scrpleo

Tiga puluh menit menghabiskan waktu diperjalanan, mereka berdua telah tiba di depan jajanan-jajanan yang berada di depan komplek perumahan Mia. Jose langsung mengajak Mia untuk masuk ke dalam tendaan jajanan itu dan menyuruh Mia untuk duduk.

“Pak, lumbas sama es jeruknya dua ya, makan disini.”

“Siap mas!”

Mia yang sebelumnya cemberut langsung tersenyum senang ketika aroma kenikmatan lumpia yang masuk ke indera penciumannya.

“Gitu dong nggak cemberut lagi.”

“Tadi kenapa, sih?” tanya Jose penasaran.

“Kamu tadi merasa diperhatiin nggak?”

“Hah? Engga. Emang ada yang merhatiin aku?”

Gadis itu mengangguk. “Anak cheers sekolah ku. Dia latihan di belakang kamu parkor motor. Tapi matanya nggak berhenti ngeliatin kamu. Sebel banget.”

Jose tertawa. “Ohhh, jadi tadi tuh kamu cemburu?”

“Nggak cemburu! Cuma sebel aja.”

Jose menyenggol lengan Mia. “Ah, bilang aja kalo cemburu.”

Mia langsung menepuk lengan Jose. “Nggak ya, diem!!!”

Disela-sela perdebatan mereka, penjual lumpia itu datang sembari membawa dua piring pesanan mereka. Mia yang sebelumnya ingin memberikan pukulan kepada Jose langsung berfokus pada dua piring lumpia yang kini sudah berada di depannya.

“Makasih, pak!” ucap Mia kepada penjual lumpia itu. Mia langsung buru-buru mengambil sendok untuk mendapatkan suapan pertamanya.

“Hati-hati, masih panas.”

“Aduh!”

Lidah Mia terasa seperti terbakar karena lumpia tersebut baru saja selesai diangkat dari pemasaknya. Jose yang melihat itu, langsung buru-buru memberikan satu gelas Es Jeruk kepada Mia. “Kan aku bilang masih panas. Nih minum.”

“Makasih.”

Jose juga mengambil sendok untuk mendapatkan suapan pertamanya. Mereka berdua menikmati lumpia basah itu dengan sangat tenang dan tidak banyak bicara. Selesai dengan menyantap lumpia tersebut, Jose dan Mia melanjutkannya dengan sesi obrolan mereka. Sampai dimana ponsel Mia berbunyi dan menampilkan notifikasi pesan yang dikirimkan oleh sang ibu.

“Mama udah nyuruh pulang nih, Jo.”

“Yaudah bentar aku bayar dulu.”

Jose bangkit dari duduknya dan segera menghampiri penjual lumpia tersebut untuk membayar pesanan mereka.

“Pak, jadi berapa?”

“Jose?”

Merasa dirinya dipanggil, Jose langsung menoleh ke arah sumber suara. Matanya membulat ketika mengetahui siapa yang barusan memanggil namanya.

“Udah belum, J—“

Ucapan Mia terpotong saat melihat seorang gadis yang sudah berdiri di hadapan kekasihnya itu. Keduanya langsung menoleh ke arah Mia yang baru saja tiba disana. Merasa tidak senang dengan situasi saat ini, Jose langsung membayar pesanannya dan berpamitan kepada gadis yang sebelumnya memanggil namanya. Jose meraih tangan Mia untuk ia genggam dan membawa Mia untuk pergi dari tempat itu.

Mia masih tetap melihat ke arah gadis yang mematung disana. Namun, pandangannya langsung dialihkan oleh Jose yang tiba-tiba memakaikannya helm dan menyuruhnya untuk segera naik ke motor laki-laki itu.

“Siapa?” ucap Mia dalam hati.

Tepat pukul tiga sore, bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Mia yang malas akan keramaian memilih untuk menunggu di dalam kelas sembari memainkan ponselnya.

“Woy, Mi,” panggil seorang gadis dari jendela.

Mia menoleh ke arah jendela kelasnya. Setelah mengetahui siapa yang memanggilnya, ia langsung menyuruh gadis yang berada diluar untuk masuk ke dalam kelasnya.

“Ngapain disini, kenapa nggak turun?” tanya Gadis dengan rambut sebahu yang baru saja membuka pintu kelas Mia.

“Rame banget kayak zombie, nanti aja nunggu sepi, Na.”

Gadis itu Elona. Elona yang sebelumnya masih berdiri di depan kelas langsung menghampiri Mia yang berkutik dengan ponselnya.

Elona kini ikut duduk di depan meja Mia. “Pulang sama siapa?”

“Dijemput Jose.”

“Cie, kayaknya beneran mau makan lumbas nih. Ikut dong.”

Mia langsung menaruh ponselnya dan menepuk pipi sahabatnya itu. “Nggak ada ya!”

“Gue ajak cowok gue deh, please….” ucap Elona sembari memohon.

“Nggaaaaaakk!”

Elona menggoyang-goyangkan tangan Mia. “Ih ayooook kita double date, Mi.”

Ponsel Mia berdering, membuat Elona berhenti dengan kegiatannya. Mia langsung melihat ke layar ponselnya, nama Jose muncul pada panggilan telepon itu.

“Bentar Na, Jose telepon.”

