scrpleo

Kegiatan api unggun baru saja selesai. Semua siswa SMANSA diminta untuk meninggalkan area api unggun untuk kembali ke tendanya masing-masing. Sabil dan kedua temannya langsung berjalan meninggalkan area api unggun sembari berbincang singkat. Namun, langkahnya berhenti ketika melihat Haris yang sudah berdiri di hadapannya dengan senyuman yang mengembang diwajah laki-laki itu.

“Jadi kan?” tanya Haris.

“Sekarang?” tanya Sabil yang langsung diangguki oleh Haris.

Miwa dan Alody nampak bingung dengan percakapan antara keduanya. Haris yang melihat ekspresi kedua teman Sabil pun terkekeh dan meminta izin untuk meminjam Sabilnya sebentar.

“Pinjem sebentar ya Sabilnya, nanti dipulangin ke tenda sebelum patroli malam.”

Alody dan Miwa mengangguk bersamaan. Tidak lupa untuk menggoda Sabil yang kini sudah ditarik oleh Haris menjadi berada di sebelah laki-laki itu.

“Nanti chat aku aja ya kalo ada apa-apa,” ucap Sabil kepada kedua temanya.

“Siap!”


Udara dingin cikole menusuk kulit sepasang remaja yang kini sedang berjalan bersebalahan. Sabil berjalan sembari memeluk kedua bahunya sendiri agar tetap hangat. Sedangkan yang berada disebelahnya, langsung melepaskan jaketnya dan ia kenakan ke tubuh mungil Sabil tanpa berkata-kata.

“Loh, kok dikasih aku? Ini dingin, kamu pake aja.”

“Nggak apa-apa, kamu yang pake aja. Aku masih pake hoodie kok.”

“Beneran?”

“Iya pake aja.”

“Makasih.”

Keduanya melanjutkan langkahnya. Sebenarnya Sabil tidak tahu akan dibawa kemana dirinya oleh Haris, namun ia memilih untuk tetap mengikuti langkah kaki laki-laki yang ada di sebelahnya.

“Haris, ini mau kemana?”

“Ih kok jauh dari camp nya?”

“Haris, kamu nggak aneh-aneh kan?”

“Aku cuma mau ajak kamu liat bintang sambil minum susu panas,” ucap Haris yang sedikit membuat Sabil tenang.

“Emangnya ada bintang?”

“Ya kalo nggak ada, liat bulan aja.”

“Kalo nggak ada bulan?” tanya Sabil.

“Ya, liat aku aja.”

Sabil menepuk pelan bahu Haris. “Nggak jelas!”

Tidak lama setelah itu, akhrinya mereka tiba di depan coffe shop yang tersedia di area ini.

“Aku nggak tau kalo jembatan layang tadi bisa buat ke sini.”

“Makanya, sekarang jadi tau kan?”

Sabil mengangguk. Haris langsung mengajak Sabil masuk ke coffe shop itu untuk memesan minuman. Setelah mendapatkan minuman, Haris kembali mengajak Sabil untuk melewati jembatan layang yang sebelumnya mereka lewati.

“Haris, pelan-pelan, ini goyang-goyang jembatannya!”

Haris terkekeh melihat Sabil yang tampak panik.

“Eh kok kamu malah duduk ditengah-tengah situ?”

“Sini,” ucap Haris sembari menepuk dasar yang ada di jembatan itu. Sabil menuruti perintah Haris dan ikut duduk disampingnya.

“Kita liat bintangnya disini aja.”

“Bintangnya cuma ada satu, Haris!”

“Nggak apa-apa. Kasian dia sendirian, makanya sengaja aku ajak kamu kesini buat ikut nemenin dia.”

Sabil tersenyum. “Ada-ada aja kamu mah!”

Haris juga ikut tersenyum melihat Sabil. Ia menatap gadis yang kini sedang memperhatikan satu bintang di atas sana. Baginya, Sabil selalu cantik jika dilihat dari segi manapun.

“Bil,” panggil Haris yang membuat Sabil langsung menoleh ke arahnya.

“Iya?”

“Kamu suka lagu-lagu one direction kan?”

“Suka, kenapa?”

“Aku juga suka. Mau dengerin bareng nggak?” tanya Haris sembari mengeluarkan airpods miliknya.

“Boleh.”

Haris langsung memberikan satu airpods sebelah kirinya ke Sabil. “Nih, pake.”

“Makasih.”

“Kamu suka lagu mereka yang mana emang?”

Tanpa menjawab, Haris langsung memutarkan lagu Kiss You milik one direction.

“Kiss you?” tanya Sabil. Haris mengangguk sembari tersenyum dan memalingkan wajahnya ke depan.

“Aku nggak tau kamu bakalan suka lagu ini, karena biasanya cowok-cowok sukanya Night Changes atau Perfect.

“Ada lirik yang pengen aku sampein ke kamu.”

Sabil semakin dibuat penasaran oleh Haris. “Apa?”

“Tunggu aja.”

Mereka berdua kembali mendengarkan lagu ini sembari menyeruput cokelat panas dan menatap ke arah langit yang semakin gelap.

“Eh kok berhenti lagunya?”

Haris berhenti memutarkan lagu tersebut tepat di menit 1:20. Sabil yang dibuat bingung oleh Haris hanya bisa menatap laki-laki itu sembari menaikkan satu alisnya.

“Itu yang mau aku sampein ke kamu.”

Baby be mine tonight?, batin Sabil.

Sabil masih terdiam dan berusaha untuk mencerna apa yang dimaksud oleh Haris. Haris mau aku jadi pacarnya?

“Gimana?” tanya Haris.

