takut salah omong yang memungkinkan akan memancing emosi Adys. Keya paham betul, sahabatnya ini juga sedang terpengaruh oleh siklus menstruasinya yang membuat emosi sahabatnya itu tidak stabil.

Ditengah-tengah situasi yang hening. Tiba-tiba saja suara bukaan pintu menarik perhatian ketiganya.

“Teh Adys, ada titipan.” Salah satu murid yang Adys tau merupakan adik kelasnya itu langsung masuk dan menghampiri mejanya.

“Titipan apa? Dari siapa?” Adys tampak bingung dengan paperbag yang ada di depannya.

“Dari si Farel.”

# 527

Suasana kota Bandung pada hari ini cukup cerah dan sejuk. Namun, senyuman Adys tidak sama cerahnya dengan kota Bandung hari ini. Sedaritadi ia hanya duduk diam di kelas tanpa mengajak bicara siapapun. Ditambah lagi nyeri perut karena haid membuat dirinya susah untuk bergerak.

Nakeya yang sudah janji untuk datang ke kelasnya sampai sekarang belum juga tiba. Adys bolak-balik melihat siapa yang baru saja membuka pintunya untuk memastikan apakah temannya benar-benar datang atau tidak.

“Adys…. Main yukkk.”

Adys yang sebelumnya sedang menenggelamkan kepalanya ke dalam tumpuan tangannya langsung melihat ke arah sumber suara.

“Aing kira nggak dateng.”

“Dateng dong. Nih, nunggu si Bintang lama pisan, omelin weh anaknya,” jelas Nakeya.

“Ampun, Dys. Tadi teh aing ditagih uang kas dulu.”

“Iya gapapa.”

“Jadi gimana? Kenapa maneh bisa break sama Farel?” tanya Nakeya penasaran.

“LAH MANEH BREAK?!”

Nakeya yang terkejut dengan teriakan dari kekasihnya langsung menempelkan telunjuknya ke depan bibir Bintang. “Cicing!”

Adys hanya melihat keduanya dengan tatapan datar. Kemudian Adys mulai menceritakan tentang kejadian tadi malam tanpa ada yang dilewati.

“Anjir! Kenapa mesti bentak maneh, sih!”

Nakeya terbawa emosi. “Lagi dia kenapa nggak bisa langsung ambil keputusan buat ngejauh dari si Adin gitu. Kalo emang nggak enak sama ibunya teh setidaknya dia mau bilang ke ibunya, aing yakin ibunya ngerti kok. Apalagi kan ibunya Farel udah kenal juga kan sama maneh?”

“Udah.”

“Nah! Itu.”

“Terus sekarang si Farel gimana ke maneh?” tanya Bintang.

“Ya nggak gimana-gimana… Terakhir dia ngechat aing, minta maaf karena kejadian semalem itu.”

“Kapan?”

“Tadi pagi, sebelum berangkat sekolah.”

Keya mengangguk paham. “Terus, maneh maafin?”

“Belum, aing masih kesel.”

Aing mau liat dulu, dia masih tetep digangguin si Adin apa nggak. Pokoknya aing mau maafin dia sampe dia bener-bener bisa ambil keputusan.”

“Ditambah lagi tadi aing papas-papasan sama dia, sama Adin juga. Kayaknya mereka teh berangkat bareng.”

Nakeya dan Bintang tidak berani mengeluarkan kata-kata, mereka takut salah omong yang memungkinkan akan memancing emosi Adys. Keya paham betul, sahabatnya ini juga sedang terpengaruh oleh siklus menstruasinya yang membuat emosi sahabatnya itu tidak stabil.

Ditengah-tengah situasi yang hening. Tiba-tiba saja suara bukaan pintu menarik perhatian ketiganya.

“Teh Adys, ada titipan.” Salah satu murid yang Adys tau merupakan adik kelasnya itu langsung masuk dan menghampiri mejanya.

“Titipan apa? Dari siapa?” Adys tampak bingung dengan paperbag yang ada di depannya.

“Dari si Farel.”

Setelah mendapat persetujuan dari Haris, Farel langsung mengambil jaket dan kunci motor yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Ia menuruni tangga dengan terburu-buru tanpa menghiraukan tamu yang sedang berkunjung. Ia benar-benar sudah malas.

“Rel, hayang kamana malem-malem gini?” tanya Mira.

“Bentar bu, keluar sebentar.”

“Ini ada Adin loh, Rel. Udah nyobain bolu pisang bikinan Adin belum?” kali ini Ola yang bertanya. Rasanya kesal bukan main, tapi Farel harus tetap bersikap sopan dengan teman ibunya itu.

“Farel nggak suka pisang tante. Duluan ya semua.”

Farel langsung berlari ke luar rumah, tiba-tiba saja Adin menahan pergelangan tangan Farel.

“Kak Farel mau kemana?”

“Ke rumah Teh Adys.”

“Ngapain?”

Farel menghembuskan napasnya. “Ngapain maneh tanya? Ini semua gara-gara maneh yang udah lancang buka-buka handphone aing ya, Din!”

