scrpleo

Tim basket SMANSA baru saja menyelesaikan penampilannya. Kini giliran tim futsal SMANSA untuk mengisi penampilan selanjutnya. Haris bisa melihat seberapa ramainya murid-murid SMANSA yang ada di lapangan, hal itu membuat ia sedikit grogi.

“Naha sih?”

“Aing teh grogi, Rel.”

“Eleuh… Kalem weh atuh! Kayak baru pertama kali main futsal aja.”

“Emang,” sahut Haris. “Pertama kali main futsal ditonton sama Sabil,” lanjutnya.

“IDIHHHH KAYAK DIA BAKALAN NONTONIN MANEH AJA!” ucap Farel sembari

“Pasti lah.”

Reno selaku ketua futsal, langsung menyuruh semua anggotanya untuk membuat satu barisan ke belakang.

“Inget ya, mainnya santai aja. Anggep aja disana teh kita lagi latihan, oke? Ini bukan tanding.”

Semuanya mengangguk. Dirasanya sudah siap, pengurus osis langsung mempersilahkan tim futsal SMANSA untuk memasuki area lapangan. Semua atensi langsung tertuju ke arah satu persatu anggota tim futsal yang baru saja memasuki area lapangan.

Haris memulai aksinya dengan mengoper bola ke arah Farel. Tatapan matanya tidak hanya fokus kepada bola, melainkan juga fokus untuk mencari sosok gadis yang sangat ia harapkan untuk melihat penampilannya.

“Fokus ke bola dulu anying!” sahut Farel dengan pelan.


Sedangkan di sisi lain, Sabil masih berfokus kepada ponselnya. Sampai dimana Miwa mencubit lengannya yang langsung membuat Sabil mengerang kesakitan.

“Aduhhh, sakit ih Miw.”

“Anjir Bil, ternyata teh anak futsal nggak kalah kasep ih.” Miwa benar-benar tidak bisa menahan keantusiasannya. Gadis itu kembali mencubit pelan lengan Sabil.

“Aduh Miw, santai atuhhhhh!”

“Ih nggak bisa ini teh! Liat itu yang nomor punggung 28, manis banget aduh,” sahutnya.

“Manisan yang nomor 23, ah!” seru Alody dari belakang Sabil.

“Eh Dy, nomor punggung 5 kayak nggak asing deh.”

“Masa sih?” tanya Alody.

“Hooh, coba maneh perhatiin.”

Sabil yang dibuat penasaran oleh perkataan teman-temannya, langsung ikut memperhatikan satu persatu para pemain futsal itu. Namun perhatiannya langsung mengarah ke laki-laki dengan nomor punggung 5 yang sedang mencoba untuk memasukkan bola ke dalam gawang.

“Hah? Ini aing nggak salah liat kan?” ucap Sabil pelan.

Karena ragu, ia kembali memastikan dengan mengeluarkan ponselnya kembali dan membuka kamera disana. Ia arahkan fokusnya ke laki-laki dengan nomor punggung 5 itu. Sabil terkejut dan tidak sengaja menekan tombol capture.

“Anjir, bener aja!” seru Sabil yang membuat kedua temannya langsung menatap ke arahnya.

“Kunaon Bil? Ada yang kamu kenal?” tanya Miwa.

Sabil langsung menggeleng, “E-enggak… Enggak… Salah orang, hehe.”

Alody dan Miwa kembali menyaksikan penampilan ekskul futsal. Tapi tidak dengan Sabil. Ia hanya menundukkan kepalanya di belakang tubuh Miwa yang memang berada di depannya. Karena posisi duduk Sabil berada ditengah-tengah kedua temannya, membuat dirinya mudah untuk menyembunyikan tubuhnya. Sesekali ia melirik ke arah laki-laki itu, namun tetap memastikan agar pemilik nomor punggung yang berangka 5 itu tidak menyadari keberadaannya.

Laki-laki dengan nomor punggung 5 itu berhasil memasukkan bola ke dalam gawang. Hal itu membuat Miwa dan Alody berteriak bersamaan. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, laki-laki itu bisa mendengar dan langsung menatap ke arah sumber suara yang meneriakinya. Sabil semakin menundukkan kepalanya.

Aduh, si Miwa sama Ody teh berisik pisan!!!” ucapnya dalam hati.

Laki-laki itu menyipitkan matanya, fokusnya bukan ke arah dua gadis yang meneriakinya, melainkan ke arah gadis yang berada di antara kedua gadis yang sebelumnya meneriakinya.

Sabil kembali melirik ke arah laki-laki itu untuk memastikan apakah dirinya berada diposisi yang aman atau tidak. Tapi, tanpa disengaja dan diduga, matanya saling bertemu dengan laki-laki yang ia dari kemarin sudah ia hindari. Laki-laki itu langsung melemparkan senyuman lebar dan melambaikan tangan ke arahnya, lalu kembali fokus kepada bola. Sabil hanya terdiam sembari mencoba untuk mencerna apa yang barusan terjadi.

“Ih kenapa senyum, sih!” batin Sabil.

Haris yang sebelumnya sedang duduk di kelas kini sudah buru-buru menuruni anak tangga. Ia langsung berlari ke kantin untuk melihat gadis yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya itu.

Saat memasuki area kantin, Haris bisa melihat ketiga temannya yang sudah melambaikan tangan ke arahnya. Ia langsung menghampiri teman-temannya sembari melirik ke arah meja dimana gadis itu duduk. Gadis itu duduk membelakanginya, jadi tidak tahu dengan kehadiran Haris yang baru saja tiba disana.

“Aing nggak bohong kan, liat itu siapa yang lagi duduk sendirian.” Farel menunjuk ke arah gadis tersebut.

“Samperin gih, Ris, ajak kenalan,” pinta Dimas.

“Hooh biar sat set sat set.” Dino mendorong pelan tubuh Haris agar mendekat ke arah meja gadis itu.

“Ssst, cicing! Kalo dia nengok teh kumaha,” ucap Haris dengan pelan.

“Ya makanya itu, maneh buruan samperin.”

“Sekarang?“ tanya Haris ragu.

“Seribu tahun lagi! Ya sekarang atuh!” seru Farel.

Haris baru saja ingin berjalan mendekati gadis yang sedang duduk menyendiri di meja itu, namun aksinya gagal ketika mendengar teriakan dari pintu masuk kantin.

“Sabil!”

Gadis yang sedang duduk membelakanginya kini menoleh, sempat menatap Haris yang berdiri tidak jauh darinya. Gadis itu langsung bangkit dan menghampiri sumber suara sembari melewati Haris yang masih berdiri disana.

Sabil

Setelah benar-benar pergi, ketiga teman Haris langsung menghampiri Haris yang masih mematung disana.

“Wey maneh denger nggak tadi? SABIL NAMANYA SABIL!!!!!” ucap Farel dengan antusias.

Dino menyenggol lengan Haris pelan. “Ris, ih kenapa maneh diem aja sih anying!”

“AING DENGER WEY DENGER!!! ADUH NAMANYA LUCU PISAN.” Haris yang sebelumnya terdiam kini sudah merangkul ketiga temannya bahagia.

“HARIS ANJIRRRR SERAGAM AING LECEK!!!”