Mia mengangkat panggilan telepon dari Jose. Ternyata, laki-laki itu sudah sampai dan sedang menunggu di bawah. Panggilan diakhiri, Mia langsung mengajak Elona untuk turun bersamanya. Untungnya, jemputan Elona sudah tiba. Kalau tidak, sahabatnya itu akan terus merengek menuruti permintaannya tentang kencan ganda.

“Gue duluan ya, tuh udah ada Jose. Sana gih, itu anak cheers udah curi-curi pandang ke cowok lo. Gawat kalo kelamaan, nanti keburu naksir beneran sama si Jose.”

Mia menoleh ke arah lapangan. Benar saja, sekumpulan anak cheers yang sedang latihan terlihat sedang memperhatikan Jose. Mia mendecak sebal, apalagi melihat jarak antara Jose dengan sekumpulan anak cheers itu yang tidak terlalu jauh.

Tidak ingin membiarkan gadis itu menatap ke arah kekasihnya terlalu lama, Mia langsung pergi menghampiri Jose yang sedang duduk diatas motornya sembari melihat ke arahnya.

“Ngobrolin apa sih sama Elona?” tanya Jose ketika Mia sudah ada di hadapannya.

“Emang liat?” tanya Mia.

Jose mengangguk sembari memakaikan helm ke kepala Mia.

Alis Jose terangkat ketika melihat wajah Mia yang tampak cemberut. “Eh kok cemberut. Kenapa, nih?”

“Nggak apa-apa, ayok kita pulang.”

“Kenapa sih? Ngerasain hawa negatif lagi kah?”

“Iya,” sahut Mia.

Jose tidak mengerti dengan maksud Mia. Jadi, laki-laki itu memilih untuk menggelengkan kepalanya.

Sebelum benar-benar menaiki motor Jose, Mia sempat melirik ke arah anak-anak cheers dengan memberikan tatapan yang memiliki arti bahwa laki-laki yang sedaritadi menjadi pusat perhatian mereka adalah punyanya.

“Jadi kapan mau naiknya, Mi?” tanya Jose.

“Tolong pegangin ya sayang, aku mau naik,” ucap Mia yang memberikan penekanan pada kata sayang dengan lantang hingga membuat semua yang berada disekitarnya menoleh ke arah keduanya termasuk sekumpulan anak cheers tadi.

Jose yang mendengar itu sedikit terkejut dan merasa heran dengan sikap kekasihnya itu. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya dan memilih untuk membalas ucapan Mia.

“Iya sayang, aku pegangin.”

“Yuk, udah siap kan? Kita meluncur ya Mia-ku!”

Jealousy

Tepat pukul tiga sore, bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Mia yang malas akan keramaian memilih untuk menunggu di dalam kelas sembari memainkan ponselnya.

“Woy, Mi,” panggil seorang gadis dari jendela.

Mia menoleh ke arah jendela kelasnya. Setelah mengetahui siapa yang memanggilnya, ia langsung menyuruh gadis yang berada diluar untuk masuk ke dalam kelasnya.

“Ngapain disini, kenapa nggak turun?” tanya Gadis dengan rambut sebahu yang baru saja membuka pintu kelas Mia.

“Rame banget kayak zombie, nanti aja nunggu sepi, Na.”

Gadis itu Elona. Elona yang sebelumnya masih berdiri di depan kelas langsung menghampiri Mia yang berkutik dengan ponselnya.

Elona kini ikut duduk di depan meja Mia. “Pulang sama siapa?”

“Dijemput Jose.”

“Cie, kayaknya beneran mau makan lumbas nih. Ikut dong.”

Mia langsung menaruh ponselnya dan menepuk pipi sahabatnya itu. “Nggak ada ya!”

“Gue ajak cowok gue deh, please….” ucap Elona sembari memohon.

“Nggaaaaaakk!”

Elona menggoyang-goyangkan tangan Mia. “Ih ayooook kita double date, Mi.”

Ponsel Mia berdering, membuat Elona berhenti dengan kegiatannya. Mia langsung melihat ke layar ponselnya, nama Jose muncul pada panggilan telepon itu.

“Bentar Na, Jose telepon.”

Mia mengangkat panggilan telepon dari Jose. Ternyata, laki-laki itu sudah sampai dan sedang menunggu di bawah. Panggilan diakhiri, Mia langsung mengajak Elona untuk turun bersamanya. Untungnya, jemputan Elona sudah tiba. Kalau tidak, sahabatnya itu akan terus merengek menuruti permintaannya tentang kencan ganda.

“Gue duluan ya, tuh udah ada Jose. Sana gih, itu anak cheers udah curi-curi pandang ke cowok lo. Gawat kalo kelamaan, nanti keburu naksir beneran sama si Jose.”

Mia menoleh ke arah lapangan. Benar saja, sekumpulan anak cheers yang sedang latihan terlihat sedang memperhatikan Jose. Mia mendecak sebal, apalagi melihat jarak antara Jose dengan sekumpulan anak cheers itu yang tidak terlalu jauh.

Tidak ingin membiarkan gadis itu menatap ke arah kekasihnya terlalu lama, Mia langsung pergi menghampiri Jose yang sedang duduk diatas motornya sembari melihat ke arahnya.

“Ngobrolin apa sih sama Elona?” tanya Jose ketika Mia sudah ada di hadapannya.