“Lho, kan niat Adin baik, biar Kak Adys nggak khawatir sama keberadaan Kak Farel.”

Maneh malah bikin aing sama Teh Adys ribut, Din!”

Farel langsung pergi meninggalkan Adin dan menaiki motornya.

Adin hanya tersenyum sembari melihat kepergian Farel.


Farel melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sugesti tentang Adin yang nantinya tidak akan mau bertemu dengannya tidak bisa hilang dari pikriannya. Farel sedikit berteriak ketika melihat mobil yang menghalanginya yang mengakibatkan ia terjebak di lampu merah.

Setelah beberapa menit, ia telah sampai di depan rumah Adys. Farel langsung menghubungi Haris kalau dirinya sudah berada di bawah.

“Masukin aja motornya, Rel. Bunda sama Ayah masih di luar.”

“Nggak usah, disini aja.”

“Yaudah sok, masuk.”

Nuhun.“

Kini Farel sudah duduk di ruang tamu milik keluarga Adys dan Haris.

Aing panggilin teteh dulu ya, maneh tunggu sini dulu.”

Lima menit ia menunggu, akhirnya Adys turun dari kamarnya dan langsung terkejut melihat Farel yang sudah terduduk di ruang tamunya. Farel juga sama terkejutmya melihat Adys yang mau menemuinya.

“Sialan si Haris, aing dibohongin,” batin Adys.

Sebelumnya, Haris mengetuk pintu kanar Adys dan bilang kalau di bawah sudah ada Keya dan Bintang yang ingin mengembalikan buku yang sempat tertinggal pada saat mereka belajar bersama. Jadilah Adys mau membukakan pintu kamarnya dan pergi ke bawah. Tapi ternyata yang datang bukan Keya atau Bintang, melainkan Farel. Orang yang sedang ia hindari.

“Ngapain kesini?” tanya Adys.

“Teh, dengerin Farel ya. Biar Farel jelasin.”

“Apa yang mau dijelasin sih?”

“Masalah Adin yang ke rumah dan kenapa Farel bisa jemput Adin.”

Sebenarnya Adys sudah malas, namun melihat usaha Farel yang sudah datang ke rumahnya malam-malam membuat ia merasa iba. “Yaudah, jelasin.”

“Tadi sore tuh si Adin chat Farel bilang kalo dia masih di sekolah, itu udah sore banget teh. Karena Tante Ola juga udah nitipin Adin ke Farel, ya mau nggak mau Farel jemput Adin. Kalo misalkan teteh yang ada di posisi Adin tadi sore, Farel juga pasti bakalan ngelakuin hal yang sama kok, teh.”

“Terus ternyata Tante Ola juga ada di rumah, jadinya Adin ikut pulang ke rumah. Untuk masalah Adin yang balesin chat Farel, itu Farel bener-bener nggak tau teh. Farel cuma ninggalin handphone Farel di meja deket telepon, abis itu Farel tinggal buat mandi ke atas.”

“Disini Farel juga salah karena handphone Farel teh nggak dipassword.”

“Selama Adin di rumah Farel, kita nggak ada ngobrol atau apa teh. Setelah mandi Farel cuma ke bawah ambil handphone sama kunci motor dan naik lagi ke kamar,” jelas Farel.

“Kalo tadi Adin nggak balesin chat aku juga pasti kamu nggak akan bilang kan kalo Adin ada di rumah dan kamu jemput dia?”

“Teh, waktu Farel ngabarin teteh tuh niatnya Farel mau langsung kasih tau. Tapi teteh udah keburu bilang tau dari Adin.”

“Terserah, semoga aja emang niat kamu bener.”

“Teh kenapa jadi emosi gini sih?”

“Kamu tuh sadar nggak sih, Rel?”

“Adin lagi yang jadi masalah hubungan kita berdua. Pertama, waktu di acara ulang tahun Disa. Kedua, dia yang tiba-tiba pindah dan masuk SMANSA dan ibunya nitipin dia ke kamu. Sekarang, dia yang tiba-tiba balesin chat kamu. Oke maaf kalo aku kesannya sangat amat childish, tapi aku pacar kamu rel. Siapa yang nggak kesel?”

“Ya mau gimana lagi teh? Masa Farel ngelawan? Farel nggak enak karena Tante Ola temennya ibu, nggak mungkin juga Farel bikin malu ibu.”

“Oke, sekarang kamu fokus dulu ke aja ke Adin. Buat hubungan kita terserah maunya gimana, kalau mau istirahat dulu juga nggak apa-apa.“

“Teh masa gitu…”

“Ya mau gimana lagi, Rel?” kini gantian Adys yang membalikkan ucapan Farel.

“Mau sampe kapan dia ada di hubungan kita?“ tanya Adys.

“Kalo kamu nggak bisa buat keputusan, yaudah, kita nggak usah berhubungan dulu.”

“Teh apasih!”

“Kamu nggak bisa kan ngehindar dari semua permintaan orang tuanya Adin? Dari awal aja kamu nggak pernah bisa buat nolak itu semua.”