Sebenarnya bisa saja Sabil langsung mengatakan “Iya” karena ia memiliki perasaan yang lebih kepada laki-laki ini. Namun, lidahnya mendadak kelu. Karena jujur saja, ia tidak memiliki persiapan apapun dan Haris juga sangat tiba-tiba.

“Bil? Jangan bengong atuh!”

“Hm, maaf. Aku pinjem handphone kamu boleh?”

Haris langsung memberikan ponselnya ke Sabil. “Airpods kamu masih dipake kan?” tanya Sabil yang dibalas anggukkan oleh Haris.

Sabil memutuskan untuk memutar lagu lain sebagai jawaban dari pertanyaan Haris sebelumnya.

“Kamu dengerin dan baca lirik di menit ke-1.”

Haris menuruti perintah Sabil. Haris mulai mendengarkan lagu yang barusan diberitahu oleh gadis yang sekarang sedang menunduk. Tepat di menit ke-1 haris langsung menggelengkan kepalanya dan terkekeh dengan perasaan senangnya.

“Ini serius?” tanya Haris memastikan.

Sabil langsung mengangguk sembari membuang arah pandangnya ke lain arah.

“Padahal tinggal bilang iya apa susahnya,” celetuk Haris.

“Kan dibilang aku malu!!!” seru Sabil sembari menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Haris langsung mengacak-acak puncak kepala Sabil. “Aduh lucu banget sih pacar.”

“Sst!”

“Sekarang udah pacaran nih, Bil, nggak usah malu-malu begitu lagi lah.”

“Mana sini mukanya aku mau liat,” pinta Haris.

“DIEM!!! PIPI AKU MERAH GARA-GARA KAMU!!!”

“Bil,” panggil Haris.

Sabil yang sebelumnya sedang berfokus pada handphonenya langsung menaikkan kepalanya dan menaruh handphonenya di atas meja.

“Liatin apa sih? Aku nya teh dianggurin gini.”

“Eh, maaf. Tadi ibu ngechat,” jawab Sabil.

Sabil terpaksa harus berbohong agar percakapan dengan kedua teman-temannya itu tetap aman.

“Oh, yaudah atuh sok dimakan lagi.”

Sabil mengangguk dan kembali menyuap nasinya.

“Ini kamu bikin sendiri, Bil?” tanya Haris.

“Iya. Kenapa? Nggak enak ya?” tanya Sabil penasaran.

Haris menggeleng. “Malah mau aku kasih dua jempol.”

“Ini teh endul pisan!” lanjut Harus.

“Serius?”

Laki-laki itu mengangguk, kemudia ia menopang dagunya dengan tangannya sembari tersenyum. “Kamu buat nya pake cinta ya?”

Sabil langsung menepuk pelan lengan Haris. “Haris!”

Haris terkekeh melihat Sabil yang sudah membulatkan matanya sembari mengunyah makanannya. Sangat lucu, batinnya.

“Kenapa sih? Kok diliatin gitu.”

Bukannya berhenti memperhatikan gadis itu, Haris malah semakin menatap ke arah Sabil yang wajahnya sudah memerah.

“Perasaan aku cuma ngeliatin kamu doang deh Bil, kok salting nya sampe bikin muka kamu mendadak kayak udang gitu?”

“Ih kamu mah nyebelin!” Sabil menutup mukanya dengan kedua tangannya.

“Jangan ditutupin atuh mukanya, aku kan mau liat muka lucu.”

“Haris, mending kamu cerita.”

“Cerita apa?” tanya Haris.

“Yang kemarin dichat.”

“Oh… Tendra?”

Sabil mengangguk. “Ayok, aku dengerin.”

“Jadi, waktu kelas 10 si Tendra itu anak futsal barengan sama aku, Farel gitu-gitu. Terus dia teh keluar karena ke ambisiannya buat ngalahin aku di futsal.“

“Emangnya kenapa?” tanya Sabil.

“Dulu tuh, eh tapi ini bukannya aku menyombongkan diri ya Bil.”

“Iya lanjutttt.”

“Dulu aku tuh salah satu anak kelas 10 yang selalu diajak ikut turnamen bareng angkatan atas Bil. Karena unsur sirik, waktu itu tiba-tiba aja dia kayak apa ya, anak-anak sih bilangnya sok jago demi diliat pelatih sama kakel gitu. Padahal aslinya teh dia juga jarang latihan tapi maunya ikut turnamen. Pokoknya setiap aku kepilih ikut turnamen dia teh kayak nggak mau kalah gitu, jatohnya dia kayak bersaing gitu lah sama aku tapi dengan cara yang nggak sehat gitu.”

“Terus sampe dimana tuh h-2 mau turnamen, kaki aku ankle. Itu juga gara-gara dia. Waktu lagi latihan biasa, dia teh sengaja buat nyelengkat kaki aku gitu. Terus yaudah, aku gagal ikut turnamen.”

“Sebelumnya teh pelatih aku nggak tau kalo ternyata aku nggak bisa ikut turnamen karena ulahnya si Tendra. Sampe dimana, ketua futsal aku yang dulu teh laporan ke pelatih aku kalo kaki aku ankle karena Tendra yang emang ngelakuin dengan sengaja, kebetulan dia juga saksi. Terus ditambah sama kelakuan Tendra yang semakin jadi, latihan semaunya dan cuma latihan kalo ada pelatih aku aja.”

“Setelah tau berita itu, akhirnya si Tendra diforum, terus dia akhirnya mengakui kalo emang dia sirik dan nggak suka sama aku, makanya dia bikin aku gagal buat ikut turnamen. Dia juga maki-maki anak-anak futsal di depan pelatih aku Bil, dia bilang semuanya tuh pilih kasih dan nggak adil. Padahal kalo setiap ada turnamen pasti pelatih yang ngatur-ngaturin siapa yang nantinya bakal ikut.”