Sabil masih setia duduk dipinggiran kolam ikan yang ada di taman belakang sekolah. Sedaritadi ia hanya mengajak berbicara ikan-ikan yang ada di dalam sana. Bahkan ia sudah memberi nama untuk satu ikan yang menurutnya sangat menggemaskan. Si Oren, jenis ikan mas koki yang sedaritadi berenang di dekat Sabil.

“Oren, sekarang kita temenan ya. Nanti aku sering-sering main kesini deh.”

“Apa? Kamu laper? Eh tapi aku nggak tau makanan kamu dimana.”

“Aku masih ada sisa roti tadi pagi sih, tapi nanti kamu sakit perut.”

Sabil terlihat cemas sembari tetap mengajak Oren berbicara. “Sabar ya Oren, nanti pasti kamu dikasih makan sama penjaga sekolah kok.”

“Nih, makanan Si Oren.”

Sabil dibuat terkejut oleh suara yang berasal dari belakangnya. Ia langsung menoleh dan melihat makanan ikan yang sudah berada di hadapannya. Setelah itu ia langsung melihat siapa yang memberikan makanan ikan tersebut. Matanya membulat, laki-laki yang ada di depannya ini adalah laki-laki yang tadi pagi sempat telat bersamanya dan meminjamkan jaket untuknya.

“E-eh… Ini akang yang tadi pagi bukan?” tanya Sabil.

Haris mengangguk. “Kamu yang tadi telat bareng aku juga kan?” tanya Haris berbasa-basi.

“Betul kang.”

“Kamu teh ngapain disini sendirian?”

“Lagi nunggu ojol kang, tapi bingung mau ngapain jadinya muter-muter sekolah aja.“

Haris hanya ber-oh ria sembari mengangguk-anggikkan kepalanya paham.

“Ngomong-ngomong, jangan manggil kang atuh.”

“Terus manggil apa?”

Semoga berhasil,” ucap Haris dalam hati.

Haris langsung menjulurkan tangannya ke arah Sabil yang terlihat kebingungan.

“Aku teh Ha—“

Belum sempat ia melengkapi ucapannya, tiba-tiba ponsel gadis yang ada di depannya itu berdering.

“Kang maaf kayaknya saya harus duluan soalnya ojolnya udah di depan gerbang. Punten ya kang.”

Sebelum benar-benar pergi dari sana Sabil juga menyempatkan untuk berpamitan dengan Si Oren.

“Oren aku pulang dulu ya, nanti kapan-kapan kita main lagi.”

Haris yang memang masih berdiri disana langsung terkekeh melihat aksi lucu Sabil yang sedang berbicara dengan ikan. Sabil yang merasa diamati langsung buru-buru pergi meninggalkan taman belakang sekolah juga Haris dengan perasaan sedikit malu.

Aduh Bil, bisa-bisanya maneh ngomong sama ikan di depan akang tadi,” ucapnya sembari memukul pelan jidatnya.

Arsabil Damia atau yang kerap dipanggil Sabil atau Abil kini sedang duduk seorang diri di meja kantin paling ujung. Alasan memilih meja paling ujung karena dirinya sama sekali belum memiliki teman disini. Melihat orang-orang disekitarnya yang sangat asyik saling bertukar tawa dan cerita, membuat ia enggan untuk memilih meja yang berada di tengah-tengah keseruan itu.

Semakin lama kantin semakin ramai, kini sudah bukan anak-anak seangkatannya yang meramaikan kantin, melainkan kakak-kakak kelasnya. Sabil cepat-cepat menghabiskan bekalnya agar segera pergi dari kantin karena sudah mulai merasa tidak nyaman dengan suasana saat ini.

“Anjir naha makin rame ya, tapi kenapa nggak ada yang mau duduk sama aing?” ucap Sabil bermonolog.

Sabil sesekali melihat ke arah kotak bekalnya, ia mendengus kesal karena makanan yang sedaritadi ia makan tidak habis-habis. Ia benar-benar ingin cepat kembali ke dalam Aula karena suasana yang membuatnya kurang nyaman. Andai saja sahabatnya, Aghian, bisa masuk ke sekolah yang sama dengannya, pasti ia akan makan dengan tenang sekarang. Entah sudah suapan keberapa, Sabil langsung mengunyah makanan yang baru saja masuk ke mulutnya dengan cepat.


Suasana kantin memang sangat ramai saat ini, namun hal itu tidak menjadi masalah bagi Haris dan teman-temannya karena mereka sudah memiliki meja bersejarah alias meja langganan mereka untuk ditempati.

Baru saja ingin berjalan ke arah meja bersejarahnya itu, tiba-tiba Dimas yang memang memimpin jalan langsung berhenti membuat ketiga temannya juga ikut berhenti.

“Lah anying ditempatin meja kita bray.”

Haris langsung melihat siapa yang menempati meja bersejarahnya dan teman-temannya itu. Mata Haris membulat, ia terkejut melihat siapa yang menempati meja itu.

Gadis yang telat bersamanya tadi pagi.

“Samperin Dim, bilang suruh cari meja lain gitu. Tapi ngomongnya alus ya, cewek soalnya.” Dino menyuruh Dimas untuk menghampiri gadis tersebut. Namun Haris langsung menahan tangan Dimas.

“Nggak usah, kita cari meja lain aja.”

“Dih???? Tumben pisan.”

“Udah ayok,” ajak Haris yang langsung merangkul teman-temannya.

Kini dari jarak yang tidak terlalu jauh dari meja bersejarahnya itu, Haris mengamati sosok gadis yang tadi sempat telat bersamanya. Sesekali ia tersenyum karena melihat gadis itu makan dengan terburu-buru sampai tersedak. Haris menggelengkan kepalanya.

Lucu, kayak hamster,” batinnya.

“Ris, itu siomaynya kalo nggak dimakan mending buat aing aja lah anying! Sayang pisan cuma dianggurin aja.”

“Ris! Woy! Maneh liatin apa sih,” panggil Dimas yang duduk disamping Haris.

“Tau ih, tumben banget maneh nggak fokus ke makanan.”

Haris tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, ia masih tetap menaruh perhatiannya pada gadis yang sedang duduk sendiri di meja yang tidak terlalu jauh darinya. Hal itu membuat ketiga temannya juga ikut melihat apa yang menarik perhatian Haris.

“Oalah anying bisaan banget ngeliatin cewek!” seru Farel.

Haris langsung tersadar, “Naon sih, nggak.”

“Halah nggak usah alesan, udah ketangkep basah gini.”

“Siapa sih itu, Ris? Maneh kenal?”

Haris menggeleng. “Nggak kenal. Tapi tadi teh dia telat bareng aing, terus nggak tau kenapa aing deg-deg an sekarang.”

“Pantes nyuruh kita buat ngalah nyari meja lain, soalnya yang duduk disitu orang yang ditaksir euy.” Ketiga temannya itu tertawa sampai-sampai menjadi pusat perhatian. Haris langsung menempelkan jari telunjuknya didepan bibirnya seakan untuk menyuruh temannya diam.

“Ih diem, berisik banget anying malu!”

“Halah biasanya juga malu-maluin, bilang aja takut si geulis nengok,” ucap Dimas.