“Mending kita break dulu, Rel, sampe kamu bisa buat keputusan. Masih tetep mau diganggu sama Adin dan orang tuanya atau kamu bikin mereka berhenti ganggu kamu.”

“Teh, kenapa sih asal ngomong break? Teteh coba ngertiin posisi Farel dong! Emangnya teteh kira Farel mau ada di posisi ini?” ucap Farel dengan nada tinggi.

Adys tidak menyangka karena Farel yang berteriak ke arahnya. Jujur dadanya sangat sesak melihat Farel yang baru saja meneriakinya seperti itu.

“Maaf ya rel, kalo kesannya aku egois dan aku nggak bisa ngertiin posisi kamu. Tapi aku nggak suka dan nggak mau berbagi sama Adin,” ucap Adys sembari menahan tangisnya.

“Oke kalo teteh nggak bisa ngertiin posisi Farel, kita break dulu aja. Terserah teteh mau hubungin Farel atau nggak.”

“Farel izin pamit pulang, teh. Semoga tidur teteh nyenyak malam ini.”

Farel langsung bangkit dan meninggalkan Adys yang masih membisu sembari menahan tangis akibat teriakan Farel yang sebelumnya menusuk indera pendengarannya. Itu seperti bukan Farel yang Adys kenal. Laki-laki itu sangat jarang berbicara dengan nada tinggi dan mata yang memerah, bahkan hampir tidak pernah.

“Aku kira kamu bakalan minta maaf dan jaga jarak sama Adin, Rel. Tapi ternyata kita yang harus ngalah ya?”

Kelas Adys di jam istirahat kedua tampak begitu sepi. Memang jam istirahat kedua merupakan jam yang selalu dinanti-nantikan oleh para siswa dikarenakan durasi yang cukup lama. Ada yang menghabiskan waktu untuk marathon drama, tidur siang, bermain game online atau bermain ke kelas sebelah.

Adys sedaritadi hanya menidurkan kepalanya di atas tasnya yang ia jadikan sebagai bantal. Perutnya terasa begitu nyeri akibat hari pertama datang bulan. Ia berusaha untuk memejamkan matanya agar tidak terlalu merasakan efek nyeri pada perutnya itu. Namun, tiba-tiba saja Adys mendengar suara pintu kelas yang terbuka. Farel sudah berjalan menghampiri mejanya dengan membawa beberapa jenis makan serta cemilan dan tidak lupa juga dengan jus mangga kesukaan Adys. Laki-laki itu benar-benar menepati janjinya.

“Teteh halo!!”

“Ih naha lemes pisan pacar aku.” Farel nampak begitu khawatir saat melihat kondisi Adys sekarang.

Adys masih belum menjawab.

“Sakit banget ya teh?”

“Bentar dulu ya, Rel.”

Farel mengangguk paham dengan maksud Adys. Perempuan itu sedang berusaha untuk menteralkan rasa nyeri pada tubuhnya. Farel hanya menatap Adys dengan tatapan kasihan. Sebenarnya bisa saja ia memeluk Adys untuk membantu meredakan rasa nyerinya, tapi mengingat bahwa sekarang mereka berdua sedang berada di sekolah membuat Farel mengurungkan niatnya.

“Udah.”

“Kamu bawa apa aja? Banyak pisan.”

Farel mendadak sangat bersemangat untuk menyebutkan satu persatu makanan yang sudah ia beli.

“Ini tadi aku beli batagor, terus itu ada ketoprak setengah porsi karena Farel tau teteh pasti selalu nyisa kalo beli satu porsi, terus disitu ada bakso bakar nggak pake saos, sama yang terakhir ada donat gula,”

“Nah sama ini jagoan kita semua, jus mangga yang manisnya nggak kalah jauh sama senyumnya Teh Adys!”

Adys tersenyum melihat tingkah lucu kekasihnya itu. “Bisaan aja kamu mah! Makasih ya… Yaudah ayok makan bareng, masa aku ngabisin ini sendirian?”

“Iya iya, ayok kita mam bareng.”

“Senyum dulu dong tapinya, daritadi teh senyumnya cuma sedikit,” pinta Farel.

Embung ah!” (gamau ah!)

“Ih ayok dong senyum. Nanti nggak makan-makan nih!”

“Iya nih… Senyum.” Adys melebarkan senyumnya dan menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. “Malu ih, jangan diliatin begitu!”

“Sayang atuh kalo nggak diliatin, orang cantik begitu.”

Adys menepuk pelan bahu Farel, “Udah ah, ayok makan!”

Setelah beberapa menit, mereka berdua telah mengabiskan semua makanan yang tadi Farel beli tanpa sisa.

“Kamu teh tadi mau ngomong apa, Rel?”

“Oh iya ini teh…”

“Tentang si Adin.”

Seketika raut wajah Adys langsung berubah. Entah kenapa ketika mendengar nama Adin bawaanya Adys sangat kesal.

