scrpleo

Jalanan pada pagi hari ini sangat lancar. Hal itu membuat Thalia dan Saddam bisa sampai kampus lebih awal. Saddam memarkiran mobilnya dengan sempurna di parkiran kampus.

“Ayok turun.”

“Sabar kak, seatbeltnya keras.”

Saddam mengangguk sembari menyeruput kopi yang sebelumnya sudah ia beli. Setelah kaitan seatbeltnya sudah terlepas, Thalia dan Saddam langsung turun dari mobil dan berjalan meninggalkan parkiran.

“Bareng nggak naik liftnya?” tanya Saddam.

Thalia mengangguk, “Boleh, ayok!”

Baru saja keduanya ingin berjalan menuju gedung fakultasnya, tiba-tiba teriakan dari arah belakang terdengar.

“Dam!”

Yang dipanggil pun menoleh ke arah sumber suara. “Woy, By! Eh—Ada Rania juga.”

“Halo Dam.”

Thalia membisu setelah melihat siapa yang saat ini berada di hadapannya.

Saddam menyenggol lengan Thalia. “Thal, kok bengong?”

“Eh—Nggak kok kak! Tadi lagi mikir ada barang yang ketinggalan apa enggak, hehe.”

“Ini siapa Dam? Cewek lo?“ tanya Rania.

“Idih amit-amit! Ini mah tetangga gue, kebetulan emang satu kampus. Jadi tadi bareng kesininya.”

“Thal, kenalin. Itu hasby… Yang itu Rania.”

Sial. Jantung Thalia langsung berdegup kencang ketika Saddam yang menyuruhnya untuk berkenalan dengan Hasby dan Rania.

“Thal?”

“Eh iya… Kenalin saya Athalia, angkatan 2020 kak.”

“Oh sekarang semester 4 dong ya?” tanya Rania.

Thalia otomatis mengangguk. “Iya betul kak.”

“Bareng lo dong, By!” celetuk Rania.

Hasby yang daritadi hanya berdiri sembari mengamati langsung mengangguk. “Iya kali.”

“Humas atau broadcast?”

Sumpah demi kerang ajaib rasanya Thalia ingin loncat dari lantai atas hingga lantai bawah. Sekarang orang yang sudah lama ia taksir akhirnya mengajaknya untuk berbicara walaupun sangat singkat.

Pipi Thalia mendadak memanas, ia benar-benar dibuat salah tingkah oleh Hasby.

“Humas, kak.”

“Oh iya, sama berarti.”

Kak suaramu, GANTENG!!!!” ucapnya dalam hati.

Setelah tidak ada obrolan lagi, Saddam langsung mengajak ketiganya untuk segera menaiki lift yang sama untuk pergi menuju ruang kelas masing-masing. Karena ruang kelas Saddam dan Rania berada di lantai yang sama yaitu lantai 6, jadilah keduanya harus turun lebih awal yang menyisakan Hasby dan Thalia di dalam lift.

“Kelas lo lantai berapa?”

“Delapan, kak.”

“Oh, sama.”

“Mata kuliah pertama apa?“ tanya Hasby tiba-tiba.

“Manajemen PR kak.”

“Oke, berarti kita satu kelas.”

Jalanan pada pagi hari ini sangat lancar. Hal itu membuat Thalia dan Saddam bisa sampai kampus lebih awal. Saddam memarkiran mobilnya dengan sempurna di parkiran kampus.

“Ayok turun.”

“Sabar kak, seatbeltnya keras.”

Saddam mengangguk sembari menyeruput kopi yang sebelumnya sudah ia beli. Setelah kaitan seatbeltnya sudah terlepas, Thalia dan Saddam langsung turun dari mobil dan berjalan meninggalkan parkiran.

“Bareng nggak naik liftnya?” tanya Saddam.

Thalia mengangguk, “Boleh, ayok!”

Baru saja keduanya ingin berjalan menuju gedung fakultasnya, tiba-tiba teriakan dari arah belakang terdengar.

“Dam!”

Yang dipanggil pun menoleh ke arah sumber suara. “Woy, By! Eh—Ada Rania juga.”

“Halo Dam.”

Thalia membisu setelah melihat siapa yang saat ini berada di hadapannya.

Saddam menyenggol lengan Thalia. “Thal, kok bengong?”

“Eh—Nggak kok kak! Tadi lagi mikir ada barang yang ketinggalan apa enggak, hehe.”