“Nah, Setelah maki-maki teh dia langsung pergi gitu aja dan besok-besoknya udah nggak pernah dateng futsal lagi.”

“Sebenernya lucu aja gitu kalo ceritain si Tendra mah, soalnya dia yang kayak ngajak bersaing, tapi dia sendiri yang kalah dengan keluar dari futsal.”

Sabil terheran dengan cerita yang disampaikan Haris. “Aneh banget. Seharusnya kalo dia tau dirinya masih kurang ya dia tingkatin lagi skillnya, bukan malah curang dengan nyelakain orang biar nasib orang itu jelek.“

Haris menaikkan bahunya sembari menyuap nasi ke mulutnya.

“Terus-terus… Apa lagi?” tanya Sabil.

“Oh iya, ini yang perlu kamu inget. Dia teh dulu pernah deketin satu cewek angkatan aku, emang dasarnya si Tendra penuh ke ambisian, dia kejar lah itu cewek. Nah ceweknya ini tuh udah jelas-jelas nolak si Tendra di tengah lapangan, tapi si Tendra tetep ngejar cewek itu sampe dia nyuruh temen-temennya ngebawa cewek itu ke tongkrongannya.”

“Bayangin aja Bil, temen angkatan aku itu sampe yang bener-bener kaget karena dibawa paksa sama geng nya Tendra.”

“Hah ngapain? Terus cewek itu dibawa kemana?”

“Dia malu. Karena kabar cintanya ditolak udah kesebar ke tongkrongannya. Jadi, si cewek itu dipaksa suruh bilang kalo mereka tuh udah pacaran demi biar si Tendra nggak malu di depan anak-anak tongkrongannya.”

“Parah banget ih kasian.“

“Makanya kamu hati-hati ya Bil sama dia, kalo dia ganggu kamu bilang weh ke aku.”

Sabil mengangguk sembari mengunyah makannya dimulutnya. Haris yang melihat itu langsung tersenyum ke arah gadis itu.

“Pinter,” ucap Haris sembari menepuk pelan puncak kepala Sabil.

Sabil yang sebelumnya sedang mengunyah makanan langsung berhenti.

“Eh, kenapa Bil?” tanya Haris khawatir.

Sabil langsung buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa tadi lidah ku mau ke gigit.”

“Oh, kirain teh kenapa.”

Aku teh kaget anjrit. Kenapa segala di puk-puk lagi!!!!” batin Sabil.

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Haris yang sebelumnya sedang duduk di pinggir podium lapangan untuk menunggu mulainya kegiatan ekskul langsung menghampiri Reno untuk meminta izin pergi sebentar.

“No, aing izin naik dulu ya. Di kelas teh ada barang ketinggalan.”

“Hooh sok weh. Yang penting 15.15 udah siap.”

Haris mengacungkan jempolnya dan langsung buru-buru lari meninggalkan lapangan. Semua teman-temannya pun terheran melihat Haris yang tiba-tiba pergi tanpa berpamitan dengan mereka.

“Naha temen maneh?”

“Paling masalah hati,” sahut Dino sembari mengikat tali sepatu futsalnya.

Kini Haris sudah tiba di koridor lantai 2, dimana lantai tersebut merupakan kelas anak-anak tingkat satu. Haris terpaksa berbohong kepada Reno demi pendekatannya dengan Sabil tetap aman dan tidak menjadi bahan ledekan di grup futsalnya.

Ia terus berjalan menelusuri koridor panjang ini, seluruh ruang kelas nampak sepi. Namun tidak dengan satu ruang kelas yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Haris mendekat ke arah kelas itu dan sedikit mengintip melalui jendela untuk mencari keberadaan sosok gadis yang ia cari. Tiba-tiba saja ia tertawa saat melihat satu gadis yang sedang meledek temannya dengan memegang-megang sapu.

“Ada-ada aja si geulis.”

Tidak lama setelah itu, satu teman Sabil keluar dari kelasnya. Haris yang sedang menunggu di bangku depan kelas Sabil langsung buru-buru menahan pergerakan temen satu kelas Sabil

“Eh, kenapa ya kang?” tanya gadis itu dengan sedikit terkejut.

“Boleh minta tolong?”

“Boleh aja, minta tolong naon kang?”

“Tolong panggilin Sabil ya, nuhun.”

Gadis itu langsung masuk kembali ke dalam kelas, sedangkan yang dipanggil pun langsung melihat siapa yang menunggunya di luar. Matanya membulat ketika melihat Haris yang sudah berdiri di depan kelasnya sembari memasukkan satu tangannya ke saku celananya dan satu tangannya lagi ia lambaikan ke arah Sabil. Tidak lupa dengan senyuman yang bisa membuat Sabil lupa akan semua yang berada di alam semesta ini.

Miwa yang berada di belakang Sabil langsung mendorong temannya itu untuk segera menghampiri Haris yang sudah menunggunya. “Wey malah ngelamun! Terpukau ya ngeliat senyuman Kang Haris?“

“E-eh… Apasih kamu, Miw!” Sabil memukul pelan tangan Miwa.

Miwa terkekeh. “Yaudah itu samperin Kang Haris nya atuh, kasian daritadi berdiri disitu udah kayak standee kpop.”

Sabil perlahan langsung melangkahkan kakinya ke arah Haris yang masih setia berdiri disana.

“K-kamu ngapain ke kelas aku?” tanya Sabil yang sedikit menaikkan kepalanya untuk melihat wajah Haris. Karena tinggi Sabil yang tidak setara dengan Haris.