“Teteh udah tau kan kalo si Adin pindah ke sekolah kita? Sebelumnya maafin Farel ya teh karena nggak bilang ke teteh, karena Farel kira teh si Adin nggak jadi masuk sini. Eh tiba-tiba sekarang udah berkeliaran disini. Farel minta maaf ya teh…”

Adys mengangguk. “Iya, yaudah lanjut.”

“Nah tadi pagi teh ibunya si Adin chat Farel teh.”

Chat gimana?”

“Nitipin Adin ke Farel.”

“Terus kamu terima?”

“Ya gimana teh, Tante Ola teh temennya ibu, udah gitu dulu kita juga pernah bareng-bareng gitu… Farel mau nolak dan minta tolong ibu pasti ibu tetep suruh Farel buat nurut. Jadi Farel nggak bisa nolak.”

Sebenarnya Adys sedikit khawatir dengan pilihan Farel yang harus menuruti kemauan teman ibunya itu. Namun, apa boleh buat? Farel sudah terlanjur meng-iyakannya.

“Teh, kok diem?”

“E-Eh nggak apa-apa. Cuma bingung aja aku.”

“Kenapa teh?”

“Kenapa mesti kamu gitu yang dilibatin. Ya aku tau, kalian dulu pernah bareng, tapi kan ya emang masih harus sama kamu gitu? Maaf banget ya Rel bukannya aku nuntut kamu buat nggak terima kemauannya Tante Ola, tapi aku cuma takut aja nantinya kita malah ngejauh saking kamu sibuknya ngurus si Adin.”

“Teh jangan bilang gitu… Farel pastiin kita nggak bakal jauh teh.”

“Teteh tenang aja ya?” tanya Farel sembari menghadpakan Adys ke arahnya, agar ia bisa menatap lekat bola mata Adys.

Adys mengangguk. “Iya.”

“Yaudah, udah mau bel masuk. Farel balik lagi ke kelas ya teh, nanti pulangnya sama aku ya? Aku jemput lagi ke kelas, okay?”

“Iya, yaudah sana balik ke kelas gih.”

“Aduh ini tuh Farel mau peluk teteh banget, tapi masih di sekolah.”

“Macem-macem aja, udah sana ah!”

Farel terkekeh dan langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kelas Adys untuk kembali ke ruang kelasnya.

Sesampainya di halaman belakang rumah Farel, Farel langsung menghampiri meja yang sedang ditempati oleh ibu dan adiknya. Farel langsung membawa Adys untuk menghampiri meja tersebut. Masih dengan jari keduanya yang berpaut.

Punten, ibu liat siapa yang dateng, nih.”

“Disa, liat Aa bawa siapa,” lanjutnya.

Disa yang sebelumnya tidak sadar langsung menghampiri Adys dan memeluknya pinggangnya erat. “Teh Adys!”

Adys langsung menyesuaikan tingginya dengan Disa dan membalas pelukan yang barusan ia terima. “Halo anak geulis. Selamat ulang tahun ya, semoga makin cantik, pinter, semakin nurut sama kedua orang tua dan A Farel yah!”

“Makasih teteh!”

“Ini, kado buat Disa dari teteh. Semoga suka ya!”

“Waaah… Makasih teteh, nanti Disa buka kalo acaranya udah selesai,” ucap Disa sembari terkekeh.

Adys juga tidak lupa untuk menyapa dan menyalami Mira—Ibu Farel.

“Aduh, si geulis. Apa kabar sayang?” tanya Mira.

“Kabar baik ibu.”

“Ini siapa Ra? Kenapa bareng si Farel?” tanya salah satu wanita yang terlihat sebaya dengan Ibu Farel.

“Oh… Dys, sini lagi geulis! Kenalin ini teh Tante Ola, temen ibu. Nah La… Kenalin ini teh Adys, kabogohnya si Farel.”

Kabogoh? Emang si Farel udah punya pacar?”

“Udah tante,” celetuk Farel.

“Terus si Adin mana?”

“Halo semuanya…” tiba-tiba saja Adin datang dari belakang sembari membawa kado untuk Disa.

“Halo Disa! Selamat ulang tahun, ini Kak Adin udah beliin mainan mahal untuk Disa, pasti Disa suka!”

Disa tidak seceria sebelumnya, ia langsung mengambil hadiah pemberian dari Adin dan langsung mengucapkan terima kasih tanpa memberikan pelukan atau senyuman hangat. Berbeda pada saat ia bersama Adys tadi.

“Yaudah sok atuh, pada ambil makan gih!” seru Mira.

“Iya bu, makasih,” ujar Adys.

“Yaudah bu, Farel sama teteh muter dulu ya, sekalian mau nyamperin si Aidan sama Kirey disana.” Farel menunjuk ke arah laki-laki dan perempuan yang sedang menyantap makanannya di meja ujung sana.

“Yaudah, sok.”

“Adys pamit dulu ya bu, tante…”

“Eh, Rel,” panggil Ola—Ibu Adin.

Ola mendorong pelan anaknya. “Ini Adinnya di ajak dong, masa suruh gabung sama ibu-ibu. Kan kasian…”

Farel melirik ke arah ibunya untuk memberikan pertanda agar sang ibu dapat membantunya untuk menyangkal permintaan dari temannya itu. Namun, tatapan ibunya malah menyuruh Farel untuk menuruti perkataan temannya itu.