“Emang liat?” tanya Mia.

Jose mengangguk sembari memakaikan helm ke kepala Mia.

Alis Jose terangkat ketika melihat wajah Mia yang tampak cemberut. “Eh kok cemberut. Kenapa, nih?”

“Nggak apa-apa, ayok kita pulang.”

“Kenapa sih? Ngerasain hawa negatif lagi kah?”

“Iya,” sahut Mia.

Jose tidak mengerti dengan maksud Mia. Jadi, laki-laki itu memilih untuk menggelengkan kepalanya.

Sebelum benar-benar menaiki motor Jose, Mia sempat melirik ke arah anak-anak cheers dengan memberikan tatapan yang memiliki arti bahwa laki-laki yang sedaritadi menjadi pusat perhatian mereka adalah punyanya.

“Jadi kapan mau naiknya, Mi?” tanya Jose.

“Tolong pegangin ya sayang, aku mau naik,” ucap Mia yang memberikan penekanan pada kata sayang dengan lantang hingga membuat semua yang berada disekitarnya menoleh ke arah keduanya termasuk sekumpulan anak cheers tadi.

Jose yang mendengar itu sedikit terkejut dan merasa heran dengan sikap kekasihnya itu. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya dan memilih untuk membalas ucapan Mia.

“Iya sayang, aku pegangin.”

“Yuk, udah siap kan? Kita meluncur ya Mia-ku!”

“Kamu ih, itu kalo nanti Kang Farel salah paham teh kumaha?” tanya Sabil sembari menepuk lengan Haris.

Setelah tadi sempat berpamitan dengan Ibu Sabil, kini sepasang kekasih itu sudah berada di garasi rumah Sabil. Haris masih belum menaiki motornya, ia masih tetap berdiri di samping gadisnya itu sembari mengelus-elus lengannya yang sebelumnya sempat menjadi sasaran Sabil.

“Salah paham gimana sih geulis, orang aku emang beneran mau minta peluk kok,” jawabnya dengan santai.

Mata Sabil otomatis membulat. “Nggak usah ngaco!”

“Aku abis ini langsung try out 100 soal soshum, Bil.”

“Ya terus kenapa?”

“Butuh energi euy.”

Sabil hanya menatap Haris yang kini sudah merentangkan kedua tangannya, seakan memberi sinyal kepada gadis itu untuk memberikannya pelukan.

Gadis itu terlihat ragu, jadi ia membisikkan sesuatu kepada Haris.

“Sebenernya aku mau peluk kamu, tapi takut diliat ibu.”

Haris terkekeh dan langsung merangkul Sabil dari samping. “Yaudah rangkul aja deh kalo gitu, tapi ini mah kayaknya energinya cuma setengah.”

Mendengar ucapan Haris membuat hati Sabil merasa tidak enak. Jadi, ia sedikit melirik ke segala arah untuk memastikan bahwa situasi ini sedang aman atau tidak. Dirasanya aman, Sabil langsung melepas rangkulan Haris dan langsung memberikan pelukan hangat untuk laki-laki itu.

Haris yang merasakan tubuh mungil Sabil sudah berada di dalam pelukannya langsung tersontak. Namun, ia langsung tersenyum dan mengelus pucuk kepala gadisnya dengan sayang.

“Maaf kalo tiba-tiba. Semoga energi kamu bisa balik full biar ngerjain soal try outnya teh lancar. Semangat ya!”

Mendengar kata-kata itu membuat Haris semakin mengeratkan pelukannya pada Sabil. “Nuhun ya geulis.”

Gadis itu hanya mengangguk dan kembali melepaskan pelukannya. “Aku takut ketauan ibu.”

Haris tertawa melihat wajah gadisnya yang kini sudah terlihat sangat panik. Jadi, ia langsung segera berpamitan kepada Sabil untuk bertempur dengan soal-soal yang nanti akan menjadi lawannya.

Sabil langsung membukan pagar rumahnya dengan perlahan. Kini motor Haris sudah benar-benar keluar dari garasi rumah Sabil. Haris langsung menyalakan mesin motornya.

“Aku berangkat ya, nanti aku kabarin kalo udah sampe tempat bimbel.”

Sabil yang kini sedang bersandar di pagar rumahnya langsung mengangguk. “Iya, hati-hati. Makasih udah mau nemenin aku nonton ya.”

Bukannya segera melajukan motornya, Haris malah menatap Sabil sembari tersenyum. Tiba-tiba saja ide gila yang ada di benaknya muncul.

“Ih kok malah ngeliatin aku?” tanya Sabil dengan heran.

“Sini dulu deh,” panggil Haris.

Sabil langsung menurut dan mendekat ke arah Haris.

“Kenapa?”

Cup

“Haris!!!!” seru Sabil.

Haris langsung melajukan motornya tanpa menghiraukan teriakan namanya yang dilontarkan oleh kekasihnya karena ulahnya itu. Haris tetap terus melajukan motornya sembari terkekeh puas, ia juga sempat melihat Sabil yang masih berdiri di belakang sana melalui kaca spion motornya.

Lucu banget nge freeze gitu,” ucap Haris sembari terkekeh.

