scrpleo

Aluna hanya terkekeh saat mendengar pesan suara terakhir yang dikirimkan oleh kekasihnya, Abrams. Sembari menunggu Abrams yang datang untuk menjemputnya, Aluna memilih untuk melanjutkan menonton TV agar rumahnya tidak terlalu sepi. Sebenarnya Aluna tidak benar-benar sendirian. Seperti sekarang, Aluna sedang menonton dengan ditemani oleh Milo, kucing sekaligus anak kesayangannya.

Beberapa menit kemudian, Aluna bisa mendengar suara mesin motor yang memang sudah sangat ia hafal. Aluna langsung berpamitan dengan Milo dan tidak lupa untuk mengunci semua pintu rumahnya. Setelah itu, ia langsung menghampiri Abrams yang sudah menunggunya di depan gerbang rumahnya.

“Halo,” sapa Aluna.

“Itu kok jaketnya nggak dipake?” tanya Abam dengan fokusnya ke arah jaket yang sengaja Aluna kalungkan di pergelangan tangannya.

“Iyaaaa ini aku pake.” Aluna langsung memakai jaketnya dengan benar.

Abrams tersenyum dan langsung memberikan helm yang selalu ia bawa untuk Aluna, kemudian ia menyuruh kekasihnya itu untuk segera naik ke atas motor miliknya.

“Pegangan ya cantik.”

Di sela-sela perjalanan, mereka berdua tidak berhenti untuk membicarakan hal-hal random yang membuat keduanya saling bertukar tawa. Abrams benar-benar dibuat heran oleh Aluna yang tiba-tiba berbicara tentang gambar meme sapi yang sebelumnya pernah ia kirim ke Abrams melalui chat.

“Kak tapi kamu penasaran nggak sih siapa yang mesenin grabnya?”

“Aluna aku lagi bawa motor, jangan suruh mikir, please….”

“Tapi kata aku sih dia minta tolong ke peternaknya,” lanjut Abrams.

“Kak, tapi aku juga penasaran deh…”

“Apa lagi?” tanya Abrams sembari melirik ke arah Aluna melalui kaca spion motor kanannya.

“Dia ngobrol nggak ya sama supir grabnya? Terus supir grabnya kalo diajak ngobrol sama si sapi, nyautnya pake Bahasa Indonesia atau bahasa sapi ya kak?”

“Kata ku mix sih… kayak jaksel indo gitu.”

“KAK YANG BENER AJA!”

“YA ABISAN KAMU JUGA NANYA NYA YANG BENER-BENER AJA DONG!!!”


Setelah beberapa menit di perjalanan dan membicarakan hal-hal random, kini mereka berdua sudah tiba di tempat makan tendaan yang tidak begitu jauh dari rumah Aluna.

“Kamu mau pesen apa?” tanya Abrams.

“Pecel ayam aja deh, tapi nasinya nasi uduk.”

“Minumnya?”

“Air mineral aja, tapi minta tambah es batu ya kak.”

“Oke.”

Abrams langsung buru-buru mengisi daftar pesanan agar segera diberikan kepada pelayan yang sudah menunggu di samping mejanya.

“Aku pesenin sate ampela juga, kamu suka kan?”

Aluna mengangguk. “Suka!”

“Oh iya, tadi kamu darimana kak?”

“Rumah si Angga, biasa main PS.”

“Ohhh gituuuu…”

Abrams hanya mengangguk. “Kalo kamu gimana? Orang rumah pada kemana?”

“Papa sama mama lagi ke rumah eyang, anter oksigen kayaknya. Terus kalo abang biasa, bucin.”

“Kamu sekarang juga lagi bucin,” ledek Abrams.

“Makan bareng emang masuk ke kategori bucin ya kak?”

“Ya bisa jadi… Kan makannya cuma berdua. Kecuali ada orang lagi selain kita berdua.”

“Ini di bawah kita banyak kucing kak, jadi kita nggak berdua.”

“Tau ah!”

Tidak lama kemudian, makanan yang sebelumnya sudah mereka pesan akhirnya tiba. Aluna tidak berhenti untuk menatap ke arah ayam yang digoreng dengan sangat sempurna. Abrams yang melihat itu langsung tertawa gemas sembari menatap kekasihnya.

“Kenapa ih, kok kamu ketawa kak?”

“Lucu, aku kayak lagi liat Upin-Ipin dibeliin ayam goreng sama Kak Ros.”

“RESEEEEE!”

“Ampun-ampun… Yaudah makan yuk, jangan lupa doa.”

Setelah selesai berdoa, mereka berdua langsung menyantap makanan dengan tenang tanpa mengeluarkan obrolan apapun.

Sampai tiba-tiba Aluna berbicara sembari mengunyah makanannya.

“Kak,” panggil Aluna yang membuat Abrams langsung fokus ke arah gadis itu.

“Apa?”

“Aku jahat nggak sih?”

“Jahat kenapa?” tanya Abrams dengan heran.

“Aku pesen pecel ayam, padahal nama tempatnya pecel lele. Kira-kira aku dimusuhin nggak ya kak sama lele? Atau nanti lelenya marahan nggak ya sama ayam?”

Abrams langsung menggelengkan kepalanya sembari tertawa. Pertanyaan kekasihnya itu benar-benar membuat Abrams tidak bisa berhenti tertawa.

“Yaudah kalo gitu kamu makan aja nih lele punyaku, biar mereka berdua berantem di dalem perut kamu,” sahut Abrams.

“KAK KOK KAMU JAHAT!!!”

Aluna hanya terkekeh saat mendengar pesan suara terakhir yang dikirimkan oleh kekasihnya, Abrams. Sembari menunggu Abrams yang datang untuk menjemputnya, Aluna memilih untuk melanjutkan menonton TV agar rumahnya tidak terlalu sepi. Sebenarnya Aluna tidak benar-benar sendirian. Seperti sekarang, Aluna sedang menonton dengan ditemani oleh Milo, kucing sekaligus anak kesayangannya.

Beberapa menit kemudian, Aluna bisa mendengar suara mesin motor yang memang sudah sangat ia hafal. Aluna langsung berpamitan dengan Milo dan tidak lupa untuk mengunci semua pintu rumahnya. Setelah itu, ia langsung menghampiri Abrams yang sudah menunggunya di depan gerbang rumahnya.

“Halo,” sapa Aluna.