“Iya diajak gih si Adinnya,” ucap Mira.

“Adin disini aja deh, tan. Kak Adys keliatan nggak nyaman kalo ada Adin.”

Adys otomatis mengelak seakan tidak terima, walaupun memang sebenarnya ia juga sedikit kurang nyaman dengan kehadiran Adin. “Nggak kok, nggak apa-apa. Gabung aja.”

“Tuh, sok gih ikut.”

Setelah berbasa-basi, akhirnya Adin mau ikut bergabung dengan Farel dan Adys. Ketiganya langsung berpamitan dan pergi menuju meja yang ada di ujung sana.

“Wey, Rel!”

“Dun, kenalin ini Teh Adys.”

Aidan tersenyum dan menjulurkan tangannya ke Adys. “Aidan, teh.”

“Adys.”

“Nah kalo yang ini Kirey teh, sahabat tapi cintanya si Aidan,” ucap Farel yang diberi pukulan kecil oleh Aidan. “Cicing!”

“Halo teh, aku Kirey!”

“Halo Kirey, salam kenal ya aku Adys.”

Kirey langsung mempersilahkan Adys untuk duduk di sebelahnya.

“Kalo itu siapa, Rel?” tanya Kirey.

Farel langsung menoleh ke belakang. Lupa akan kehadiran Adin yang sebenarnya sangat mengganggu ketenangannya.

“Oh, ini teh anaknya temennya ibu, sok kenalin diri.”

“Halo semua, aku Adin.”

Aidan dan Kirey hanya tersenyum.

Setelah berkenalan satu sama lain, mereka semua langsung mengobrol dengan akrab. Apalagi Aidan yang tidak berhenti membicarakan Farel saat kecil dulu.

“Teh, tau nggak teh, si Farel teh dulu pernah mecahin keramik gucinya nenek, tapi dia nggak mau ngaku!”

“Serius?” tanya Adys sambil terkekeh.

“Serius teh! Dia bilang ke semuanya kalo keramiknya pecah sendiri karena udah umur, udah gitu satu keluarga percaya lagi!”

“Berarti bohongnya aing masuk akal, Dun!”

“Parah ih kamu, Rel. Terus sampe sekarang nggak ada yang tau?” tanya Adys.

Aidan menggeleng, “Teu aya!”

Disaat semuanya saling bertukar obrolan, Adin hanya memperhatikan semuanya tanpa ikut bergabung. Rasa iri pada diri Adin sudah memuncak ketika melihat Adys yang langsung mudah akrab dengan orang-orang di sekitar Farel. Tiba-tiba saja ia langsung memotong obrolan ke-empatnya.

“Kak Adys,” panggil Adin.

Adys yang tadinya sedang tertawa langsung berhenti dan menatap ke arah Adin.

“Iya?”

“Kak Adys kok mau pacaran sama Kak Farel? Padahal kan, Kak Farel satu tahun lebih muda dari Kak Adys. Emangnya Kak Adys nggak malu pacaran sama adek kelas?”

“Apalagi yang lebih tua Kak Adys alias yang cewek. Emangnya Kak Adys nggak pernah diledekin gitu?”

“Aku sih kalo jadi Kak Adys nggak akan mau sih sama yang lebih muda.”

“Adin!”

Maneh teh kenapa, sih? Jangan bikin suasana nggak enak, deh. Udah baik mau diterima disini malah ngomong sembarangan.” Farel benar-benar sudah dipuncak amarahnya.

“Lho, emangnya kenapa, Kak? Aku kan cuma nanya, emangnya salah?”

“Nggak sopan nanya kayak gitu sama orang baru, Din,” tutur Aidan.

“Aku kan cuma nanya.”

“Nggak pantes!” seru Farel.

Adys langsung menahan Farel agar kekasihnya itu tidak meluapkan emosi yang lebih. “Udah, Rel.”

Farel tidak mendengarkan perkataan Adys, ia langsung bangkit dari kursinya dan menarik Adin untuk segera pergi dari meja itu.

“Sekarang maneh ikut aing balik ke meja ibu.”

“Nggak mau!”

“Buruan, Din. Sebelum aing jadi kasar.”

Saat itu juga Adin langsung menuruti perintah Farel untuk ikut dengannya. Adys sempat menahan Farel, namun Farel sudah lebih dulu membawa Adin untuk pergi dari sana.

Sejujurnya Adys merasa tersinggung dengan ucapan Adin tadi, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan ucapan tersebut walaupun sebenarnya sulit.

Kirey yang melihat Adys nampak tidak seceria sebelumnya langsung mengelus pundak Adys, “Sabar ya, teh.”

“Nggak usah dipikirin ya teh?”

Adys hanya mengangguk. Karena tidak ingin merudak suasana, ia langsung kembali membuka topik obrolan dengan Aidan dan juga Kirey.

“Udah atuh, orang aku nggak apa-apa. Kok jadi pada diem gini?”