“Wey itu punya aing! Sembarangan pisan asal ngomong si geulis si geulis.”

“Idih belom kenalan aja udah ngaku-ngaku punya maneh!”

“Eh tapi, sieta teh sendirian belum punya temen, Ris?” tanya Farel sembari menyedot es teh manisnya.

Benar juga, sedaritadi gadis yang sudah ia amati dari beberapa menit yang lalu hanya duduk seorang diri tanpa seseorang yang datang menemaninya. Tidak sengaja, pandangan Haris tertuju pada dua gadis yang sedang memegang nampan. Kedua gadis itu nampak kebingungan untuk mencari tempat karena meja kantin sudah mulai penuh. Tiba-tiba saja ia tersenyum karena ide yang muncul dibenaknya.

“Eh Ris, arek kamana maneh?”

“Sakedap.”

Haris langsung menghampiri kedua gadis itu.

“Punten, lagi nyari meja?” tanya Haris.

“E-eh… Iya kang.”

“Duduk disana aja, dia daritadi duduk sendirian.” Haris menunjuk ke meja yang sedang diduduki oleh Sabil.

“Nggak apa-apa itu kang kalo kita ikut duduk ditempat dia?”

“Nggak apa-apa asal diajak kenalan sama ngobrol, siapa tau cocok jadi temen.“

“Wah oke deh kang, siap! Nanti diajak ngobrol sama kenalan, kebetulan kita juga lagi cari temen. Yaudah duluan ya kang, nuhun juga udah dikasih saran mejanya.”

Haris tersenyum, kedua gadis itu langsung menghampiri meja yang dimaksud olehnya. Haris kembali duduk ke mejanya dengan perasaan lega ketika melihat gadis yang sebelumnya sendirian kini sudah tersenyum manis saat menerima kehadiran dua gadis tadi.

“Abis ngapain sih dateng-dateng senyum begitu?”

“Abis berbuat kebaikan.”

“Abis berbuat kebaikan apa bucin? Sampe-sampe nyuruh orang buat nemenin pujaan hati yang lagi sendirian,” ledek Farel.

“Diem!!!!”

Sudah terhitung lima belas menit Haris dan gadis yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya itu menunggu gerbang untuk di buka. Haris kira apel selesai di lima menit yang lalu, namun ternyata apel kali ini cukup membuat Haris bosan menunggu. Selama itu juga Haris dan gadis yang ada disampingnya ini tidak saling berbincang melainkan memilih untuk berfokus pada ponselnya masing-masing.

Pagar terbuka. Mang Dadang selaku satpam di sekolah ini menyuruh keduanya untuk masuk ke dalam. Tentu saja tidak sendiri, melainkan bersama satu pengurus osis dan kesiswaan. Pengurus osis menyuruh gadis itu masuk ke dalam barusan MPLS, sedangkan kesiswaan menyuruhnya untuk masuk ke dalam barisan merah. Gadis itu sempat menunduk ke arahnya seakan memberi arti untuk pamit lebih dulu. Haris hanya mengangguk dan tersenyum sembari lanjut jalan menuju ke lapangan.

“Tunggu.” Langkah kaki Haris terhenti. Ia membalikkan tubuhnya saat seseorang memanggil namanya.

“Ini kang jaketnya, nuhun udah dipinjemin ya sama maaf karena jadi kotor gini. Duluan ya kang.”

Haris terdiam sembari menatap kemana arah perginya gadis itu.

Aduh maneh teh kenapa nggak nanya nama sih, Ris!” batin Haris.

Sesampainya di lapangan, Haris dapat melihat dari kejauhan muka sahabatnya yang terlihat sangat ingin menghujanin wajahnya dengan seribu pukulan. Bukannya takut, Haris malah tertawa sembari masuk ke dalam barisan itu.

“Inget ya Ris, ini teh gara-gara maneh!”

“Anying salahin motor aing yang tiba-tiba abis bensin.”

“Maneh pokoknya maneh!”

Haris tidak menghiraukan ucapan Farel. Perhatiannya tertuju kepada gadis yang tadi sempat telat bersamanya. Gadis itu berjalan melawati koridor yang ada di hadapannya. Bola matanya benar-benar mengikuti kemana arah gadis itu pergi.

“Hormat anying! Ngeliatin apa sih?”

“Diem atuh, Rel, ganggu wae!”

25 menit setelah kejadian motornya yang mogok ditengah perjalanan, akhrinya Haris bisa sampai di depan gerbang tinggi yang sudah tertutup dengan rapat. Haris dapat mendengar kepala sekolah yang sudah menyampaikan amat kepada seluruh siswa. Dengan segala ide yang ada di dalam otaknya, Haris mencoba untuk memanggil satpam sekolah yang cukup akrab dengannya.

“Mang Dadang, tolong atuh mang, baru telat beberapa menit doang nih.”

“Aduh A, hampura atuh kalo cuma telat 2 menit pasti saya bukain. Tapi teh, AA udah telat 10 menit, itu Kepala Sekolah aja udah nyampein amanat.”

Haris hanya bisa mendengus kesal dan memilih untuk duduk lesehan di depan pagar sembari menunggu apel selesai. Tidak lama setelah ia menempatkan posisi duduknya, gadis yang baru saja turun dari motor yang berada di seberang sana berjalan ke arahnya. Haris bisa melihat bahwa gadis itu tampak panik dan juga tampak asing di matanya.

Dasi sama topi biru?” batin Haris.

“Aduh kan beneran telat.”

“Gimana kalo dimarahin osisnya.”

“Duh aing mesti gimana ya.”

Haris rasa gadis itu sangat panik sampai tidak sadar dengan Haris yang juga memiliki nasib yang sama dengannya.

“Aduh, mang tolong atuh mang.”

“Kalo bisa dibuka mah aku juga udah masuk daritadi,” celetuk Haris yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

Aneh, bukan gadis itu yang aneh. Tapi Haris, lebih tepatnya tubuhnya yang tiba-tiba mati kutu saat melihat paras wajah gadis yang sebelumnya ia lihat dari kejauhan.

Cantik… Dan manis.

“Baru masuk ya?” tanya Haris.

Gadis itu hanya mengangguk dengan kedua tangannya yang masih menggenggam besi-besi pagar.

“Kalem weh atuh, biasanya kalo baru masuk gini mah hukumannya nggak seberat anak lama.”

“Sini duduk, nggak capek berdiri disitu terus? Apelnya masih sepuluh sampe lima belas menit lagi loh,” pinta Haris.

Mengetahui bahwa apel masih berlangsung lama, tangan gadis itu perlahan melepas besi-besi pagar dan menuruti perintah Haris untuk duduk.

“Eh sebentar,” ucap Haris saat gadis itu ingin ikut duduk di sebelahnya.

“Rok kamu teh putih, nanti kotor. Nih pake ini.” Haris memberikan jaket yang sebelumnya ia pakai ke gadis itu.

“Nuhun ya kang,” ucap gadis itu sembari tersenyum ke arah Haris.

Biasanya Aluna paling semangat untuk menghadapi hari sabtu, tapi tidak dengan hari ini. Mengetahui bahwa hari ini merupakan hari terakhir ia bisa menatap kedua mata sang kekasih membuat ia enggan untuk mengembangkan senyumannya.

Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, kini Aluna sudah berada di mobil milik Angga bersama Alfi dan Nasywa. Angga kembali menyalakan mesin mobilnya yang sebelumnya berhenti dan melanjutkan perjalanan menuju Bandara. Selama diperjalanan, Aluna ditemani oleh Nasywa yang ikut duduk di belakang bersamanya. Alfi dan Angga saling bertukar lelucon yang sesekali membuat Aluna dan Nasywa tertawa.

Sebenarnya saat ini perasaannya benar-benar tidak karuan. Di satu sisi ia senang karena akhirnya Abrams bisa melanjutkan studinya di universitas yang memang sudah menjadi mimpi laki-laki itu. Namun di sisi lain, ia merasa khawatir dengan keharusannya dengan Abrams untuk menjalani hubungan jarak jauh. Nasywa yang melihat raut muka Aluna berbeda dari sebelumnya langsung memegang tangan sahabatnya itu. “Senyum dong, masa mau ketemu Kak Abam muka lo sedih begitu.”

“Mikirin apa sih?”

Aluna menggeleng. “Enggak kok, cuma khawatir dikit.“

Angga yang menyimak obrolan antara kedua sahabat itu langsung ikut menimbrung. “Pasti khawatir sama hubungan lo sama Abam kedepannya ya, Lun?”

“Ya gitu,” sahut Aluna dari belakang.

“Emang sulit sih dan pasti banyak godaannya, tapi gue yakin Abam orangnya nggak gampang goyah. Gue tau seberapa sayangnya dia sama lo, gue sama Alfi udah jadi saksi kisah cinta itu anak dari jaman SMP, Lun. Dia orangnya nggak pernah macem-macem.”

“Sekarang mending lo tarik napas, buang pikiran aneh-aneh lo dan fokus untuk ketemu Abam nanti,” pinta Angga.

Aluna merasa beruntung bisa berada di dekat orang-orang yang sangat baik dan peduli padanya. Ucapan Angga barusan sukses membuat hatinya terasa lebih lega dari sebelumnya.

“Idih si najis tumben banget bisa bijak begitu,” ucap Alfi tiba-tiba.

“Si anjir, turun lo!”

Aluna dan Nasywa pun tertawa melihat perdebatan kecil antara kedua sahabat itu.


Beberapa jam kemudian, akhirnya mereka semua sudah tiba di Bandara International Soekarno-Hatta. Baru melangkahkan kaki berapa langkah saja, Aluna sudah merasakan nyeri pada perutnya dan juga jantungnya yang tiba-tiba berdebar tidak seperti biasanya, mungkin karena gugup. Ia sendiri pun tidak paham mengapa dirinya merasa segugup ini.

“Abam di terminal berapa dah? Kita kayak orang ilang gini,” ucap Alfi.

Angga yang memimpin jalan tiba-tiba bersuara. “Nah itu tuh anaknya,” tunjuk laki-laki itu.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Aluna bisa melihat Abrams yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahnya dan teman-temannya. Melihat Abrams disana semakin membuat Aluna merasa gugup bukan main.

Bisa Lun, pasti bisa,” ucapnya dalam hati.

Nasywa yang melihat Aluna sedikit gugup langsung menggenggam tangan sahabatnya dan membawa Aluna untuk terus berjalan ke depan.

“Halo,” sapa Abrams kepada Aluna yang berada dibalik tubuh Alfi.

“Kenapa ngumpet di belakang Alfi? Sini sama aku.”

Gadis itu langsung bergeser dan menghampiri Abrams. “Maaf, nggak tau kenapa tiba-tiba gugup, kayak waktu awal pacaran,” ucap Aluna sembari terkekeh.

Abrams ikut terkekeh mendengar pengakuan dari Aluna. “Bisa aja.”

“Mau ke mama sama papa nggak?” tanya Abrams.

“Yuk.”

Keduanya langsung menghampiri mama dan papa Abrams yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Aluna memang sudah akrab dengan kedua orang tua Abrams karena sering bertemu jika kedua orang tua Abrams sedang tidak sibuk, namun tetap saja rasa tidak enakan Aluna kadang suka datang begitu saja.

“Eh ada Aluna,” ucap pria yang tidak terlalu tua.

“Aduh anak mama cantik banget, apa kabar sayang?”

“Halo pa, ma, kabar Aluna baik. Mama sama papa gimana?”

“Mama baik, papa juga baik.”

“Mama sama papa ikut Kak Abam juga?” tanya Aluna.

Wanita yang berpakaian elegant namun tetap sederhana itu tersenyum dan memegang bahu Aluna.“Nggak sayang, mama sama papa masih ada kerjaan jadi cuma anter sampe airport aja. Paling minggu kedua baru mama sama papa samper ke Malang.”

Aluna mengangguk paham. Kedua orang tua Abrams ini bisa dibilang workaholic. Tapi, kasih sayang mereka untuk Abrams tidak pernah lupa, sesibuk apapun mereka setidaknya masih sempat untuk menyempatkan urusan keluarga atau anaknya.

“Yaudah, udah ketemu sama mama dan papa kan? Ayo balik kesana lagi.”

Keduanya langsung berpamitan dengan kedua orang tua Abrams dan kembali menghampiri Alfi, Angga dan Nasywa.

“Gimana bro, udah siap ditatar kating?”

“Seharusnya lo tanya ke diri lo sendiri Ngga, siap nggak kena omel kating?“ Abrams tertawa.

Alfi yang berada di samping Abrams yang terkekeh. “Angga kalo kena omel kating pasti langsung misuh ke kita, Bam, liatin aja nanti.”

“Anjir lo berdua!”

Perdebatan antara ketiga sahabat itu cukup menjadi perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.

“Mending kalian bertiga pelukan deh, bentar lagi kan bakalan jarang ketemu, nanti bakalan nggak ada lagi yang kalo jalan harus berjejer bertiga gitu,” pinta Aluna.

Suasana langsung hening. Abrams, Alfi, dan Angga saling bertatapan tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Tiba-tiba saja, tanpa di duga, Abrams yang lebih dulu untuk membawa kedua sahabatnya ke dalam pelukannya. Alfi dan Angga terkejut. Bagaimana tidak? Disejarah pertemanannya, Abrams merupakan orang yang sangat anti untuk memeluk kedua temannya lebih dulu.

“Maafin gue kalo belum bisa jadi temen yang baik ya, maafin gue kadang suka bikin lo berdua kesel. Ngga, maafin gue ya karena suka ngeledekin lo. Fi, maafin gue karena gue selalu ngerepotin lo pas mau belajar buat utbk. Pokoknya maaf—“

“BACOOOOTTTTTT!” teriak Angga.

“Nggak usah minta maaf kayak gitu lah anjing! Lo kayak mau ngapain aja sih, nggak suka deh gue.”

Aluna dan Nasywa masih tetap berada di depan keduanya, menyaksikan ketiga sahabat sejoli yang saling beradu mulut itu.

“Tau lo! Gue paling males deh kalo udah kayak gini. Mending nggak usah acara peluk-pelukan gini deh,” sahut Alfi.