Sudah tiga puluh menit Mia menunggu kehadiran Ona yang sedaritadi tidak kunjung datang. Selama menunggu, ia hanya mendengarkan lagu favoritnya di dalam kamarnya dengan volume kencang. Sampai dimana suara ketukan pintu dari luar kamarnya menginterupsi kegiatannya.

“Mi, turun. Ada tamu!” teriak ibunya dari luar sana.

Karena suara lagu yang Mia putar lebih kencang dari suara ibunya, Mia langsung membuka pintu kamarnya dengan lebar. “Kenapa ma, Mia nggak denger.”

“Kebiasaan kalo dengerin lagu kenceng-kenceng! Itu di bawah ada tamu.”

Mia pikir yang dimaksud oleh ibunya adalah Ona. Jadi, ia langsung mengambil tas perginya, juga tidak lupa dengan handphonenya dan segera bergegas untuk turun dari kamarnya dengan terburu-buru.

Sesampainya dibawah, Mia tidak melihat keberadaan Ona, melainkan Jose yang kini sudah duduk bersama ayahnya di ruang tamu rumahnya.

“Ngapain?” tanya Mia dengan wajah kebingungan.

Jose hanya tersenyum dan menyuruh Mia untuk duduk sejenak.

“Kok jutek gitu, sih, Mi? Josenya disambut dengan baik dong,” celetuk Ibu Mia yang baru saja turun dari kamarnya dan langsung duduk di sebelah Ayah Mia.

Mia masih tetap berdiri tanpa menghiraukan keberedaan Jose. “Ona dimana, Ma?”

“Nggak ada Ona, tuh adanya Jose,” jawab sang ibu.

Mia langsung mendengus kesal dan berniat untuk menghubungi Ona. Namun sang ayah sudah lebih dulu menggagalkan niatnya.

“Kamu duduk dulu dong, Mi. Itu tadi Jose mau ngomong sama mama dan papa. Kamu ikut dengerin sini,” pinta sang ayah.

Mia langsung duduk di sebelah Jose dengan tetap menyisakan sedikit jarak diantara keduanya.

Dirasanya sudah lengkap, Ibu Mia langsung melemparkan pertanyaan kepada Jose. “Jadi ada apa nih, Jose?”

Sebelum bersuara, Jose sempat menghelakan napasnya pelan untuk menenangkan dirinya yang tadi sempat grogi.

“Gini om, tante…” Matanya menatap ke arah kedua orang tua Mia dengan tangan yang berada di atas pahamya.

“Jose mau izin buat upgrade hubungan Jose sama Mia… Kira-kira om sama tante kasih izin nggak, ya?

Mata mia otomatis membulat dan menoleh ke arah Jose sembari menepuk pelan lengan laki-laki itu. “Maksud nya?!”

Jose langsung menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya, menyuruh Mia untuk tetap tenang.

Ayah Mia terkekeh. “Upgrade gimana maksud kamu, Jo? Ada-ada aja bahasanya.”

“Ya gitu om… Dari yang cuma temen, jadi ke lebih dari temen,” jawab Jose dengan senyum kikuknya.

Lagi-lagi Mia dibuat terkejut oleh laki-laki yang ada di sebelahnya. Ia hanya bisa memijat pelipisnya pelan.

Ibu Mia yang mendengar ucapan Jose, ikut mengeluarkan kekehannya. “Bener kan Mi kata Mama, Jose itu orangnya lucu.”

“Mama!”

“Hm… Kalo tante sih oke, yah, Jo. Coba kalo papanya Mia, gimana?”

“Kalo om sih ikut Mia aja. Mia nya mau nggak?” jawab Ayah Mia.

“Gimana, Mi?” tanya Jose sambil menyenggol lengan Mia.

“Waduh, Pa, kayaknya ini obrolan anak muda. Kita naik aja yuk,” ajak Ibu Mia yang paham dengan situasi.

Kedua orang tua Mia pun langsung bangkit dari duduknya dan berjalan untuk pergi meninggalkan Jose dan Mia di ruang tamu.

“Sukses ya Jo! Jawaban om tergantung sama Mia,” teriak Ayah Mia yang semakin hilang dari pengelihatan keduanya. Jose hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

Setelah kedua orang tua Mia sudah benar-benar pergi dari ruang tamu, Jose langsung menaruh pandangnya ke gadis yang ada di sebelahnya.

“Nggak usah ngeliatin!”

Bukannya berhenti untuk menaruh pandangnya kepada gadis yang ada di sebelahnya, Jose malah semakin menatap mata cokelat milik gadis itu.

“Gimana nih, Mi? Mau nggak?” tanya Jose sembari menyenggol lengan Mia.

“Mau apa?”

“Mau upgrade hubungan kita.”

“Paling juga lo bercanda lagi.”

Mendengar jawaban Mia seperti itu membuat Jose langsung duduk menghadap Mia. “Mi, gue udah ketemu nyokap bokap lo, nggak mungkin gue bercanda.”

Jose menyisirkan poni rambut nya ke belakang.

“Oke, sebelumnya gue mau minta maaf karena semalem udah bercandain lo sampe bikin lo bete dan sebel sama gue. Mungkin lo akan ngiranya gue nggak serius dengan omongan gue dichat semalem. Tapi jujur aja Mi, gue udah ada niat buat bilang kayak tadi ke bokap nyokap lo dari semalem. Tapi ternyata emang moment nya aja yang nggak pas.”