“Itu kok jaketnya nggak dipake?” tanya Abam dengan fokusnya ke arah jaket yang sengaja Aluna kalungkan di pergelangan tangannya.

“Iyaaaa ini aku pake.” Aluna langsung memakai jaketnya dengan benar.

Abrams tersenyum dan langsung memberikan helm yang selalu ia bawa untuk Aluna, kemudian ia menyuruh kekasihnya itu untuk segera naik ke atas motor miliknya.

“Pegangan ya cantik.”

Di sela-sela perjalanan, mereka berdua tidak berhenti untuk membicarakan hal-hal random yang membuat keduanya saling bertukar tawa. Abrams benar-benar dibuat heran oleh Aluna yang tiba-tiba berbicara tentang gambar meme sapi yang sebelumnya pernah ia kirim ke Abrams melalui chat.

“Kak tapi kamu penasaran nggak sih siapa yang mesenin grabnya?”

“Aluna aku lagi bawa motor, jangan suruh mikir, please….”

“Tapi kata aku sih dia minta tolong ke peternaknya,” lanjut Abrams.

“Kak, tapi aku juga penasaran deh…”

“Apa lagi?” tanya Abrams sembari melirik ke arah Aluna melalui kaca spion motor kanannya.

“Dia ngobrol nggak ya sama supir grabnya? Terus supir grabnya kalo diajak ngobrol sama si sapi, nyautnya pake Bahasa Indonesia atau bahasa sapi ya kak?”

“Kata ku mix sih… kayak jaksel indo gitu.”

“KAK YANG BENER AJA!”

“YA ABISAN KAMU JUGA NANYA NYA YANG BENER-BENER AJA DONG!!!”


Setelah beberapa menit di perjalanan dan membicarakan hal-hal random, kini mereka berdua sudah tiba di tempat makan tendaan yang tidak begitu jauh dari rumah Aluna.

“Kamu mau pesen apa?” tanya Abrams.

“Pecel ayam aja deh, tapi nasinya nasi uduk.”

“Minumnya?”

“Air mineral aja, tapi minta tambah es batu ya kak.”

“Oke.”

Abrams langsung buru-buru mengisi daftar pesanan agar segera diberikan kepada pelayan yang sudah menunggu di samping mejanya.

“Aku pesenin sate ampela juga, kamu suka kan?”

Aluna mengangguk. “Suka!”

“Oh iya, tadi kamu darimana kak?”

“Rumah si Angga, biasa main PS.”

“Ohhh gituuuu…”

Abrams hanya mengangguk. “Kalo kamu gimana? Orang rumah pada kemana?”

“Papa sama mama lagi ke rumah eyang, anter oksigen kayaknya. Terus kalo abang biasa, bucin.”

“Kamu sekarang juga lagi bucin,” ledek Abrams.

“Makan bareng emang masuk ke kategori bucin ya kak?”

“Ya bisa jadi… Kan makannya cuma berdua. Kecuali ada orang lagi selain kita berdua.”

“Ini di bawah kita banyak kucing kak, jadi kita nggak berdua.”

“Tau ah!”

Tidak lama kemudian, makanan yang sebelumnya sudah mereka pesan akhirnya tiba. Aluna tidak berhenti untuk menatap ke arah ayam yang digoreng dengan sangat sempurna. Abrams yang melihat itu langsung tertawa gemas sembari menatap kekasihnya.

“Kenapa ih, kok kamu ketawa kak?”

“Lucu, aku kayak lagi liat Upin-Ipin dibeliin ayam goreng sama Kak Ros.”

“RESEEEEE!”

“Ampun-ampun… Yaudah makan yuk, jangan lupa doa.”

Setelah selesai berdoa, mereka berdua langsung menyantap makanan dengan tenang tanpa mengeluarkan obrolan apapun.

Sampai tiba-tiba Aluna berbicara sembari mengunyah makanannya.

“Kak,” panggil Aluna yang membuat Abrams langsung fokus ke arah gadis itu.

“Apa?”

“Aku jahat nggak sih?”

“Jahat kenapa?” tanya Abrams dengan heran.

“Aku pesen pecel ayam, padahal nama tempatnya pecel lele. Kira-kira aku dimusuhin nggak ya kak sama lele? Atau nanti lelenya marahan nggak ya sama ayam?”

Abrams langsung menggelengkan kepalanya sembari tertawa. Pertanyaan kekasihnya itu benar-benar membuat Abrams tidak bisa berhenti tertawa.

“Yaudah kalo gitu kamu makan aja nih lele punyaku, biar mereka berdua berantem di dalem perut kamu,” sahut Abrams.

“KAK KOK KAMU JAHAT!!!”

Aluna hanya terkekeh saat mendengar pesan suara terakhir yang dikirimkan oleh kekasihnya, Abrams. Sembari menunggu Abrams yang datang untuk menjemputnya, Aluna memilih untuk melanjutkan menonton TV agar rumahnya tidak terlalu sepi. Sebenarnya Aluna tidak benar-benar sendirian. Seperti sekarang, Aluna sedang menonton dengan ditemani oleh Milo, kucing sekaligus anak kesayangannya.

Beberapa menit kemudian, Aluna bisa mendengar suara mesin motor yang memang sudah sangat ia hafal. Aluna langsung berpamitan dengan Milo dan tidak lupa untuk mengunci semua pintu rumahnya. Setelah itu, ia langsung menghampiri Abrams yang sudah menunggunya di depan gerbang rumahnya.

“Halo,” sapa Aluna.

“Itu kok jaketnya nggak dipake?” tanya Abam dengan fokusnya ke arah jaket yang sengaja Aluna kalungkan di pergelangan tangannya.

“Iyaaaa ini aku pake.” Aluna langsung memakai jaketnya dengan benar.

Abrams tersenyum dan langsung memberikan helm yang selalu ia bawa untuk Aluna, kemudian ia menyuruh kekasihnya itu untuk segera naik ke atas motor miliknya.

“Pegangan ya cantik.”

Di sela-sela perjalanan, mereka berdua tidak berhenti untuk membicarakan hal-hal random yang membuat keduanya saling bertukar tawa. Abrams benar-benar dibuat heran oleh Aluna yang tiba-tiba berbicara tentang gambar meme sapi yang sebelumnya pernah ia kirim ke Abrams melalui chat.

“Kak tapi kamu penasaran nggak sih siapa yang mesenin grabnya?”

“Aluna aku lagi bawa motor, jangan suruh mikir, please….”