“Ini siapa Dam? Cewek lo?“ tanya Rania.

“Idih amit-amit! Ini mah tetangga gue, kebetulan emang satu kampus. Jadi tadi bareng kesininya.”

“Thal, kenalin. Itu hasby… Yang itu Rania.”

Sial. Jantung Thalia langsung berdegup kencang ketika Saddam yang menyuruhnya untuk berkenalan dengan Hasby dan Rania.

“Thal?”

“Eh iya… Kenalin saya Athalia, angkatan 2020 kak.”

“Oh sekarang semester 4 dong ya?” tanya Rania.

Thalia otomatis mengangguk. “Iya betul kak.”

“Bareng lo dong, By!” celetuk Rania.

Hasby yang daritadi hanya berdiri sembari mengamati langsung mengangguk. “Iya kali.”

“Humas atau broadcast?”

Sumpah demi kerang ajaib rasanya Thalia ingin loncat dari lantai atas hingga lantai bawah. Sekarang orang yang sudah lama ia taksir akhirnya mengajaknya untuk berbicara walaupun sangat singkat.

Pipi Thalia mendadak memanas, ia benar-benar dibuat salah tingkah oleh Hasby.

“Humas, kak.”

“Oh iya, sama berarti.”

Kak suaramu, GANTENG!!!!” ucapnya dalam hati.

Setelah tidak ada obrolan lagi, Saddam langsung mengajak ketiganya untuk segera menaiki lift yang sama untuk pergi menuju ruang kelas masing-masing. Karena ruang kelas Saddam dan Rania berada di lantai yang sama yaitu lantai 6, jadilah keduanya harus turun lebih awal yang menyisakan Hasby dan Thalia di dalam lift.

“Kelas lo lantai berapa?”

“Delapan, kak.”

“Oh, sama.”

“Mata kuliah pertama apa?“ tanya Hasby tiba-tiba.

“Manajemen PR kak.”

“Oke, berarti kita satu kelas.”

Jalanan pada pagi hari ini sangat lancar. Hal itu membuat Thalia dan Saddam bisa sampai kampus lebih awal. Saddam memarkiran mobilnya dengan sempurna di parkiran kampus.

“Ayok turun.”

“Sabar kak, seatbeltnya keras.”

Saddam mengangguk sembari menyeruput kopi yang sebelumnya sudah ia beli. Setelah kaitan seatbeltnya sudah terlepas, Thalia dan Saddam langsung turun dari mobil dan berjalan meninggalkan parkiran.

“Bareng nggak naik liftnya?” tanya Saddam.

Thalia mengangguk, “Boleh, ayok!”

Baru saja keduanya ingin berjalan menuju gedung fakultasnya, tiba-tiba teriakan dari arah belakang terdengar.

“Dam!”

Yang dipanggil pun menoleh ke arah sumber suara. “Woy, By! Eh—Ada Rania juga.”

“Halo Dam.”

Thalia membisu setelah melihat siapa yang saat ini berada di hadapannya.

Saddam menyenggol lengan Thalia. “Thal, kok bengong?”

“Eh—Nggak kok kak! Tadi lagi mikir ada barang yang ketinggalan apa enggak, hehe.”

“Ini siapa Dam? Cewek lo?“ tanya Rania.

“Idih amit-amit! Ini mah tetangga gue, kebetulan emang satu kampus. Jadi tadi bareng kesininya.”

“Thal, kenalin. Itu hasby… Yang itu Rania.”

Sial. Jantung Thalia langsung berdegup kencang ketika Saddam yang menyuruhnya untuk berkenalan dengan Hasby dan Rania.

“Thal?”

“Eh iya… Kenalin saya Athalia, angkatan 2020 kak.”

“Oh sekarang semester 4 dong ya?” tanya Rania.

Thalia otomatis mengangguk. “Iya betul kak.”

“Bareng lo dong, By!” celetuk Rania.

Hasby yang daritadi hanya berdiri sembari mengamati langsung mengangguk. “Iya kali.”

“Humas atau broadcast?”

Sumpah demi kerang ajaib rasanya Thalia ingin loncat dari lantai atas hingga lantai bawah. Sekarang orang yang sudah lama ia taksir akhirnya mengajaknya untuk berbicara walaupun sangat singkat.

Pipi Thalia mendadak memanas, ia benar-benar dibuat salah tingkah oleh Hasby.

