scrpleo

Dengan segala keberanian yang sudah Kyra kumpulkan, ia memutuskan untuk menemui Adriel yang sudah tiba di depan rumahnya. Detak jantung Kyra berpacu dua kali lebih cepat dari pada biasanya. Kini ia sudah tiba di depan pagar rumahnya, beruntung lah pagar rumahnya cukup tinggi. Jadi, ia bisa menyempatkan diri untuk menarik napasnya sebelum bertemu dengan sosok Adriel.

Ia sangat gugup, namun kini tangannya sudah menggeser pelan pagar rumahnya. Benar saja, Adriel sudah berada di depan, dengan tubuhnya yang menyender di samping mobil laki-laki itu.

“Masuk,” pinta Kyra.

“Mama papa ada?”

Kyra menggeleng. “Lagi ada acara di luar. Kenapa?”

“Kalo gitu di teras aja.”

Ini yang Kyra suka dari Adriel, dari dulu laki-laki itu tidak akan pernah mau untuk masuk ke dalam rumahnya ketika kedua orang tua Kyra sedang tidak ada di rumah.

“Yaudah, ayok duduk.”

Keduanya kini sudah saling duduk bersebalahan dengan Adriel yang sedikit menghadap ke arah Kyra.

“Kenapa kesini?”

“Mau ajak ngobrol.”

“Obrolin apa?”

“Kita.”

Kyra otomatis menelan ludahnya. Matanya tidak sengaja ia bulatkan, ia benar-benar terkejut oleh ucapan Adriel barusan.

“Ra, aku orangnya nggak suka basa-basi. Jujur aku kangen, kangen kamu, kangen kita. Aku tau dulu aku salah banget karena asal ambil keputusan buat putus dari kamu dan sekarang aku beneran nyesel. Udah 5 bulan kita pisah bener-bener bikin aku mikir kalo seharusnya waktu itu aku dengerin penjelasan dari kamu dulu, seharusnya aku nggak perlu langsung kesulut emosi, seharusnya aku bisa lebih ngertiin kamu Ra.”

“5 bulan juga aku belajar dari kesalahan Ra, aku coba buat ngerubah diri supaya bisa jadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya.”

“Tapi aku sempet takut Ra, takut karena nantinya kamu nggak akan mau nerima aku lagi. Sampe dimana waktu aku minta kamu untuk dateng ke UKS, aku denger kamu yang bilang kamu masih sayang aku. Dari sana aku bener-bener langsung yakin kalo kesempatan masih ada. That’s why aku beraniin diri buat dateng ke rumah kamu hari ini Ra.”

“Jadi maksudnya kamu mau kita kayak dulu lagi? Sama-sama lagi?” tanya Kyra.

Adriel mengangguk. “Kalo kamu mau.”

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Kyra langsung menarik tangan Adriel dan mengelusnya.

“Kamu nggak usah merasa cuma kamu yang salah pada saat itu. Aku pun salah, Aku salah karena ngebiarin Andra meluk aku dengan seenaknya. Aku juga salah karena main nge-iyain kemauan kamu. Jadi disini kita sama-sama salah El. *So please stop blaming yourself ya.”

Kyra masih mengelus punggung tangan Adriel dengan sayang. “And now, let’s forget what happened in the past and start over again.

Adriel membelalakan matanya. “Ra, kamu serius? Serius mau balikan sama aku?”

Kyra mengangguk sembari tersenyum. Adriel senang bukan main, ia langsung membawa gadis itu ke dalam dekapannya dan mengelus kepala Kyra dengan sayang.

Thank you, Ra.”

Gadis itu membalas pelukan Adriel yang kini sudah resmi menjadi kekasihnya lagi. Terangnya bulan sabit menjadi saksi bahwa keduanya masih saling menyayangi. Kedua insan itu masih saling mendekap, melampiaskan rasa rindunya yang selama ini sempat terpendam dan tidak dapat disalurkan. Senyuman yang terukir di bibir mereka berdua seakan menjelaskan isi hati keduanya pada malam ini.

Dengan segala keberanian yang sudah Kyra kumpulkan, ia memutuskan untuk menemui Adriel yang sudah tiba di depan rumahnya. Detak jantung Kyra berpacu dua kali lebih cepat dari pada biasanya. Kini ia sudah tiba di depan pagar rumahnya, beruntung lah pagar rumahnya cukup tinggi jadi ia bisa menyempatkan diri untuk menarik napasnya sebelum bertemu dengan sosok Adriel.

Ia sangat gugup, namun kini tangannya sudah menggeser pelan pagar rumahnya. Benar saja, Adriel sudah berada di depan, dengan tubuhnya yang menyender di samping mobil laki-laki itu.

“Masuk,” pinta Kyra.

“Mama papa ada?”

Kyra menggeleng. “Lagi ada acara di luar. Kenapa?”

“Kalo gitu di teras aja.”

Ini yang Kyra suka dari Adriel, dari dulu laki-laki itu tidak akan pernah mau untuk masuk ke dalam rumahnya ketika kedua orang tua Kyra sedang tidak ada di rumah.

“Yaudah, ayok duduk.”

Keduanya kini sudah saling duduk bersebalahan dengan Adriel yang sedikit menghadap ke arah Kyra.