“Gue nggak mungkin langsung nembak lo tanpa sepengetahuan bokap atau nyokap lo, Mi. Makanya sekarang gue di rumah lo buat minta izin sama orang tua lo.”

“Setelah tadi gue ngobrol sama bokap dan nyokap lo, lo masih ngiranya gue bercanda, Mi?” tanya Jose.

Mia hanya terdiam. Lalu ia menggeleng.

“Jadi gimana, Mi?” tanya Jose memastikan.

“Gimana apanya?”

“Yang tadi gue omongin sama bokap dan nyokap lo.”

“Katanya lo udah tau jawaban gue,” ujar Mia

Jose menaikkan alisnya sebelah. “Jadi?”

“Yaudah.”

“Yaudah apa?”

“Yaudah ayok upgrade!!!”

Senyuman Jose mengembang setelah mendengar jawaban dari Mia. “Jadi sekarang kita pacaran nih?”

Gadis itu pun mendorong pelan bahu Jose. “Nggak usah nanya lagi kalo udah tau jawabannya!”

“Waduh…Siap, ampun pacar!”

“Jose!”

Jose langsung menangkup pipi Mia yang sudah berubah warna menjadi sedikit kemerahan. “Jiakh, mukanya langsung kayak udang gini.”

“Lepas ah!”

Puas dengan meledek gadis yang kini sudah menjadi kekasihnya, Jose hanya tertawa sembari melepaskan telapak tangannya dari kedua pipi gadis itu.

“Yaudah yuk, sekarang izin nyokap bokap lo.”

“Mau izin apa lagi?”

“Jalan-jalan, ngerayain yang baru jadian.”

“Ih kemana?”

“Keliling Blok M.”

Tiba-tiba saja ekspresi wajah Mia berubah menjadi sangat excited setelah mendengar Jose yang memberitahu kemana tujuan pergi mereka. “Serius?”

Jose tersenyum sembari meng-iyakan ucapan Mia.

“Terus Ona gimana? Gue udah ada janjian sama dia buat nemenin dia nyalon.”

“Hehe…”

“Apa kok ketawa?”

“Itu skenario gue sama Ona biar hari ini lancar, Mi.”

Mendengar penjelasan Jose barusan membuat Mia yang langsung menghujani lengan laki-laki itu dengan cubitan-cubitan kecil.

“Ampun Mi, aduh… A-aw, sakit Mi!!!”

Langit Jakarta yang sudah mulai berubah warna menjadi abu-abu kegelapan membuat Mia untuk melihat jarum jam yang ada ditangannya. Sedaritadi, ia hanya duduk seorang diri di bangku yang tidak terlalu jauh dari pintu gerbang sekolahnya untuk menunggu seseorang menjemputnya.

Tidak lama kemudian, sosok yang sudah Mia tunggu sedaritadi akhirnya memunculkan batang hidungnya. Mia langsung berlari menghampiri laki-laki yang baru saja melewati gerbang sekolahnya.

Jose memberhentikan motor vespa abu-abunya di tempat Mia memberhentikan langkahnya. “Nggak usah lari-lari, Mia, nggak gue tinggalin,” ucap Jose sambil melepas helmnya.

Tangannya memegang gagang apion motor Jose. “Gue ngerasain hawa negatif tadi, makanya pas liat lo gue langsung lari.”

“Emang sekolah lo bekas rumah sakit?” tanya laki-laki itu dengan sangat serius.

Mia melihat ke kanan dan ke kiri, lalu ia berbisik kepada Jose yang masih sangat penasaran. “Sebenernya sekolah gue bekas kuburan.”

“Mia!!!”

Mia terkekeh melihat ekspresi wajah Jose yang tampak sangat terkejut. “Kok lo malah ketawa sih! Buruan naik, gue ngeri kita naik motornya jadi bertiga.”

“Sembarangan lo kalo ngomong! Gue cuma bercanda.”

Jose mengelus lengannya yang barusan terkena pukulan Mia. “Yaudah nih pake helm dulu, biar nggak digigit nyamuk.”

“Boleh tolong pegangin bawaan gue dulu nggak? Gue susah mau pake helmnya.”

Bukannya mengambil barang-barang bawaan Mia, Jose malah memakaikan helm yang sudah ia bawa ke kepala Mia. Tidak lupa untuk mengencangkan kaitan pada helm itu.

“Gue kan minta tolong pegangin barang bukan pakein helm, Jose…”

“Udah, biar gue aja. Nah, sekarang ayok naik.”

Mia mendengus dan langsung duduk di belakang jok motor Jose. Mia sudah duduk dengan posisi ternyamannya, namun si pemilik motor, hanya berdiam diri sembari mengetuk pelan stir motornya tanpa berniatan untuk menyalakan mesin motornya.

“Jo, kok lo diem?” tanya Mia yang sedikit memajukan tubuhnya.

“Ini mah bakalan diem terus kalo lo belum pegangan.”

“Gue udah pegangan, kok.”

“Pegangannya disini Mi,” ucap Jose sembari menepuk-nepuk pinggangnya.

Mia membulatkan matanya tanpa sepengelihatan Jose. Menurutnya laki-laki yang di depannya sudah gila karena membuat jantungnya mendadak berpacu lebih cepat dari biasanya.