Abrams terkekeh melihat tingkah teman-temannya sembari melepaskan pelukannya. “Ampun… Jangan marahin gue gitu dong, kita bakalan jarang ketemu loh, nanti lo berdua kangen kan repot.”

Angga dan Alfi hanya memasang muka meledeknya ke arah Abrams.

“Udah gih mending lo puas-puasin berduaan sama Luna sebelum berangkat,” ujar Alfi sembari mendorong tubuh Abrams agar mendekat ke arah Luna.

Aluna yang merasa disebut namanya langsung tersenyum kikuk. Abrams langsung mengajak Aluna untuk duduk di kursi yang letaknya juga tidak jauh dari tempat sebelumnya.

“Gimana? Masih gugup nggak?” tanya Abrams.

Aluna menggeleng dan langsung menghindari untuk berkontak mata dengan Abrams.

“Kok nggak mau lihat ke aku, kenapa?”

Awalnya Aluna tidak menjawab apa perkataan Abrams dan tetap terus untuk menunduk. Tapi Akhirnya ia memberanikan untuk membuka suara dan menatap kedua mata laki-laki yang ada di depannya. “Takut sedih.”

“Kenapa? Kalo mau nangis jangan dipaksa Luna, mumpung masih bisa nyender di pundak aku nih.” Abrams memegang kedua bahu gadis itu.

“Aku nggak mau bikin kamu juga ikutan sedih buat ninggalin Jakarta, aku maunya tuh kamu berangkat dan sampe ke Malang dengan perasaan happy.”

Hening, tidak ada obrolan apa-apa lagi setelah ucapan Aluna barusan. Senyuman Abrams mengembang sembari menatap lekat bola mata gadis yang berada di depannya saat ini. Ia benar-benar merasa beruntung untuk mendapat kekasih seperti Aluna.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Tangannya ia sempatkan untuk mengelus puncak hingga ke belakang kepala gadis itu. “Lun, makasih ya. Aku nggak tau bakalan gimana kalo misalnya dulu kamu nggak bawel buat ngechat-in aku, kayaknya hari-hari aku bakalan biasa-biasa aja sih kalo pacar aku bukan kamu. Tapi untungnya kamu bawel dan nggak nyerah. Aku beneran beruntung banget bisa sama kamu sampe sekarang, pokoknya makasih karena dulu kamu nggak pernah nyerah buat bawel ke aku sampe bisa bikin aku naksir juga.”

“Kak jangan mulai deh….”

“Aku serius Lun.”

Di tengah-tengah perbincangan keduanya, panggilan untuk jadwal keberangkatan maskapai tujuan Malang yang pasti ditujukan untuk Abrams dan penumpang lainnya dengan tujuan yang sama sudah diharuskan untuk segera masuk ke gate keberangkatan. Abrams langsung melepaskan pelukan Aluna dan bangkit dari dudukunya, semua teman-temannya dan kedua orang tuanya juga mendekat untuk mengucapkan selamat tinggal dan hati-hati untuk Abrams. TidakDi peluknya lagi satu persatu siapa yang hadir disana untuk berpamitan dengannya. Sampai di akhir, giliran Aluna, ia peluk lagi gadis cantik dengan rambut sebahu dan tidak lupa juga ia meninggalkan kecupan singkat di kening gadis itu.

“Jangan telat makan dan semangat belajarnya ya agit!” Abrams menaruh kedua tangannya di kedua pipi gadisnya.

“Lun, aku pergi kesana untuk belajar jadi aku nggak sempet ngelakuin hal-hal yang kamu takutin, jadi jangan terlalu dibawa pikiran, ya?”

“Aku berangkat ya,” pamit Abrams kepada Aluna.

Aluna mengangguk dan melambaikan tangannya ke arah Abrams yang kini sudah bersiap-siap untuk keberangkatannya.

“Jangan sedih ya, nanti aku bilangin ke Chenle hyung buat nemenin kamu selama aku di malang!” teriak Abrams sembari membalikkan badannya dan memberikan heart sign di atas kepalanya.

Aluna hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa melihat aksi kekasihnya yang kini sudah semakin jauh dari pengelihatannya.

Sampai ketemu lagi Kak Abam!” ucapnya dalam hati sembari tersenyum.

Malam pun tiba. Sedaritadi, Aluna hanya berbaring diatas kasur sembari memainkan ponselnya. Sebenarnya masih ada beberapa tugas yang belum ia selesaikan, tapi gadis itu memilih untuk melanjutkannya nanti.

Saat sedang asyik dengan kegiatannya, tiba-tiba saja suara ketukan pintu dari luar kamarnya mengharuskan Aluna berdiri untuk melihat siapa orang yang ada di balik pintu kamarnya. Pintu kamarnya sudah terbuka, ternyata sang kakak lah yang mengetuk pintu kamarnya dengan sangat extra.

“Kenapa sih? Nggak bisa pelan-pelan apa ngetuk pintunya?” tanya Aluna.

Alan langsung mencubit pelan bibir Aluna yang langsung ditepis oleh sang adik. “Apaansih!”

“Dari pada ngomel-ngomel mending sekarang adek turun. Liat siapa yang dateng.”

“Siapa?” Aluna bertanya sembari mengingat apakah dirinya memiliki janji dengan seseorang atau tidak.

Tiba-tiba saja ingatan bahwa Abrams ingin menghampiri dirinya muncul dibenaknya.

“Oh iya kak Abam!!!” Aluna langsung bergegas untuk turun dari kamarnya dan menghampiri kekasihnya yang sudah menunggu di ruang tamu.

Alan hanya menggeleng. “Dasar, masih muda udah pikun.”

Benar saja, sosok laki-laki dengan jaket denim dan topi kesayangannya itu kini sudah duduk di atas kursi tamunya. Aluna langsung menghampiri Abrams dan memeluk erat laki-laki itu.

“Kangen.”

Abrams tersenyum lebar sembari membalas pelukan Aluna yang secara tiba-tiba. Ada rasa senang dalam dirinya saat melihat Aluna yang tiba-tiba memeluk erat tubuhnya. Ia sangat tahu betul bahwa gadis ini sangat merindukannya, begitupun sebaliknha, ia juga sangat merindukan gadis yang sekarang sudah mengeratkan pelukannya.

“Kayaknya kangen banget ya, sampe nggak mau lepas gini,” ledek Abrams.

“Menurut kamu aja!”

Tidak lama kemudian Aluna melepaskan pelukannya dan duduk menghadap Abrams yang kini juga ikut duduk ke arahnya.

“Gimana Malang, kak?”

“Enak sih, vibesnya emang kayak buat belajar banget.”

“Barang-barang kamu berarti udah disana semua dong?” tanya Aluna.

Abrams mengangguk sembari menyelipkan helaian rambut Aluna ke sela-sela telinga gadis itu.

“Terus kapan kamu ke Malangnya kak?”

“Nah, soal itu…”

“Kenapa?”

“Sebenernya yang dichat itu, aku mau bahas ini.”

Abrams menghela napasnya sembari memegang punggung tangan gadis di depannya yang sudah siap menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutnya.