“Kenapa kesini?”

“Mau ajak ngobrol.”

“Obrolin apa?”

“Kita.”

Kyra otomatis menelan ludahnya. Matanya tidak sengaja ia bulatkan, ia benar-benar terkejut oleh ucapan Adriel barusan.

“Ra, aku orangnya nggak suka basa-basi. Jujur aku kangen, kangen kamu, kangen kita. Aku tau dulu aku salah banget karena asal ambil keputusan buat putus dari kamu dan sekarang aku beneran nyesel. Udah 5 bulan kita pisah bener-bener bikin aku mikir kalo seharusnya waktu itu aku dengerin penjelasan dari kamu dulu, seharusnya aku nggak perlu langsung kesulut emosi, seharusnya aku bisa lebih ngertiin kamu Ra.”

“5 bulan juga aku belajar dari kesalahan Ra, aku coba buat ngerubah diri supaya bisa jadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya.”

“Tapi aku sempet takut Ra, takut karena nantinya kamu nggak akan mau nerima aku lagi. Sampe dimana waktu aku minta kamu untuk dateng ke UKS, aku denger kamu yang bilang kamu masih sayang aku. Dari sana aku bener-bener langsung yakin kalo kesempatan masih ada. That’s why aku beraniin diri buat dateng ke rumah kamu hari ini Ra.”

“Jadi maksudnya kamu mau kita kayak dulu lagi? Sama-sama lagi?” tanya Kyra.

Adriel mengangguk. “Kalo kamu mau.”

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Kyra langsung menarik tangan Adriel dan mengelusnya.

“Kamu nggak usah merasa cuma kamu yang salah pada saat itu. Aku pun salah, Aku salah karena ngebiarin Andra meluk aku dengan seenaknya. Aku juga salah karena main nge-iyain kemauan kamu. Jadi disini kita sama-sama salah El. *So please stop blaming yourself ya.”

Kyra masih mengelus punggung tangan Adriel dengan sayang. “And now, let’s forget what happened in the past and start over again.

Adriel membelalakan matanya. “Ra, kamu serius? Serius mau balikan sama aku?”

Kyra mengangguk sembari tersenyum. Adriel senang bukan main, ia langsung membawa gadis itu ke dalam dekapannya dan mengelus kepala Kyra dengan sayang.

Thank you, Ra.”

Gadis itu membalas pelukan Adriel yang kini sudah resmi menjadi kekasihnya lagi. Terangnya bulan sabit menjadi saksi bahwa keduanya masih saling menyayangi. Kedua insan itu masih saling mendekap, melampiaskan rasa rindunya yang selama ini sempat terpendam dan tidak dapat disalurkan. Senyuman yang terukir di bibir mereka berdua seakan menjelaskan isi hati keduanya pada malam ini.

Kyra dan Adriel, dulunya merupakan sepasang kekasih yang cukup membuat semua orang merasa iri karena hubungannya yang selalu terlihat manis. Terlebih lagi, Adriel Samudra merupakan sosok laki-laki yang sangat menyayangi kekasihnya, Kyra Khanina. Namun sangat disayangkan hubungan mereka kandas begitu saja karena adanya kesalah pahaman yang membuat mereka saling beradu mulut dan memutuskan untuk berpisah. Sebenarnya, Adriel juga merupakan sosok laki-laki yang mudah cemburu, kecemburuannya lah yang menyebabkan hubungan mereka berdua harus kandas.

Saat itu Kyra tidak sengaja bertemu dengan teman lamanya di salah satu pusat perbelanjaan. Tentunya Kyra datang bersama Adriel, namun pada saat Kyra bertemu dengan teman lamanya, Adriel sedang pergi ke toilet sebentar. Kyra memang merupakan anak yang mudah bergaul, jadi obrolan Kyra dengan teman lamanya yang bernama Galandra Alam nampak begitu akrab. Adriel kembali dari toilet dan langsung mendapat pemandangan tidak enak. Kekasihnya itu sedang didekap oleh laki-laki yang sangat asing baginya.

Tanpa berpikir panjang, Adriel langsung menghantam laki-laki itu dengan satu pukulan dan menarik paksa Kyra untuk keluar dari pusat perbelanjaan itu. Tentu saja mereka menjadi tontonan publik. Sesampainya di dalam mobil Adriel, mereka berdua beradu mulut hebat sampai-sampai air mata Kyra lepas dari pertahanannya. Karena emosi Adriel yang sedang memuncak, ia langsung mengeluarkan kalimat yang sangat amat Kyra hindari. Seharusnya bisa saja Kyra menolak permintaan Adriel untuk mengakhiri hubungan keduanya, namun Kyra lebih memilih untuk mengiyakan kemauan Adriel.

Tapi sebenarnya, mereka berdua masih menyimpan perasaan yang sama, yang sebenarnya masih belum hilang dan pudar. Seperti saat ini, Kyra sudah berada di depan pintu UKS sekolahnya. Ia benar-benar menuruti permintaan Adriel untuk menemani sang mantan kekasih yang sedang terbaring lemas di atas tempat tidur UKS itu.

“El,” panggil Kyra dengan lembut.

“Duduk, Ra.”

“Kamu udah dibikin teh?”