Aidan dan Kirey merasa sedikit lega.

Tidak lama kemudian, Farel datang dengan menghampiri ketiganya.

“Dah kelar urusannya pak?” sindir Aidan.

Cicing weh lah, lieur!”

Farel kembali duduk di sebelah Adys. “Maaf ya teh, kalau nggak disuruh pergi pasti bakalan berisik terus.”

Adys mengangguk. “Nggak apa-apa.”

Eleuh… Bucin pisan maneh, Rel.”

“Berisik, sirik aja! Nggak bisa kan maneh ngebucin ke si Kirey?”

Naon sih Rel!” sahut Kirey.

“Bercanda atuh Kir, serius pisan!”

Ditengah-tengah obrolan, tiba-tiba saja Disa menghampiri Farel dan Adys. Gadis kecil itu meminta Farel dan Adys untuk foto bersamanya.

“Teteh, Aa, ayo kita foto bareng,”

“Tapi fotonya yang lucu ya A, teh… Soalnya mau Disa pajang di kamar.”

Seketika suasana hati Adys yang sebelumnya sempat tidak karuan langsung membaik.

Sesampainya di halaman belakang rumah Farel, Farel langsung menghampiri meja yang sedang ditempati oleh ibu dan adiknya. Farel langsung membawa Adys untuk menghampiri meja tersebut. Masih dengan jari keduanya yang berpaut.

Punten, ibu liat siapa yang dateng, nih.”

“Disa, liat Aa bawa siapa,” lanjutnya.

Disa yang sebelumnya tidak sadar langsung menghampiri Adys dan memeluknya pinggangnya erat. “Teh Adys!”

Adys langsung menyesuaikan tingginya dengan Disa dan membalas pelukan yang barusan ia terima. “Halo anak geulis. Selamat ulang tahun ya, semoga makin cantik, pinter, semakin nurut sama kedua orang tua dan A Farel yah!”

“Makasih teteh!”

“Ini, kado buat Disa dari teteh. Semoga suka ya!”

“Waaah… Makasih teteh, nanti Disa buka kalo acaranya udah selesai,” ucap Disa sembari terkekeh.

Adys juga tidak lupa untuk menyapa dan menyalami Mira—Ibu Farel.

“Aduh, si geulis. Apa kabar sayang?” tanya Mira.

“Kabar baik ibu.”

“Ini siapa Ra? Kenapa bareng si Farel?” tanya salah satu wanita yang terlihat sebaya dengan Ibu Farel.

“Oh… Dys, sini lagi geulis! Kenalin ini teh Tante Ola, temen ibu. Nah La… Kenalin ini teh Adys, kabogohnya si Farel.”

Kabogoh? Emang si Farel udah punya pacar?”

“Udah tante,” celetuk Farel.

“Terus si Adin mana?”

“Halo semuanya…” tiba-tiba saja Adin datang dari belakang sembari membawa kado untuk Disa.

“Halo Disa! Selamat ulang tahun, ini Kak Adin udah beliin mainan mahal untuk Disa, pasti Disa suka!”

Disa tidak seceria sebelumnya, ia langsung mengambil hadiah pemberian dari Adin dan langsung mengucapkan terima kasih tanpa memberikan pelukan atau senyuman hangat. Berbeda pada saat ia bersama Adys tadi.

“Yaudah sok atuh, pada ambil makan gih!” seru Mira.

“Iya bu, makasih,” ujar Adys.

“Yaudah bu, Farel sama teteh muter dulu ya, sekalian mau nyamperin si Aidan sama Kirey disana.” Farel menunjuk ke arah laki-laki dan perempuan yang sedang menyantap makanannya di meja ujung sana.

“Yaudah, sok.”

“Adys pamit dulu ya bu, tante…”

“Eh, Rel,” panggil Ola—Ibu Adin.

Ola mendorong pelan anaknya. “Ini Adinnya di ajak dong, masa suruh gabung sama ibu-ibu. Kan kasian…”

Farel melirik ke arah ibunya untuk memberikan pertanda agar sang ibu dapat membantunya untuk menyangkal permintaan dari temannya itu. Namun, tatapan ibunya malah menyuruh Farel untuk menuruti perkataan temannya itu.

“Iya diajak gih si Adinnya,” ucap Mira.

“Adin disini aja deh, tan. Kak Adys keliatan nggak nyaman kalo ada Adin.”

Adys otomatis mengelak seakan tidak terima, walaupun memang sebenarnya ia juga sedikit kurang nyaman dengan kehadiran Adin. “Nggak kok, nggak apa-apa. Gabung aja.”

“Tuh, sok gih ikut.”

Setelah berbasa-basi, akhirnya Adin mau ikut bergabung dengan Farel dan Adys. Ketiganya langsung berpamitan dan pergi menuju meja yang ada di ujung sana.

“Wey, Rel!”

“Dun, kenalin ini Teh Adys.”

Aidan tersenyum dan menjulurkan tangannya ke Adys. “Aidan, teh.”

“Adys.”