“Aku bakalan ke Malang weekend ini,”

“Aku udah harus nempatin kos sekalian persiapan buat ospek. Karena jadwal ospek udah dimulai di minggu depannya. Jadi mau nggak mau aku harus berangkat secepatnya kesana.”

Mendengar hal itu membuat Aluna terdiam sembari menatap ke sembarangan arah. Sebenarnya ia sudah sangat siap dengan hubungan jarak jauh yang nantinya akan mereka berdua jalani. Namun, ia sama sekali tidak menyangka bahwa akan secepat ini.

“Lun?” Abrams melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Aluna.

Gadis itu langsung mengedipkan kelopak matanya, lamunanya tersadar.

“Berarti waktu kita cuma beberapa hari lagi dong ya kak?”

“Maaf.”

Aluna menatap lekat mata Abrams.

“Kenapa minta maaf? Orang kamu nggak salah kok. Aku malah seneng kamu bakalan banyak interaksi sama orang baru dengan suasana baru nantinya. Cuma aku nggak nyangka aja kalo ternyata cepet banget buat kamu ninggalin Jakarta,” jelas Aluna.

“Aku juga maunya nggak sekarang, tapi ya mau gimana lagi, Lun.”

“Nggak ap-apa kak kalo emang keputusannya harus begitu.”

“Ngomong-ngomong kapan hari fix untuk kamu berangkatnya?”

“Sabtu, aku berangkat sabtu siang jam 12an.”

“Aku boleh ikut anter kamu ke bandara?”

“Ya boleh dong, masa iya aku ngelarang kamu.”

“Okay aku bakalan kosongin jadwal hari sabtu siang.”

Aluna tersenyum hingga bola matanya tak terlihat.

“Sini.” Tiba-tiba saja Abrams merentangkan tangannya. “Aku tau kamu lagi nahan sedih. Jadi sini, transfer sedihnya ke aku juga. Tapi jangan kelamaan ya nanti kesetrum.”

Sebelum menghamburkan dirinya ke pelukan Abrams, Aluna sempat menyubit kecil perut laki-laki itu. “Apa ngaruhnya sama kesetrum!!!!”

“Ampuuuuuunnn.”

Aluna langsung masuk ke dalam pelukan Abrams. Rasanya ia benar-benar tidak mau lepas dari pelukan hangat ini. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa kekasihnya sebentar lagi akan tinggal sementara di lain kota.

“Lun,” panggil Abrams.

“Ya kak?“ Aluna sedikit melonggarkan pelukannya dan melirik ke arah Abrams.

“Abis ini aku mau lanjut ke Blok M sama Alfi dan Angga. Jadi kalo aku nggak lama disini nggak apa-apa, ya?”

Gadis itu kembali menaruh kepalanya di dada bidang laki-laki itu sembari mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, yang penting sekarang tenaga kamu udah ke charge kan?”

Abrams terkekeh pelan, “Betul. Dua kali peluk langsung full tank ini.”

“Bisaan!”

Setelahnya, tidak ada lagi yang membuka obrolan. Mereka berdua hanya saling memeluk satu sama lain, seakan menyalurkan hangatnya kasih sayang. Aluna memejamkan matanya, meghirup wangi khas dari aroma tubuh laki-laki yang sebentar lagi akan jauh darinya. Sebaliknya, Abrams mengeratkan pelukannya kepada Aluna dan menghirup aroma shampoo dari rambut gadis itu yang selalu jadi favoritnya.

“Kak,” panggil Aluna disela-sela keheningan keduanya.

“Iya?”

“Kira-kira kita bisa nggak ya jalanin hubungan jarak jauh ini sama-sama?”

Malam pun tiba. Sedaritadi, Aluna hanya berbaring diatas kasur sembari memainkan ponselnya. Sebenarnya masih ada beberapa tugas yang belum ia selesaikan, tapi gadis itu memilih untuk melanjutkannya nanti.

Saat sedang asyik dengan kegiatannya, tiba-tiba saja suara ketukan pintu dari luar kamarnya mengharuskan Aluna berdiri untuk melihat siapa orang yang ada di balik pintu kamarnya. Pintu kamarnya sudah terbuka, ternyata sang kakak lah yang mengetuk pintu kamarnya dengan sangat extra.

“Kenapa sih? Nggak bisa pelan-pelan apa ngetuk pintunya?” tanya Aluna.

Alan langsung mencubit pelan bibir Aluna yang langsung ditepis oleh sang adik. “Apaansih!”

“Dari pada ngomel-ngomel mending sekarang adek turun. Liat siapa yang dateng.”

“Siapa?” Aluna bertanya sembari mengingat apakah dirinya memiliki janji dengan seseorang atau tidak.

Tiba-tiba saja ingatan bahwa Abrams ingin menghampiri dirinya muncul dibenaknya.

“Oh iya kak Abam!!!” Aluna langsung bergegas untuk turun dari kamarnya dan menghampiri kekasihnya yang sudah menunggu di ruang tamu.

Alan hanya menggeleng. “Dasar, masih muda udah pikun.”

Benar saja, sosok laki-laki dengan jaket denim dan topi kesayangannya itu kini sudah duduk di atas kursi tamunya. Aluna langsung menghampiri Abrams dan memeluk erat laki-laki itu.

“Kangen.”

Abrams tersenyum lebar sembari membalas pelukan Aluna yang secara tiba-tiba. Ada rasa senang dalam dirinya saat melihat Aluna yang tiba-tiba memeluk erat tubuhnya. Ia sangat tahu betul bahwa gadis ini sangat merindukannya, begitupun sebaliknha, ia juga sangat merindukan gadis yang sekarang sudah mengeratkan pelukannya.

“Kayaknya kangen banget ya, sampe nggak mau lepas gini,” ledek Abrams.

“Menurut kamu aja!”

Tidak lama kemudian Aluna melepaskan pelukannya dan duduk menghadap Abrams yang kini juga ikut duduk ke arahnya.

“Gimana Malang, kak?”

“Enak sih, vibesnya emang kayak buat belajar banget.”

“Barang-barang kamu berarti udah disana semua dong?” tanya Aluna.

Abrams mengangguk sembari menyelipkan helaian rambut Aluna ke sela-sela telinga gadis itu.

“Terus kapan kamu ke Malangnya kak?”

“Nah, soal itu…”

“Kenapa?”

“Sebenernya yang dichat itu, aku mau bahas ini.”

Abrams menghela napasnya sembari memegang punggung tangan gadis di depannya yang sudah siap menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutnya.

“Aku bakalan ke Malang weekend ini,”

“Aku udah harus nempatin kos sekalian persiapan buat ospek. Karena jadwal ospek udah dimulai di minggu depannya. Jadi mau nggak mau aku harus berangkat secepatnya kesana.”

Mendengar hal itu membuat Aluna terdiam sembari menatap ke sembarangan arah. Sebenarnya ia sudah sangat siap dengan hubungan jarak jauh yang nantinya akan mereka berdua jalani. Namun, ia sama sekali tidak menyangka bahwa akan secepat ini.

“Lun?” Abrams melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Aluna.

Gadis itu langsung mengedipkan kelopak matanya, lamunanya tersadar.

“Berarti waktu kita cuma beberapa hari lagi dong ya kak?”

“Maaf.”