Tanpa sadar, Kyra melontarkan kata “kamu” yang dulu sering ia gunakan untum berkomunikasi dengan Adriel.

Laki-laki dengan bibir pucat itu menggeleng. “Belum, daritadi nggak ada yang masuk kesini,”

“Makanya aku minta tolong kamu temenin disini. Sepi Ra, nggak suka.”

Betul, Adriel benci kesepian. Ia sudah merasakan kesepian sejak kelas 6 SD, sepi rasanya hidup tanpa seorang ayah dan ibu. Ayah dan ibh Adriel masih ada, namun memang diharuskan untuk bekerja di negata lain yang membuat mereka harus pulang 5 sampai 6 tahun sekali. Adriel hanya hidup seorang diri dengan ditemani oleh asisten rumah tangga serta supir dan beberapa petugas keamanan di rumahnya.

“Iya aku disini. Tapi sebentar ya, aku bikinin kamu teh dulu.”

Kini keduanya sama sekali tidak keberatan dengan kata “aku-kamu”.

Setelah beberapa menit ditinggal oleh Kyra untuk membuat teh hangat. Kini gadis itu sudah kembali duduk di sebelah tempat tidur Adriel terbaring. Kyra menuntun Adriel untuk bangun dan duduk bersender di tembok agar bisa meminum teh hangat itu tanpa berantakan.

Adriel selesai dengan meneguk air teh, Kyra berniat untuk kembali ke dapur sekolah untuk mengembalikan gelas teh tadi. Namun tangannya sudah terlebih dahulu ditahan oleh Adriel.

“Disini dulu aja, itu bisa nanti.”

Kyra kembali duduk dengan tangan yang masih digenggam oleh Adriel.

“Aku boleh pinjem tangan kamu, Ra? Aku mau tidur, kepalaku pusing banget.”

Sure, sini aku elus-elus. Kamu tidur aja.”

“Thank you, Ra.”

Adriel langsung mengarahkan tangan Kyra ke puncak kepalanya agar bisa segera dielus dan diusap oleh Kyra. Adriel langsung memejamkan matanya dan terasa begitu nyaman dengan usapan di kepalanya.

“Semoga cepet sembuh El,”

“Aku masih dan selalu sayang kamu,” sambungnya dengan nada pelan.

Setelah menghabisan kurang lebih satu setengah jam, kini mobil sedan hitam milik Abrams sudah terparkir di depan rumah Aluna. Abrams langsung turun dan menekan tombol bel yang tersedia di sebelah pagar rumah Aluna.

Iyaa sebentar,” sahut seseorang dari dalam sana.

Abrams mengenali siapa yang baru saja berteriak. Ia langsung merapihkan bajunya dan memastikan kembali tampilannya di kaca mobilnya.

Tiba-tiba saja pagar rumah tersebut terbuka dan memunculkan sosok perempuan yang sudah berpakaian rapih dan cantik. Abrams otomatis tersenyum saat melihat Luna yang sudah berada di hadapannya.

“Cantik banget cewek siapa sih.”

“Cewek kamu!”

Abrams tertawa, sedangkan Luna, ia tidak berhenti untuk tersenyum malu setelah mengucapkan dua kata yang mampu membuat pipinya memerah.

“Aku mau pamitan dulu sama mama kamu, ada kan?”

“Ada kok, ayok masuk.”

Abrams mengikuti langkah Luna dari belakang.

“Permisi tante,” sapa Abrams kepada wanita yang sedang duduk sembari menjahit di halaman belakang.

“Eh Abam, kapan dateng?”

Abrams menyalimi tangan ibunda sang kekasih. “Baru aja tante.”

“Duduk dulu Bam. Lun, Kak Abamnya dibikinin minum dulu.”

“Nggak usah repot tan, mau langsung izin ajak Luna jalan-jalan aja.”

“Oh mau langsung? Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya.”

Lagi-lagi Abrams menyalimi tangan wanita itu dengan sopan untuk berpamitan. “Pamit dulu ya tan.”

“Ma, Luna pamit ya sama Kak Abam.”

“Iya sayang, hati-hati.”


Kini tanpa diduga kehadirannya, hujan turun membasahi indahnya kota Jakarta. Rintikan air hujan tidak berhenti untuk membasahi kaca mobil Abrams. Deretan lirik lagu “Seperti kisah” milik Rizky Febian juga ikut menemani keduanya dikala hujan deras diluar sana.

“Aku suka lagu ini,” celetuk Abrams tiba-tiba.

Aluna hanya mengangguk. “Iya, enak kok.”

“Lagunya buat kamu.”

Aluna terkesima saat mendengar Abrams yang berbicara seperti itu.

“Kak udah ah!”

Abrams tertawa renyah. “Dih pipinya merah.”

“Udah… Udah… Mending ini kita mikirin mau kemana!”

“Kamu maunya kemana sayang?” tanya Abrams.

“Hm, aku sih mau jalan-jalan aja, terus mau photobooth!!!”

“Yaudah kalo gitu kita ke mall aja gimana?”

“Boleh,” sahut Aluna.

“GI ya.”

“Ya boleh lah.”

“Oke meluncur.”