“Humas, kak.”

“Oh iya, sama berarti.”

Kak suaramu, GANTENG!!!!” ucapnya dalam hati.

Setelah tidak ada obrolan lagi, Saddam langsung mengajak ketiganya untuk segera menaiki lift yang sama untuk pergi menuju ruang kelas masing-masing. Karena ruang kelas Saddam dan Rania berada di lantai yang sama yaitu lantai 6, jadilah keduanya harus turun lebih awal yang menyisakan Hasby dan Thalia di dalam lift.

“Kelas lo lantai berapa?”

“Delapan, kak.”

“Oh, sama.”

“Mata kuliah pertama apa?“ tanya Hasby tiba-tiba.

“Manajemen PR kak.”

“Oke, berarti kita satu kelas.”

“Lain kali kalo diajak makan kayak gitu tuh berbaur atuh A! Kamu daritadi diem aja. Kunaon sih?“

Farel baru saja sampai di rumahnya setelah selesai dari acara makan malam bersama teman ibunya itu.

“Farel nggak bisa berbaur sama Adin, bu.”

“Kenapa?”

“Ya enggak apa-apa. Farel cuma nggak nyambung aja sama dia.”

“Loh waktu dulu bisa A? Malahan kalian deket banget.”

“Ya itu kan dulu, Bu…”

“Emangnya Adin sama Tante Ola teh beneran mau netep di Bandung bu?” tanyanya untuk memastikan.

Mira mengangguk. “Iya, tadi kan udah dibahas A. Makanya didengerin atuh kalo orang lagi ngobrol, Jangan ngelamun wae!”

“Terpukau ya tadi ngeliat si Adin udah gede?” ledek Mira.

“Apa sih ibu mah ngaco pisan! Farel udah ada Teh Adys ya bu.”

“Bercanda atuh, serius pisan mukanya.”

“Itu Tante Ola netep disini karena Om Fadly teh kedapetan untuk dinas di Bandung untuk beberapa tahun. Jadinya Tante Ola sama si Adin juga mesti ikut pindah kesini,” jelas Mira.

“Terus ibu kenapa mesti ngerekomendasiin sekolah Farel buat Adin biar satu sekolah sama Farel? Farel teh nggak mau kalo Adin pindah ke SMANSA, bu.”

Mira menghembus napasnya pelan. “Kamu kenapa nggak mau Adin pindah ke sekolah kamu?”

Farel yang sebelumnya berdiri langsung ikut duduk di samping ibunya. “Farel cuma nggak mau dititipin untuk jagain Adin di Bandung. Farel tau gimana Tante Ola bu. Adin itu anak satu-satunya, udah gitu dia teh cewek. Farel yakin banget Tante Ola pasti setiap hari bakalan ngebawelin Farel buat jagain Adin disini.”

“Apalagi Farel sekarang udah punya Teh Adys, Farel nggak mau buat Teh Adys salah paham nantinya.”

“Ibu juga tadi ngapain ngundang Tante Ola sama Adin dateng ke acara ulang tahunnya Disa besok? Teh Adys mau dateng, ibu…”

“Ibu nggak tau kalo Adys teh mau dateng, kamu nggak bilang sama ibu!”

“Farel sengaja nggak bilang karena buat surprise nya Disa.”

“Maafin ibu atuh A. Yaudah, besok teh dikenalin aja dua-duanya. Jadi biar nggak salah paham dan saling kenal,” final Mira.

Farel benar-benar menahan dirinya agar tidak menjadi anak yang durhaka cuma karena kehadiran sosok Adin. Jadi, ia lebih memilih untuk meng-iyakan kalimat terakhir yang keluar dari mulut ibunya dan langsung berpamitan untuk naik ke kamarnya.

“Keputusan ada ditangan Thalia, mbak. Saya nggak bisa memaksakan Thalia ikut sama mbak untuk tinggal di Amsterdam.”

Thalia baru saja masuk ke dalam pintu gerbang rumahnya. Namun, kalimat yang ia yakin diucapkan oleh Jessica—Ibu sambungnya itu menusuk pendengarannya.

“Siapa yang mau ke Amsterdam?” tanya Thalia yang membuat tiga orang yang berada di ruang tamu menoleh ke arahnya. Tiga orang itu adalah Jessica, Alvaro—Adik sambungnya dan Amelia—Ibu kandungnya.