Aluna menatap lekat mata Abrams.

“Kenapa minta maaf? Orang kamu nggak salah kok. Aku malah seneng kamu bakalan banyak interaksi sama orang baru dengan suasana baru nantinya. Cuma aku nggak nyangka aja kalo ternyata cepet banget buat kamu ninggalin Jakarta,” jelas Aluna.

“Aku juga maunya nggak sekarang, tapi ya mau gimana lagi, Lun.”

“Nggak ap-apa kak kalo emang keputusannya harus begitu.”

“Ngomong-ngomong kapan hari fix untuk kamu berangkatnya?”

“Sabtu, aku berangkat sabtu siang jam 12an.”

“Aku boleh ikut anter kamu ke bandara?”

“Ya boleh dong, masa iya aku ngelarang kamu.”

“Okay aku bakalan kosongin jadwal hari sabtu siang.”

Aluna tersenyum hingga bola matanya tak terlihat.

“Sini.” Tiba-tiba saja Abrams merentangkan tangannya. “Aku tau kamu lagi nahan sedih. Jadi sini, transfer sedihnya ke aku juga. Tapi jangan kelamaan ya nanti kesetrum.”

Sebelum menghamburkan dirinya ke pelukan Abrams, Aluna sempat menyubit kecil perut laki-laki itu. “Apa ngaruhnya sama kesetrum!!!!”

“Ampuuuuuunnn.”

Aluna langsung masuk ke dalam pelukan Abrams. Rasanya ia benar-benar tidak mau lepas dari pelukan hangat ini. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa kekasihnya sebentar lagi akan tinggal sementara di lain kota.

“Lun,” panggil Abrams.

“Ya kak?“ Aluna sedikit melonggarkan pelukannya dan melirik ke arah Abrams.

“Abis ini aku mau lanjut ke Blok M sama Alfi dan Angga. Jadi kalo aku nggak lama disini nggak apa-apa, ya?”

Gadis itu kembali menaruh kepalanya di dada bidang laki-laki itu sembari mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, yang penting sekarang tenaga kamu udah ke charge kan?”

Abrams terkekeh pelan, “Betul. Dua kali peluk langsung full tank ini.”

“Bisaan!”

Setelahnya, tidak ada lagi yang membuka obrolan. Mereka berdua hanya saling memeluk satu sama lain, seakan menyalurkan hangatnya kasih sayang. Aluna memejamkan matanya, meghirup wangi khas dari aroma tubuh laki-laki yang sebentar lagi akan jauh darinya. Sebaliknya, Abrams mengeratkan pelukannya kepada Aluna dan menghirup aroma shampoo dari rambut gadis itu yang selalu jadi favoritnya.

“Kak,” panggil Aluna disela-sela keheningan keduanya.

“Iya?”

“Kira-kira kita bisa nggak ya jalanin hubungan jarak jauh ini sama-sama?”

Biasanya Aluna paling semangat untuk menghadapi hari sabtu, tapi tidak dengan hari ini. Mengetahui bahwa hari ini merupakan hari terakhir ia bisa menatap kedua mata sang kekasih membuat ia enggan untuk mengembangkan senyumannya.

Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, kini Aluna sudah berada di mobil milik Angga bersama Alfi dan Nasywa. Angga kembali menyalakan mesin mobilnya yang sebelumnya berhenti dan melanjutkan perjalanan menuju Bandara. Selama diperjalanan, Aluna ditemani oleh Nasywa yang ikut duduk di belakang bersamanya. Alfi dan Angga saling bertukar lelucon yang sesekali membuat Aluna dan Nasywa tertawa.

Sebenarnya saat ini perasaannya benar-benar tidak karuan. Di satu sisi ia senang karena akhirnya Abrams bisa melanjutkan studinya di universitas yang memang sudah menjadi mimpi laki-laki itu. Namun di sisi lain, ia merasa khawatir dengan keharusannya dengan Abrams untuk menjalani hubungan jarak jauh. Nasywa yang melihat raut muka Aluna berbeda dari sebelumnya langsung memegang tangan sahabatnya itu. “Senyum dong, masa mau ketemu Kak Abam muka lo sedih begitu.”

“Mikirin apa sih?”

Aluna menggeleng. “Enggak kok, cuma khawatir dikit.“

Angga yang menyimak obrolan antara kedua sahabat itu langsung ikut menimbrung. “Pasti khawatir sama hubungan lo sama Abam kedepannya ya, Lun?”

“Ya gitu,” sahut Aluna dari belakang.

“Emang sulit sih dan pasti banyak godaannya, tapi gue yakin Abam orangnya nggak gampang goyah. Gue tau seberapa sayangnya dia sama lo, gue sama Alfi udah jadi saksi kisah cinta itu anak dari jaman SMP, Lun. Dia orangnya nggak pernah macem-macem.”

“Sekarang mending lo tarik napas, buang pikiran aneh-aneh lo dan fokus untuk ketemu Abam nanti,” pinta Angga.

Aluna merasa beruntung bisa berada di dekat orang-orang yang sangat baik dan peduli padanya. Ucapan Angga barusan sukses membuat hatinya terasa lebih lega dari sebelumnya.

“Idih si najis tumben banget bisa bijak begitu,” ucap Alfi tiba-tiba.

“Si anjir, turun lo!”

Aluna dan Nasywa pun tertawa melihat perdebatan kecil antara kedua sahabat itu.


Beberapa jam kemudian, akhirnya mereka semua sudah tiba di Bandara International Soekarno-Hatta. Baru melangkahkan kaki berapa langkah saja, Aluna sudah merasakan nyeri pada perutnya dan juga jantungnya yang tiba-tiba berdebar tidak seperti biasanya, mungkin karena gugup. Ia sendiri pun tidak paham mengapa dirinya merasa segugup ini.

“Abam di terminal berapa dah? Kita kayak orang ilang gini,” ucap Alfi.

Angga yang memimpin jalan tiba-tiba bersuara. “Nah itu tuh anaknya,” tunjuk laki-laki itu.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Aluna bisa melihat Abrams yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahnya dan teman-temannya. Melihat Abrams disana semakin membuat Aluna merasa gugup bukan main.

Bisa Lun, pasti bisa,” ucapnya dalam hati.

Nasywa yang melihat Aluna sedikit gugup langsung menggenggam tangan sahabatnya dan membawa Aluna untuk terus berjalan ke depan.

“Halo,” sapa Abrams kepada Aluna yang berada dibalik tubuh Alfi.

“Kenapa ngumpet di belakang Alfi? Sini sama aku.”

Gadis itu langsung bergeser dan menghampiri Abrams. “Maaf, nggak tau kenapa tiba-tiba gugup, kayak waktu awal pacaran,” ucap Aluna sembari terkekeh.

Abrams ikut terkekeh mendengar pengakuan dari Aluna. “Bisa aja.”

“Mau ke mama sama papa nggak?” tanya Abrams.

“Yuk.”

Keduanya langsung menghampiri mama dan papa Abrams yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Aluna memang sudah akrab dengan kedua orang tua Abrams karena sering bertemu jika kedua orang tua Abrams sedang tidak sibuk, namun tetap saja rasa tidak enakan Aluna kadang suka datang begitu saja.