“Tapi kata aku sih dia minta tolong ke peternaknya,” lanjut Abrams.

“Kak, tapi aku juga penasaran deh…”

“Apa lagi?” tanya Abrams sembari melirik ke arah Aluna melalui kaca spion motor kanannya.

“Dia ngobrol nggak ya sama supir grabnya? Terus supir grabnya kalo diajak ngobrol sama si sapi, nyautnya pake Bahasa Indonesia atau bahasa sapi ya kak?”

“Kata ku mix sih… kayak jaksel indo gitu.”

“KAK YANG BENER AJA!”

“YA ABISAN KAMU JUGA NANYA NYA YANG BENER-BENER AJA DONG!!!”


Setelah beberapa menit di perjalanan dan membicarakan hal-hal random, kini mereka berdua sudah tiba di tempat makan tendaan yang tidak begitu jauh dari rumah Aluna.

“Kamu mau pesen apa?” tanya Abrams.

“Pecel ayam aja deh, tapi nasinya nasi uduk.”

“Minumnya?”

“Air mineral aja, tapi minta tambah es batu ya kak.”

“Oke.”

Abrams langsung buru-buru mengisi daftar pesanan agar segera diberikan kepada pelayan yang sudah menunggu di samping mejanya.

“Aku pesenin sate ampela juga, kamu suka kan?”

Aluna mengangguk. “Suka!”

“Oh iya, tadi kamu darimana kak?”

“Rumah si Angga, biasa main PS.”

“Ohhh gituuuu…”

Abrams hanya mengangguk. “Kalo kamu gimana? Orang rumah pada kemana?”

“Papa sama mama lagi ke rumah eyang, anter oksigen kayaknya. Terus kalo abang biasa, bucin.”

“Kamu sekarang juga lagi bucin,” ledek Abrams.

“Makan bareng emang masuk ke kategori bucin ya kak?”

“Ya bisa jadi… Kan makannya cuma berdua. Kecuali ada orang lagi selain kita berdua.”

“Ini di bawah kita banyak kucing kak, jadi kita nggak berdua.”

“Tau ah!”

Tidak lama kemudian, makanan yang sebelumnya sudah mereka pesan akhirnya tiba. Aluna tidak berhenti untuk menatap ke arah ayam yang digoreng dengan sangat sempurna. Abrams yang melihat itu langsung tertawa gemas sembari menatap kekasihnya.

“Kenapa ih, kok kamu ketawa kak?”

“Lucu, aku kayak lagi liat Upin-Ipin dibeliin ayam goreng sama Kak Ros.”

“RESEEEEE!”

“Ampun-ampun… Yaudah makan yuk, jangan lupa doa.”

Setelah selesai berdoa, mereka berdua langsung menyantap makanan dengan tenang tanpa mengeluarkan obrolan apapun.

Sampai tiba-tiba Aluna berbicara sembari mengunyah makanannya.

“Kak,” panggil Aluna yang membuat Abrams langsung fokus ke arah gadis itu.

“Apa?”

“Aku jahat nggak sih?”

“Jahat kenapa?” tanya Abrams dengan heran.

“Aku pesen pecel ayam, padahal nama tempatnya pecel lele. Kira-kira aku dimusuhin nggak ya kak sama lele? Atau nanti lelenya marahan nggak ya sama ayam?”

Abrams langsung menggelengkan kepalanya sembari tertawa. Pertanyaan kekasihnya itu benar-benar membuat Abrams tidak bisa berhenti tertawa.

“Yaudah kalo gitu kamu makan aja nih lele punyaku, biar mereka berdua berantem di dalem perut kamu,” sahut Abrams.

“KAK KOK KAMU JAHAT!!!”

Aluna hanya terkekeh saat mendengar pesan suara terakhir yang dikirimkan oleh kekasihnya, Abrams. Sembari menunggu Abrams yang datang untuk menjemputnya, Aluna memilih untuk melanjutkan menonton TV agar rumahnya tidak terlalu sepi. Sebenarnya Aluna tidak benar-benar sendirian. Seperti sekarang, Aluna sedang menonton dengan ditemani oleh anak kesayangannya yaitu Milo, kucing sekaligus anak kesayangannya.

Beberapa menit kemudian, Aluna bisa mendengar suara mesin motor yang memang sudah sangat ia hafal. Aluna langsung berpamitan dengan Milo dan tidak lupa untuk mengunci semua pintu rumahnya. Setelah itu, ia langsung menghampiri Abrams yang sudah menunggunya di depan gerabng rumahnya.

“Halo,” sapa Aluna.

“Itu kok jaketnya nggak dipake?” tanya Abam dengan fokusnya ke arah jaket yang sengaja Aluna kalungkan di pergelangan tangannya.

“Iyaaaa ini aku pake.”

Abrams tersenyum dan langsung menyuruh Aluna untuk segera naik ke atas motornya.

“Pegangan ya cantik.”

Di sela-sela perjalanan, mereka berdua tidak berhenti untuk membicarakan hal-hal random yang membuat keduanya saling bertukar tawa. Abrams dibuat heran oleh Aluna yang tiba-tiba berbicara tentang meme sapi yang sebelumnya pernah ia kirim ke Abrams melalui chat.

“Kak tapi kamu penasaran nggak sih siapa yang mesenin grabnya?”

“Aluna aku lagi bawa motor, jangan suruh mikir, please….”

“Aku juga penasaran deh…”

“Apalagi?” tanya Abrams sembari melirik ke arah Aluna melalui kaca spion kanannya.

“Dia ngobrol nggak yah sama supir grabnya? Terus supir grabnya kalo diajak ngobrol nyautnya pake Bahasa Indonesia atau bahasa sapi ya kak?”

“Kata ku mix sih… kayak jaksel indo gitu.”

“KAK YANG BENER AJA!”

“YA ABISAN KAMU JUGA NANYA NYA YANG BENER AJA!”

  • – Setelah beberapa menit di perjalanan dan membicarakan hal-hal random, kini mereka berdua sudah tiba di tempat makan tendaan favorite keduanya, pecel lele.

Tempat ini memang selalu ramai pengunjung, biasanya mereka berdua memilih untuk makan di dalam mobil karena minimnya tempat duduk. Tapi, malam ini tidak begitu ramai seperti biasanya, jadilah keduanya mendapatkan tempat duduk disana.

“Kamu mau pesen apa?” tanya Abrams.