“Sayang…”

“Siapa yang mau ke Amsterdam, Ma?”

“Thalia sayang… Tenang dulu ya, sini duduk nak.” Kini gantian Jessica ya bersuara.

Thalia langsung duduk di sebelah Alvaro yang sudah menundukkan kepalanya.

“Kenapa?“ tanya Thalia kepada Alvaro. Sedangkan yang ditanya, hanya menunduk sembari menggeleng.

“Gini sayang. Kamu tau kan, mama udah lama menjalin hubungan sama Om Ferry?”

Thalia mengangguk.

“Karena itu, Om Ferry mengajak mama menikah dan membangun rumah tangga baru. Setelah menikah nanti, Om Ferry minta mama untuk ikut tinggal di Amsterdam karena Om Ferry mendapat dinas disana. Jadi, mama mau kamu ikut mama ke Amsterdam ya sayang?”

Thalia terdiam. Hubungan kedua orang tuanya memang sudah lama bercerai sejak Thalia duduk di bangku kelas 5 SD. Hak asuh Thalia jatuh ditangan Ayahnya. Sampai dimana ayahnya kembali menikah setelah satu tahun perceraian dengan Jessica dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang sekarang menjadi adiknya, Alvaro.

Lain halnya dengan Amelia. Karena merupakan seorang yang gila kerja, ibunya itu memilih untuk tidak terlalu memikirkan pernikahan dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air yang mengalir. Sampai akhirnya, sekarang, ibunya datang untuk memberitahu bahwa akan segera menikah dan akan menetap di Amsterdam. Ditambah lagi, ibunya itu memintanya untuk ikut tinggal bersama disana.

“Thal? Sayang? Gimana?”

Panggilan ibunya membuyarkan lamunannya. “Ehm… Maaf, Ma. Tapi, Thalia nggak bisa ninggalin kuliah. Apalagi nantinya Thalia harus ngulang dari awal. Thalia nggak bisa, Ma.”

“Kamu yakin, Thal?”

Thalia mengangguk. “Thalia yakin Ma. Thalia disini aja, sama papa, mami dan Alvaro.”

“Sekali lagi maafin Thal ya ma.”

Raut wajah milik Amelia yang sebelumnya nampak ceria seketika berubah. Namun, ia tetap menghargai apapun keputusan anak satu-satunya itu. “Yaudah, mama juga nggak bisa maksa untuk ngerubah keputusan Thal. Tapi, nanti pas acara pernikahan mama kamu harus dateng ya!”

“Iya mah, Thal pasti dateng.”

flashback on

2 bulan lalu.

Bau khas rumah sakit benar-benar menusuk indera penciuman anak laki-laki yang sedang terduduk sembari menyatukan kedua telapak tangannya untuk meminta permohonan. Laki-laki itu bernama Abinaya Hasby Sadewa atau yang kerap dipanggil Hasby. Baginya, rumah sakit adalah rumah kedua saat ibunya diharuskan untuk menjalani rawat inap selama beberapa bulan. Karena itu, Hasby memutuskan untuk cuti kuliah dan memilih untuk mengurus ibunya di rumah sakit.

Perasaan gusar yang Hasby rasakan benar-benar sangat mengganggu. Dokter yang sedaritadi menangani ibunya di ruang operasi sama sekali belum memunculkan batang hidungnya.

“Tenang ya, sayang? Tante yakin mama kamu baik-baik aja.”

“Hasby takut tan…”

Luna—Adik dari ibunya menggenggam tangannya guna untuk menenangkan. “Apapun yang nanti keluar dari mulut dokter, Hasby harus ikhlas ya nak?”

Hasby mengangguk dengan perasaan yang tidak karuan. Dadanya sesak bukan main, perasaan gusar itu masih terasa. Air matanya membendung ketika melihat gadis cantik yang sedang tertidur pulas di kursi panjang yang berada di seberangnya. Abiraya Shakila Gumala, satu-satunya adik perempuan yang Hasby punya. Hasby tidak bisa membayangkan ketika adiknya harus bangun karena mendapat kabar buruk dari sang dokter. Hasby langsung menggelengkan kepalanya dan menghapus bayangan itu dari pikirannya. Ibunya pasti akan baik-baik saja.

30 menit berlalu, sosok yang ditunggu-tunggu kehadirannya pun memunculkan batang hidungnya. Namun, perasaan gusar yang sebelumnya Hasby rasakan berubah menjadi perasaan yang jauh lebih tidak enak. “Bagaimana, Dok?” tanya Luna, adik dari ibu Hasby.