Dari hasil kesepekatan bersama, akhirnya mereka berdua sampai di pusat perbelanjaan yang sudah tidak asing bagi kalangan anak muda. Grand Indonesia.

Aluna sudah jalan terlebih dahulu karena terlalu excited untuk mencari letak photobooth. Abrams yang melihat ramainya pusat perbelanjaan itu pada hari sabtu seperti ini langsung berjalan menghampiri Aluna dan membawa tangan Aluna ke dalam genggamannya. Yang digenggam pun sontak terkejut dan melirik ke arah samping kirinya.

“Pegangan, kalo ilang repot.”

Aluna tersenyum dan mengangguk.

“Kak, itu dia!”

Aluna segera menarik tangan Abrams agar bisa mengikuti langkahnya. Perempuan itu berhasil menemukan photobooth yang berada di pusat permainan mall ini.

“Iyaa pelan-pelan, nanti jatuh.”

“Aku isi cardnya dulu ya,” ucap Aluna.

“Pake punya aku aja, kemarin masih ada sisa waktu ajak main Miko.”

“Gapapa?”

“Ya gapapa sayang.”

“Okay kita langsung masuk aja ya.”

Karena tidak ada yang mengantre di depan bilik photobooth ini, mereka berdua langsung masuk tanpa harus menunggu lama. Setelah masuk ke dalam bilik, Aluna segera menggesekan kartu ke mesin yang sudah tersedia disana. Dirasanya sudah terbayar, Ia langsung memilih jumlah frame dan memberikan arahan kepada Abrams untuk berpose.

“KAK UDAH MULAI!!”

“Kak ayok lihat kamera!”

“Iya Lunaaaaaa, ini aku daritadi lihat ke kamera.”

Mesin photobooth itu terus bersuara, memberikan petunjuk untuk keduanya agar tersenyum dan melihat ke kamera sembari menghitung detik waktu untuk berganti gaya.

“Kak aku mati gaya.”

“Yaudah kita gaya batu aja, gimana?”

Alih-alih menurut, Aluna malah menepuk pelan bahu Abrams.

“Aduh!”

“Kamu mah ngaco aja kak!”

“Ih iya ampun… Eh itu waktunya tinggal 5 detik!” seru Abrams yang langsung buru-buru untuk berpose dan melihat ke arah kamera.

“Aku peluk kamu deh,” sahut Luna.

Cekrek!

Kamera tersebut berhasil menangkap gambar keduanya dengan bagus. Kini sisa satu kali lagi untuk mereka berdua mengganti pose.

“Kak mau gimana lagi?”

“Gaya orang mager aja,” celetuk Abrams.

“Oke… EH TAPI GAYA ORANG MAGER GIMANA??? IH KAK GESERAN!!!”

“Bawel, orang kamu yang mepet ke aku!!!”

“Kak udah tinggal 5 detik kamu ih nanti kita aib!”

“Yayaya udah ayok liat ke kamera.”

Cekrek!

Huft, akhirnya kelar! Mati gaya banget aku.”

“Dibilang pake gaya batu kamunya nggak mau.”

“Kak yang bener aja sih!”

Abrams terkekeh sembari bergegas untuk keluar dari bilik photobooth itu dan mengambil hasil foto keduanya.

Setelah menghabisan kurang lebih satu setengah jam, kini mobil sedan hitam milik Abrams sudah terparkir di depan rumah Aluna. Abrams langsung turun dan menekan tombol bel yang tersedia di sebelah pagar rumah Aluna.

Iyaa sebentar,” sahut seseorang dari dalam sana.

Abrams mengenali siapa yang baru saja berteriak. Ia langsung merapihkan bajunya dan memastikan kembali tampilannya di kaca mobilnya.

Tiba-tiba saja pagar rumah tersebut terbuka dan memunculkan sosok perempuan yang sudah berpakaian rapih dan cantik. Abrams otomatis tersenyum saat melihat Luna yang sudah berada di hadapannya.

“Cantik banget cewek siapa sih.”

“Cewek kamu!”

Abrams tertawa, sedangkan Luna, ia tidak berhenti untuk tersenyum malu setelah mengucapkan dua kata yang mampu membuat pipinya memerah.

“Aku mau pamitan dulu sama mama kamu, ada kan?”

“Ada kok, ayok masuk.”

Abrams mengikuti langkah Luna dari belakang.

“Permisi tante,” sapa Abrams kepada wanita yang sedang duduk sembari menjahit di halaman belakang.

“Eh Abam, kapan dateng?”

Abrams menyalimi tangan ibunda sang kekasih. “Baru aja tante.”

“Duduk dulu Bam. Lun, Kak Abamnya dibikinin minum dulu.”

“Nggak usah repot tan, mau langsung izin ajak Luna jalan-jalan aja.”

“Oh mau langsung? Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya.”

Lagi-lagi Abrams menyalimi tangan wanita itu dengan sopan untuk berpamitan. “Pamit dulu ya tan.”

“Ma, Luna pamit ya sama Kak Abam.”

“Iya sayang, hati-hati.”


Kini tanpa diduga kehadirannya, hujan turun membasahi indahnya kota Jakarta. Rintikan air hujan tidak berhenti untuk membasahi kaca mobil Abrams. Deretan lirik lagu “Seperti kisah” milik Rizky Febian juga ikut menemani keduanya dikala hujan deras diluar sana.