“Nah kalo yang ini Kirey teh, sahabat tapi cintanya si Aidan,” ucap Farel yang diberi pukulan kecil oleh Aidan. “Cicing!”

“Halo teh, aku Kirey!”

“Halo Kirey, salam kenal ya aku Adys.”

Kirey langsung mempersilahkan Adys untuk duduk di sebelahnya.

“Kalo itu siapa, Rel?” tanya Kirey.

Farel langsung menoleh ke belakang. Lupa akan kehadiran Adin yang sebenarnya sangat mengganggu ketenangannya.

“Oh, ini teh anaknya temennya ibu, sok kenalin diri.”

“Halo semua, aku Adin.”

Aidan dan Kirey hanya tersenyum.

Setelah berkenalan satu sama lain, mereka semua langsung mengobrol dengan akrab. Apalagi Aidan yang tidak berhenti membicarakan Farel saat kecil dulu.

“Teh, tau nggak teh, si Farel teh dulu pernah mecahin keramik gucinya nenek, tapi dia nggak mau ngaku!”

“Serius?” tanya Adys sambil terkekeh.

“Serius teh! Dia bilang ke semuanya kalo keramiknya pecah sendiri karena udah umur, udah gitu satu keluarga percaya lagi!”

“Berarti bohongnya aing masuk akal, Dun!”

“Parah ih kamu, Rel. Terus sampe sekarang nggak ada yang tau?” tanya Adys.

Aidan menggeleng, “Teu aya!”

Disaat semuanya saling bertukar obrolan, Adin hanya memperhatikan semuanya tanpa ikut bergabung. Rasa iri pada diri Adin sudah memuncak ketika melihat Adys yang langsung mudah akrab dengan orang-orang di sekitar Farel. Tiba-tiba saja ia langsung memotong obrolan ke-empatnya.

“Kak Adys,” panggil Adin.

Adys yang tadinya sedang tertawa langsung berhenti dan menatap ke arah Adin.

“Iya?”

“Kak Adys kok mau pacaran sama Kak Farel? Padahal kan, Kak Farel satu tahun lebih muda dari Kak Adys. Emangnya Kak Adys nggak malu pacaran sama adek kelas?”

“Apalagi yang lebih tua Kak Adys alias yang cewek. Emangnya Kak Adys nggak pernah diledekin gitu?”

“Aku sih kalo jadi Kak Adys nggak akan mau sih sama yang lebih muda.”

“Adin!”

Maneh teh kenapa, sih? Jangan bikin suasana nggak enak, deh. Udah baik mau diterima disini malah ngomong sembarangan.” Farel benar-benar sudah dipuncak amarahnya.

“Lho, emangnya kenapa, Kak? Aku kan cuma nanya, emangnya salah?”

“Nggak sopan nanya kayak gitu sama orang baru, Din,” tutur Aidan.

“Aku kan cuma nanya.”

“Nggak pantes!” seru Farel.

Adys langsung menahan Farel agar kekasihnya itu tidak meluapkan emosi yang lebih. “Udah, Rel.”

Farel tidak mendengarkan perkataan Adys, ia langsung bangkit dari kursinya dan menarik Adin untuk segera pergi dari meja itu.

“Sekarang maneh ikut aing balik ke meja ibu.”

“Nggak mau!”

“Buruan, Din. Sebelum aing jadi kasar.”

Saat itu juga Adin langsung menuruti perintah Farel untuk ikut dengannya. Adys sempat menahan Farel, namun Farel sudah lebih dulu membawa Adin untuk pergi dari sana.

Sejujurnya Adys merasa tersinggung dengan ucapan Adin tadi, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan ucapan tersebut walaupun sebenarnya sulit.

Kirey yang melihat Adys nampak tidak seceria sebelumnya langsung mengelus pundak Adys, “Sabar ya, teh.”

“Nggak usah dipikirin ya teh?”

Adys hanya mengangguk. Karena tidak ingin merudak suasana, ia langsung kembali membuka topik obrolan dengan Aidan dan juga Kirey.

“Udah atuh, orang aku nggak apa-apa. Kok jadi pada diem gini?”

Aidan dan Kirey merasa sedikit lega.

Tidak lama kemudian, Farel datang dengan menghampiri ketiganya.

“Dah kelar urusannya pak?” sindir Aidan.

Cicing weh lah, lieur!”

Farel kembali duduk di sebelah Adys. “Maaf ya teh, kalau nggak disuruh pergi pasti bakalan berisik terus.”

Adys mengangguk. “Nggak apa-apa.”

Eleuh… Bucin pisan maneh, Rel.”

“Berisik, sirik aja! Nggak bisa kan maneh ngebucin ke si Kirey?”

Naon sih Rel!” sahut Kirey.

“Bercanda atuh Kir, serius pisan!”

Ditengah-tengah obrolan, tiba-tiba saja Disa menghampiri Farel dan Adys. Gadis kecil itu meminta Farel dan Adys untuk foto bersamanya.

“Teteh, Aa, ayo kita foto bareng,”

“Tapi fotonya yang lucu ya A, teh… Soalnya mau Disa pajang di kamar.”