“Maaf…”

deg

Jantung Hasby seperti ingin copot. Lidahnya kelu. Padahal sang dokter belum selesai bicara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Maaf… Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun jantung yang dimiliki oleh pasien Farida sangat lemah yang membuat detak jantungnya tidak bisa beroperasi dengan normal. Kami, tim dokter di rumah sakit ini meminta maaf yang sebesar-besarnya karena pasien Farida dinyatakan meninggal dunia.”

Meninggal dunia…

Air mata Hasby lolos ketika mendengar kata-kata terakhir yang keluar dari mulut sang dokter. Dunianya seketika runtuh, wanita yang sangat ia sayangi dan ia cintai pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Bagaimana bisa Hasby hidup tanpa kehadiran seorang ibu? Bagaimana bisa Hasby menjalani kesehariannya tanpa masakan-masakan ibunya? Bagaimana bisa Hasby melihat Kila yang akan menangis ketika mengetahui bahwa ibunya telah pergi untuk selamanya?

Ayahnya? Hasby sama sekali tidak ingin mengharapkan sesuatu dari laki-laki itu. Ayahnya itu terlalu sibuk dengan semua pekerjaannya dan keluarga barunya. Bahkan disaat ibunya menghembuskan napas terakhirnya saja ayahnya tidak datang. Laki-laki macam apa. Hal itu membuat Hasby semakin hilang respect kepada ayahnya.

Setelah dokter menjelaskan tentang kepergian ibunya, Tante Luna langsung menenangkan Hasby yang masih terisak sembari melihat ke arah ruang operasi. Suara isakan Hasby dan tantenya itu membangunkan Shakila yang sebelumnya sedang tertidur pulas.

“Abang? Tante? Kok nangis?” Shakila bangkit dari kursi dan langsung menghampiri keduanya.

“Kila…”

“Maaf,”

“Mama pergi Kila… Selamanya.”

Hati Shakila seperti tersayat ketika mendengar jawaban dari sang kakak. “Abang bohong!!! Nggak mungkin, mama itu kuat abang!!!”

“Tante, bilang sama Kila kalo abang bohong!!!”

“Kila, mama kamu beneran udah pergi sayang…”

Kaki shakila lemas bukan main, isakannya lebih histeris daripada Hasby. Gadis itu tidak berhenti-henti untuk meneriakki ibunya. “Mama… Kila sayang mama. Mama kenapa pergi?”

“Mama bilang, mama mau ajak main Kila ke pantai. Kok mama malah pergi ninggalin Kila sama Abang?”

Hasby langsung membawa Kila kedalam pelukannya, ia dekap adiknya dengan sangat erat. Hatinya semakin sakit ketika melihat perempuan kedua yang ia sayangi menangis dengan sangat histeris.


Seminggu berlalu, keseharian Hasby benar-benar sangat tidak berwarna. Apalagi ia masih berada dimasa cuti kuliah. Rumahnya terasa begitu sepi seperti tidak ada kehidupan. Shakila memang tidak tinggal bersama Hasby semenjak setahun lalu kedua orang tuanya berpisah. Hak asuh Shakila jatuh ditangan ayahnya. Sedangkan Hasby, hak asuhnya berada ditangan ibunya yang membuat ia hanya tinggal bersama ibu dan tantenya.

Setelah ayah dan ibunya berpisah, Hasby sama sekali tidak ingin berhubungan dengan Ayahnya, kecuali urusan Shakila. Alasan Hasby tidak ingin berhubungan dengan ayahnya karena ayahnya tidaj bertanggung jawab dan lebih memilih rekan kerjanya di kantor dibandingkan ibunya yang sudah bertahun-tahun bersama. Hal itu membuat Hasby naik pitam dan kecewa bukan main. Walaupun ayahnya sering memberikan uang bulanan kepada Hasby. Tapi Hasby tidak pernah memakainya, ia selalu menyimpan uang yang diberikan ayahnya untuk tabungan adiknya, Shakila.

Hasby terus menatap rintikan air hujan yang turun dengan sangat deras. Ah, ia jadi mengingat kalimat yang dilontarkan oleh ibunya pada saat dua hari sebelum ibunya menghembuskan napas terakhirnya. Hasby tersenyum miris sembari menyeruput kopinya.

