scrpleo

cw // family issues, self harm

Jose meninggalkan rumahnya tanpa menghiraukan panggilan dari sang bunda. Fokusnya hanya pada gadis yang sebelumnya memanggilnya melalui panggilan telepon. Gadis itu butuh bantuan dan teman.

Tanpa memakan waktu lama, Jose tiba di rumah milik Jeila, mantan kekasihnya. Ia langsung menghubungi gadis itu agar cepat untuk menemuinya. Jose sontak terkejut melihat Jeila yang menghampirinya dengan kondisi yang sangat kacau. Mata sembab, rambut yang tidak beraturan, dan tangan yang ditutupi oleh perban.

Jose tau apa yang telah dilakukan gadis ini.

“Naik,” ucap Jose kepada Jeila. Jeila merapatkan jaketnya karena dinginnya angin malam dan langsung naik ke motor Jose.

Sebelum jalan, mereka berdua sempat mendengar suara keributan yang tentunya berasal dari rumah gadis itu. Jose menengok ke belakang, memastikan gadis yang sudah naik ke motornya.

“Jalan aja,” pinta Jeila.

“Mau kemana?” tanya Jose yang tidak tau kemana arah tujuan mereka berdua.

“Terserah, yang penting gue nggak denger mereka ribut lagi.”

Jose langsung melajukan motornya untuk meninggalkan rumah itu.

Selama diperjalanan, mereka berdua tidak membuka suara. Jose fokus dengan mengendarai motor, Jeila fokus mengamati jalanan malam sesekali memikirkan kejadian yang sebelumnya membuat ia ketakutan.

Tanpa disadari, Jose memberhentikan motornya di salah satu cafe yang tidak cukup ramai pengunjung. Karena Jose tau, pasti Jeila butuh suasana yang tidak begitu ramai.

“Kenapa kesini?” tanya Jeila bingung.

“Tempatnya strategis, nggak begitu banyak orang, dan lo pasti belum makan.”

Jeila hanya mengangguk sembari tersenyum, lalu mengikuti Jose yang sudah jalan terlebih dahulu.

“Makasih ya Jo,” celetuk Jeila setelah mereka sudah ada di dalam cafe tersebut.

“Nggak usah makasih, gue cuma mau bantu.”

Mereka sempat canggung dan tidak berbicara. Sampai dimana perban yang terlilit di tangan gadis itu menarik perhatiannya lagi.

“Kalo lo udah ditahap capek, jangan lakuin hal itu lagi, Je. Dulu gue udah sering bilang ke lo, kalo lo lagi ada masalah atau lo lagi dititik dimana dunia ga memihak ke lo, lo cuma butuh cari kesenangan aja dengan hal-hal yang positif. Bukan dengan cara nyakitin diri lo sendiri,” ucap Jose tiba-tiba.

“Sorry, gue nggak bisa ngontrol,” jawab Jeila.

“Gue stress dengerin mereka ribut terus. Dari kemarin mami nangis terus-terusan, ditambah papi yang bolak balik minta persetujuan mami untuk pisah. Gue beneran nggak tahu harus gimana, Jo. Gue nggak bisa bantu mami buat ngelawan papi yang keras kayak gitu. Gue kesel karena cuma bisa nangis. Gue nyakitin diri gue sendiri biar gue tau rasanya jadi mami, biar mami nggak sendirian.”

“Nggak kayak gitu, Je.”

Jeila menunduk.

“Maaf,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

“Maaf juga karena gue yang tiba-tiba hubungin lo. Gue nggak tau mau hubungin siapa lagi karena yang tau dan paham sama situasi gue kayak gini dari dulu ya cuma lo. Selain itu, kita juga sama. Jadi, gue cuma bisa minta bantuan ke lo Jo,” jelas Jeila.

Selain itu, kita juga sama.

Jose memiringkan senyumnya setelah mendengar ucapan itu.

“Haekal?”

“Udah lama pergi. Kayaknya itu bentuk karma gue karena dulu gue pernah ninggalin lo demi dia.”

“Makan dulu, nanti lo sakit gue yang repot,” ucap Jose untuk mengalihkan topik pembicaraan ini. Untung saja kedua pesanan mereka datang di waktu yang tepat.

“Makasih ya Jo, lo tetep baik meskipun dulu gue pernah jahat sama lo. Maafin gue ya Jo karena dulu lebih pilih Haekal daripada lo.”

“Ujung-ujungnya gue juga ditinggalin sama dia,” sambung Jeila sembari tertawa miris.

Sialan malah dibahas lagi,” ucap Jose dalam hati.

“Nggak usah dibahas masalah itu, gue udah lupa.”

Keduanya langsung beralih ke makanan mereka tanpa melemparkan pembicaraan lagi.

Sebenarnya Jose sudah malas untuk bertemu dan berkomunikasi lagi dengan mantan kekasihnya, Jeila, karena masa lalu yang sempat membuatnya sakit hati. Namun, Jose juga tidak bisa membiarkan Jeila yang melewati waktu sulitnya sendirian dan takut nantinya gadis ini akan melakukan hal yang lebih gila lagi untuk menyakiti dirinya sendiri.

Apalagi, yang dikatakan Jeila memang benar. Hanya cuma dirinya yang paham dengan kondisi Jeila saat ini karena ia dan Jeila memiliki kesamaan.

NARASI 1

Jose meninggalkan rumahnya tanpa menghiraukan panggilan dari sang bunda. Fokusnya hanya pada gadis yang sebelumnya memanggilnya melalui panggilan telepon. Gadis itu butuh teman.