“Aku suka lagu ini,” celetuk Abrams tiba-tiba.

Aluna hanya mengangguk. “Iya, enak kok.”

“Lagunya buat kamu.”

Aluna terkesima saat mendengar Abrams yang berbicara seperti itu.

“Kak udah ah!”

Abrams tertawa renyah. “Dih pipinya merah.”

“Udah… Udah… Mending ini kita mikirin mau kemana!”

“Kamu maunya kemana sayang?” tanya Abrams.

“Hm, aku sih mau jalan-jalan aja, terus mau photobooth!!!”

“Yaudah kalo gitu kita ke mall aja gimana?”

“Boleh,” sahut Aluna.

“GI ya.”

“Ya boleh lah.”

“Oke meluncur.”


Dari hasil kesepekatan bersama, akhirnya mereka berdua sampai di pusat perbelanjaan yang sudah tidak asing bagi kalangan anak muda. Grand Indonesia.

Aluna sudah jalan terlebih dahulu karena terlalu excited untuk mencari letak photobooth. Abrams yang melihat ramainya pusat perbelanjaan itu pada hari sabtu seperti ini langsung berjalan menghampiri Aluna dan membawa tangan Aluna ke dalam genggamannya. Yang digenggam pun sontak terkejut dan melirik ke arah samping kirinya.

“Pegangan, kalo ilang repot.”

Aluna tersenyum dan mengangguk.

“Kak, itu dia!”

Aluna segera menarik tangan Abrams agar bisa mengikuti langkahnya. Perempuan itu berhasil menemukan photobooth yang berada di pusat permainan mall ini.

“Iyaa pelan-pelan, nanti jatuh.”

“Aku isi cardnya dulu ya,” ucap Aluna.

“Pake punya aku aja, kemarin masih ada sisa waktu ajak main Miko.”

“Gapapa?”

“Ya gapapa sayang.”

“Okay kita langsung masuk aja ya.”

Karena tidak ada yang mengantre di depan bilik photobooth ini, mereka berdua langsung masuk tanpa harus menunggu lama. Setelah masuk ke dalam bilik, Aluna segera menggesekan kartu ke mesin yang sudah tersedia disana. Dirasanya sudah terbayar, Ia langsung memilih jumlah frame dan memberikan arahan kepada Abrams untuk berpose.

“KAK UDAH MULAI!!”

“Kak ayok lihat kamera!”

“Iya Lunaaaaaa, ini aku daritadi lihat ke kamera.”

Mesin photobooth itu terus bersuara, memberikan petunjuk untuk keduanya agar tersenyum dan melihat ke kamera sembari menghitung detik waktu untuk berganti gaya.

“Kak aku mati gaya.”

“Yaudah kita gaya batu aja, gimana?”

Alih-alih menurut, Aluna malah menepuk pelan bahu Abrams.

“Aduh!”

“Kamu mah ngaco aja kak!”

“Ih iya ampun… Eh itu waktunya tinggal 5 detik!” seru Abrams yang langsung buru-buru untuk berpose dan melihat ke arah kamera.

“Aku peluk kamu deh,” sahut Luna.

Cekrek!

Kamera tersebut berhasil menangkap gambar keduanya dengan bagus. Kini sisa satu kali lagi untuk mereka berdua mengganti pose.

“Kak mau gimana lagi?”

“Gaya orang mager aja,” celetuk Abrams.

“Oke… EH TAPI GAYA ORANG MAGER GIMANA??? IH KAK GESERAN!!!”

“Bawel, orang kamu yang mepet ke aku!!!”

“Kak udah tinggal 5 detik kamu ih nanti kita aib!”

“Yayaya udah ayok liat ke kamera.”

Cekrek!

Huft, akhirnya kelar! Mati gaya banget aku.”

“Dibilang pake gaya batu kamunya nggak mau.”

“Kak yang bener aja sih!”

Abrams terkekeh sembari bergegas untuk keluar dari bilik photobooth itu dan mengambil hasil foto keduanya.

Suara mesin motor yang terdengar dari luar langsung menarik perhatian Aluna yang sebelumnya sedang membantu sang ibu di dapur.

“Ma, itu kayaknya Kak Abam. Aluna bukain pintu dulu ya.”

“Iya sayang.”

Aluna segera menghampiri Abrams yang sedang melambaikan tangannya ke arah Aluna.

“Mau langsung?”

“Izin dulu sama mama kamu, mama ada kan?”

Aluna mengangguk. “Ada kok. Yaudah masuk dulu.”

Setelah menaruh helmnya di atas motor kesayangannya, Abrams langsung mengikuti langkah Aluna untuk masuk ke dalam rumahnya.

Kediaman rumah Aluna terlihat sangat sepi, hanya ada suara kicauan burung peliharaan Ayah Aluna dan suara bising dari dapur.

“Papa sama Bang Alan kemana Lun?”

“Papa ada jadwal lari pagi sama Pak RT, kalau abang ya masih tidur.”

Abrams hanya ber-oh-ria.

“Eh, ada si ganteng… Masuk sini, Bam. Mau keluar sama Luna?” Tanya Mia, ibu Aluna.