“Eh ada Aluna,” ucap pria yang tidak terlalu tua.

“Aduh anak mama cantik banget, apa kabar sayang?”

“Halo pa, ma, kabar Aluna baik. Mama sama papa gimana?”

“Mama baik, papa juga baik.”

“Mama sama papa ikut Kak Abam juga?” tanya Aluna.

Wanita yang berpakaian elegant namun tetap sederhana itu tersenyum dan memegang bahu Aluna.“Nggak sayang, mama sama papa masih ada kerjaan jadi cuma anter sampe airport aja. Paling minggu kedua baru mama sama papa samper ke Malang.”

Aluna mengangguk paham. Kedua orang tua Abrams ini bisa dibilang workaholic. Tapi, kasih sayang mereka untuk Abrams tidak pernah lupa, sesibuk apapun mereka setidaknya masih sempat untuk menyempatkan urusan keluarga atau anaknya.

“Yaudah, udah ketemu sama mama dan papa kan? Ayo balik kesana lagi.”

Keduanya langsung berpamitan dengan kedua orang tua Abrams dan kembali menghampiri Alfi, Angga dan Nasywa.

“Gimana bro, udah siap ditatar kating?”

“Seharusnya lo tanya ke diri lo sendiri Ngga, siap nggak kena omel kating?“ Abrams tertawa.

Alfi yang berada di samping Abrams yang terkekeh. “Angga kalo kena omel kating pasti langsung misuh ke kita, Bam, liatin aja nanti.”

“Anjir lo berdua!”

Perdebatan antara ketiga sahabat itu cukup menjadi perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.

“Mending kalian bertiga pelukan deh, bentar lagi kan bakalan jarang ketemu, nanti bakalan nggak ada lagi yang kalo jalan harus berjejer bertiga gitu,” pinta Aluna.

Suasana langsung hening. Abrams, Alfi, dan Angga saling bertatapan tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Tiba-tiba saja, tanpa di duga, Abrams yang lebih dulu untuk membawa kedua sahabatnya ke dalam pelukannya. Alfi dan Angga terkejut. Bagaimana tidak? Disejarah pertemanannya, Abrams merupakan orang yang sangat anti untuk memeluk kedua temannya lebih dulu.

“Maafin gue kalo belum bisa jadi temen yang baik ya, maafin gue kadang suka bikin lo berdua kesel. Ngga, maafin gue ya karena suka ngeledekin lo. Fi, maafin gue karena gue selalu ngerepotin lo pas mau belajar buat utbk. Pokoknya maaf—“

“BACOOOOTTTTTT!” teriak Angga.

“Nggak usah minta maaf kayak gitu lah anjing! Lo kayak mau ngapain aja sih, nggak suka deh gue.”

Aluna dan Nasywa masih tetap berada di depan keduanya, menyaksikan ketiga sahabat sejoli yang saling beradu mulut itu.

“Tau lo! Gue paling males deh kalo udah kayak gini. Mending nggak usah acara peluk-pelukan gini deh,” sahut Alfi.

Abrams terkekeh melihat tingkah teman-temannya sembari melepaskan pelukannya. “Ampun… Jangan marahin gue gitu dong, kita bakalan jarang ketemu loh, nanti lo berdua kangen kan repot.”

Angga dan Alfi hanya memasang muka meledeknya ke arah Abrams.

“Udah gih mending lo puas-puasin berduaan sama Luna sebelum berangkat,” ujar Alfi sembari mendorong tubuh Abrams agar mendekat ke arah Luna.

Aluna yang merasa disebut namanya langsung tersenyum kikuk. Abrams langsung mengajak Aluna untuk duduk di kursi yang letaknya juga tidak jauh dari tempat sebelumnya.

“Gimana? Masih gugup nggak?” tanya Abrams.

Aluna menggeleng dan langsung menghindari untuk berkontak mata dengan Abrams.

“Kok nggak mau lihat ke aku, kenapa?”

Awalnya Aluna tidak menjawab apa perkataan Abrams dan tetap terus untuk menunduk. Tapi Akhirnya ia memberanikan untuk membuka suara dan menatap kedua mata laki-laki yang ada di depannya. “Takut sedih.”

“Kenapa? Kalo mau nangis jangan dipaksa Luna, mumpung masih bisa nyender di pundak aku nih.” Abrams memegang kedua bahu gadis itu.

“Aku nggak mau bikin kamu juga ikutan sedih buat ninggalin Jakarta, aku maunya tuh kamu berangkat dan sampe ke Malang dengan perasaan happy.”

Hening, tidak ada obrolan apa-apa lagi setelah ucapan Aluna barusan. Senyuman Abrams mengembang sembari menatap lekat bola mata gadis yang berada di depannya saat ini. Ia benar-benar merasa beruntung untuk mendapat kekasih seperti Aluna.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Tangannya ia sempatkan untuk mengelus puncak hingga ke belakang kepala gadis itu. “Lun, makasih ya. Aku nggak tau bakalan gimana kalo misalnya dulu kamu nggak bawel buat ngechat-in aku, kayaknya hari-hari aku bakalan biasa-biasa aja sih kalo pacar aku bukan kamu. Tapi untungnya kamu bawel dan nggak nyerah. Aku beneran beruntung banget bisa sama kamu sampe sekarang, pokoknya makasih karena dulu kamu nggak pernah nyerah buat bawel ke aku sampe bisa bikin aku naksir juga.”

“Kak jangan mulai deh….”

“Aku serius Lun.”

Di tengah-tengah perbincangan keduanya, panggilan untuk jadwal keberangkatan maskapai tujuan Malang yang pasti ditujukan untuk Abrams dan penumpang lainnya dengan tujuan yang sama sudah diharuskan untuk segera masuk ke gate keberangkatan. Abrams langsung melepaskan pelukan Aluna dan bangkit dari dudukunya, semua teman-temannya dan kedua orang tuanya juga mendekat untuk mengucapkan selamat tinggal dan hati-hati untuk Abrams. Di peluknya lagi satu persatu siapa yang hadir disana untuk berpamitan dengannya. Sampai di akhir, giliran Aluna, ia peluk lagi gadis cantik dengan rambut sebahu dan tidak lupa juga ia meninggalkan kecupan singkat di kening gadis itu.

“Jangan telat makan dan semangat belajarnya ya agit!” Abrams menaruh kedua tangannya di kedua pipi gadisnya.

“Lun, aku pergi kesana untuk belajar jadi aku nggak sempet ngelakuin hal-hal yang kamu takutin, jadi jangan terlalu dibawa pikiran, ya?”

“Aku berangkat ya,” pamit Abrams kepada Aluna.

Aluna mengangguk dan melambaikan tangannya ke arah Abrams yang kini sudah bersiap-siap untuk keberangkatannya.

“Jangan sedih ya, nanti aku bilangin ke Chenle hyung buat nemenin kamu selama aku di malang!” teriak Abrams sembari membalikkan badannya dan memberikan heart sign di atas kepalanya.

Aluna hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa melihat aksi kekasihnya yang kini sudah semakin jauh dari pengelihatannya.

Sampai bertemu lain waktu Kak Abam!” ucapnya dalam hati sembari tersenyum.