Tanpa memakan waktu lama, Jose tiba di rumah milik Jeila, mantan kekasihnya. Ia langsung menghubungi gadis itu agar cepat untuk menemuinya. Jose sontak terkejut melihat Jeila yang menghampirinya dengan kondisi yang sangat kacau. Mata sembab, rambut yang tidak beraturan, dan tangan yang ditutupi dengan perban. Jose tau apa yang telah dilakukan gadis ini.

“Naik,” ucap Jose kepada Jeila. Jeila merapatkan jaketnya karena dinginnya angin malam dan langsung naik ke motor Jose.

Sebelum jalan, mereka berdua sempat mendengar suara keributan yang tentunya berasal dari rumah gadis itu. Jose menengok ke belakang.

“Jalan aja,” pinta Jeila.

“Mau kemana?” tanya Jose yang tidak tau kemana arah tujuan mereka berdua.

Jose langsung melajukan motornya untun meninggalkan rumah itu.

Selama diperjalanan, mereka berdua tidak membuka suara. Jose fokus dengan mengendarai motor, Jeila fokus untuk melihat jalanan malam sesekali memikirkan kejadian yang sebelumnya membuat ia ketakutan.

Tanpa disadari, Jose memberhentikan motornya di salah satu cafe yang tidak cukup ramai pengunjung. Karena Jose tau, pasti Jeila butuh suasana yang tidaj begitu ramai.

“Kenapa kesini?” tanya Jeila bingung.

“Tempatnya strategis, nggak begitu banyak orang, dan lo pasti belum makan.”

Jeila hanya mengangguk sembari tersenyum, lalu mengikuti Jose yang sudah jalan terlebih dahulu.

“Makasih ya Jo,” celetuk Jeila setelah mereka sudah ada di dalam cafe tersebut.

“Nggak usah makasih, gue cuma mau bantu.”

Mereka sempat canggung dan tidak berbicara. Sampai dimana perban yang dililit di tangan gadis itu menarik perhatiannya lagi.

“Kalo lo udah ditahap capek, jangan lakuin hal itu lagi, Je. Dulu gue udah sering bilang ke lo, kalo lo lagi ada masalah atau lo lagi dititik dimana dunia ga memihak lo, lo cuma butuh cari kesenangan aja dengan hal-hal yang positif. Bukan dengan cara nyakitin diri lo sendiri.”

“Sorry, gue nggak bisa ngontrol,” jawab Jeila.

“Gue stress dengerin mami nangis terus-terusan, ditambah papi yang tiba-tiba dateng lagi ke rumah cuma buat minta uang. Gue beneran nggak tahu harus gimana, Jo. Gue nggak bisa bantu mami buat ngelawan papi yang keras kayak gitu. Gue kesel karena cuma bisa nangis. Gue nyakitin diri gue sendiri biar gue tau rasanya jadi mami, biar mami nggak sendirian.”

“Nggak kayak gitu, Je.”

Jeila menunduk.

“Maaf,” ucapnya dengan nada yang bergetar.

“Maaf juga karena gue yang tiba-tiba hubungin lo. Gue nggak tau mau hubungin siapa lagi karena yang tau dan paham sama situasi gue kayak gini dari dulu ya cuma lo. Selain itu, kita juga sama. Jadi, gue cuma bisa minta bantuan ke lo aja,” jelas Jeila.

Selain itu, kita juga sama.

Jose memiringkan senyumnya setelah mendengar ucapan itu.

“Makan dulu, nanti lo sakit gue yang repot,” ucap Jose setelah pesanan makan mereka datang.

“Makasih ya Jo, lo tetep baik meskipun dulu gue pernah jahat sama lo. Maafin gue ya Jo karena dulu lebih pilih Haekal daripada lo.”

“Nggak usah dibahas masalah itu, gue udah lupa.”

Keduanya langsung beralih ke makanan mereka, tanpa melemparkan pembicaraan lagi.

Sebenarnya Jose sudah malas untuk bertemu dan berkomunikasi lagi dengan mantan kekasihnya, Jeila, karena masa lalu yang sempat membuatnya sakit hati. Namun, Jose juga tidak bisa membiarkan Jeila yang melewati waktu sulitnya sendirian dan takut nantinya gadis ini akan melakukan hal yang lebih gila lagi untuk menyakiti dirinya sendiri.

Apalagi, yang dikatakan Jeila memang benar. Hanya cuma dirinya yang paham dengan kondisi Jeila saat ini karena ia dan Jeila memiliki kesamaan.

NARASI 2

Langit nampak semakin gelap, kini ia dan Jeila sudah sampai di rumah milik Jeila. Lampu yang sebelumnya nyala, kini sudah mulai padam. Mobil yang sebelumnya berada di depan rumah gadis itu juga sudah tidak ada. Pertanda ayah dari gadis itu sudah meninggalkan rumah ini.

“Papi udah pulang. Gue udah tenangan sedikit juga setelah ngobrol sama lo. Thanks ya, Jo.”

Jose mengangguk. “Santai. Masuk gih, udah malem. Sorry juga anternya kemaleman.”

“Gapapa, sengaja kok. Sambil nunggu papi pergi.”

“Oh iya Jo,” sambung Jeila.

“Kenapa?”

Jeila mengulurkan tangannya ke arah Jose.

“Ngapain?” tanya Jose.

“Sekali lagi maafin gue ya,”

“Maafin gue di masa lalu. Gue ngerasa lega banget setelah ketemu dan ngobrol lagi sama lo. Walaupun status kita sekarang udah beda, tapi gue seneng bisa berhubungan baik lagi sama lo,” sambung Jeila.

Jose menerima uluran tangan Jeila. “Maafin gue juga.”

“Jadi sekarang kita udah baik-baik aja kan?” tanya Jeila.

Jose mengangguk.