“Mama lagi apa disana?”

“Disana enak nggak, Ma?”

“Hasby kangen mama. Hasby udah janji sama Kila buat nggak nangis tapi kayaknya Hasby mau langgar janji Hasby sama Kila deh, Ma. Hasby nggak kuat, kangen banget.”

“Mama cantik hari ini, datengnya bareng pelangi.”

flashback off

“Ayok ih buka mulutnya lagi teh, baksonya tinggal satu ini.”

Sekarang Farel sedang berada di kamar Adys, tentu saja sudah mendapat izin dari Aida—Ibu Adys. Pintu kamar Adys juga sengaja Farel buka agar tidak muncul pikiran aneh-aneh tentang keduanya yang berada berduaan di dalam kamar.

“Kenyaaangg!”

“Nanggung banget teh, sisa satu itu kasian baksonya nanti sedih nggak ikut dicerna sama temen-temennya yang lain.” Farel memanyunkan bibirnya seolah-olah ia adalah bakso yang sendirian di dalam mangkuk itu.

“Nanti dia nangis loh teh!”

Adys yang melihat Farel bertingkah gemas itu langsung memasukkan bakso yang berada di dalam mangkuk itu ke dalam mulutnya.

“Nih, udah aku makan biar dia nggak sendirian. Kamu jangan manyun begitu atuh!”

Farel otomatis tersenyum dan mengelus puncak kepala Adys dengan sayang. “Pinter ih, makannya abis!”

“Minum obat ya sekarang. Tadi bundanya teteh nitip obat ke Farel.” Adys mengangguk dan langsung duduk bersender di headboard tempat tidurnya.

“Ayok aaa… Buka mulutnya teteh pinter.”

Dalam sekejap, Adys sudah menelan obat yang sebelumnya diberikan oleh Farel.

Naon ih kamu! Aku kayak anak kecil aja digituin.”

“Aduh hampura teh, Farel kebiasaan ngasih obat ke Disa.”

Adys terkekeh, “Iya, gapapa.”

“Gimana lomba kamu? Jadinya kapan?”

“Minggu depan teh! Teteh nonton ya di Nusa Satu!!!”

“Pasti.”

“Oh iya teh, sabtu ini si Disa ulang tahun. Kira-kira teteh mau dateng nggak? Kalo teteh mau, nanti bisa Farel jadiin surprise buat Disa. Dia pasti bakalan seneng banget kalo teteh dateng ke acara ulang tahunnya. Gimana, teteh mau nggak?”

“Mau!!!”

Farel mengacungkan dua jempolnya, “Oke!”

“Eh tapi… Itu pasti banyak keluarga kamu, ya?”

“Iya teh. Nggak apa-apa, nanti Farel kenalin! Lagian acaranya juga cuma di taman belakang rumah, kok.”

“Hm… Oke.”

“Tenang teh, nanti Farel kenalin ke keluarga Farel. Nanti Farel bilang kalo ini pacar Farel paling geulis se Bandung raya!”

Adys menepuk lengan Farel, “Ah kamu mah kebiasaan!”

Farel terkekeh. “Udah yuk, sekarang teteh tiduran lagi. Farel temenin disini sampe teteh tidur!”

Adys langsung kembali merebahkan dirinya sembari menarik selimutnya agar badannya tetap hangat. Matanya membalas tatapan Farel yang tidak berhenti menatap lekat bola matanya.

“Makasih ya, untuk hari ini. Kamu udah jenguk dan bawain bakso, sekarang juga ikut ngurus aku. Pokoknya makasih banyak ya Farel!” tangannya langsung menggenggam dan mengelus punggung tangan Farel.

Farel tersenyum dan membalas genggaman tangan Adys. “Sama-sama, sekarang teteh istirahat ya? Farel tungguin disini sampe teteh jalan-jalan ke alam mimpi.”

“Farel juga pamit pulang ya teh, ini pulangnya nanti tapi pamitannya sekarang aja hehe, takut ganggu teteh tidur.”

“Iya, nanti pulangnya hati-hati ya!”

“Siap!”

Adys memejamkan matanya untuk bersiap-siap masuk ke alam mimpi dengan Farel yang mengusap-usap lembut puncak kepala kekasihnya itu. Nyaman, batin Adys.