“Pecel ayam aja, nasinya nasi uduk ya.”

“Minumnya?”

“Air mineral aja, tapi minta tambah es batu ya kak.”

“Oke.”

Abrams langsung buru-buru mengisi daftar pesanan agar segera diberikan kepada pelayan yang sudah menunggu di samping mejanya.

“Aku pesenin sate ampela, kamu suka kan?”

Aluna mengangguk. “Suka!”

“Oh iya, tadi kamu darimana kak?”

“Rumah si Angga, biasa main PS.”

“Ohhh gituuuu…”

“Kalo kamu gimana? orang rumah pada kemana?” Kini giliran Abam yang bertanya.

“Papa sama mama lagi ke rumah eyang, anter oksigen kayaknya. Terus kalo abang biasa, bucin.”

“Kamu juga sekarang lagu bucin,” ledek Abam.

“Makan bareng emang masuk ke kategori bucin ya kak?”

“Ya bisa jadi… Kan makannya cuma berdua. Kecuali ada orang lagi selain kita berdua.”

Tidak lama kemudian, makanan yang sebelumnya sudah mereka pesan akhirnya tiba. Aluna tidak berhenti untuk menatap ke arah ayam yang digoreng dengan sangat sempurna. Abrams yang melihat itu langsung tertawa gemas sembari menatap kekasihnya.

“Kenapa ih, kok kamu ketawa kak?”

“Lucu, aku kayak lagi liat upin-ipin dikasih ayam goreng.”

“RESEEEEE!”

“Ampun-ampun… Yaudah makan yuk, jangan lupa doa.”

Setelah selesai berdoa, mereka berdua langsung menyantap makanan dengan tenang tanpa obrolan apapun. Sampai tiba-tiba Aluna berbicara sembari mengunyak makanannya.

“Kak,” panggil Aluna yang membuat Abrams langsung fokus ke arah gadis itu.

“Apa?”

“Aku jahat nggak sih?”

“Jahat kenapa?” tanya Abrams dengan heran.

“Aku pesen pecel ayam, padahal nama tempatnya pecel lele. Aku kira-kira dimusuhin sama lele nggak ya kak? Atau nanti lelenya marahan nggak ya sama ayam?”

Abrams langsung menggelengkan kepalanya sembari tertawa. Pertanyaan kekasihnya itu benar-benar membuat Abrams tidak bisa berhenti tertawa.

“Yaudah kalo gitu kamu makan aja nih lele punyaku, biar mereka berdua berantem di dalem perut kamu,” sahut Abrams.

“KAK KOK KAMU JAHAT!!!”

Aluna, sang pemilik kamar yang merasa mulai terganggu dengan aktivitas seseorang yang berada di depan kamarnya langsung buru-buru bangkit dari posisi nyamannya.

“Berisik!” ucap Aluna ketika membuka pintu kamarnya.

Alan yang sebelumnya memukuli pintu kamar Aluna tanpa ampun langsung tersenyum ketika melihat Adiknya membukakan pintu kamar untuknya.

“Abang masuk ya?”

Aluna hanya pasrah dan membiarkan sang kakak memasuki kamarnya.

“Sini duduk samping gue,” ucap Alan sembari menepuk dudukan sofa yang berada dikamar Aluna. Aluna langsung menuruti permintaan sang kakak.

“Apa? Ngapain ngeliatin gue begitu?”

“Maafin abang ya. Abang tau salah, salah banget malahan. Tapi gue tuh kemarin juga bingung sekaligus panik. Tadinya gue mau hubungin lo dulu, cuma sarah nggak berhenti-henti buat neleponin gue,”

“Dia setakut itu, Lun. Apalagi kemarin hujan kan. Dia punya trauma yang emang bener-bener bikin dia ngerasa dia butuh orang untuk nemenin dia pas lagi hujan. Makanya waktu itu gue langsung lari tanpa mikir inlo yang lagi nungguin gue.”

Aluna terdiam sembari menatap langit-langit kamarnya. Ia pikir permintaan kekasih dari kakaknya itu merupakan masalah yang sepele. Tapi ternyata dugaanya salah. Ia menjadi merasa tidak enak hati dan merasa dirinya sudah bersikap berlebihan.

“Iya Luna maafin. Maafin Luna juga karena udah mikir yang macem-macem tentang Kak Sarah waktu itu. Luna juga minta maaf sama Abang, maaf kemarin udah ketus dan sempet block nomor abang.”

“Tapi Luna tetep kesel sama abang! Sama abang loh ya!”

“Ihhhh kenapa lagi?” tanya Alan.

“KEMARIN SUSHINYA JADI LUNA YANG BAYAR!!! itu kan uangnya untuk beli album chenle dan temen-temennya, abang!!”

Alan langsung tertawa dan merangkul tubuh sang adik. “Tenang, sebagai permintaan maaf dan ganti uang lo yang kemaren, nanti abang beliin album si chenle itu deh, sama photocardnya juga. Gimana?”

“Oh ya tentu sangat mau!”

“Dasar! Giliran disogok kpop aja lo langsung semangat.”

Dirasa sudah hampir seharian mereka berada diluar, kini Abrams yang sedang mengendalikan setir mulai melajukan mobilnya. Aluna nampak terdiam duduk disebelahnya. Abrams melihat ke arah kekasihnya yang mendadak diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata.

“Kamu kenapa? Kok abis makan jadi diem begini?”

Aluna masih belum juga menjawab pertanyaan dari Abrams.

“Hey? Kenapa sih? Aku tadi ada salah ngomong?”

Gadis itu menggeleng. “Aku nggak mau pulang!!!”

Abrams yang sebelumnya nampak panik langsung bernafas lega mendengar jawaban dari sang kekasih. Setidaknya, ucapan yang keluar dari mulut kekasihnya bukan merupakan hal-hal yang ia khawatirkan.

Ia mengelus puncak kepala gadis itu, “Besok lagi ya? nggak enak sama keluarga kamu. Udah lumayan lama juga kita diluar… Udah mau sore gini, kita dari pagi loh, Lun.”

Aluna langsung mengerucuti bibirnya dan menunduk disamping Abrams yang membuat Abrams gemas saat melihat tingkah lucu kekasihnya.

“Jelek manyun gitu kayak kodok, besok-besok lagi aku izin pinjem kamu sampe malem deh. Biar kamu juga bisa night ride sama aku. Gimana?”

“Bener ya?” tanya Aluna dengan sangat antusias.