“Thank you udah mau maafin gue ya Jo,” ucap Jeila sambil memeluk Jose.

Yang dipeluk pun langsung melepas pelukan dari gadis itu.

“Sorry Je, takut jadi salah paham.”

“Oh iya paham. Sorry ya….”

“Kalo gitu gue masuk dulu ya mau liat mami. Sekali lagi makasih ya Jose udah nemenin gue. Salam buat cewek lo!”

Jose mengangguk sembari menyalakan mesin motornya. Gadis yang sebelumnya bersamanya pun sudah berjalan ke arah pintu gerbang rumahnya. Sebelum benar-benar pergi darisana, Jose sempat berteriak kepada Jeila.

“Je.”

Jeila menoleh. “Iya, kenapa?”

“Jangan nyakitin diri lo sendiri lagi ya.”

Jeila tersenyum kemudian mengangguk dan benar-benar masuk ke dalam rumahnya.

Dilihatnya gadis itu sudah masuk, Jose langsung melajukan motornya untuk pergi dari sana.

Walaupun Jeila merupakan sosok patah hatinya, tapi ia pernah benar-benar jatuh hati kepada gadis itu. Bagi Jose, mencoba untuk bersikap baik dan peduli kepada Jeila bukan lah hal yang salah. Ia hanya ingin Jeila baik-baik saja.

Sampai ditujuan, Jose langsung menepikan mobilnya dipinggiran tol yang tadi sudah Mia beritahu. Jose bisa melihat kedua gadis yang tengah duduk dipinggiran pembatas besi tol itu. Tanpa berlama-lama, Jose langsung bergegas untuk turun dan menghampiri keduanya.

“Kenapa bisa diturunin di tengah jalan?” tanya Jose ke arah gadis yang masih membuang tatapannya ke sembarang arah.

Paham dengan itu, Jose langsung melempar pertanyaan ke Elona.

“Kenapa bisa diturunin, Na?”

“Bannya kempes,“ jawab Elona.

“Tadi kita mau ikut sama petugas tol, tapi kata Mia lo mau kesini. Jadinya yaudah kita milih diem disini.”

Jose melirik ke arah Mia yang masih terdiam.

“Yaudah lo masuk ke dalem mobil dulu aja, Na.”

“Ngga apa-apa nih?”

“Santai aja.”

Elona langsung berlari kecil dan segera memasukki mobil Jose.

Jose tidak langsung masuk bersama Elona, melainkan ia menghampiri gadisnya yang sedaritadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia langsung menggenggam tangan Mia untuk segera ikut masuk ke dalam mobil bersamanya.

“Lepasin.”

“Dingin, lagian udah malem. Emang nggak mau pulang?”

“Ya mau!”

“Ya makanya ayok masuk.”

“Bisa sendiri,” ujar Mia sembari meninggalkan Jose.

Baru saja Mia ingin membuka pintu belakang mobil Jose, sang pemilik mobil sudah lebih dulu untuk meneriakinya.

“Duduk di depan, emangnya gue sopir.”

Mia memutarkan bola matanya malas. Mau tidak mau, ia harus duduk di depan dan bersebelahan dengan Jose.

Masih tetap duduk di pos satpam, Mia bolak-balik untuk mengecek ponselnya. Menunggu balasan dari sang kekasih. Langit semakin gelap, perasaan Mia juga semakin tidak karuan. Jose tidak mengangkat teleponnya, ditambah laki-laki yang berada di parkiran motor sekolahnya tidak berhenti untuk memperhatikannya.

Biasanya, Pak Ical atau satpam sekolah Mia suka berada di dalam pos. Namun, hari ini sosok laki-laki tua itu tidak ada di dalam. Jadilah Mia duduk seorang diri disana. Waktu semakin berjalan, Mia tidak berhenti untuk menghubungi Jose dan juga teman-teman dari kekasihnya itu. Tapi tetap tidak ada yang mengangkat panggilnnya.

“Mia.”

Mia dibuat terkejut oleh siapa yang berdiri di depannya. Ia berusaha untuk tetap santai dan terlihat tidak panik.

“Mau balik bareng nggak? Gue udah ngabisin 3 batang rokok dan lo masih disini aja. Emang lagi nunggu orang?”

“Iya,” jawab Mia.

“Kalo nggak pasti mending sama yang pasti aja, Mi. Ini udah sore banget, emang lo nggak diomelin nyokap lo?”

Mia menggeleng. “Nggak apa-apa gue masih mau nunggu, takut dia dateng gue nya nggak ada.”

“Kalo 5 menit orang yang lo tunggu nggak dateng juga, lo balik sama gue ya?” tanya Zacky.

“Gue bisa balik sendiri nanti.”

“Udah sore kali, Mi. Nggak aman, mending balik sama gue. Kita bisa sekalian sambil muter-muter.”

Puk

Thanks tawarannya. Tapi, orang yang udah ditunggu cewek gue udah dateng.”

Mia membulatkan matanya saat melihat Jose yang berdiri di belakang Zacky sembari menepuk pundak laki-laki itu.

“Lo siapa?”

“Pacarnya Mia.”

Ekspresi Zacky berubah. Zacky juga sempat melirik ke arah Mia seakan bertanya apakah perkataan itu benar. Mia mengangguk.

“Ayo, Mi, pulang. Mama kamu udah nanyain kamu ke aku,” ucap Jose sembari mengulurkan tangannya ke Mia. Mia langsung bangkit dari duduknya dan mengikuti Jose.

“Duluan ya, Zacky. Thanks buat tawarannya,” pamit Mia.

Zacky masih membisu. Sampai lamunannya disadarkan oleh tepukan dibahunya. “Thanks udah nungguin cewek gue sampe gue dateng, setidaknya dia aman. Tapi, besok-besok jangan lagi ya, Bro.”