“Yah nggak jalan-jalan ini mah sampe pagi.”

“BAWEL!!! Iyaudah nih, gue udah pegangan!” seru Mia yang kini sudah melingkarkan tangannya di pinggang Jose.

Jose yang merasakan ada tangan yang melingkar di pinggangnya langsung tersenyum sambil menyalakan mesin motornya.

“Nah gitu dong, Terus pegangan ya Mi, gue mau jalanin motornya nih.“

“Iyaaa!”

“Jangan dilepas ya Mi.”

“Iya jose, nggak dilepas sampe rumah Nabil.”

Motor Haris baru saja berhenti di depan rumah Sabil. Haris langsung melepaskan helm yang sebelumnya masih terpasang di kepalanya dan segera turun menemui Sabil yang terlihat sedang berpamitan dengan ibunya.

Selesai menaruh helm di atas jok motornya, Haris langsung berpamitan dengan Ibu Sabil yang memang sudah mengenal siapa Haris.

“Sore bu, Haris izin ajak Sabilnya pergi ya bu,” ucap Haris dengan sopan sembari menyalimi tangan ibu Sabil.

“Iya sok, asal jangan lewat dari jam 10 malem ya, Ris.”

Haris langsung berlaga seperti hormat kepada tiang bendera. “Iya bu, siap! Tenang aja sama Haris, pasti Sabilnya aman.”

Sabil yang melihat Haris seperti itu langsung terkekeh dan mengajak Haris untuk segera berangkat.

“Yaudah hayuk, nanti keburu tambah macet jalannya,”

“Teteh jalan dulu ya bu.”

Setelah berpamitan, mereka berdua langsung menaiki si ganteng, julukan motor Haris, dan langsung berjalan meninggalkan kediaman Sabil.

“Mau kemana kita?” tanya Sabil sembari menempelkan dagunya ke bahu sebelah kanan Haris dengan tangan yang melingkar dipinggang laki-laki itu.

“Aku kepikiran satu tempat sih,” celetuk Haris yang masih fokus dengan setirnya.

“Apa?”

“Hm, ikut aja. Kamu pasti seneng.”

Tidak banyak bertanya lagi, Sabil memutuskan untuk mengikuti kemana Haris akan membawanya.

Tiga puluh menit berlalu, kini keduanya telah sampai di salah satu pasar ikan hias yang ada di Bandung. Haris membantu Sabil yang ada di belakang untuk turun dari motornya lebih awal, ia juga membantu Sabil untuk melepaskan helm yang tadi sengaja ia bawa untuk kekasihnya.

“Kok tiba-tiba pasar ikan?” tanya Sabil.

Haris mengangguk. “Udah yuk, kamu pasti seneng!”

Di sepanjang lorong pasar ikan hias ini, Sabil tidak berhenti untuk memuji ikan-ikan hias yang ada di dalam aquarium.

“Haris, itu cantik banget!”

“Aku suka warnanya!”

“Lucu banget Haris, aku mau nangis.”

“Haris liat itu yang warna kuning, dia ngedipin aku!!! Kayaknya dia minta dibeli.”

Itu lah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Sabil. Haris hanya tersenyum melihat Sabil yang sangat antusias.

“Nah, udah sampe nih.”

Keduanya tiba disalah satu kios terbaik yang terdapat di Pasar Ikan ini. Haris langsung mengajak Sabil untuk masuk ke dalam.

“Punten mang.”

“Hooh, sok, cari naon?”

“Goldfish nya teh aya?”

“Aya A, mau sabaraha?”

Haris langsung menoleh ke arah Sabil yang sedaritadi hanya menyimak. “Kamu mau beli berapa?”

“Ini teh buat siapa?”

“Ya buat kamu atuh! Kan aku nanya kamu.”

“SERIUS?????”

“Iya serius, aku beliin.”

“Ih, dalam rangka apa?”

“Biar kamu teh nggak perlu lagi main sama si oren yang ada di taman belakang sekolah. Jadi ini aku beliin aja biar kamu bisa main setiap hari sama dia di rumah.”

“Haris….”

“Ayo cepet mau berapa, kasian mamangnya nungguin.”

“Satu aja cukup. Nuhun ya!!!” Sabil langsung mendekatkan dirinya kepada Haris. Haris langsung merangkul tubuh mungil Sabil dan meminta penjual ikan hias itu untuk segera menyiapkan satu ikan hias pilihannya.

Setelah selesai membeli ikan hias, mereka langsung kembali ke parkiran dan segera pergi dari sana. Di perjalanan, Sabil tidak berhenti untuk mengajak bicara ikan yang baru saja dibelikan oleh Haris. Bahkan ia sampai tidak kembali melingkarkan tangannya di pinggang Haris.

Haris mengarahkan kaca spionnya untuk melihat kekasihnya yang sedang asyik berbicara dengan seekor ikan hias berwarna oranye itu.

“Jangan ditanya-tanya terus atuh si ikannya, ntar dianya pusing.”

“Eh, maaf. Aku gemes soalnya.”

Haris terkekeh sembari berkata dengan nada kecilnya, “Gemesan juga kamu, Bil.”

Sabil tidak mendengar itu, ia terlalu fokus dengan ikan kecil yang sedaritadi berenang di dalam toples kecil yang ia peluk dengan sangat hati-hati.