Haris terkekeh sembari melihat muka Sabil yang sudah memerah.

“Mau liat kamu sebelum pulang. Nanti kan kita nggak pulang bareng.”

“HARISSSSS BISA NGGAK SIH KAMU DIEM SEHARI? ADUH INI AKU TEH LEMES BANGET TAPI HARUS TETEP TERLIHAT STRONG!!!”

“Kenapa gitu?”

“Gapapa sih, sekalian aku mau cek kamu sebelum pulang. Takutnya besok ada yang lecet, kan aku jadi bisa tau.”

“Lebay ih!” Sabil mendorong pelan lengan Haris.

Lagi-lagi Haris terkekeh sembari menatap gadis yang ada di depannya itu.

“Yaudah, kamu nanti hati-hati ya pulangnya,” ucap Haris.

Sabil mengangguk dengan menunjukkan senyuman manisnya kepada Haris.

“Aku futsal dulu ya Sabil, makasih udah senyum ya. Kayaknya nanti aku futsalnya langsung semangat,”ucap Haris sembari menepuk pelan puncak kepala Sabil dan pergi meninggalkan Sabil yang terdiam akibat aksi Haris barusan.

Haris belum sepenuhnya meninggalkan gadis itu, ia kembali melihat ke belakang. “Sabil,” panggil Haris yang membangunkan lamunan Sabil.

“Dadah!” lanjut Haris sembari melambaikan tangannya dan tersenyum ke arah gadis itu. Sabil hanya menatap laki-laki itu sampai benar-benar hilang dari pengelihatannya.

“MIWAAAAAAAAAAAAAAAA!” teriak Sabil sambil berlari ke dalam kelas.

Dengan segala keberanian yang sudah Sabil kumpulkan, ia langsung buru-buru keluar dari toilet untuk menuju lapangan. Setibanya di lapangan, ia bisa melihat semuanya sudah terbaris dengan rapih. Agar tidak menjadi pusat perhatian, Sabil memilih untuk masuk ke dalam barisan melalui barisan belakang. Miwa yang sadar dengan kehadiran Sabil langsung menarik Sabil untuk masuk ke barisannya.

“Lama pisan ih, untung nggak dihukum.”

Sabil hanya tersenyum sembari merapihkan seragam olahraganya.

“Anak-anak, hari ini agenda olahraganya nggak begitu berat karena adanya kelas gabungan. Jadi hari ini kita hanya main basket saja. Kelas 12 lawan kelas 10 oke,” jelas Pak Beni selaku guru peganti.

“Nanti perempuan lawan perempuan, laki-laki lawan laki-laki.”

“Disini udah pada tau basic main basket kan?” tanya Pak Beni.

“Udah pak,” jawab semua murid serempak.

“Mampus, Miw, aku teh jarang main basket anjir. Malu pisan cuma bisa ngedribble.”

“Kalem weh, aku juga cuma bisa ngejar bola.”


Suara priwitan Pak Beni terdengar begitu nyaring. Hal itu menandakan bahwa pertandingan antar kelas sudah dimulai. Sabil bisa melihat Haris yang sudah berada di tengah lapangan untuk mengejar bola. Namun, ia langsung memalingkan pandangannya ke lain arah. Sedangkan yang berada di tengah lapangan pun tidak lupa juga untuk mencuri pandang ke arah gadis yang sedang duduk merangkul kedua lutut kakinya.

“Miw, daripada bosen liatin orang-orang pada ngejar bola, mending kita main sendiri aja disana,” ajak Sabil tiba-tiba.

Miwa yang juga merasa bosan langsung mengiyakan ajakan Sabil dan bangkit dari duduknya. Mereka berdua menghampiri Pak Beni untuk meminta bola dan bermain di lapangan sebelah.

Sabil dan Miwa hanya latihan untuk mengshoot bola basket ke dalam ring.

“Aduh Bil, ini mah kita nggak bisa ikut kejuaraan nasional kalo ngeshoot aja masih remed.”

“Ih siapa juga yang mau ikut kejuaraan nasional. Aku teh kalo soal olahraga kayak gini nggak pernah jago, Miw!”

Keduanya terkekeh.

“Tangkep, Bil.” Miwa melemparkan bola basket ke arag Sabil. Untung saja Sabil sedang tidak melamun, jadi ia bisa langsung menangkap bola yang dilemparkan oleh Miwa.

Tidak terasa pertandingan tim putra pertama sudah selesai, lagi-lagi Pak Beni meniupkan priwitannya untuk memulai pertandingan tim putra kedua. Sabil benar-benar fokus untuk bermain dengan bola basketnya sampai tidak memperdulikan sekitarnya.

“Eh tangan kita tuh bener nggak sih begini?” tanya Sabil.

“Miw? Kamu teh denger aku nggak sih?”

Sabil tidak mendengar adanya pergerakan dari Miwa, melainkan suara langkah yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Salah.”

Deg

Sabil dibuat terkejut oleh tangan kekar yang sudah berada di atas punggung tangannya. Ia menoleh ke arah sumber suara dan langsung membulatkan matanya. Bukan Miwa yang kini sedang membantunya membenarkan teknik dalam bermain bola basket, melainkan Haris.

Laki-laki itu tersenyum ke arah Sabil yang masih berada di depannya sembari menoleh ke arah samping wajahnya, dengan kedua tangan mereka yang masih saling memegang bola basket. Sabil yang sadar akan posisi Haris yang seperti memeluknya dari belakang langsung melepaskan bola basket dan segera menjauh dari jangkauan Haris.

“Kamu ngapain disini?” tanya Sabil sembari melirik ke arah sekitar.

“Ya olahraga?”