Di perjalanan, Jose hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mia yang yakin bahwa kekasihnya marah, memilih untuk diam tanpa menegur Jose. Saat tiba di rumah Mia pun Jose sama sekali tidak berbicara apa-apa kepada Mia. Laki-laki itu berusaha untuk tidak melakukan eye contact dengan Mia.

“Makasih udah dianterin pulang. Maaf kalo semisalnya kamu nggak suka sama suasana di pos tadi.”

Jose tidak menghiraukan Mia. Ia memilih untuk melepaskan helm yang masih terpakai di kepala gadisnya itu.

“Kamu pulangnya hati-hati, Jo.”

Jose hanya mengangguk dan kembali menyalakan mesin motornya.

Selesai dengan urusan Elona di toilet, kedua sahabat itu langsung melangkahkan kakinya dengan cepat agar bisa sampai di aula dengan tepat waktu. Mia memimpin jalan, sedangkan Elona mengikuti setiap langkah Mia yang berada di depannya.

Karena sedang terburu-buru, Mia sampai tidak bisa menahan dirinya untuk tidak ceroboh. Ia baru saja menabrak seseorang hingga dirinya tersungkur karena orang yang barusan ia tabrak memiliki tubuh yang lebih kuat darinya. Elona yang melihat itu langsung membantu sahabatnya untuk berdiri. Dirasanya dirinya yang salah, Mia langsung berdiri dan menyampaikan permintaan maaf nya tanpa melihat siapa orang tersebut.

Baru saja Mia ingin melanjutkan langkahnya menuju aula, pergelangan tangannya ditahan oleh seseorang yang kini tengah berdiri di hadapannya.

“Mia?” panggilnya.

Mia menyipitkan matanya seperti mengamati wajah laki-laki yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Elona hanya memperhatikan adegan tersebut sembari ikut memperhatikan wajah laki-laki itu.

Sorry, tapi bisa dilepas nggak ya?” tanya Mia sembari mencoba untuk melepaskan genggaman tangan laki-laki itu.

Laki-laki itu menuruti permintaan Mia dengan melepas genggamannya pada pergelangan tanggan Mia.

“Lo beneran Mia kan?”

Dibuat penasaran oleh laki-laki yang ada di depannya, Mia kembali memastikan dengan bertanya kepada laki-laki itu.

“Kok tau nama saya?”

Laki-laki itu terkekeh. “Masih aja baku sih, Mi. Kan gue udah pernah bilang buat santai aja.”

Mendengar kalimat tersebut langsung membuat Mia membulatkan matanya.

Laki-laki ini….

“L-Lo Zacky Garuda Bhakti?” tanya Mia dengan sedikit terbata-bata.

Laki-laki itu mengangguk. “Hai Mia! ternyata lo lebih cantik diliat langsung begini daripada profile picture diwhatsapp lo.”

Malas menanggapi hal yang seperti itu, Mia memilih untuk tetap bersikap sewajarnya. Apalagi ia adalah seorang LO sari sekolah laki-laki ini, jadila Mia langsung bersikap professional.

“Ruang aula ada di sana dan kemungkinan TM mulai 3 menit lagi. Duluan, ya Zacky.”

Mia langsung meninggalkan Zacky, tidak lupa mengajak Elona untuk segera pergi dari sana.

“Mi,” panggil Elona sembari menyesuaikan langkahnya dengan Mia.

“Apa?”

“Si Zacky gue liat-liat cakep juga.”

“Diem deh lo!”

“Abang sini!”

Merasa dirinya di panggil, Jose menaruh ponsel Mia yang sebelumnya ia mainkan dan langsung menghampiri sang bunda dan juga kekasihnya yang berada di meja makan.

“Waduh apa nih kok ngeluarin album foto?” tanya Jose yang sudah berdiri di antara Mia dan juga sang bunda.

“Bunda udah janji ajak Mia buat liat foto-foto kecil kamu.”

Emma mulai membuka satu persatu album foto yang berisi foto-foto kecil anak semata wayangnya itu.

“Liat nih Mi, ini foto Jose waktu lagi study tour pas SD. Dulu dia nggak mau ikut karena takut pergi sendiri tanpa bunda.”

Mia melirik ke arah Jose. “Cemen banget.”

Yang dibilang seperti itu pun tidak terima. “Bukan cemen, Mi! Bayangin aja dulu anak SD study tour tapi tanpa orang tua.”

“Dia mah emang cemen, Mi,” bisik Emma.

Mia terkekeh puas.

“Nah kalo ini waktu Jose lomba masak di sekolahnya, terus dia manyun karena tim nya kalah.”

“Lucuuuuuu banget,” ucap Mia sembari tertawa gemas.

“Kalo ini lagi makan tapi orang-orang nggak boleh minta.”

“Bun, udah ah malu. Itu aib banget,” pinta Jose sembari menghalangi foto-foto yang ada di album itu.

“Ih orang lucu kok,” sahut Mia.

“Mi, ntar kamu nggak cinta lagi.”

Emma hanya terkekeh melihat keduanya yang saling sahut-sahutan.

Kini atensi mereka sudah bukan ke album foto yang ada didepannya, melainkan ke dapur karena suara oven yang berbunyi menandakan pizza yang sebelumnya telah dibuat oleh Mia dan Emma sudah jadi. Emma lebih dulu meninggalkan meja makan untuk melihat apakah pizzanya matang dengan sempurna yang kemudian disusul oleh Mia.

Jose hanya menatap punggung kedua perempuan yang ia sayangi, hatinya terasa begitu hangat melihat interaksi antara ibu dan juga kekasihnya.