“Halo tan… Iya Abam izin ajak Aluna sarapan bubur diluar ya tan,” ucap Abrams sembari menyalimi tangan Mia.

“Yaudah gih, nanti keburu abis buburnya, udah mau jam 9.”

“Yaudah Ma, adek pergi dulu ya sama kak Abam.”

“Tan, pamit dulu ya.”


“Mang, buburnya satu ya. Yang satu nggak pake kacang sama seledri, satenya sate usus. Yang satu campur tapi kuah kuningnya dipisah ya, satenya sate telur puyuh.”

Selesai dengan urusan memesan bubur, Abrams kembali ke meja untuk menghampiri Aluna.

“Kenapa kok bengong?”

Yang ditanya hanya menggeleng sembari menopang dahunya.

“Masih mikirin yang kemarin?”

“Sedikit, tapi udah nggak begitu karena kamu bilang LDR itu gapapa asal kita saling percaya satu sama lain aja.”

Abrams menatap lekat bola mata Aluna sembari tersenyum. “Udah, overthinking-nya jangan berkelanjutan ya. Masih banyak waktu, juga belum tentu kita LDR Luna… Aku kan nggak tau rezeki ku bagus atau engga.”

“Ya semoga bagus kak! Aduh, pokoknya omongan aku kemarin jangan bikin kamu mikir juga ya kak… Kalo pun kita nantinya bakalan LDR aku bakalan belajar dari omongan kamu kok. Jalanin dan saling percaya.”

“Pinter pacar akuuuu.”

“Punten, ini bubur nya ya A… Teh…”

“Makasih ya mang.”

Si mamang langsung pergi meninggalkan Abrams dan Aluna yang langsung saling menatap dan tersenyum seperti ingin melakukan sesuatu.

Ready?” tanya Abrams.

Ready!”

Abrams dan Aluna langsung mengaduk buburnya masing-masing lalu menikmati bubur itu dengan menggerakan tubuhnya karena merasakan rasa yang pas dilidah mereka.

“Abis makan bubur jadi?” tanya Abrams disela-sela menyuap buburnya.

“Jadi apa kak?”

“Jadi mau meluk aku.”

uhuk… uhuk…

“Nanya nya bisa pas aku selesai nelen nggak sih!!!”

Abam dengan napas yang tidak karuan langsung buru-buru menuju belakang kantin. Ia benar-benar tersulut emosi sekarang, sebenarnya ia tidak harus marah ketika mendapat kabar bahwa kekasihnya berada di UKS karena terkena bola basket, tapi karena si pelaku tidak langsung meminta maaf kepada kekasihnya, Abrams ingin memberinya teguran sedikit.

Kini ia sudah berada di belakang kantin sekolah yang memang sangat sepi, tidak jarang anak-anak yang malas belajar datang kesini untuk sekedar tidur, bermain game atau merokok. Jujur saja, Abrams dan teman-temannya juga pernah bolos jam pelajaran, namun tidak untuk merokok dikawasan sekolah seperti ini. Belakang kantin bukanlah areanya dan teman-temannya untuk melakukan hal seperti itu.

Abrams dapat menghirup kencangnya bau asap rokok disini. Ia bisa melihat jelas 5 orang siswa yang sedang duduk berkelompok dengan dua jari yang sedang mengapit benda putih panjang itu.

“Mana yang namanya Cakra?” tanya Abrams sembari melirik ke arah kanan dan kiri.

“Cak bangun Cak, ada yang nyariin lo.”

Ternyata laki-laki yang dicari oleh Abrams sedang merebahkam dirinya di atas gazebo kecil yang memang tersedia disana.

“Ada apa nih bang nyari gue sampe kesini?”

“Lo kalo nggak bisa main basket ya nggak usah banyak gaya. Segala main basket di jam istirahat yang lagi banyak orang. Sok keren apa gimana?” Tanpa basa basi, Abrams langsung menampar Cakra dengan ucapannya barusan.

Laki-laki di depannya malah menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke depan muka Abrams. “Maksud lo?” tanya laki-laki yang menggunakan name tag Cakra Adibima di bajunya.

“Cewek yang tadi kena lemparan bola basket lo, cewek gue. Gue juga dapet laporan kalo lo sama sekali nggak ada minta maafnya ke cewek gue.”

Cakra tertawa remeh. “Ck, cewek lo cuma mimisan! Nggak usah lebay bang.”

“Untungnya cuma mimisan, kalo hidung dia patah, hidung lo mau jadi jaminan?”

Seketika suasana yang sebelumnya ramai dengan suara obrolan orang di belakang, langsung mendadak hening. Abrams benar-benar sedang menunjukkan sisi menakutkannya.

“Diem kan lo. Sekarang ikut gue ke UKS, gue mau liat lo minta maaf di depan cewek gue langsung,” lanjut Abrams.


“Gimana ya, Wa, seragam gue merah begini? Mana putih.” Aluna yang hidungnya sedang disumbat oleh kapas mendadak panik karena melihat seragamnya yang sudah terkena noda merah.

“Aduh gue juga nggak bawa cardigan atau hoodie, Lun.”

“Kak Angga sama Kak Alfi bawa nggak?” tanya Nasywa ke dua laki-laki yang sedaritadi duduk mengamati Nasywa dan Aluna.