“Aku juga tau, tapi kamu ngapain kesini? Bukannya tadi abis main basket?”

“Udah selesai. Terus aku nyari kamu di pinggir lapangan, eh nggak ada. Taunya kamu disini,” jelas Haris.

Sabil terdiam. Hal itu membuat Haris bingung. Ia langsung menyenggol pelan lengan Sabil. “Kamu teh kenapa diem?”

“Kira-kira tadi teh ada yang ngeliat nggak ya, Ris? Masalahnya posisi kita tadi teh bikin salah paham.”

Haris yang melihat muka panik Sabil langsung tertawa. “Kalem, kamu teh nggak liat itu? Mereka semua pada sibuk masing-masing. Lagian kalo ada yang liat juga emangnya kenapa? Kan lumayan nambah followers.”

“Ih kamu mah.” Sabil mencubit kecil perut Haris.

“Aduh sakit!”

“Udah ah aku mau cari temen aku.”

“Ih mau kemana? Ini jadi mau diajarin nggak?”

“Mau cari temen aku!”

“Sabil!”

Sabil tidak menghiraukan panggilan Haris, ia semakin mempercepat langkahnya untuk mencari Miwa. Haris hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya melihat aksi lucu Sabil.

“Bil.”

“Apa?”

“Oh masih di belakang.”

“Ya masih!!!”

“Pegangan Bil,” pinta Haris.

“Modus weh kamu mah!”

“Bukan modus, itu biar meyakinkan aku kalo kamu masih di belakang.”

Sabil langsung memegang saku jaket Haris. Haris yang melihat itu langsung terkekeh. “Peluk atuh akunya, masa pegangannya jaket.”

“Halah tuhkan modus!”

“Bercanda, Bil. Yaudah pegangan ya, bentar lagi lampu ijo nih. Siap ya kita meluncur!”

“Bil, siap teu?”

“SIAAAAAP!!!” teriak Sabil dari belakang.

“Cakep!”

Motor Haris kembali melaju setelah tadi sempat terjebak lampu merah. Selama di perjalanan, Sabil masih memegang saku jaket Haris. Keduanya juga tidak banyak berbicara dalam perjalanan. Hanya Haris yang selalu memanggil nama Sabil untuk memastikan Sabil masih berada di belakangnya atau tidak.

“Bil,”

“IYAAAA AKU MASIH DI BELAKANG KAMU HARIS.”

“Kali ini teh bukan mau nge absen.”

“Terus apa?”

“Rumah kamu teh belok mana?”

“Astaga iya aku lupa ngasih tau, kamu kenapa nggak bilang daritadi!!!”

“Hehe, sengaja. Biar lama sama kamunya.”

Sabil langsung menepuk pelan punggu Haris. “Dasar!!!”

Sabil baru saja keluar dari toilet. Entah kenapa ia merasa begitu grogi untuk menemui Haris. Dirasanya sudah siap untuk bertemu, ia langsung melangkahkan kakinya menuju taman belakang sekolah.

Sedangkan Haris, ia tidak benar-benar menunggu Sabil di taman belakang, melainkan ia memilih untuk menunggu Sabil di koridor sebelum masuk ke area taman sekolah. Sabil bisa melihat Haris yang sedang menyenderkan kepalanya sembari mendengarkan musik dengan earphonenya dan menyilangkan tangannya. Ia langsung menghampiri laki-laki itu.

“Haris.” Sabil menepuk pelan pundak Haris.

Haris langsung melepas sebelah earphonenya. “Eh, udah dateng.”

“Aku kira kamu nunggu di taman belakang.”

“Ngeri euy, sendirian. Mending tunggu disini dulu,” jawab Haris.

Sabil hanya mengangguk. “Oh iya, ini kotak bekel kamu. Udah aku bersihin tadi pake tissue basah, nanti sampe rumah dibersihin lagi aja ya. Makasih ya.”

“Sama-sama, makasih juga udah diabisin. Bunda pasti seneng nih kalo bekelnya bersih.”

“Oh iya, salam juga buat bunda kamu.”

“Iya udah aku salamin kok.”

“Beneran?”

Haris mengangguk. “Terus kata bunda kamu apa?” tanya Sabil.

“Aku dimarahin nggak karena makan bekel kamu?”

“Aduh, pasti marah ya karena yang makan bekelnya bukan kamu?”

“Haris kamu kok ketawa?”

Haris hanya terkekeh melihat muka panik Sabil yang menurutnya sangat lucu.

“Kalem atuh Bil, si Bunda mah malah seneng. Nggak marah sama sekali, malah bilang makasih ke kamu karena udah bilang masakan bunda teh enak.”

Sabil yang mendengar penjelasan Haris langsung menghela napas lega. “Syukurlah.”

“Oh iya, kamu teh bilangnya kesini mau nemuin temen kamu. Mana?” tanya Haris.

“Eh iya untung kamu ingetin.”

“Ayok ikut aku.”

Tanpa sadar, Sabil menarik tangan Haris. Haris yang melihat itu langsung tersenyum dan menuruti kemana Sabil membawanya pergi.

“Nah itu temen aku.” Sabil melepas pegangannya pada Haris dan menunjuk ke arah kolam ikan yang berada di taman belakang sekolah.

“Bil kamu teh nunjuk siapa? Teu aya orang disini ih.” Haris mengelus kedua lengannya karena mendadak ngeri oleh Sabil.

“Ya emang nggak ada orang. Aku nunjuk ikan oren itu.”

Haris melirik ke arah kolam. “Itu ikan yang waktu itu kamu ajak ngomong?”

“KAMU KOK MASIH INGET?” tanya Sabil.

“Masih dong,” jawab Haris sembari terkekeh.