Seandainya dari dulu gue udah ketemu Mia. Pasti dari dulu bunda udah se bahagia ini.

“Jo, sini cobain!”

Lamunan Jose disadarkan oleh suara Mia yang berasal dari dapur, kekasihnya itu memanggilnya untuk segera menyusul ke dapur. Tanpa berlama-lama ia langsung menghampiri Mia dan juga bundanya yang masih sibuk dengan memotong pizza.

Setibanya Jose di dapur, Mia langsung menyuapi potongan pizza ke arah mulut Jose. Jose menurut dan langsung membuka mulutnya.

“Gimana bang?” tanya Emma.

“Langsung buka restoran pizza aja bun,” ucap Jose.

Emma mendecak. “Ah dia mah lebay.”

Setelah selesai dengan sesi memakan pizza home made mereka, Jose dan Mia kembali ke ruang tengah. Sedangkan sang bunda, tiba-tiba saja mendapat panggilan telepon yang berasal dari kamarnya. Jadilah hanya Jose dan Mia yang berada di ruang tengah.

“Seneng nggak ketemu bunda?” tanya Jose tiba-tiba.

“Seneng dong, masa ngga seneng. Daritadi aja aku sibuk ngobrol dan main masak-masakan sama bunda.”

Jose tersenyum sembari mengelus puncak kepala Mia “Makasih udah bikin bunda senyum lebar lagi ya, Mi.”

“Bunda jarang banget senyum se lebar ini,” lanjutnya.

Mia yang merasa penasaran langsung melemparkan pertanyaan kepada Jose. “Maaf kalo misalnya nggak sopan, tapi… Emangnya bunda kenapa?”

Jose hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Mia.

“Jose,” panggil Mia.

Jose menoleh.

“Kok diem?”

“Nggak apa-apa.”

Melihat Jose yang seperti itu membuat Mia langsung mengubah topik pembicaraannya.

“Oh iya Jo, ayah kamu pulang jam berapa? Aku nggak enak kalo pulang tapi belum ketemu dan pamitan sama ayah kamu.”

“Nggak usah ditungguin, Mi. Kamu kalo mau pulang pamitannya sama bunda aja.”

“Kenapa gitu?”

“Aduh, aku mau pizzanya lagi, nih. Makan lagi yuk, Mi?”

Jose langsung bangkit dari sofanya dan pergi meninggalkan Mia yang masih terdiam disana. Mengapa setiap pertanyaan yang Mia tanyakan kepada laki-laki itu tidak ada satu pun yang terjawab?

Ada hal yang gue nggak tau lagi dari Jose?

Mia berusaha untuk menghilangkam pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sempat membuatnya penasaran dan kembali menyusul Jose yang sudah lebih dulu tiba di meja makan.

“Ma, aku sama Jose mau pamitan. Nggak enak udah ditunggu sama Bundanya Jose.”

Setelah berdebat melalui ponselnya masing-masing, akhirnya mereka berdua kompak untuk menghampiri orang tua Mia yang sedaritadi sibuk untuk mengemasi beberapa kue-kue ringan.

“Eh ya sudah, ini tolong dikasih untuk Bundanya Jose ya. Salam juga untuk bunda kamu ya Jose,” ucap Rumi, Mamanya Mia, sembari memberikan satu totebag yang penuh dengan beberapa kue-kue ringan buatannya.

“Makasih banyak tan, maaf jadi ngerepotin gini. Nanti Jose sampein salamnya ya tan.”

Rumi hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk lengan Jose.

“Mia sama Jose pamit ya Ma, titip pamit juga ke papa.”

Selesai dengan sesi berpamitan, keduanya langsung pergi menuju rumah Jose. Mia nampak begitu antusias, sedaritadi ia tidak berhenti untuk menanyakan apa kesukaan dari ibu kekasihnya itu.

“Bunda kamu suka apa, Jose?”

“Bunda kamu suka makanan asin atau manis?”

“Bunda kamu suka dessert nggak?”

Jose hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari mengemudikan mobilnya. Kekasihnya ini mendadak banyak bicara ketika membahas hal itu.

“Kamu mau beliin bunda apa lagi? Itu makanan dari mama kamu udah banyak banget lho…”

Mia yang sebelumnya sedang duduk menyeder langsung meneggakkan tubuhnya sembari menatap ke arah Jose. “Itu kan dari mama, dari aku belum.”

“Itu udah cukup Mi. Bunda liat kamu di depan pintu juga udah suka dan seneng kok. Percaya deh.”

“Beneran?”

“Iya Mimi sayang…”

Seketika Mia langsung luluh dan menuruti perkataan Jose.


Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di lokasi tujuan. Lagi-lagi Mia terlihat sangat sumringah ketika keluar dari Mobil. Jose yang sudah selesai memastikan mobilnya terkunci langsung menyelipkan jarinya ke sela-sela jari milik Mia.

“Sini Mi, aku yang bawa totebagnya.”

“Nggak usah, aku aja yang bawa. Mau aku kasih sendiri ke bunda.”

Jose hanya terkekeh melihat kekasihnya begitu semangat, ia langsung membawa Mia untuk berjalan masuk ke rumahnya dengan kedua tangan yang saling menggenggam.

“Yaudah ayo masuk.”

Baru beberapa langkah masuk ke kediaman milik Jose, pintu rumahnya sudah terbuka terlebih dahulu dan memunculkan sosok wanita yang terlihat sebaya dengan orang tuanya.

“Akhirnya sampe juga… Halo anak cantik,” sapa Emma, Bunda Jose, kepada Mia.