“Kamu laper nggak?” tanya Haris.

“Agak sedikit sih, hehe. Kenapa?”

“Kita makan dulu ya. Kamu makan apa?”

“Hm, Haris….”

“Ya, kenapa Sabil?” Haris langsung memelankan kecepatan motornya agar bisa lebih fokus dengan Sabil.

“Aku teh sebenernya pengen banget makan pecel lele, tapi aku baru aja dibeliin ikan sama kamu,” jelas Sabil.

“Ya terus kenapa?”

“Ih, aku takut ntar dia jadi gamau temenan sama aku gara-gara liat aku makan sebangsanya!!!”

Mendengar alasan Sabil membuat Haris tidak berhenti tertawa. Bisa-bisanya kekasihnya memiliki pemikiran seperti itu. Haris hanya bisa menggelengkan kepalanya dan tertawa hingga membuat Sabil bingung.

“Kamu teh kenapa ih, kok malah ketawa?”

“Gapapa, lucu aja kamu bilang begitu.”

Melihat yang sedaritadi ditunggu tidak terlihat, Jose langsung berinsiatif untuk menanyakan keberadaan Mia. Teman Mia yaitu, Elona, yang Jose juga kenal, memberitahu bahwa Mia sedang berada di mobil karena perutnya yang terasa nyeri akibat datang bulan. Setelah tau kondisi Mia, Jose langsung meminta Adriel yang datang bersamanya untuk menggantikan dirinya sebagai orang yang memiliki janji temu dengan teman-teman Mia.

“Sekarang anaknya dimana, Na?”

“Parkiran mobil. Mau lo samperin?”

Jose mengangguk. “Mobilnya yang mana?”

“Jazz warna abu,” sahut laki-laki yang berdiri di belakang Elona.

“Oke thanks. Gue cabut dulu, ini yang gantiin temen gue aja, Adriel.”

“Lah, Lo mau kemana, anjir?” tanya Adriel yang tidak tahu menau.

“Nyamperin Mia.”

Jose langsung berlari menuju kantin untuk membelikan Mia sesuatu. Setelah mendapatkan apa yang dicari, ia langsung menuju parkiran mobil untuk mencari keberadaan mobil yang dimaksud.

Karena kaca mobil yang tidak terlalu gelap, Jose bisa melihat Mia yang sedang duduk menyender di bangku belakang mobil. Jose terkekeh melihat Mia dengan muka kagetnya saat ia mengetuk kaca jendela mobil itu.

Kaca mobil itu dibuka oleh Mia. “Ngapain? Bukannya ketemu Ona sama temen gue yang lain?”

“Ada Adriel yang gantiin.”

“Terus lo ngapain kesini?”

“Gue khawatir lah dapet kabar perut lo nyeri gitu.”

“Nih, gue beliin yogurt, siapa tau bisa bikin perut lo nggak nyeri lagi.”

“Makasih,” ucap Mia sembari menerima yogurt pemberian dari Jose.

Jose hanya dia menatap ke arah Mia sembari menyandarkan kedua tumpuan tangannya di atas kaca jendela yang setengah terbuka.

“Ngapain negliatin begitu?”

“Sakit banget ya, Mi? Muka lo sampe pucet gitu,”

“Pengen gue peluk tapi ini masih di area sekolah,” lanjutnya yang langsung diberi pukulan oleh Mia.

“BERISIK JOSE!!!!”

Melihat yang sedaritadi ditunggu tidak terlihat, Jose langsung berinsiatif untuk menanyakan keberadaan Mia. Teman Mia yaitu, Elona, yang Jose juga kenal, memberitahu bahwa Mia sedang berada di mobil karena perutnya yang terasa nyeri akibat datang bulan. Setelah tau kondisi Mia, Jose langsung meminta Adriel yang datang bersamanya untuk menggantikan dirinya sebagai orang yang memiliki janji temu dengan teman-teman Mia.

“Sekarang anaknya dimana Na?”

“Parkiran mobil. Mau lo samperin?”

Jose mengangguk. “Mobilnya yang mana?”

“Jazz warna abu,” sahut laki-laki yang berdiri di belakang Elona.

“Oke thanks. Gue cabut dulu, ini yang gantiin temen gue aja, Adriel.”

“Lah, Lo mau kemana anjir?” tanya Adriel yang tidak tahu menau.

“Nyamperin Mia.”

Jose langsung berlari menuju kantin untuk membelikan Mia sesuatu. Setelah mendapatkan apa yang dicari, ia langsung menuju parkiran mobil untuk mencari keberadaan mobil yang dimaksud.

Karena kaca mobil yang tidak terlalu gelap, Jose bisa melihat Mia yang sedang duduk menyender di bangku belakang mobil. Jose terkekeh melihat Mia dengan muka kagetnya saat ia mengetuk kaca jendela mobil itu.

Kaca mobil itu dibuka. “Ngapain? Bukannya ketemu Ona sama temen gue yang lain?”

“Ada Adriel yang gantiin.”

“Terus lo ngapain kesini?”

“Gue khawatir lah dapet kabar perut lo nyeri gitu.”

“Nih, gue beliin yogurt, siapa tau bisa bikin perut lo nggak nyeri lagi.”