“Ih jangan ketawa! Tapi dia beneran nemenin aku waktu itu, makanya aku ajak ngobrol dan temenan. Mending sekarang kamu kenalan sama si oren.”

Bagi orang lain ini nampak aneh. Tapi Haris sama sekali tidak merasa begitu, ia menuruti perintah Sabil untuk berkenalan dengan seekor ikan hias berwarna oranye itu.

“Halo Oren, kenalin aku teh Haris.”

Selanjutnya Haris berbisik ke arah Si Oren.

“Ih kamu bisikin ala ke Si Oren?” tanya Sabil penasaran.

“Kepo, itu rahasia aku sama Si Oren.”

“Baru kenal sama Si Oren kamu udah main rahasia- rahasiaan ya.”

“Udah yuk jangan kelamaan disini, udah mau gelap nih,” ajak Haris.

“Terus mau kemana?”

“Pulang.”

“Sebentar, aku pesen ojol dulu.”

“Siapa yang bilang kamu pulang sama ojol?”

“Lah, terus sama siapa?”

“Sama Haris lah. Aku udah ada disini masa nggak pulang bareng.”

Sabil terkejut. Matanya otomatis membulat. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Haris akan mengantarnya pulang ke rumah.

“Eh malah bengong si geulis!”

“Hayuk atuh, nanti keburu ujan.”

“Kamu nggak ada ajak aku pulang bareng sebelumnya, kok tiba-tiba ajak aku pulang bareng?”

“Disuruh Si Oren. Udah ah hayuk,” ucap Haris sembari membawa Sabil pergi dari taman untuk menuju gerbang sekolah.

“Haris ih lepas, nanti jadi gosip!!!”

“Nggak apa-apa, nambah followers IG.”

“Kamu, ih!!!”

Setelah melihat pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih, Lady langsung mengambil jaket yang berada di lemari pakaiannya. Ia langsung keluar menuju taman apartmentnya dengan menaiki lift. Pintu lift terbuka dengan sempurna, Lady buru-buru melangkahkan kakinya untuk mencari keberadaan Sadew. Ia pikir, laki-laki itu hanya bercanda dengan ucapannya tadi, tapi ternyata Lady bisa melihat dari kejauhan Sadew yang sudah melambaikan tangan ke arahnya.

Lady langsung menghampiri Sadew yang berada di jarak yang tidak terlalu jauh darinya. Laki-laki itu tersenyum ke arahnya sembari merentangkan tangannya, seakan memberi kode untuk Lady masuk ke dalam dekapannya. Bukannya mendapat pelukan hangat, Sadew malah dihujani cubitan kecil oleh Lady.

“Kenapa tiba-tiba udah di Jakarta? Kamu bilang pulang besok!”

“Aduh! Ampun…. Sakit perut aku.” Sadew meringis kesakitan akibat cubitan kecil yang diberikan oleh Lady.

“Jawab dulu.”

“Ya kan udah aku bilang, mana tahan buat pulang besok. Aku kangen kamunya sekarang, bukan besok.”

Lady menggeleng saat mendengar jawaban dari sang kekasih. “Kamu tuh ya! Jangan kebiasaan nekat gini.”

“Udah dong jangan marah, mending kasih aku peluk dulu.”

“Nggak mau.”

“Lad….”

“Nggak.”

Lady langsung menjauh dari Sadew. Sebenarnya ia senang melihat kehadiran Sadew, namun ia juga khawatir dengan kondisi tubuh Sadew. Apalagi laki-laki itu baru saja selesai dari kegiatan menyanyinya.

Sadew yang melihat Lady menghindar langsung memeluk perempuan itu dari belakang. “Jangan cemberut gitu dong, Lad.”

“Lepas ih, kalo ada fans kamu yang berkeliaran disini gimana? Atau ada yang ngenalin kamu gimana?”

I don’t care, aku bisa langsung announce tentang hubungan kita ke publik.”

“Jangan ngaco! Aku belum siap dirujak sama fans kamu.”

“Bahasa apa sih rujak itu….”

“Udah ah kamu nggak paham! Lepasin dulu, aku sesek.”

Akhirnya Sadew mengalah. Perempuan itu langsung mengirup napas lega setelah Sadew melepaskan pelukannya.

“Ayo,” ajak Sadew.

“Ayo kemana?”

Night walk, biar wishlist tadi tercapai,” jawab Sadew. “Di mimpi kamu kita night walk sambil pegangan tangan nggak?”

“Aku lupa.”

“Yaudah pegangan aja kalo gitu.” Sadew langsung menautkan jari-jarinya ke sela jari tangan Lady. Keduanya langsung berjalan mengitari taman dengan jari yang saling bertaut, sesekali Sadew merangkul pundak sang kekasih karena merasakan dinginnya angin malam yang cukup menusuk kulit.

“Lad,” panggil Sadew.

“Ya kena—“

Cup!

“SADEW!”

“Yes dapet cium!” Sadew langsung berlari setelah mengecup sekilas bibir Lady.

Yang dikecup pun tidak tinggal diam, ia langsung berlari mengejar Sadew. Perempuan itu berniat untuk memberi cubitan kecil kepada Sadew karena sudah sembarangan mengecup bibirnya di tempat terbuka seperti ini. Baru setengah berlari, Lady sudah berhenti akibat Sadew yang berlari sangat cepat. Sadew tertawa jahil melihat Lady yang sudah menyerah untuk mengejarnya.

“Masa berhenti sih, kejar dong sini,” teriak Sadew sambil terkekeh.

“Sadew nyebelin!” ucap Lady pelan, kemudian ia kembali berlari untuk mengejar Sadew yang sudah berada lumayan jauh darinya.