“Gue kebetulan lagi nggak bawa,” sahut Alfi.

“Lo kak?”

Angga menggeleng. “Bawanya daleman kaos, emangnya lo mau, Lun?”

“Yang bener aja deh!”

Tidak lama kemudian, suara ketukan pintu UKS terdenger dari luar. Alfi yang memang jaraknya dekat dengan pintu langsung membuka gagang pintu UKS.

“Anjir galak banget muka lo, Bam!”

Semua atensi kini beralih ke dua orang yang baru saja masuk ke dalam UKS.

“Minta maaf,” pinta Abrams kepada laki-laki yang mengikutinya dari belakang.

Nasywa yang sebelumnya berdiri di sebelah Aluna langsung menyingkir dan mendekat ke sebelah Angga.

Sorry. Gue beneran nggak sengaja tadi, sorry juga karena nggak langsung minta maaf dan malah pergi tanpa tanggung jawab.” Cakra menjulurkan tangannya ke arah Aluna yang masih terdiam, berusaha memahami situasi.

“Kamu maafin nggak?” tanya Abrams kepada Aluna.

“Eh… Iya… Gapapa, dimaafin kok.” Aluna membalas uluran tangan Cakra.

Ekhem! Udahan kali salamannya,” ucap Abrams sembari melirik ke arah tangan Aluna dan Cakra yang masih saling berjabat.

“Sorry bang.” Cakra langsung melepas tangan Aluna.

“Ini udah clear kan ya bang? Gue udah boleh cabut?”

Abrams mengangguk. “Thanks udah mau ikut gue buat minta maaf ke cewek gue. Besok-besok kalo lo ngelakuin kesalahan lagi jangan langsung kabur, tapi tanggung jawab! Nggak cuma ke cewek gue, tapi ke orang lain.”

“Gue nyuruh lo minta maaf kayak gini biar lo nggak asal lari dari masalah. Jadi, gue harap lo nggak bakal ngulangin hal yang sama.” Abrams menepuk bahu Cakra.

“Iya bang, sorry ya. Izin pamit ya semua.”

“Lun, sekali lagi sorry ya.”

Aluna mengangguk, Cakra langsung buru-buru meninggalkan UKS dan kembali menuju belakang kantin.

Angga dan Alfi langsung menepuk kedua tangannya. “Gila, sahabat gue hatinya terbuat dari apa sih.”

“Apaan lo berdua, lebay!”

Daripada menanggapi kedua sahabatnya itu, Abrams memilih untuk menanyakan keadaan Aluna.

“Udah gapapa?” tanya Abrams yang dibalas oleh senyuman manis dari gadis itu. “Udah gapapa kok, cuma ini idung aku masih disumpel kapas nih.”

Abrams tertawa, kemudian pandangnya mengarah ke seragam kekasihnya yang kotor dengan noda berwarna merah. Abrams yang memang sedaritadi mengenakan hoodie hitamnya langsung membuka hoodie tersebut dan ia pakaikan ke badan mungil Aluna.

“Pake, nanti kalo ditanya kenapa pake hoodie, bilang aja kamu lagi nggak enak badan ya?”

“Waduh… So sweet bener dah dua sejoli, udah kayak di drama korea aja. Tapi liat-liat dong ini di depan lo berdua ada siapa!” protes Angga dengan bawelnya.

“3 curut,” jawab Abrams.

“KURANG AJARRRRR,” teriak Nasywa, Alfi dan Angga bersamaan.

Suara mesin motor yang terdengar dari luar langsung menarik perhatian Aluna yang sebelumnya sedang membantu sang ibu di dapur.

“Ma, itu kayaknya Kak Abam. Aluna bukain pintu dulu ya.”

“Iya sayang.”

Aluna segera menghampiri Abrams yang sedang melambaikan tangannya ke arah Aluna.

“Mau langsung?”

“Izin dulu sama mama kamu, mama ada kan?”

Aluna mengangguk. “Ada kok. Yaudah masuk dulu.”

Setelah menaruh helmnya di atas motor kesayangannya, Abrams langsung mengikuti langkah Aluna untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Eh, ada si ganteng… Masuk sini, Bam. Mau keluar sama Luna?” Tanya Mia, ibu Aluna.

“Halo tan… Iya Abam izin ajak Aluna sarapan bubur diluar ya tan,” ucap Abrams sembari menyalimi tangan Mia.

“Yaudah gih, nanti keburu abis buburnya, udah mau jam 9.”

“Yaudah Ma, adek pergi dulu ya sama kak Abam.”

“Tan, pamit dulu ya.”

-

“Mang, buburnya satu ya. Yang satu nggak pake kacang sama seledri, satenya sate usus. Yang satu campur tapi kuah kuningnya dipisah ya, satenya sate telur puyuh.”

Selesai dengan urusan memesan bubur, Abrams kembali ke meja untuk menghampiri Aluna.

“Kenapa kok bengong?”

Yang ditanya hanya menggeleng sembari menopang dahunya.

“Masih mikirin yang kemarin?”

“Sedikit, tapi udah nggak begitu karena kamu bilang LDR itu gapapa asal kita saling percaya satu sama lain aja.”