Tanpa aba-aba, Mia langsung melepas genggaman tangan Jose dan berlari ke arah Emma yang sudah merentangkan tangannya. “Bundaaaaaa.”

Gadis itu langsung memeluknua erat.

Jose hanya bisa menyaksikan adegan berpelukan itu sembari tersenyum.

“Maaf lama ya bunda, tadi nunggu mamanya Mia buat kemasin ini… Oh iya bun, ini ada bingkisan dari mama buat bunda, sama salam katanya buat bunda,” ujar Mia sembari memberikan satu totebag yang sedaritadi sudah ia bawa.

“Wah jadi ngerepotin gini… Makasih ya cantik, nanti tolong bilang makasih juga untuk mamanya Mia ya.”

“Iya bunda siap!”

“Yaudah yuk masuk,” ajak Emma yang sudah merangkul bahu Mia.

“Halo ada orang juga disini!” teriak Jose dari belakang yang langsung ditertawakan oleh Mia dan juga sang bunda.


“Mi, aku tinggal naik dulu ya bentar.”

Kini Mia sudah berada di dalam rumah Jose, rumahnya nampak sepi dan tenang. Barusan saja Jose pamit untuk kembali ke kamarnya sebentar. Emma, bundanya Jose, juga izin untuk mengambil sesuatu di kamarnya.. Jadilah sekarang ia menunggu di ruang tamu milik keluarga Jose. Sesekali Mia melihat ke arah meja yang dipenuhi oleh beberapa frame foto disana, namun ada keheranan pada spot itu. Mia cukup lama untuk memandangi ke arah spot itu.

“Liatin apa?” tanya Jose yang berada dari belakangnya.

Mia sontak terkejut melihat Jose yang sudah kembali ke bawah. Ia hanya menggeleng sembari tersenyum. “Ngapain ganti baju?” tanya Mia ketika melihat Jose yang sudah mengganti pakaiannya.

“Kalo di rumah enaknya pake baju nyantai begini, Mi.”

“Tetep ganteng kan?”

Mia memutarkan bola matanya pertanda malas untuk menanggapi ucapannya kekasihnya itu. Jose yang melihat Mia begitu langsung pindah ke sebelah Mia untuk bisa mengusili kekasihnya itu.

“Jose geli!!!!”

Tidak lama kemudian, Emma keluar dari kamarnya sembari membawa sesuatu dan langsung memberikannya kepada Mia.

“Mi, ini bunda kemarin nggak sengaja lewat toko aksesoris dan ngeliat ada jepitan cantik. Jadi bunda belikan untuk Mia, coba dipakai ya Mi.”

“Cieeeee,” goda Jose sembari mencolek pipi Mia.

Mia langsung menepuk paha Jose. “Diem ih kamu!”

Setelah sudah menyuruh kekasihnya untuk diam, Mia langsung menerima pemberian dari Emma. “Makasih banyak ya bunda, Mia langsung coba ya.”

Emma tersenyum melihat Mia yang langsung memakai jepitan pemberiannya. Melihat Mia yang seperti itu membuat Emma yang tidak berhenti untuk memperhatikan kekasih dari anaknya itu. Menurut Emma, Mia merupakan anak yang sangat sopan dan juga ceria. Apalagi, sedari dulu ia sangat ingin memiliki anak perempuan, jadilah ia memutuskan untuk memperlakukan Mia seperti anaknya sendiri.

Karena membutuhkan pendapat tentang penampilannya sekarang, Mia langsung menatap ke arah Emma untuk menilai apakah jepitannya terlihat cocok ketika dipakai dengannya. “Gimana bun?”

Emma mengacungkan jempolnya ke arah Mia. “Cantik lah, kan anak bunda.”

“Cantik kan, Jo?” tanya Emma kepada Jose yang sedaritadi tidak mengedipkan matanya saat melihat Mia.

“Cantik lah bun, kan pacar Jose.”

“Ma, aku sama Jose mau pamitan. Nggak enak udah ditunggu sama Bundanya Jose.”

Setelah berdebat melalui ponselnya masing-masing, akhirnya mereka berdua kompak untuk menghampiri orang tua Mia yang sedaritadi sibuk untuk mengemasi beberapa kue-kue ringan.

“Eh ya sudah, ini tolong dikasih untuk Bundanya Jose ya. Salam juga untuk bunda kamu ya Jose,” ucap Rumi, Mamanya Mia, sembari memberikan satu totebag besar yang penuh dengan beberapa kue-kue ringan buatannya.

“Makasih banyak tan, maaf jadi ngerepotin gini. Nanti Jose sampein salamnya ya tan.”

Rumi hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk lengan Jose.

“Mia sama Jose pamit ya Ma, titip pamit juga ke papa.”

Selesai dengan sesi berpamitan, keduanya langsung pergi menuju rumah Jose. Mia nampak begitu antusias, sedaritadi ia tidak berhenti untuk menanyakan apa kesukaan dari ibu kekasihnya itu.

“Bunda kamu suka apa, Jose?”

“Bunda kamu suka makanan asin atau manis?”

“Bunda kamu suka dessert nggak?”

Jose hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari mengemudikan mobilnya. Kekasihnya ini mendadak banyak bicara ketika membahas hal itu.

“Kamu mau beliin bunda apa lagi? Itu makanan dari mama kamu udah banyak banget lho…”

Mia yang sebelumnya sedang duduk menyeder langsung meneggakkan tubuhnya sembari menatap ke arah Jose. “Itu kan dari mama, dari aku belum.”

“Itu udah cukup Mi. Bunda liat kamu di depan pintu juga udah suka dan seneng kok. Percaya deh.”

“Beneran?”

“Iya Mimi sayang…”

Seketika Mia langsung luluh dan menuruti perkataan Jose.


Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di lokasi tujuan. Lagi-lagi Mia terlihat sangat sumringah ketika keluar dari Mobil. Jose yang sudah selesai memastikan mobilnya terkunci langsung menyelipkan jarinya ke sela-sela jari milik Mia.

“Sini Mi, aku yang bawa totebagnya.”

“Nggak usah, aku aja yang bawa. Mau aku kasih sendiri ke bunda.”

Jose hanya terkekeh melihat kekasihnya begitu semangat, ia langsung membawa Mia untuk berjalan masuk ke rumahnya dengan kedua tangan yang saling menggenggam.

“Yaudah ayo masuk.”

Baru beberapa langkah masuk ke kediaman milik Jose, pintu rumahnya sudah terbuka terlebih dahulu dan memunculkan sosok wanita yang terlihat sebaya dengan orang tuanya.

“Akhirnya sampe juga… Halo anak cantik,” sapa Emma, Bunda Jose, kepada Mia.

Tanpa aba-aba, Mia langsung melepas genggaman tangan Jose dan berlari ke arah Emma yang sudah merentangkan tangannya. “Bundaaaaaa.”

Gadis itu langsung memeluknua erat.

Jose hanya bisa menyaksikan adegan berpelukan itu sembari tersenyum.

“Maaf lama ya bunda, tadi nunggu mamanya Mia buat kemasin ini… Oh iya bun, ini ada bingkisan dari mama buat bunda, sama salam katanya buat bunda,” ujar Mia sembari memberikan satu totebag yang sedaritadi sudah ia bawa.

“Wah jadi ngerepotin gini… Makasih ya cantik, nanti tolong bilang makasih juga untuk mamanya Mia ya.”

“Iya bunda siap!”

“Yaudah yuk masuk,” ajak Emma yang sudah merangkul bahu Mia.

“Halo ada orang juga disini!” teriak Jose dari belakang yang langsung ditertawakan oleh Mia dan juga sang bunda.


“Mi, aku tinggal naik dulu ya bentar.”

Kini Mia sudah berada di dalam rumah Jose, rumahnya nampak sepi dan tenang. Barusan saja Jose pamit untuk kembali ke kamarnya sebentar. Emma, bundanya Jose, juga izin untuk mengambil sesuatu di kamarnya.. Jadilah sekarang ia menunggu di ruang tamu milik keluarga Jose. Sesekali Mia melihat ke arah meja yang dipenuhi oleh beberapa frame foto disana, namun ada keheranan pada spot itu. Mia cukup lama untuk memandangi ke arah spot itu.

“Liatin apa?” tanya Jose yang berada dari belakangnya.

Mia sontak terkejut melihat Jose yang sudah kembali ke bawah. Ia hanya menggeleng sembari tersenyum. “Ngapain ganti baju?” tanya Mia ketika melihat Jose yang sudah mengganti pakaiannya.

“Kalo di rumah enaknya pake baju nyantai begini, Mi.”

“Tetep ganteng kan?”

Mia memutarkan bola matanya pertanda malas untuk menanggapi ucapannya kekasihnya itu. Jose yang melihat Mia begitu langsung pindah ke sebelah Mia untuk bisa mengusili kekasihnya itu.

“Jose geli!!!!”

Tidak lama kemudian, Emma keluar dari kamarnya sembari membawa sesuatu dan langsung memberikannya kepada Mia.

“Mi, ini bunda kemarin nggak sengaja lewat toko aksesoris dan ngeliat ada jepitan cantik. Jadi bunda belikan untuk Mia, coba dipakai ya Mi.”

“Cieeeee,” goda Jose sembari mencolek pipi Mia.

Mia langsung menepuk paha Jose. “Diem ih kamu!”

Setelah sudah menyuruh kekasihnya untuk diam, Mia langsung menerima pemberian dari Emma. “Makasih banyak ya bunda, Mia langsung coba ya.”

Emma tersenyum melihat Mia yang langsung memakai jepitan pemberiannya. Melihat Mia yang seperti itu membuat Emma yang tidak berhenti untuk memperhatikan kekasih dari anaknya itu. Menurut Emma, Mia merupakan anak yang sangat sopan dan juga ceria. Apalagi, sedari dulu ia sangat ingin memiliki anak perempuan, jadilah ia memutuskan untuk memperlakukan Mia seperti anaknya sendiri.

Karena membutuhkan pendapat tentang penampilannya sekarang, Mia langsung menatap ke arah Emma untuk menilai apakah jepitannya terlihat cocok ketika dipakai dengannya. “Gimana bun?”

Emma mengacungkan jempolnya ke arah Mia. “Cantik lah, kan anak bunda.”

“Cantik kan, Jo?” tanya Emma kepada Jose yang sedaritadi tidak mengedipkan matanya saat melihat Mia.

“Cantik lah bun, kan pacar Jose.”

“Teteh, ini Haris udah nunggu daritadi loh.”

Mendengar teriakan sang ibu yang berasal dari bawah, Sabil langsung buru-buru menuruni tangganya sembari membawa beberapa barang bawaannya.

“Ngapain aja si teh? Ini si Haris jadi nunggu.”

“Maaf atuh bu, tadi teteh nyari sepatu yang biasa dipake.”

“Udah ibu siapin itu dibawah.”

“Ih si ibu mah kebisaan, engga bilang.”

Haris yang berada di ruang tamu hanya memperhatikan percakapan antara ibu dan anak itu.

“Yaudah itu disamperin si Harisnya di ruang tamu, abis itu jangan lupa pamitan sama ayah di depan lapangan tennis.”

“Siap! Yaudah Sabil jalan ya bu.”