Setelah melihat pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih, Lady langsung mengambil jaket yang berada di lemari pakaiannya. Ia langsung keluar menuju taman apartmentnya dengan menaiki lift. Pintu lift terbuka dengan sempurna, Lady buru-buru melangkahkan kakinya untuk mencari keberadaan Sadew. Ia pikir, laki-laki itu hanya bercanda dengan ucapannya tadi, tapi ternyata Lady bisa melihat dari kejauhan Sadew yang sudah melambaikan tangan ke arahnya.

Lady langsung menghampiri Sadew yang berada di jarak yang tidak terlalu jauh darinya. Laki-laki itu tersenyum ke arahnya sembari merentangkan tangannya, seakan memberi kode untuk Lady masuk ke dalam dekapannya. Bukannya mendapat pelukan hangat, Sadew malah dihujani cubitan kecil oleh Lady.

“Kenapa tiba-tiba udah di Jakarta? Kamu bilang pulang besok!”

“Aduh! Ampun…. Sakit perut aku.” Sadew meringis kesakitan akibat cubitan kecil yang diberikan oleh Lady.

“Jawab dulu.”

“Ya kan udah aku bilang, mana tahan buat pulang besok. Aku kangen kamunya sekarang, bukan besok.”

Lady menggeleng saat mendengar jawaban dari sang kekasih. “Kamu tuh ya! Jangan kebiasaan nekat gini.”

“Udah dong jangan marah, mending kasih aku peluk dulu.”

“Nggak mau.”

“Lad….”

“Nggak.”

Lady langsung menjauh dari Sadew. Sebenarnya ia senang melihat kehadiran Sadew, namun ia juga khawatir dengan kondisi tubuh Sadew. Apalagi laki-laki itu baru saja selesai dari kegiatan menyanyinya.

Sadew yang melihat Lady menghindar langsung memeluk perempuan itu dari belakang. “Jangan cemberut gitu dong, Lad.”

“Lepas ih, kalo ada fans kamu yang berkeliaran disini gimana? Atau ada yang ngenalin kamu gimana?”

I don’t care, aku bisa langsung announce tentang hubungan kita ke publik.”

“Jangan ngaco! Aku belum siap dirujak sama fans kamu.”

“Bahasa apa sih rujak itu….”

“Udah ah kamu nggak paham! Lepasin dulu, aku sesek.”

Akhirnya Sadew mengalah. Perempuan itu langsung mengirup napas lega setelah Sadew melepaskan pelukannya.

“Ayo,” ajak Sadew.

“Ayo kemana?”

Night walk, biar wishlist tadi tercapai,” jawab Sadew. “Di mimpi kamu kita night walk sambil pegangan tangan nggak?”

“Aku lupa.”

“Yaudah pegangan aja kalo gitu.” Sadew langsung menautkan jari-jarinya ke sela jari tangan Lady. Keduanya langsung berjalan mengitari taman dengan jari yang saling bertaut, sesekali Sadew merangkul pundak sang kekasih karena merasakan dinginnya angin malam yang cukup menusuk kulit.

“Lad,” panggil Sadew.

“Ya kena—“

Cup!

“SADEW!”

“Yes dapet cium!” Sadew langsung berlari setelah mengecup sekilas bibir Lady.

Yang dikecup pun tidak tinggal diam, ia langsung berlari mengejar Sadew. Perempuan itu berniat untuk memberi cubitan kecil kepada Sadew karena sudah sembarangan mencium bibirnya di tempat terbuka seperti ini. Baru setengah berlari, Lady sudah berhenti akibat Sadew yang berlari sangat cepat. Sadew tertawa jahil melihat Lady yang sudah menyerah untuk mengejarnya.

“Masa berhenti sih, kejar dong sini,” teriak Sadew sambil terkekeh.

“Sadew nyebelin!” ucap Lady pelan, kemudian ia kembali mengejar Sadew yang berada lumayan jauh darinya.

Haris tidak main-main dengan ucapannya dichat barusan. Ia benar-benar langsung bangkit dari mejanya dan pindah ke meja yang sama dengan Sabil. Karena samping kanan dan kiri gadis itu telah diisi oleh orang lain, jadilah Haris memilih untuk duduk di depan Sabil.

“Halo,” Sapa Haris.

“H-hai,” jawab Sabil kikuk.

“Aku duduk sini nggak apa-apa kan?”

Sabil mengangguk sembari menyedot minumannya.

“Kamu teh sering kesini, Bil?”

“Iya, kalo lagi sama ayah.”

Haris hanya ber-oh ria sembari memasukkan satu sendok buburnya. “Oh iya, makan ya Bil.”

“Iya sok.”

Sempat dia sebentar karena Haris yang sedang menikmati sarapannya, tiba-tiba saja hujan turun dengan lebat. Sabil terlihat begitu cemas karena mengingat bahwa Aghi yang sedang menuju kesini untuk menjemputnya.

Haris melirik ke arah Sabil. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

“Takut nggak bisa pulang karena hujan?”

“Ngga kok.”

“Tenang weh Bil, kalo bingung mau pulang naik apa teh aku bisa an——“

“Bil!” ucapan Haris barusan terpotong oleh laki-laki yang baru saja memanggil nama Sabil dengan baju dan rambut yang sangat basah.

“Aghi… Ya ampun! Maneh teh kuyup banget, Ghi.”

“Maaf ya lama, tadi teh macet. Terus aing lupa nggak bawa payung buat kesininya, parkir mobil aing lumayan jauh.”

“Nggak apa-apa. Aduh, maneh pesen teh anget dulu gih, ngeri masuk angin.”

Haris hanya menyimak obrolan keduanya sembari bertanya-tanya pada pikirannya.