“Iyaaaa.”

“Yes! JANJI DULUUUUU! Siniin kelingking kamu.” Aluna langsung meraih tangan Abrams dan menyatukan jari kelingkingnya ke jari kelingking Abrams.

“Oke udah janji.”

Adys kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku roknya. Sebenarnya ia masih dibuat penasaran oleh pesan yang dikirimkan oleh Farel. Untuk apa dirinya disuruh menunggu sebentar. Tidak mau menambah pusing, Adys kembali memperhatikan guru yang sedang mengajar pelajaran Sejarah Indonesia dengan menaruh dagunya di tumpuan tangannya. Rasa pusing dan mual semakin menyerbu kepala dan perutnya. Ia benar-benar menyesal untuk tetap masuk ke sekolah dengan kondisi yang kurang baik.

Ditengah-tengah pelajaran, tiba-tiba saja pintu kelas Adys diketuk oleh seseorang dari luar. Kini perhatian seluruh murid termasuk Adys bukan lagi menuju ke arah Pak Kuntoro yang sedang memberikan materi tentang Masa Orde Baru, tapi pusat perhatian mereka kini berpindah pada sosok laki-laki yang dengan santainya masuk ke dalam kelas dan menyalimi tangan Pak Kuntoro sembari membawa selembar kertas putih persegi panjang. Adys yang memang mengenali sosok laki-laki itu langsung diam dan tidak bergerak sedikit pun, ia dibuat terkejut oleh aksi kekasihnya yang benar-benar sangat tidak terduga.

Punten pak, maaf tiba-tiba saya masuk ke kelas bapak dan mengganggu jam pelajaran bapak. Tapi saya teh dapet amanah dari bundanya Teh Adys, saya diminta untuk jemput Teh Adys yang sekarang lagi kurang enak badan.” Farel masih berdiri di hadapan Pak Kuntaro sesekali melirik ke arah dimana Adys duduk.

“Adys saha?”

“Emangnya teh ada yang namanya Adys di kelas ini?” tanya Pak Kuntaro kepada seluruh murid yang sedaritadi memperhatikan keduanya berbicara di depan kelas.

“Gladys pak, cuma emang sering dipanggil Adys, pak,” sahut Karissa, teman sebangku Adys. Adys hanya menutupi wajahnya sembari memijat pelipisnya pelan.

“Oh, Si Gladys… Gladys, betul kamu teh lagi nggak enak badan?”

Adys langsung mengangguk dengan wajah pucatnya. “Iya pak.”

Pak Kuntoro yang melihat kondisi Adys seperti itu langsung menyuruh Farel memberikan surat izin agar segera ditandanganinya. “Yaudah sok dibawa si Gladys, udah lemes begitu… Jangan lupa ini suratnya dikasih ke meja piket ya.”

Farel langsung mengangguk, “Siap pak, pasti! Saya izin bantu Teh Adys beresin barang-barang ya pak.”

“Sok.”


“Kamu teh ngapain ih segala izinin aku?”

Kini mereka berdua sudah berada di luar kelas setelah tadi sempat berpamitan dengan Pak Kuntoro yang sampai sekarang Adys yakin masih setia untuk mengajar di kelasnya.

“Ya kumaha atuh, masa aku ngebiarin teteh belajar dengan kondisi yang lagi kurang enak badan gini, akunya mana tega.”

Keduanya masih berjalan mengitari koridor sekolah. Mereka berdua berjalan berdampingan dengan satu tangan Farel yang memegang lengan Adys guna untuk menjaga gadis itu dari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya seperti terjatuh lemas ditengah-tengah koridor.

“Tapi bunda beneran bilang ke kamu?” tanya Adys.

Farel menggeleng dan tertawa jahil. “Ya enggak sih, Farel iseng aja biar izinnya gampang.”

“DASAR!!! Dosa ih bohongin orang tua,” ucap Adys sembari mencubit pelan lengan Farel.

Atuhlah demi kebaikan mah nggak apa-apa ya teh ya…”

“Eh, ini kok ke UKS bukannya ke parkiran?” Adys dibuat bingung dengan Farel yang tiba-tiba membawanya ke UKS.

“Tenang aja teh, nggak berduaan kok, tuh ada anak PMR yang jaga… Namanya Anggun, temen sekelas Farel.”

Farel langsung membawa Adys masuk ke dalam UKS dan menyuruh gadis itu untuk duduk di sofa yang tersedia disana. “Punten ya Nggun. Aing nitip kabogoh aing dulu disini, aing mau ke kantin bentar…”

Hooh sok, masuk weh Rel, aing jagain.”

“Teh, sama si Anggun dulu ya, Farel ke kantin dulu beli makan buat teteh,” pamit Farel.

“Ih ngapain?”

“Farel teh hari ini bawa motor, kamu bakalan masuk angin kalo perutnya nggak diisi nasi…. Tadi baru diisi sama roti doang kan?” tanya Farel yang diangguki oleh Adys. Farel tersenyum melihat Adys yang mengangguk sembari menekuk wajahnya.

Tangannya tidak ia biarkan untuk diam saja, ia langsung mengelus puncak kepala Adys dengan sayang, “Yaudah, makanya teteh tunggu disini dulu ya. Nanti Farel balik lagi bawa makanan buat teteh, nanti makan dulu baru pulang ya, teh? sekarang teteh istirahat dulu disini ya ditemenin sama si Anggun,”

“Farel nggak lama kok. Janji.” Jari kelingkingnya ia acungkan seakan membuat pinky promise ke arah Adys.

Adys langsung mengaitkan jari kelingking miliknya ke milik Farel. Lagi-lagi Farel tersenyum dan mengelus puncak kepala Adys dengan gemas. “Pinter ih pacar Farel.”

Pertandingan antara tim futsal SMANSA dan tim futsal SMA Nusa baru saja selesai. Pertandingan dimenangkan oleh SMANSA. Semua anggota futsal SMANSA beserta dengan coach mereka langsung berkumpul untuk merayakan kemenangannya dengan saling berpelukan di tengah lapangan lengkap dengan suara teriakan dari supporter SMANSA di tribun.

Sebenarnya saat tadi pertandingan berlangsung, Farel nyaris tidak fokus karena beberapa kali memperhatikan atau sekedar melirik ke arah tribun penonton untuk mencari keberadaan gadis yang ia nantikan kehadirannya. Bahkan sampai sekarang ia masih mecari sosok gadis itu, namun hasilnya tetap nihil.