Seketika suasana hati Adys yang sebelumnya sempat tidak karuan langsung membaik.

Setelah melihat pesan yang dikirimkan oleh Farel sebelumnya, Adys langsung turun dan menghampiri mobil Farel yang sudah terparkir tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Adys langsung membuka gagang pintu penumpang yang langsung dibuat kaget oleh sosok perempuan yang sudah terduduk disana.

“Eh, maaf,” ucap Adys sembari melirik ke arah perempuan itu dan Farel secara bergantian.

Saat pintu kembali tertutup, Farel langsung turun untuk menghampiri Adys yg masih berdiri di luar.

“Teh, hampura ya teh. Tadi tuh Farel udah nyuruh Adin buat pindah ke kursi belakang, tapi anaknya nggak mau dan ngancem mau telepon ibunya teh,” jelas Farel.

Adys hanya mengangguk dan tersenyum, “Iya nggak apa-apa. Aku di belakang aja.”

Di dalam mobil, Adin langsung menyambut kehadiran Adys. Ia membalikkan tubuhnya ke belakang untuk melihat Adys sembari menjulurkan tangannya. “Halo, salam kenal. Aku Adin, temen kecilnya Kak Farel.”

Adys membalas uluran tangan Adin dan tersenyum, “Aku Adys…”

“Pacar aing,” ucap Farel tiba-tiba.

Adin langsung kembali menghadap posisi awal setelah melihat Farel yang sudah kembali masuk ke dalam mobil sembari menancapkan gasnya.

“Teh, seatbelt udah dipake?” tanya Farel yang menoleh ke arah Adys.

“Udah kok, aman.” Adys tersenyum.

“Oke!”

Selama di perjalanan, Adin tidak berhenti untuk berbicara. Apalagi ia terus-terusan untuk mengajak ngobrol Farel, padahal Farel sedang berbicara dengan Adys. Hal itu sedikit mengganggu Adys dan membuat Adys memberikan kesan yang kurang baik untuk perempuan itu.

“Kak Adys,” panggil Adin.

“Iya?”

“Kak Adys tau nggak, dulu kan Kak Farel suka banget nginep di rumah Adin. Kita sering main bareng sampe lupa waktu,”

“Terus Kak Farel suka banget sama nasi goreng bikininan aku. Kamu tau nggak kak, kalo salah satu makan favoritenya Kak Farel itu nasi goreng? Jangan bilang kamu nggak tau ya?”

Ada perasaan kesal yang Adys rasakan. Namun, ia berusaha agar dirinya tidak meledak dan mengontrol emosinya agar nantinya tidak akan merusak suasana.

“Din naha rewel pisan, sih? Nggak penting banget cerita kayak gitu,” ucap Farel dengan nada ketus.

“Teh, udah nggak usah di dengerin si Adin.”

“Ih, kenapa sih? Aku kan cuma ngasih tau!”

“Iya… Udah, nggak apa-apa Rel.”

Sesampainya di rumah Farel, ketiganya langsung turun dari mobil. Farel langsung menghampiri Adys dengan Adin yang memperhatikan kemana Farel pergi. Farel menggenggam tangan Adys dan membawa perempuan itu untuk masuk ke dalam rumahnya sembari melewati Adin yang tatapannya tidak bisa lepas dari jari-jari yang bertaut disana.

Adin mendengus kesal. “Nyebelin!”

Farel sempat berbisik ke arah Adys. “Maafin Adin tadi ya, teh. Maaf kalo bikin teteh nggak nyaman,” ucap Farel yang diangguki oleh Adys. “Nggak apa-apa, kok.”

Di sela-sela perjalanan menuju halaman belakang rumahnya, Farel sempat bertemu dengan beberapa anggota keluarga besarnya.

EleuhEleuhSaha ieu, Rel? Meuni geulis pisan!”

Farel terkekeh dan langsung memperkenalan Adys yang berada di sebelahnya.

“Om, tante sadayana… Kenalin ini teh, Teteh Adys alias kabogoh Farel. Teteh, kenalin ini teh my happy family.”

Adys langsung tersenyum dan menyalimi semuanya, “Adys, om, tante…”

Semuanya langsung tersenyum sembari melemparkan sedikit ledekan kepada Farel. “Udah gede euy si Farel, dulu teh masih ngerengek minta beliin majalah bobo. Eh sekarang udah bawa kabogoh ke acara keluarga.”

Atuhlah tan, jangan diumbar di depan teteh atuh, malu.”

Semuanya terkekeh, “Yaudah sok, itu di ajak makan.”

“Ibu sama Disa dimana, tan? Aidan juga jadi dateng gak?”

“Ibu kamu sama Disa ada di belakang, lagi ngobrol sama temennya. Kalo si Aidan teh sama Kirey tadi, kayaknya di belakang juga. Coba sok weh kamu cek sendiri,” ucap Ibu Aidan.

“Oke, Farel sama teteh izin pamit ke belakang ya om, tante.”

“Mari om, tante,” Adys membungkuk dan mengikuti langkah Farel.