Adys benar-benar merasa tidak tenang. Seharusnya ia bisa duduk bersebalahan dengan sahabatnya, Nakeya. Namun, Bintang sudah lebih dulu menempatkan bokongnya dikursi yang berada tepat di sebelah Keya. Jadi, mau tidak mau, ia harus duduk bersebalahan dengan Nathan. Sebenarnya ia sama sekali tidak masalah, tapi tatapan mata publik benar-benar sangat menganggu Adys yang sedang menikmati ketoprak hasil traktiran dari Keya.

“Dys, kenapa? Kok lo kayak risih gitu duduk sebelah gue?” tanya Nathan yang membuat kedua insan yang berada di depannya juga ikut melihat ke arahnya dan Adys.

Adys menggeleng. “Nggak, bukan risih karena duduk disebelah maneh.”

“Terus?”

“Itu perkumpulan fans maneh yang ada di pojok sana kayaknya sebentar lagi dateng terus ngeguyur aing pake es teh manis deh, Nat.”

Nathan melihat ke arah yang di maksud Adys. “Nggak usah dipikirin. Mana berani dia ngeguyur lo. Mereka semua adik kelas.”

“Kok tau?”

“Salah satu dari mereka teh ada yang pernah confess ke si Nathan, tapi Nathan tolak abis-abisan euy!” sahut Bintang.

“Parah!” ledek Adys.

“Orang nggak suka, masa gue terima?”

Adys terkekeh, “Iya... Iya... Cowok kasep mah beda ya.”

Nathan ikut tertawa sembari melirik ke arah Adys.

Keya yang sedaritadi menyimak sembari mengamati seluruh penjuru kantin mendadak membulatkan matanya ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan laki-laki yang berada tidak jauh dari tempat mereka ber-empat duduk. Adys yang seperti diberi kode oleh Keya langsung menaikkan alisnya.

“Apasih?” tanya Adys dengan suara pelan.

“Liat belakang, serong kiri.” Keya juga berbicara dengan pelan sembari menutupkan mulutnya agar dua orang lainnya tidak dapat mengetahui apa yang dikatakan olehnya.

Adys sedikit bingung dengan tingkah Keya. Tapi, ia tetap menuruti perintah sahabatnya itu untuk melihat ke arah belakang. Saat ingin membalikkan badannya, notif ponsel milik Adys sudah lebih dulu berbunyi yang membuat Adys mengagalkan niatnya. Betapa kagetnya ia saat melihat nama si pengirim pesan. Ia langsung melanjutkan niatnya untuk mebalikkan badan ke arah belakang. Benar saja, ia bisa melihat Farel yang sedaritadi sudah duduk disana sembari mengamatinya dengan Nathan yang juga berada duduk disebelahnya.

Adys kira, Farel akan menghampirinya atau melakukan aksi gila karena melihatnya yang duduk bersebelahan dengan Nathan, namun laki-laki itu lebih memilih untuk melambaikan tangan ke arahnya sembari tersenyum.

Adys benar-benar merasa tidak tenang. Seharusnya ia bisa duduk bersebalahan dengan sahabatnya, Nakeya. Namun, Bintang sudah lebih dulu menempatkan bokongnya dikursi yang berada tepat di sebelah Keya. Jadi, mau tidak mau, ia harus duduk bersebalahan dengan Nathan. Sebenarnya ia sama sekali tidak masalah, tapi tatapan mata publik benar-benar sangat menganggu Adys yang sedang menikmati ketoprak hasil traktiran dari Keya.

“Dys, kenapa? Kok lo kayak risih gitu duduk sebelah gue?” tanya Nathan yang membuat kedua insan yang berada di depannya juga ikut melihat ke arahnya dan Adys.

Adys menggeleng. “Nggak, bukan risih karena duduk disebelah maneh.”

“Terus?”

“Itu perkumpulan fans maneh yang ada di pojok sana kayaknya sebentar lagi dateng terus ngeguyur aing pake es teh manis deh, Nat.”

Nathan melihat ke arah yang di maksud Adys. “Nggak usah dipikirin. Mana berani dia ngeguyur lo. Mereka semua adik kelas.”

“Kok tau?”

“Salah satu dari mereka teh ada yang pernah confess ke si Nathan, tapi Nathan tolak abis-abisan euy!” sahut Bintang.

“Parah!” ledek Adys.

“Orang nggak suka, masa gue terima?”

Adys terkekeh, “Iya... Iya... Cowok kasep mah beda ya.”

Nathan ikut tertawa sembari melirik ke arah Adys.