Good job, Rel!” tegur Reno sembari menepuk bahu Farel. Farel yang sebelumnya sedang melihat ke arah tribun langsung sadar akan tepukan di bahunya.

Kaki maneh teh emang super,” lanjut Reno.

“Halah, lebay pisan! Semuanya kan juga sama, sat set sat set. Good job juga, No!”

Reno mengangguk, “Yaudah, aing duluan ke ruang ganti ya, sumuk banget.”

Farel mengangguk, “Hooh, sok.”

Haris yang sebelumnya sedang berbincang dengan coach team mereka langsung menghampiri Farel. “Temenin aing yuk.”

“Kemana?”

“Udah ikut wae, nanti juga seneng.”

Farel menatap Haris dengan bingung. Namun ia tetap mengikuti langkah sahabatnya itu.

Mereka berdua langsung berpamitan dengan teman-temannya serta coach mereka dan kemudian langsung pergi meninggalkan lapangan.

“Duluan ya semua, Good job team!”


“Yaelah, Ris, kalo ke ruang ganti mah tadi mending maneh bareng si Reno!”

Haris terkekeh. Karena nyatanya Haris hanya mengajak Farel untuk pergi ke ruang ganti peserta bersama.

“Sabar atuh, abis ini baru temenin aing, sekarang mah ganti baju dulu. Basah keringet gini emangnya maneh betah?”

Bade kamana, sih?”

“Ketemu cewek geulis,” sahut Haris.

“Dih? Sejak kapan maneh teh punya awewe.”

“Ya makanya ntar ketemu.”

“Yaudah,” final Farel.

Farel langsung masuk ke dalam bilik kosong untuk mengganti pakaiannya, bahkan ia juga sempat mengguyur badannya yang sebelumnya dibahasi oleh keringat. Sama halnya dengan Haris, ia juga masuk ke dalam bilik yang berada di sebelah Farel untuk melanjutkan sesi bersih-bersih tubuhnya.

Beberapa menit kemudian, Farel keluar dari bilik terlebih dahulu.

“Udah belom, Rel?” tanya Haris dari bilik sebelah.

Aing udah keluar daritadi, gelo! Maneh yang lama.”

“Oh, bilang atuh!” haris terkekeh.

“Yaudah hayuk cus…”

Keduanya melangkahkan kaki keluar dari ruang ganti. Ramainya siswa-siswi dari sekolah lain membuat Farel kewalahan untuk mencari keberadaan Adys. Iya, Farel masih berusaha untuk mencari gadis itu. Rasa penasarannya sangat tinggi. Sejak keluar dari ruang ganti, Farel hanya berjalan mengikuti kemana Haris akan membawanya pergi. Sampai dimana kini mereka sudah tiba di taman belakang SMA Nusa.

“Udah sampe.”

“Mana cewek geulis yang maneh bilang?” tanya Farel.

“Tuh,” tunjuk Haris ke arah gadis cantik dengan dress putih yang sedang berjalan ke arahnya dan Haris sembari membawa satu buket bunga ditangannya.

“Anjir maneh, Ris!”

“Ngerjain aing, ya?”

Haris hanya terkekeh melihat muka terkejut Farel.

Good luck ya, aing tinggal dulu,” ucap Haris yang langsung pergi meninggalkan Farel.

Gadis cantik yang sedari tadi Farel tunggu kehadirannya semakin memperdekat jaraknya. Bahkan kini sudah tinggal beberapa langkah untuk sampai di hadapannya.

“Halo,” sapa Adys.

“H-hai teh,” jawab Farel dengan gugup.

“Kenapa gugup begitu? Santai aja kali.”

“Grogi teh, kaget juga teteh kok bisa ada disini.”

“Duduk dulu atuh, biar nggak pegel.”

Keduanya langsung duduk di kursi taman yang memang tersedia disana.

“Ini buat kamu,” Adys memberikan bunga itu ke arah Farel yang langsung Farel terima dengan baik.

“Selamat ya karena udah juara.”

“Makasih teh. Tapi emangnya teteh tau kalo Farel menang?”

“Tau lah! Orang aku nonton.”

“Dimana? Kok Farel nggak ngeliat teteh.”

“Di tribun supporter Nusa.”

“Pantesan!!!”

Adys terkekeh melihat Farel yang lagi dan lagi bertingkah gemas. Beda sekali dengan Farel yang berada di lapangan beberapa jam yang lalu.

“Tapi tadi kamu keren mainnya, ih! Bangga aku.”

“Pacar siapa dulu?” tanya Farel.

“Nggak tau,” ledek Adys.

“Ih! Pacar kamu teh!”

“Kan belom baikan, emang masih pacaran?”

Teteh jangan begitu dong teh. Kayaknya seneng banget ya liat aku sedih begini.”

Adys menyentil jidat Farel pelan, “Lebay!”

“Yaudah ini mau maafan nggak nih?” tanya Adys.

“MAUUUUU!!!!!”

“Sini aku minjem tangan kamu,” pinta Adys. “Buat apa teh?”

“Siniin aja.”

Farel langsung mengarahkan tangannya ke arah Adys. Adys langsung memasukkan sela-sela jarinya ke jari milik Farel.

“Farel Ethan yang kasep… Farel Ethan pacar Kamelia Gladys Zaura… Farel Ethan yang baik hati walaupun kadang nyebelin pisan, permintaan maafmu waktu itu aku terima.”

“Aku juga minta maaf sama kamu kalo kemarin aku teh bener-bener kayak anak kecil, cemburuan nggak jelas, nggak bisa ngertiin kamu dan bersikap egois. Seharusnya teh aku bisa lebih dewasa dan paham sama situasi kamu ya Rel, tapi ternyata teh aku masih banyak kurangnya. Jadi, aku juga minta maaf sama kamu ya Rel. Setelah ini aku bakalan belajar biar bisa jadi pacar yang baik untuk Farel Ethan…”

“Mulai sekarang, kita berdua resmi baikan ya, setuju atau tidaaaakkk?” tanya Adys.

Farel tidak menjawab pertanyaan Adys, melainkan ia langsung membawa Adys ke dalam pelukannya. Ia benar-benar memeluk perempuan itu dengan erat, seakan-akan seperti menjaga agar perempuan ini tidak kemana-mana. Adys yang tiba-tiba didekap oleh Farel langsung terkejut. Ia juga benar-benar merindukan pelukan ini. Tangannya tidak diam saja, kedua tangannya langsung membalas pelukan Farel dan mengelus punggung kekasihnya dengan sayang.