“Makasih,” ucap Mia sembari menerima yogurt pemberian dari Jose.

Jose hanya dia menatap ke arah Mia sembari menyandarkan kedua tumpuan tangannya di atas kaca jendela yang setengah terbuka.

“Ngapain negliatin begitu?”

“Sakit banget ya, Mi? Muka lo sampe pucet gitu,”

“Pengen gue peluk tapi ini masih di area sekolah,” lanjutnya yang langsung diberi pukulan oleh Mia.

“BERISIK JOSE!!!!”

“Chatan sama siapa?” tanya Haris dengan mulut yang penuh dengan nasi nya.

Sabil langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya dan menaruh fokus kepada Haris. “Aghi.”

“Cuma ngasih selamat aja. Dia abis liat snapgram aku.”

Haris hanya mengangguk. “Makasih bilangin Aghi.”

“Iya nanti aku bilangin.”

“Eh, aku mau ke toilet sebentar boleh nggak?”

“Mau aku temenin?”

“Nggak usah, kan lagi makan.”

“Udah mau abis kok.”

“Nggak apa-apa kamu tunggu sini aja, nanti aku balik lagi,” final Sabil.

Haris pasrah dan akhirnya mengiyakan Sabil yang ingin pergi ke toilet dengan seorang diri. Sabil langsung melangkahkan kakinya menuju toilet yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdua sarapan.

Selesai dengan tujuannya untuk ke toilet, ia berniat untuk kembali menghampiri Haris. Namun, langkahnya terhenti karena laki-laki yang menghalangi jalannya.

Sial, batin Sabil saat melihat siapa laki-laki itu. Sabil sedikit panik karena disini cukup sepi dan tidak banyak orang yang berlalu lalang.

“Punten kang, mau lewat.”

“Sendirian aja?” tanya nya.

Sabil tidak menjawab.

“Mau ditemenin nggak?”

“Eh nggak usah kang, udah mau balik kok.”

“Nggak apa-apa, ayok aku temenin baliknya,” ajak laki-laki itu.

“Gapapa kang, bisa sendiri.”

Tanpa basa-basi lagi, laki-laki itu langsung memegang pergelangan tangan Sabil kencang dan mengajak Sabil untuk berjalan bersamanya. Sabil yang terkejut langsung meminta laki-laki itu untuk melepaskan tangannya.

“Kenapa sih?”

“Maaf kurang nyaman kang, tolong lepasin kang.”

Laki-laki itu tidak menghiraukan permohonan Sabil. Ia tetap terus membawa Sabil pergi dari tempat sebelumnya.

“Kang, tolong lepasin.”

“Ngobrol bentar doang emangnya nggak mau?”

“Tendra!” teriak seseorang dari belakang.

Sabil dan Tendra menoleh bersamaan. Sabil langsung merasa lega setelah melihat siapa yang berdiri disana.

“Nggak bisa bahasa manusia?”

“Ck. Ganggu aja,” ucap Tendra.

“Lepasin tangan cewek aing sebelum aing beneran emosi ya, Dra.”

“Cewek maneh? Nggak usah ngaku-ngaku lah, malu sama Sabil.”

“Lagian emangnya kamu mau sama si Haris, Bil?”

“Maaf kang, tapi saya teh beneran ceweknya Haris.”

Tendra melirik ke arah Sabil yang baru saja menyatakan pengakuannya sebagai kekasih Haris. Haris yang mendengar itu hanya bisa tertawa melihat ekspresi Tendra yang sedang menahan malu. Emosi Tendra sudah tidak terkendali, karena merasa kesal dengan pengakuan Sabil juga Haris yang baru saja menertawakannya, ia langsung mendorong Sabil ke arah Haris.

“Tuh, aing balikin cewek maneh yang sok jual mahal itu. Aing udah nggak minat!”

Tendra langsung berjalan meninggalkan keduanya dengan napas yang tidak teratur.

“Kurang ajar!” teriak Haris.

“Woi Tendra!”

Sabil menepuk pelan bahu Haris. “Udah.”

“Nggak bisa dibiarin Bil, aku nggak terima kamu dibilang begitu apalagi segala dorong kamu!”

Jujur saja, sebenarnya Sabil sedikit kesal dengan ucapan Tendra yang seperti merendahkan dirinya. Tapi, karena merasa dirinya bukan seperti itu, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya dan mengabaikan ucapan laki-laki itu.

“Udah… Nggak apa-apa. Mending balik ke tenda yuk, abis ini masih harus masukin barang-barang kan?”

“Sakit nggak tangannya? Aku liat Tendra megangnya kenceng banget.”

Sabil melihat ke arah pergelangan tangannya yang sedikit memerah. “Nggak kok, biasa ini mah.”

“Sini tangannya.”

“Mau apa?”

“Siniin aja sebentar.”

Kedua bola mata Sabil membulat ketika Haris yang tiba-tiba saja meniupi pergelangan tangannya. “Kok ditiup?”

“Biar ilang bekas jurignya.”

“Haris kamu ih parah!!!”

Haris terkekeh dan langsung menaruh tangannya di pundak Sabil. “Yuk, balik.”

“Tangannya.”

“Nggak apa-apa, nanti kalo udah keliatan orang baru lepas,” ucap Haris yang langsung dihujani cubitan kecil di perutnya oleh Sabil.