Keya yang sedaritadi menyimak sembari mengamati seluruh penjuru kantin mendadak membulatkan matanya ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan laki-laki yang berada tidak jauh dari tempat mereka ber-empat duduk. Adys yang seperti diberi kode oleh Keya langsung menaikkan alisnya.

“Apasih?” tanya Adys dengan suara pelan.

“Liat belakang, serong kiri.” Keya juga berbicara dengan pelan sembari menutupkan mulutnya agar dua orang lainnya tidak dapat mengetahui apa yang dikatakan olehnya.

Adys sedikit bingung dengan tingkah Keya. Tapi, ia tetap menuruti perintah sahabatnya itu untuk melihat ke arah belakang. Saat ingin membalikkan badannya, notif ponsel milik Adys sudah lebih dulu berbunyi yang membuat Adys mengagalkan niatnya. Betapa kagetnya ia saat melihat nama si pengirim pesan. Ia langsung melanjutkan niatnya untuk mebalikkan badan ke arah belakang. Benar saja, ia bisa melihat Farel yang sedaritadi sudah duduk disana sembari mengamatinya dengan Nathan yang juga berada duduk disebelahnya.

Adys kira, Farel akan menghampirinya atau melakukan aksi gila karena melihatnya yang duduk bersebelahan dengan Nathan, namun laki-laki itu lebih memilih untuk melambaikan tangan ke arahnya sembari tersenyum.

Adys benar-benar merasa tidak tenang. Seharusnya ia bisa duduk bersebalahan dengan sahabatnya, Nakeya. Namun, Bintang sudah lebih dulu menempatkan bokongnya dikursi yang berada tepat di sebelah Keya. Jadi, mau tidak mau, ia harus duduk bersebalahan dengan Nathan. Sebenarnya ia sama sekali tidak masalah, tapi tatapan mata publik benar-benar sangat menganggu Adys yang sedang menikmati ketoprak hasil traktiran dari Keya.

“Dys, kenapa? Kok lo kayak risih gitu duduk sebelah gue?” tanya Nathan yang membuat kedua insan yang berada di depannya juga ikut melihat ke arahnya dan Adys.

Adys menggeleng. “Nggak, bukan risih karena duduk disebelah maneh.”

“Terus?”

“Itu perkumpulan fans maneh yang ada di pojok sana kayaknya sebentar lagi dateng terus ngeguyur aing pake es teh manis deh, Nat.”

Nathan melihat ke arah yang di maksud Adys. “Nggak usah dipikirin. Mana berani dia ngeguyur lo. Mereka semua adik kelas.”

“Kok tau?”

“Salah satu dari mereka teh ada yang pernah confess ke si Nathan, tapi Nathan tolak abis-abisan euy!” sahut Bintang.

“Parah!” ledek Adys.

“Orang nggak suka, masa gue terima?”

Adys terkekeh, “Iya... Iya... Cowok kasep mah beda ya.”

Nathan ikut tertawa sembari melirik ke arah Adys.

Keya yang sedaritadi menyimak sembari mengamati seluruh penjuru kantin mendadak membulatkan matanya ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan laki-laki yang berada tidak jauh dari tempat mereka ber-empat duduk. Adys yang seperti diberi kode oleh Keya langsung menaikkan alisnya.

“Apasih?” tanya Adys dengan suara pelan.

“Liat belakang, serong kiri.” Keya juga berbicara dengan pelan sembari menutupkan mulutnya agar dua orang lainnya tidak dapat mengetahui apa yang dikatakan olehnya.

Adys sedikit bingung dengan tingkah Keya. Tapi, ia tetap menuruti perintah sahabatnya itu untuk melihat ke arah belakang. Saat ingin membalikkan badannya, notif ponsel milik Adys sudah lebih dulu berbunyi yang membuat Adys mengagalkan niatnya. Betapa kagetnya ia saat melihat nama si pengirim pesan. Ia langsung melanjutkan niatnya untuk mebalikkan badan ke arah belakang. Benar saja, ia bisa melihat Farel yang sedaritadi sudah duduk disana sembari mengamatinya dengan Nathan yang juga berada duduk disebelahnya.

Adys kira, Farel akan menghampirinya atau melakukan aksi gila karena melihatnya yang duduk bersebelahan dengan Nathan, namun laki-laki itu lebih memilih untuk melambaikan tangan ke arahnya sembari tersenyum.