“Kangen, aku kangen. Kita baikan, resmi baikan ya teh ini. Jangan berantem lagi ya teh, aku teh hampa pisan nggak ngobrol sama teteh. Loyo euy!”

Adys terkekeh di dalam pelukan Farel, “Iya baikaaan baweeeel!”

“Lepasin dulu atuh, sesek! Aku juga masih punya hadiah lain buat kamu,” ujar Adys sembari melepaskan pelukan Farel.

“Apa?”

“Merem.”

“Kok? Mau ninggalin aku ya?”

“Bawel ih, udah merem aja.”

Farel pun menuruti Adys untuk memejamkan matanya. Sedangkan Adys, pipinya sudah memanas terlebih dahulu. Adys kembali memastikan bahwa kekasihnya itu sudah sepenuhnya memejamkan matanya.

Dirasanya Farel benar-benar memejamkan matanya dengan sempurna, Adys sedikit memajukan tubuhnya dan menempelkan bibirnya di kening mlik Farel. Farel sontak membuka matanya dan langsung menatap wajah Adys yang sangat dekat dengannya tanpa sepengetahuan gadis itu. Pipinya memanas. Senyumnya tidak bisa ia sembunyikan, ia bisa merasakan ada kupu-kupu yang menari diperutnya. Farel kembali memejamkan mata ketika Adys yang sudah menajuh dari tubuhnya.

Keduanya saling bertatapan. Tangan Farel bergerak untuk membelai rambut panjang milik Adys dengan penuh kasih sayang. Memang hanya seorang Kamelia Gladys Zauranya lah yang bisa membuatnya merasakan perasaan jatuh cinta seperti ini.

Sesuai dengan janjinya dengan Adin tadi, Farel langsung turun menuju kantin untuk menghampiri Adin. Farel kira, ialah yang akan sampai di kantin lebih dulu, ternyata ia bisa melihat Adin yang sudah menunggunya disana.

“Eh Kak Farel,” panggil Adin ketika Farel yang ikut duduk di seberangnya.

“Kenapa? Mau ngomong apa?”

Adin yang ditanya seperti itu langsung mengigit bibir bawahnya karena sedikit gugup. Kemudian ia beranikan dirinya untuk menatap bola mata sang lawan bicara.

“Adin mau minta maaf,”

“Adin mau minta maaf buat semuanya. Maaf kalo semisalnya kehadiran Adin buat hari-harinya Kak Farel jadi terganggu, apalagi karena semua kemauan mami yang bikin Kak Farel jadi ngerasa risih. Adin sama mami minta maaf ya kak.”

“Adin juga minta maaf karena udah ganggu hubungan Kak Farel sama Kak Adys. Adin beneran nyesel banget, seharusnya dari awal Adin nggak maksain untuk coba ambil hatinya Kak Farel. Adin nyesel, maaf ya kak…”

“Udah ya kak, Adin cuma mau bilang gitu aja. Terserah Kak Farel mau maafin Adin atau nggak. Adin izin pamit duluan ya kak, udah ditunggu supir di depan.”

Adin langsung pergi meninggalkan Farel seorang diri di kantin. Farel masih terdiam dan mencerna ucapan Adys tadi. Sebenarnya ia bisa melihat dari tatapan Adin dan merasakan bahwa ucapan Adin barusan memang sungguh-sungguh. Ia langsung bangun dari duduknya dan mengejar Adin yang hampir jauh dari pengelihatannya.

“Adin! Tunggu!”

Yang dipanggil pun langsung menghentikan langkahnya. “Kenapa kak? Ada barang Adin yang ketinggalan?”

Farel menggeleng, “Semuanya udah aing maafin, Din.”

“Gimana kak?”

“Aing udah maafin maneh. Maafin aing juga kalo semisalnya aing pernah ngeluarin kata-kata yang bikin maneh sakit hati atau tersinggung ya.” Farel tersenyum.

“Ini Kak Farel beneran mau maafin Adin?”

“Iya.”

“Kak serius?”

“Iya Din.”

“Terus sekarang kita udah bisa balik temenan lagi kak?”

Farel mengangguk, “Iya sekarang temenan.”

“Makasih Kak Farel!!!”

Kemudian gadis itu pergi meninggalkan Farel yang masih berdiri di koridor sembari menggelengkan kepalanya karena melihat Adin yang terlihat begitu senang.

“Sama Adin teh udah baikan, sama kamu kapan ya teh?” batinnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, itu tandanya bel pulang sekolah sudah berbunyi satu jam yang lalu. Adys masih setia menunggu Farel yang sedang latihan futsal di kursi koridor sekolah. Sesuai dengan niatnya kemarin, maksud Adys untuk menunggu Farel latihan itu karena ia ingin meminta maaf langsung kepada kekasihnya itu.

Dilihatnya anak futsal sedang melakukan break latihan, Adys langsung berjalan ke arah lapangan dengan membawakan satu botol air mineral tidak lupa dengan senyumannya yang mengembang ketika melihat Farel yang sedang menepi ke pinggiran lapangan. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang perempuan yang sudah lebih dulu menghampiri kekasihnya drngan membawa satu botol air mineral.

Raut wajah Adys yang sebelumnya tampak begitu bahagia langsung berubah. Rasa kesal yang tiba-tiba muncul mengurungkan niatnya. Ia langsung kembali ke koridor untuk mengambil tas dan beberapa bawaannya lalu pergi meninggalkan sekolah dengan perasaan yang tidak bisa diartikan.

Farel yang mendengar suara hentakan kaki dari arah yang tidak jauh darinya langsung melihat ke arah sumber suara. Ia dibuat terkejut oleh siapa yang baru saja meninggalkan lapangan dan menuju koridor. Baru saja Farel ingin mengejar Adys, tapi Adin sudah lebih dulu menahan tangan Farel.

“Mau kemana sih, kak? Minum dulu.”

“Bukan urusan maneh!”

Farel langsung meninggalkan Adin yang sudah kesal melihat Farel yang ingin mengejar Adys.

“Teh!” panggil Farel.

Adys tidak menanggapi teriakan Farel. Ia tetap terus berjalan menuju gerbang.

“Teh, tunggu.” Akhirnya Farel bisa menyesuaikan jaraknya dengan Adys.