Abrams menatap lekat bola mata Aluna sembari tersenyum. “Udah, overthinking-nya jangan berkelanjutan ya. Masih banyak waktu, juga belum tentu kita LDR Luna… Aku kan nggak tau rezeki ku bagus atau engga.”

“Ya semoga bagus kak! Aduh, pokoknya omongan aku kemarin jangan bikin kamu mikir juga ya kak… Kalo pun kita nantinya bakalan LDR aku bakalan belajar dari omongan kamu kok. Jalanin dan saling percaya.”

“Pinter pacar akuuuu.”

“Punten, ini bubur nya ya A… Teh…”

“Makasih ya mang.”

Ketika tukang bubur itu pergi, keduanya saling menatap dan tersenyum seperti ingin melakukan sesuatu.

“Ready?” tanya Abrams.

“Ready!”

Abrams dan Aluna langsung mengaduk buburnya masing-masing lalu menikmati bubur itu dengan menggerakan tubuhnya karena rasa yang pas.

“Abis makan bubur jadi?” tanya Abrams disela-sela menyuap buburnya.

“Jadi apa kak?”

“Jadi mau meluk aku.”

uhuk… uhuk…

“Nanya nya bisa pas aku selesai nelen nggak sih!!!”

click

Aluna baru saja mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas meja. Ia masih belum berani bersuara untuk menegur kekasihnya yang masih berkutik dengan laptopnya. Aluna hanya hanya memandangi wajah laki-laki itu sambil mengumpulkan keberaniannya.

“Kak,” panggil Aluna.

“Hm?”

“Eh kirain lupa kalo aku ada di sebelah kamu.”

“Apaaa kenapaaaaa?” tanya Abam dengan mata yang masih fokus ke layar laptopnya.

“Kamu nggak capek pegang laptop terus? Udah hampir satu setengah loh kak,” ujar Aluna sembari menatap ke arah Abrams.

“Istirahat dulu, kak.”

“Yaudah iya, laptopnya aku jauhin dulu nih.” Abrams langsung menggeser laptopnya sedikit, hal itu membuat Aluna langsung mengembangkan senyumannya.

Melihat Aluna yang tersenyum senang seperti itu, Abrams langsung menepuk puncak kepala gadis itu pelan. “Maaf ya kamu jadi aku cuekin.”

“Gapapa kak.”

“Aku udah nggak pegang laptop lagi nih. Sekarang pegang tangan kamu boleh?”

“KAK MENDING KAMU NGGAK USAH BERHENTI NGETIK DEH!!!” seru Aluna sembari menutupi pipinya yang memanas.

Abrams tertawa saat melihat pipi Aluna yang sudah memanas. “Lucu kayak tomaaaaatttttt.”

“Kamu kok tau aku sakit? Dari siapa?”

Kini Aluna sudah duduk di pinggir kasur milik Abrams. Laki-laki itu terlihat sangat tidak semangat. Aluna memegang dahi Abrams sebelum menjawab pertanyaan dari kekasihnya tadi. Panas.

“Dari temen-temen kamu. Besok-besok tuh kalo sakit bilang kek!”

“Kan aku jadi bingung cariin kamu kemana-mana,”

“Chat aku juga nggak kamu bales, at least kamu ngabarin aku gitu.”

Abrams hanya bisa tersenyum sembari memandangi kekasihnya yang sedang mengomeli dirinya. Karena dibuat gemas oleh Aluna yang sedaritadi tidak berhenti mengomel, jadilah Abrams menghadiahi Aluna dengan cubitan kecil dihidung mungil gadis itu. “Kamu tuh kalo tau aku sakit pasti rewel dan minta jenguk saat itu juga, makanya aku nggak bilang ke kamu biar kamu nggak terlalu worry dan bisa fokus belajar dulu di sekolah.”

“Niatnya tuh aku mau bilang pas kamu pulang sekolah, tapi ternyata udah tau dari dua curut. Awas aja mereka!”

Aluna menepuk pelan lengan Abrams. “Lagi sakit masih aja marah-marah!”

“Kamu juga tadi, masa orang sakit dimarah-marahin!”

“Aku nggak marahin kamu ya, aku cuma bilangin biar besok kamu tuh nggak begitu lagi kakak!”

“Udah ah. Nih, aku bawain bubur ayam. Kamu udah makan belum?” tanya Aluna.

Abrams menggeleng. “Belum, aku dari tadi makan dikeluarin lagi. Mual banget.”

“Yaudah, siapa tau ini bubur bisa masuk. Duduk dulu, sini aku bantu.” Aluna membantu Abrams yang sebelumnya terbaring lemah di tempat tidur.

Dilihatnya posisi Abrams sudah nyaman, Aluna langsung mendekat dan mulai menyuapi kekasihnya dengan bubur ayam tanpa kacang dan daun bawang ke mulut kekasihnya.

“Makan yang banyak, biar sembuh.”

“Biar sembuh mah bukan makan yang banyak,” sahut Abrams.

“Terus apa?”

Abrams menunjuk pipinya sembari tertawa jahil. “Nih.”

Aluna yang paham dengan maksud Abrams langsung memukul pelan pipi laki-laki itu, “Minta sana sama kodok!”