Siapa ya?

Pacarnya? Kok segitu perhatiannya banget.

Aghi hanya menggeleng. “Nggak usah, santai aja. Maneh teh udah kelar makan buburnya?”

“Udah kok.”

“Mau tetep pulang atau neduh dulu? tanya Aghi.

“Pulang aja.”

“Yaudah ayok.”

Sebelum benar-benar pergi, Sabil sempat berpamitan dengan Haris. Aghi dibuat penasaran oleh sosok laki-laki yang baru saja diajak bicara oleh sahabatnya.

“Haris, aku pulang duluan ya, nggak enak udah di jemput. Maaf kamu makannya jadi sendirian.”

“Nggak apa-apa Bil, disini rame kok, jadi nggak sendirian,” jawab Haris sambil terkekeh.

Sabil hanya mengangguk sembari tersenyum.

“Bil, tapi aing nggak ada payung. Jadi kita ujan-ujanan dulu sampe ke tempat aing parkir mobilnya ya,” jelas Aghi.

“Yaudah gapapa.”

Haris yang mendengar itu langsung berdiri dari kursinya dan menyuruh Sabil untuk menunggu. Sabil terkejut melihat Haris yang keluar dari tempat makan itu sembari hujan-hujanan. Sabil tidak tau kemana Haris pergi karena laki-laki itu hanya menyuruhnya untuk menunggu.

“Saha sih, Bil?” tanya Aghi.

“Yang waktu aing ceritain dichat.”

“Oh, pantes.”

Tidak lama, Haris datang dengan keadaan yang sudah basah kuyup sembari menyodorkan payung lipat ke arah Aghi. “Pake ini aja buat mayungin Sabil.”

“Eh nggak usah repot gitu,” ucap Sabil.

“Nggak apa-apa, pake aja daripada kamu sakit. Dikembaliinnya kapan-kapan aja nggak apa-apa kok.”

Haris langsung memberikan payung itu kepada Aghi. “Hati-hati bawa mobilnya ya. Lagi ujan, jalanan licin.”

Setelah itu Haris langsung kembali ke mejanya dan menyantap satu mangkuk bubur yang sebelumnya sempat tertunda.

“Haris,” panggil Sabil.

Hari menengok ke arah Sabil. “Ya?”

“Makasih ya, kamu juga hati-hati pulangnya.”

Bel istirahat kedua baru saja berbunyi, seluruh siswa kelas 10 IPS 2 langsung buru-buru memasukkan alat tulisnya ke dalam laci meja untuk segera pergi ke kantin. Sabil dan Miwa juga sudah bersiap-siap untuk menuju kelas Alody. Seharusnya Alody juga berada di kelas yang sama dengannya dan Miwa, tapi entah kenapa nama Alody hilang dari daftar absen kelas 10 IPS 2 dan pindah ke kelas 10 IPS 3.

Sabil dan Miwa baru saja ingin meninggalkan mejanya untuk menjemput Alody ke kantin. Namun, tiba-tiba saja pintu kelasnya terbuka dan menunjukkan beberapa laki-laki yang kini sudah berdiri di depan kelasnya.

“Punten, izin pinjem waktu ishomanya sebentar ya.”

“Jadi teh disini, kita selaku tim futsal SMANSA mau ajak beberapa siswa laki-laki untuk join ke ekskul kami. Kalo ada yang minat, bisa langsung isi formulir ini ya.”

“Ris, bagikeun atuh formulirnya jangan diem wae,” pinta Reno.

Haris yang sebelumnya sedang melihat ke arah gadis yang terlihat sedang menghindari kontak mata dengannya langsung mengiyakan ucapan Reno.

Haris mulai keliling untuk membagikan satu persatu formulir pendaftaran ke barisan awal. Kini, ia berdiri di barisan dimana Sabil duduk. Tujuannya berada pada siswa laki-laki yang duduk tepat berada di belakang gadis itu. Namun, ia sengaja berhenti di sebelah Sabil.

Sedangkan Sabil, dari awal Haris masuk ke kelasnya, ia sudah berusaha untuk tetap tenang dan memilih untuk melihat ke lain arah agar matanya tidak bertemu dengan Haris. Sesekali ia melihat ke arah ponselnya dan mengajak bicara Miwa yang duduk satu bangku dengannya.

Namun usahanya sia-sia. Tubuhnya mendadak mematung ketika Haris yang tiba-tiba saja berhenti tepat di sebelahnya. Hal itu membuat Sabil yang bisa mencium wangi dari sosok laki-laki yang kini sudah kembali ke depan kelasnya. Sabil otomatis bernapas lega. Tanpa disadari, pipinya memanas dan berubah menjadi kemerahan.

Haris melihat itu, ia terkekeh pelan sembari tetap menatap ke arah gadis itu. Tingkahnya benar-benar membuat Haris gemas. Apalagi pipinya yang mendadak berubah menjadi kemerahan.

Setelah itu, Reno selaku ketua futsal langsung berpamitan dan mengajak beberapa anggotanya untuk keluar dari kelas itu. Haris yang memang keluar paling akhir, menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Sabil dan memberikan senyuman kepadanya.

“Bil kamu teh kenal?” tanya Miwa yang langsung menghadap ke belakang.

“Sama siapa?”

“Sama akang yang senyumin kamu tadi.”

Sial. Miwa liat, batinnya.

“Enggak, emangnya teh kenapa?”

“Dia teh akang yang nyuruh aku sama Alody duduk di sebelah kamu pas di kantin waktu itu.”

“Pantes aja tadi tuh nggak asing pas di lapangan. Ternyata yang nomor punggung 5 teh akang yang waktu itu!” lanjut Miwa.