“Apa?”

“Kenapa pergi?”

“Kan udah ada Adin, jadi ya aku pergi.”

“Farel nggak minta Adin buat dateng terus kasih minum ke Farel teh, dia dateng sendiri.”

“Iya aku tau. Jadi udah ya? Aku mau pulang, udah sore.”

“Oh iya,” lanjut Adys.

“Ini, siapa tau masih butuh air mineral. Aku pulang dulu, semangat latihannya.” Adys menepuk pelan bahu Farel.

Sedangkan Farel, ia hanya mematung. Andai saja Adin tidak datang, pasti dirinya dan Adys sekarang sedang duduk berdua di pinggir lapangan. Lamunannya tersadar, jarak Adys dari pengelihatannya juga lama kelamaan menghilang. Ada rasa ingin mengantarkan gadis itu untuk pulang. Namun melihat situasi yang tidak memungkinkan, Farel langsung memanggil ojek yang memang mangkal di depan sekolahnya.

Mang, punten. Tolong anterin teteh yang lagi jalan sendirian itu ya. Ini uangnya, kembaliannya ambil aja. Nuhun ya mang, tolong jangan ngebut ya mang!”

Farel tidak langsung pergi, melainkan ia menunggu dan memastikan sampai Adys naik ke motor ojek tersebut. Adys sempat bingung, namun akhirnya gadis itu tetap naik ke motor dan sepenuhnya pergi dari pandangan Farel.

“Hati-hati ya, teh.”


“Kak Farel!!!!”

“Darimana aja sih?”

“Itu udah dipanggilin sama temen-temen Kak Farel!”

“Ngapain coba ngejar Kak Adys, ganggu latihan Kak Farel aja.”

Farel memanggil satu temannya dan izin untuk meminta waktu istirahat tambahan. Kemudian ia membawa Adin ke taman belakang sekolah.

“Mau kemana sih, ih, lepasin!”

“Duduk,” ucap Farel.

Adin langsung menuruti Farel dan sedikit ketakutan melihat tatapan Farel yang berbeda.

“Udah ngomelnya?” tanya Farel yang diangguki oleh Adin.

Aing heran kenapa maneh ngomel, padahal maneh nggak punya hak apa-apa buat marah-marah ke aing tentang teteh. Aing juga nggak ngerti kenapa maneh suka banget cari masalah dan bikin salah paham.”

“Kenapa sih, Din? Kenapa kayak gitu?”

Adin yang merasa tidak terima langsung bersuara, “Ya karena aku sama Kak Farel kan udah deket dari kecil, jadinya sekarang aku juga harus deket lagi sama Kak Farel.”

Farel tertawa sembari memijat pelipisnya.

“Kita emang kenal dari kecil, tapi abis itu kita jadi orang asing lagi setelah maneh pindah ke Jakarta. Aing nggak ngerasa deket sama maneh. Kita nggak pernah berhubungan sama sekali setelah maneh pergi dari Bandung. Jadi, maneh jangan ngerasa paling tau dan deket sama aing, Din. Maaf kalo maneh tersinggung, tapi jujur aja aing risih.”

“Apalagi maneh selalu bikin Teh Adys salah paham dan jadi jauh sama aing. Sekarang aing tanya, alasan maneh sampe bikin Teh Adys salah paham dan jadi jauh gini sama aing tuh apa?”

Adin menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan mata, seakan-akan sedang mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan sesuatu.

Farel yang melihat Adin seperti langsung dibuat emosi karena Adin yang tidak mengeluarkan suara sama sekali.

“Din jawab!” ucap Farel dengan sedikit nada tinggi.

“Itu karena Adin suka sama Kak Farel!”

Farel terkejut dengan ucapan Adin barusan. Kata-kata itu keluar dari mulut Adin tanpa terbata-bata. Ia benar-benar tidak percay, bagaimana bisa Adin menyukai dirinya setelah bertahun-tahun mereka tidak saling bertukar kabar?

“Pasti Kak Farel bingung kenapa Adin bisa suka sama Kak Farel. Dari kecil Adin merasa diperhatiin sama Kak Farel, Kak Farel selalu lindungin Adin kalo Adin lagi diganggu sama anak komplek. Dari situ Adin percaya kalo Kak Farel sayang sama Adin. Adin juga tanya ke mami, kenapa Kak Farel selalu peduli sama Adin dan jawaban Mami juga sama, itu karena Kak Farel sayang sama Adin,”

“Terus karena kita harus pindah lagi ke Jakarta, Adin beneran sedih banget harus jauh dari Kak Farel. Adin selalu ngumpulin semua barang-barang dan foto-foto kita di dalam kotak yang sampe sekarang masih Adin simpen. Terus Kak Farel inget kan waktu pertama kalinya kita ngobrol lagi via dm twitter? Itu Adin seneng bukan main karena Adin akhirnya bisa ngeliat Kak Farel lagi. Adin juga jadi sering merhatiin Kak Farel lewat twitter,”

“Sampe dimana papi bilang kalo papi dapat dinas kerja di Bandung dan minta kita untuk ikut pindah ke Bandung untuk sementara waktu. Adin langsung buru-buru packing dan seneng karena akhirnya Adin bisa ngeliat Kak Farel lagi. Usaha Adin buat deketin Kak Farel juga semakin besar walaupun Adin tau Kak Farel udah punya pacar yaitu Kak Adys. Tapi Adin mau egois, Kak Farel cuma punya Adin dan bukan punya Kak Adys.”

Farel benar-benar tidak menyangka dengan pengakuan Adin.

“Kak, aku suka sama Kak Farel. Aku juga mau ada diposisi Kak Adys. Kak Farel pasti masih sayang sama Adin kan?”

“Maaf, Din.”

“Jangan suka dan sayang sama aing, karena aing nggak akan pernah bisa suka sama maneh,”

“Dan satu lagi, jangan coba-coba untuk jadi Teh Adys buat narik perhatian aing. Mau maneh usaha sebesar apapun aing sama sekali nggak tertarik. Kita cuma temen, selamanya temen, status itu nggak akan berubah, Din. Jadi jangan berharap lebih.”

“Mending sekarang maneh mikir, apa yang udah maneh lakuin dari awal maneh dateng kesini dan jangan ganggu aing lagi, Din, tolong.”

Kemudian Farel meninggalkan Adin yang sudah meneteskan air matanya.

“Ternyata suka sama Kak Farel itu salah ya?”