Haris langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Ibu Sabil untuk berpamitan. Setelah berpamitan, keduanya langsung masuk ke dalam mobil untuk segera berangkat. Mereka juga tidak lupa untuk berpamitan dengan Ayah Sabil yang sedang berkumpul dengan teman sebayanya.

“Geulis pisan ih,” ucap Haris tiba-tiba.

Sabil yang sebelumnya sedang bernyanyi mengikuti alunan lagu dari radio yang terputar langsung diam mematung.

Haris terkekeh. “Ih langsung diem euy abis dipuji.”

“Haris!”

“Kamu mah suka banget tiba-tiba bilang gitu.”

“Ih aku mah kalo ngomong bener, Bil.”

“Kamu tuh emang geulis ya, tapi hari ini nggak tau kenapa geulisnya tuh berubah jadi geulis pisaaaaaan!”

Meskipun sudah beberapa bulan berpacaran dengan Haris, namun Sabil tetap saja merasa salah tingkah jika dipuji seperti itu oleh Haris. Untung saja hari ini ia menggunakan blush on pada make upnya, jadi laki-laki itu tidak akan menyadari bahwa gadisnya sedang salah tingkah.

“Udah ah fokus nyetir! Kenapa jadi ngeliatin aku?”

Bukannya menuruti perkataan Sabil, Haris malah semakin jadi dengan menyenderkan tubuhnya ke pintu mobilnya sembari menopang pipinya dengan tangannya agar bisa menatap gadis itu dengan leluasa.

“Kan lampu merah geulis kuuuuu,” ujar Haris.

Sabil langsung menutupi mukanya dengan tasnya. “Diem ah, kamu mah kebiasaan.”

“Jangan ditutupin dong, Bil.”

“Nggak!”

“Sabil,” panggil Haris.

“Nggak denger!”

“Sabiiiiiil.”

“Apa.”

“Liat sini dulu, sebelum lampu ijo.”

Sabil menurunkan tasnya dan menoleh ke arah Haris.

Cup!

“HARISSSS PIPI AKU!!!!!”

Haris hanya terkekeh sembari kembali melajukan mobilnya.

“Nyebelin pisan, awas aja ya!”

“Nggak takut wle,” sahut Haris sembari menjulurkan lidahnya.

Sabil mendengus kesal karena ulah Haris.

Gadis itu kembali melihat ke arah jalanan yang ada di depannya. “Ini kita mau kemana ya?”

Surprise atuh… Liat nanti aja ya geulis.”

“Teteh, ini Haris udah nunggu daritadi loh.”

Mendengar teriakan sang ibu yang berasal dari bawah, Sabil langsung buru-buru menuruni tangganya sembari membawa beberapa barang bawaannya.

“Ngapain aja si teh? Ini si Haris jadi nunggu.”

“Maaf atuh bu, tadi teteh nyari sepatu yang biasa dipake.”

“Udah ibu siapin itu dibawah.”

“Ih si ibu mah kebisaan, engga bilang.”

Haris yang berada di ruang tamu hanya memperhatikan percakapan antara ibu dan anak itu.

“Yaudah itu disamperin si Harisnya di ruang tamu, abis itu jangan lupa pamitan sama ayah di depan lapangan tennis.”

“Siap! Yaudah Sabil jalan ya bu.”

Haris langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Ibu Sabil untuk berpamitan. Setelah berpamitan, keduanya langsung masuk ke dalam mobil untuk segera berangkat. Mereka juga tidak lupa untuk berpamitan dengan Ayah Sabil yang sedang berkumpul dengan teman sebayanya.

“Geulis pisan ih,” ucap Haris tiba-tiba.

Sabil yang sebelumnya sedang bernyanyi mengikuti alunan lagu dari radio yang terputar langsung diam mematung.

Haris terkekeh. “Ih langsung diem euy abis dipuji.”

“Haris!”

“Kamu mah suka banget tiba-tiba bilang gitu.”

“Ih aku mah kalo ngomong bener, Bil.”

“Kamu tuh emang geulis ya, tapi hari ini nggak tau kenapa geulisnya tuh berubah jadi geulis pisaaaaaan!”

Meskipun sudah beberapa bulan berpacaran dengan Haris, namun Sabil tetap saja merasa salah tingkah jika dipuji seperti itu oleh Haris. Untung saja hari ini ia menggunakan blush on pada make upnya, jadi laki-laki itu tidak akan menyadari bahwa gadisnya sedang salah tingkah.

“Udah ah fokus nyetir! Kenapa jadi ngeliatin aku?”

Bukannya menuruti perkataan Sabil, Haris malah semakin jadi dengan menyenderkan tubuhnya ke pintu mobilnya sembari menopang pipinya dengan tangannya agar bisa menatap gadis itu dengan leluasa.

“Kan lampu merah geulis kuuuuu,” ujar Haris.

Sabil langsung menutupi mukanya dengan tasnya. “Diem ah, kamu mah kebiasaan.”

“Jangan ditutupin dong, Bil.”

“Nggak!”

“Sabil,” panggil Haris.

“Nggak denger!”

“Sabiiiiiil.”

“Apa.”

“Liat sini dulu, sebelum lampu ijo.”

Sabil menurunkan tasnya dan menoleh ke arah Haris.

Cup!

“HARISSSS PIPI AKU!!!!!”

Haris hanya terkekeh sembari kembali melajukan mobilnya karena lampu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi hijau.

“Nyebelin pisan, awas aja ya!”

“Nggak takut wle,” sahut Haris sembari menjulurkan lidahnya.

Sabil mendengus pelan dan kembali melihat ke arah jalanan yang ada di depannya. “Ini kita mau kemana ya?”

“Surprise atuh… Liat nanti aja ya geulis.”